Dualisme Pelaksanaan Otonomi Daerah

Jakarta, Pelaksanaan program otonomi daerah di Indonesia terkesan sangat tergesa-gesa dan diwarnai dengan dualisme pengaturan, yakni dengan dikeluarkannya dua undang-undang (UU) yang mengatur program otonomi, UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Dengan dua peraturan ini, sesungguhnya daerah mempunyai dua "atasan", yaitu Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah serta Menteri Keuangan.

Adanya dualisme pelaksanaan otonomi daerah itu, dikatakan Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) bidang Investasi Bambang Sujagad, tidak menguntungkan pemerintah daerah. "Bahkan, menimbulkan hambatan dalam penyaluran anggaran," jelasnya dalam Konferensi Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia (KTI) di Jakarta, Selasa (18/9).

Konferensi itu dibuka Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Sosial (Menko Kesra) Jusuf Kalla, dengan pembicara kunci Menteri Negara Percepatan Pembangunan KTI Manuel Kaisiepo. Konferensi yang dihadiri sejumlah gubernur dari KTI berlangsung sampai hari Rabu.

Kaisiepo mengingatkan pula, pengurangan ketimpangan regional-antara KTI dan Kawasan Barat Indonesia (KBI)-akan sulit dilakukan bila proses pengembangan KTI, tanpa intervensi pemerintah. KTI yang sudah tertinggal akan semakin tertinggal, apabila tidak ada upaya serius memberikan prioritas pada kawasan tersebut.

Bambang menyatakan, karena anggaran yang diterimanya terhambat, sejumlah daerah akhirnya berusaha memenuhi sendiri kebutuhan dananya untuk pembangunan dengan mengoptimalkan pendapatan asli daerah (PAD) dengan menerbitkan sejumlah peraturan daerah (perda). Semangat perda yang dikeluarkan itu, adalah mengintensifkan PAD, sehingga ada yang tidak sejalan dengan perundang-undangan yang lain maupun menghambat investasi.

Kadin, lanjutnya, sudah melakukan penelitian terhadap sejumlah perda yang dikeluarkan pemerintah daerah. Dari 96 daerah tingkat II yang menjadi wilayah penelitian, Kadin mencermati 1.029 perda yang terkait dengan retribusi dan pajak. Dari sejumlah perda tersebut, 25 persen di antaranya secara obyektif bertentangan dengan peraturan lain, menyebabkan ekonomi biaya tinggi, memberatkan masyarakat, dan bertentangan dengan filosofi pajak/retribusi.

Sejumlah peserta konferensi mempertanyakan hasil penelitian Kadin itu, terutama karena diikuti dengan kemungkinan pencabutan perda-perda yang dinilai bermasalah tersebut. Perwakilan daerah tersebut mengingatkan, pemerintah pusat tidak boleh semena-mena membatalkan perda yang telah dikeluarkan daerah.

Seorang peserta, Alam mengingatkan, pelaksanaan otonomi daerah itu baru berjalan tujuh bulan. Karena itu, wajar apabila masih ada kekurangan. Pemerintah pusat seharusnya memberikan bimbingan, bukan semena-mena mencabut dan membatalkan perda yang dinilai bermasalah. (kcm)