Provinsi
Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang diberi Otonomi Khusus,
bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
memiliki keragaman suku dan lebih dari 250 (dua ratus lima
puluh) bahasa daerah serta dihuni juga oleh suku-suku lain
di Indonesia. Wilayah Provinsi Papua pada saat ini terdiri
atas 12 (dua belas) Kabupaten dan 2 (dua) Kota, yaitu:
Kabupaten Jayapura, Kabupaten Merauke, Kabupaten Biak Numfor,
Kabupaten Mimika, Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Puncak
Jaya, Kabupaten Paniai, Kabupaten Nabire, Kabupaten Sorong,
Kabupaten Fakfak, Kabupaten Yapen Waropen, Kabupaten
Manokwari, Kota Jayapura, dan Kota Sorong. Provinsi Papua
memiliki luas kurang lebih 421.981 km2 dengan
topografi yang bervariasi, mulai dari dataran rendah yang
berawa sampai dengan pegunungan yang puncaknya diselimuti
salju. Wilayah Provinsi Papua berbatasan di sebelah utara
dengan Samudera Pasifik, di sebelah selatan dengan Provinsi
Maluku dan Laut Arafura, di sebelah barat dengan Provinsi
Maluku dan Maluku Utara, dan di sebelah timur dengan Negara
Papua New Guinea.
Keputusan
politik penyatuan Papua menjadi bagian dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia pada hakikatnya mengandung cita-cita
luhur. Namun kenyataannya berbagai kebijakan dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang
sentralistik belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum
sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat,
belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan
belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi
Manusia (HAM) di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua.
Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya kesenjangan pada
hampir semua sektor kehidupan, terutama dalam bidang
pendidikan, kesehatan, ekonomi, kebudayaan dan sosial
politik.
Pelanggaran
HAM, pengabaian hak-hak dasar penduduk asli dan adanya
perbedaan pendapat mengenai sejarah penyatuan Papua ke dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah masalah-masalah
yang perlu diselesaikan. Upaya penyelesaian masalah tersebut
selama ini dinilai kurang menyentuh akar masalah dan
aspirasi masyarakat Papua, sehingga memicu berbagai bentuk
kekecewaan dan ketidakpuasan.
Momentum
reformasi di Indonesia memberi peluang bagi timbulnya
pemikiran dan kesadaran baru untuk menyelesaikan berbagai
permasalahan besar bangsa Indonesia dalam menata kehidupan
berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Sehubungan dengan
itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
menetapkan perlunya pemberian status Otonomi Khusus kepada
Provinsi Irian Jaya sebagaimana diamanatkan dalam Ketetapan
MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan
Negara Tahun 1999-2004 Bab IV huruf (g) angka 2. Dalam
Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi
Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, yang antara
lain menekankan tentang pentingnya segera merealisasikan
Otonomi Khusus tersebut melalui penetapan suatu
undang-undang otonomi khusus bagi Provinsi Irian Jaya dengan
memperhatikan aspirasi masyarakat. Hal ini merupakan suatu
langkah awal yang positif dalam rangka membangun kepercayaan
rakyat kepada Pemerintah, sekaligus merupakan langkah
strategis untuk meletakkan kerangka dasar yang kukuh bagi
berbagai upaya yang perlu dilakukan demi tuntasnya
penyelesaian masalah-masalah di Provinsi Papua.
Otonomi
Khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah pemberian
kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi dan rakyat Papua
untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan yang lebih
luas berarti pula tanggung jawab yang lebih besar bagi
Provinsi dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan
pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di
Provinsi Papua untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat
Papua sebagai bagian dari rakyat Indonesia sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Kewenangan ini berarti pula
kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial-budaya dan
perekonomian masyarakat Papua, termasuk memberikan peran
yang memadai bagi orang-orang asli Papua melalui para wakil
adat, agama, dan kaum perempuan. Peran yang dilakukan adalah
ikut serta merumuskan kebijakan daerah, menentukan strategi
pembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman
kehidupan masyarakat Papua, melestarikan budaya serta
lingkungan alam Papua, yang tercermin melalui perubahan nama
Irian Jaya menjadi Papua, lambang daerah dalam bentuk
bendera daerah dan lagu daerah sebagai bentuk aktualisasi
jati diri rakyat Papua dan pengakuan terhadap eksistensi hak
ulayat, adat, masyarakat adat, dan hukum adat.
Hal-hal
mendasar yang menjadi isi Undang-Undang ini adalah:
Pertama,
|
pengaturan
kewenangan antara Pemerintah dengan Pemerintah
Provinsi Papua serta penerapan kewenangan tersebut
di Provinsi Papua yang dilakukan dengan kekhususan;
|
Kedua,
|
pengakuan dan
penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua serta
pemberdayaannya secara strategis dan mendasar; dan
|
Ketiga, |
mewujudkan
penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang berciri:
|
|
-
partisipasi
rakyat sebesar-besarnya dalam perencanaan,
pelaksanaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan
pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan
melalui keikutsertaan para wakil adat, agama,
dan kaum perempuan;
-
pelaksanaan
pembangunan yang diarahkan sebesar-besarnya
untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk asli
Papua pada khususnya dan penduduk Provinsi Papua
pada umumnya dengan berpegang teguh pada
prinsip-prinsip pelestarian lingkungan,
pembangunan berkelanjutan, berkeadilan dan
bermanfaat langsung bagi masyarakat; dan
-
penyelenggaraan
pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan yang
transparan dan bertanggungjawab kepada
masyarakat.
|
Keempat,
|
pembagian
wewenang, tugas, dan tanggung jawab yang tegas dan
jelas antara badan legislatif, eksekutif, dan
yudikatif, serta Majelis Rakyat Papua sebagai
representasi kultural penduduk asli Papua yang
diberikan kewenangan tertentu.
|
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Ayat (1)
Pembentukan Komisi Hukum Ad Hoc dimaksudkan untuk membantu
Gubernur, DPRP, dan MRP dalam menyiapkan rancangan Perdasus
dan Perdasi sebagai tindak lanjut pelaksanaan Undang-undang
ini.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Angka 1)
Sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Angka 2)
Sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Angka 3)
Sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Huruf b
Angka 1)
Sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Angka 2)
Sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Angka 3)
Sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Angka 4)
Bagian Provinsi, Kabupaten/Kota dari penerimaan sumber daya
alam sektor pertambangan minyak bumi sebesar 15% ditetapkan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan tambahan
penerimaan (setelah
dikurangi pajak) sebesar 55% adalah dalam rangka Otonomi
Khusus.
Angka 5)
Bagian Provinsi, Kabupaten/Kota dari penerimaan sumber daya
alam sektor pertambangan gas alam sebesar 30% ditetapkan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan tambahan
penerimaan (setelah dikurangi pajak) sebesar 40% adalah
dalam rangka Otonomi Khusus.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Pembangunan infrastruktur dimaksudkan agar
sekurang-kurangnya dalam 25 (dua puluh lima) tahun seluruh
kota-kota Provinsi, Kabupaten/Kota, Distrik atau pusat-pusat
penduduk lainnya terhubungkan dengan transportasi darat,
laut atau udara yang berkualitas, sehingga Provinsi Papua
dapat melakukan aktivitas ekonominya secara baik dan
menguntungkan sebagai bagian dari sistem perekonomian
nasional dan global.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Ayat (9)
Cukup jelas
Ayat (10)
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan di Provinsi
Papua, Pemerintah Provinsi berkewajiban mengalokasikan
sebagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Provinsi Papua
yang diperoleh dari hasil eksploitasi sumber daya alam Papua
untuk ditabung dalam bentuk dana abadi, yang hasilnya dapat
dimanfaatkan untuk membiayai berbagai kegiatan pembangunan
di masa mendatang.
Pasal 39
Yang dimaksud dengan pengolahan lanjutan dalam Undang-undang
ini adalah pengolahan bahan baku yang dihasilkan dari
pemanfaatan sumber daya alam Papua misalnya: sektor migas,
pertambangan umum, kehutanan, perikanan laut, serta
hasil-hasil pertanian pada umumnya. Pengolahan lanjutan ini
ditujukan untuk meningkatkan nilai tambah dari sumber-sumber
tersebut yang berdampak positif bagi penerimaan Provinsi,
penciptaan lapangan kerja, peningkatan pemanfaatan dan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
pemanfaatan lainnya. Usaha pengolahan lanjutan ini dilakukan
dengan mempertimbangkan kepentingan masyarakat di Papua dan
tetap berpegang pada prinsip-prinsip ekonomi yang sehat,
efisien, dan kompetitif.
Pengolahan
lanjutan dalam rangka pemanfaatan sumber daya alam dimaksud
dalam Pasal ini dapat dilaksanakan di Provinsi Papua apabila
memenuhi prinsip-prinsip ekonomi tersebut. Hal ini
mengandung arti bahwa apabila pengolahan lanjutan dalam
rangka pemanfaatan sumber daya alam tersebut belum memenuhi
prinsip-prinsip ekonomi, pengolahan lanjutan tersebut dapat
dilaksanakan di wilayah lain untuk tetap memanfaatkan
peluang investasi yang ada bagi kesejahteraan masyarakat
Papua, dengan memperhatikan prinsip-prinsip pelestarian
lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.
Dalam rangka
mendorong peningkatan investasi di wilayah Provinsi Papua,
Pemerintah dan Pemerintah Provinsi Papua wajib membuat
kebijakan yang kondusif.
Pasal
40
Ayat (1)
Untuk menjamin kepastian dan perlindungan hukum bagi dunia
usaha, maka perizinan dan perjanjian kerja sama yang telah
dilakukan sebelum Undang-undang ini ditetapkan, dinyatakan
tetap berlaku sampai dengan berakhirnya masing-masing
perizinan atau perjanjian kerja sama dimaksud.
Yang dimaksud
dengan "dilakukan" dalam ayat ini diartikan
"dikeluarkan".
Ayat (2)
Cacat hukum dan/atau merugikan hak-hak hidup masyarakat
serta bertentangan dengan Undang-undang ini harus dibuktikan
dan dinyatakan dalam putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
Putusan
pengadilan dimaksud memuat pernyataan mengenai salah satu
pertimbangan hukum keputusannya, bahwa perizinan atau
perjanjian yang bersangkutan cacat hukum atau merugikan hak
hidup masyarakat.
Suatu
perjanjian yang oleh keputusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap dinyatakan cacat hukum dapat
dilakukan peninjauan kembali melalui perumusan ulang tentang
apa yang harus diperjanjikan sepanjang memberikan keuntungan
kepada masyarakat dan bahkan mengenai hal-hal yang
seharusnya diperjanjikan lagi demi kepentingan yang
berkelanjutan.
Adapun
mengenai akibat hukum karena pembatalan perjanjian itu dapat
disomasi untuk perumusan ulang hal-hal yang diperjanjikan
sehingga pelaksanaan putusan tidak lagi dilakukan secara
konvensional tetapi diubah menjadi materi muatan perjanjian.
Apabila kedua
belah pihak bersepakat, maka suatu perizinan atau perjanjian
kerja sama dapat diubah, diperbaiki, atau diakhiri.
Pasal 41
Ayat (1)
Penyertaan modal yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi
pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau perusahaan swasta
yang berdomisili dan
beroperasi di Provinsi Papua dilakukan melalui penilaian
secara saksama tentang keuntungan atau kerugian yang dapat
ditimbulkan dengan berpedoman pada mekanisme pasar dan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal
42
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pemberian kesempatan berusaha sebagai upaya pemberdayaan
masyarakat adat dapat berupa penyertaan modal dalam bentuk
penilaian terhadap berbagai hak yang melekat pada masyarakat
adat tertentu, antara lain berupa hak ulayat.
Pasal 43
Ayat (1)
Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat ini juga merupakan
kewajiban Pemerintah yang dilaksanakan oleh Gubernur selaku
wakil Pemerintah.
Pemberdayaan hak-hak tersebut meliputi pembinaan dan
pengembangan yang bertujuan meningkatkan taraf hidup baik
lahiriah maupun batiniah warga masyarakat hukum adat.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan hak-hak masyarakat adat meliputi hak
bersama warga masyarakat seperti yang dikenal dengan sebutan
hak ulayat dan hak perorangan warga masyarakat hukum adat.
Ayat (3)
Hak ulayat adalah hak bersama para warga masyarakat hukum
adat yang bersangkutan. Subjek hak ulayat adalah masyarakat
hukum adat tertentu, bukan perseorangan, dan juga bukan
penguasa adat, meskipun banyak di antara mereka yang
menjabat secara turun temurun. Penguasa adat adalah
pelaksana hak ulayat yang bertindak sebagai petugas
masyarakat hukum adatnya dalam mengelola hak ulayat di
wilayahnya.
Hak ulayat
diatur oleh hukum adat tertentu dalam masyarakat hukum adat
yang bersangkutan. Kenyataannya dewasa ini keberadaan hak
ulayat berbagai masyarakat hukum adat tersebut beragam,
sehubungan dengan perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat
hukum adatnya sendiri baik karena pengaruh intern maupun
lingkungannya.
Hak ulayat
diakui oleh hukum tanah nasional, sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, tetapi hak ulayat yang sudah tidak
ada tidak akan dihidupkan kembali. Sehubungan dengan itu,
demi adanya kepastian mengenai masih adanya hak ulayat di
lingkungan masyarakat adat tertentu, yang dibuktikan oleh:
(1) masih adanya sekelompok warga masyarakat yang merasa
terikat oleh tatanan hukum adat tertentu sebagai warga
bersama suatu persekutuan hukum yang merupakan suatu
masyarakat hukum adat; (2) masih adanya suatu wilayah
tertentu yang merupakan lingkungan hukum dan penghidupan
sehari-hari para warga masyarakat hukum adat tersebut; dan
(3) masih adanya penguasa adat yang melaksanakan ketentuan
hukum hak ulayatnya.
Pengakuan,
penghormatan dan perlindungan dalam ayat ini mencakup pula
pengakuan, penghormatan dan perlindungan terhadap
pihak-pihak yang telah memperoleh hak atas tanah bekas hak
ulayat secara sah menurut tata cara dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dan karenanya tidak dapat
digugat kembali oleh ahli warisnya demi kepastian hukum.
Ayat (4)
Musyawarah antara para pihak yang memerlukan tanah ulayat
dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan mendahului
penerbitan surat izin perolehan dan pemberian hak oleh
instansi yang berwenang. Kesepakatan hasil musyawarah
tersebut merupakan syarat bagi penerbitan surat izin dan
keputusan pemberian hak yang bersangkutan. Hal yang sama
berlaku juga terhadap perolehan tanah hak perorangan para
warga masyarakat hukum adat, tidak cukup dengan persetujuan
penguasa adatnya.
Pemanfaatan
hak-hak adat untuk kepentingan pemerintah dan/atau swasta
dilakukan melalui musyawarah antara masyarakat adat dengan
pihak yang memerlukan, harus disertai dengan pemberian ganti
rugi dalam bentuk uang tunai, tanah pengganti, pemukiman
kembali, sebagai pemegang saham, atau bentuk lain yang
disepakati bersama.
Ayat (5)
Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota sebagai instansi yang
paling mengetahui hal-ihwal sengketa yang terjadi di
wilayahnya berkewajiban melakukan mediasi aktif dalam
penyelesaian sengketa-sengketa yang timbul di antara
masyarakat hukum adat atau warganya dengan pihak luar.
Sengketa
antara para warga masyarakat hukum adat sendiri diselesaikan
melalui peradilan adat sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang ini.
Pasal 44
Hak kekayaan intelektual orang asli Papua berupa hak cipta
mencakup hak-hak dalam bidang kesenian yang terdiri dari
seni suara, tari, ukir, pahat, lukis, anyam, tata busana dan
rancangan bangunan tradisional serta jenis-jenis seni
lainnya, maupun hak-hak yang terkait dengan sistem
pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan oleh masyarakat
asli Papua, misalnya obat-obatan tradisional dan yang
sejenisnya. Perlindungan ini meliputi juga perlindungan
terhadap hak kekayaan intelektual anggota masyarakat lainnya
di Provinsi Papua.
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Langkah-langkah rekonsiliasi mencakup pengungkapan
kebenaran, pengakuan kesalahan, permintaan maaf, pemberian
maaf, perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi,
atau alternatif lain yang bermanfaat dan dengan
memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat untuk
menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Ayat (3)
Dalam usulan Gubernur untuk keanggotaan Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi dapat berasal dari DPRP dan MRP serta komponen
lain.
Pasal 47
Kata memberdayakan bermakna meningkatkan keberdayaan.
Pasal 48
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Kebijakan
yang perlu dikoordinasikan kepada Gubernur Provinsi Papua
adalah kebijakan keamanan yang mencakup aspek ketertiban dan
ketenteraman masyarakat.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang penuh
memberhentikan Kepala Kepolisian Provinsi Papua tanpa
meminta persetujuan Gubernur Provinsi Papua dan dalam
hal-hal tertentu Gubernur Papua dapat memberi pertimbangan
kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk
memberhentikan Kepala Kepolisian Provinsi Papua.
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Ayat (1)
Pelaksanaan kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua sesuai
dengan peraturan perundang-undangan, membutuhkan pelayanan
hukum secara khusus. Dalam hal demikian dan untuk
mempercepat perolehan kepastian hukum, khususnya terhadap
perkara kasasi, Mahkamah Agung dapat mempertimbangkan
kebijakan khusus bagi penyelesaian perkara kasasi dari
Provinsi Papua.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 51
Ayat (1)
Dalam ayat ini secara tegas diakui keberadaan dalam hukum
nasional, lembaga peradilan dan pengadilan adat yang sudah
ada di Provinsi Papua, sebagai lembaga peradilan perdamaian
antara para warga masyarakat hukum adat di lingkungan
masyarakat hukum adat yang ada.
Ayat (2)
Pengadilan adat bukan badan peradilan negara, melainkan
lembaga peradilan masyarakat hukum adat. Berdasarkan
kenyataan yang ada, susunannya diatur menurut ketentuan
hukum adat masyarakat hukum adat setempat dan memeriksa
serta mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana
adat berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat yang
bersangkutan. Hal itu antara lain mengenai susunan
pengadilannya, siapa yang bertugas memeriksa dan mengadili
sengketa dan perkara yang bersangkutan, tata cara
pemeriksaan, pengambilan keputusan dan pelaksanaannya.
Pengadilan adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana
penjara atau kurungan.
Pengadilan
adat tidak berwenang memeriksa dan mengadili sengketa
perdata dan perkara pidana yang salah satu pihak yang
bersengketa atau pelaku pidana bukan warga masyarakat hukum
adatnya. Hal itu termasuk kewenangan di lingkungan peradilan
negara. Dengan diakuinya peradilan adat dalam Undang-undang
ini, akan banyak sengketa perdata dan perkara pidana di
antara warga masyarakat hukum adat di Provinsi Papua yang
secara tuntas dapat diselesaikan sendiri oleh warga yang
bersangkutan tanpa melibatkan pengadilan di lingkungan
peradilan negara.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Putusan pengadilan adat merupakan putusan yang final dan
berkekuatan hukum tetap dalam hal para pihak yang
bersengketa atau yang berperkara menerimanya. Putusan yang
bersangkutan juga dapat membebaskan pelaku dari tuntutan
pidana menurut ketentuan hukum pidana yang berlaku.
Pernyataan persetujuan pelaksanaan putusan dari Ketua
Pengadilan Negeri yang mewilayahinya diperoleh melalui
Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan. Jika pernyataan
persetujuan pelaksanaan putusan telah diperoleh maka
kejaksaaan tidak dapat melakukan penyidikan dan penuntutan.
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Dalam hal Ketua Pengadilan Negeri menolak memberikan
pernyataan persetujuan pelaksanaan putusan, maka kepolisian
dan kejaksaan dapat melakukan penyidikan dan penuntutan.
Dalam hal ini putusan pengadilan adat yang bersangkutan akan
dijadikan bahan pertimbangan dalam memutuskan perkara yang
diajukan. Dalam ayat ini dibuka kemungkinan pemeriksaan
ulang dalam hal salah satu pihak yang bersengketa atau
berperkara berkeberatan atas putusannya dan mengajukan
sengketa atau perkaranya kepada pengadilan tingkat pertama
di lingkungan badan peradilan yang berwenang.
Pasal 52
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Persetujuan yang diberikan oleh Gubernur kepada Jaksa Agung
Republik Indonesia, tidak mencampuri teknis kepegawaian.
Ayat (3)
Jaksa Agung berwenang penuh memberhentikan Kepala Kejaksaan
Tinggi Provinsi Papua tanpa meminta persetujuan Gubernur dan
dalam hal-hal tertentu Gubernur Provinsi Papua dapat memberi
pertimbangan kepada Jaksa Agung untuk memberhentikan Kepala
Kejaksaan Tinggi.
Pasal 53
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal
56
Ayat (1)
Khusus
terhadap lembaga pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi
yang memiliki otonomi perguruan tinggi, tanggung jawab
Pemerintah Provinsi dalam ikut membiayai penyelenggaraan
pendidikan merupakan perwujudan dari upaya pembinaan dan
pengembangan sumber daya manusia, baik pada aspek jumlah
maupun mutu, bagi pembangunan di Provinsi Papua.
Ayat (2)
Pemerintah
memiliki tanggung jawab utama dalam penyelenggaraan
pendidikan nasional, sehingga berkewajiban untuk menetapkan
kebijakan-kebijakan umum pendidikan yang berlaku secara
nasional dengan standar pendidikan yang sama, yang antara
lain tercermin dalam kurikulum inti dan standar mutu. Dengan
demikian ada pengakuan yang sama terhadap hasil pendidikan
yang diselenggarakan di semua wilayah, termasuk di Provinsi
Papua, yang memungkinkan terjadinya keluwesan dan kebebasan
para peserta didik dari lembaga pendidikan di Papua
berpindah dan mengikuti pendidikan yang diminati di provinsi
lain.
Mengingat
kondisi sosial budaya, potensi ekonomi, dan keinginan
anggota masyarakat yang beragam di Papua, selain kurikulum
inti, dikembangkan