Suku Amungme Setujui Penutupan Danau WanagonSumber: MinergyNews.ComRabu, 10 Januari 2001 Jakarta Sekarang PT Freeport Indonesia bisa bernafas lega. Pasalnya, mereka bisa bebas menimbun overburden di Danau Wanagon. Menurut sumber MinergyNews.Com di Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, perusahaan penambangan emas dan tembaga itu bisa bebas menimbun overburden di Danau Wanagon. Sebab, Suku Amungme sebagai "pemilik" Danau Wanagon telah mengijinkan penutupan danau tersebut. "Suku Amungme sudah mengijinkan melalui sebuah upacara yang pestanya dilakukan akhir Desember lalu," katanya. Padahal sebelumnya, danau tersebut memiliki nilai kesakralan bagi suku tersebut. Dengan demikian, penimbunan overburden dari kegiatan penambangan emas dan tembaga PT FI di Grasberg tak menjadi masalah. Sebab sebelumnya pemerintah meminta PT FI tak melakukan penimbunan overburden di Lereng Wanagon untuk sementara waktu menyusul terjadinya longsor yang menewaskan empat orang pegawai kontraktor. Kalau ijin penutupan Danau Wanagon dari masyarakat setempat sudah dikantongi, sambung sumber itu, berarti ini sudah sesuai dengan rekomendasi hasil penelitian yang dilakukan Lembaga Afiliasi Penelitian dan Industri (LAPI) ITB. (MNC-5) Irian Jaya's fishery sector wins US$6.44 mln in investmentSource: Asia Pulse, January 16, 2001 JAYAPURA The fishery sector of Irian Jaya's Sorong regency has attracted Rp 61 billion (US$6.44 million) in investments from five foreign investment companies and 72 fishery companies. According to the Irian Jaya Fishery Service here on Monday, the five foreign companies are PT. Usaha Mina, PT. West Irian Industries Fishing (WIIF), PT. Irian Marine Product Development (IMPD), PT. Alfa Kurnia and PT. Dwi Bina Mutiara. PT. Usaha Mina has invested Rp 25 million, PT. WIIF and PT. Alfa Kurnia Rp 10 billion each while PT. IMPD and PT. Dwi Bina Rp8 billion. In association with Indonesian private companies they are engaged in fishing activities and built a smoked fish producing plant in Sorong. Thirty nine, in addition to the five foreign investment companies, of the total of 77 Indonesian private fishing companies in Irian Jaya are operating in Sorong. And 38 Indonesian private companies with an investment of less than Rp 1 billion are not only operating in Sorong, but in the regencies of Fakfak, Merauke, Jayapura, Manokwari and Biak Numfor as well. PT. Biak Mina Jaya, a national private company in Biak Numfor and member of the Djayanti Group, runs a canned fish factory since 1996 and has been exporting some of its products to some countries in Southeast Asia. Irian Jayan rebels hold 18 hostages, after seizing 7 negotiatorsSource: AFP, January 19, 2001 JAKARTA Separatist rebels in remote Irian Jaya have seized seven negotiators trying to win the release of 11 abducted plywood workers and now hold 18 people hostage, police said Friday. The seven, including two Korean nationals, were captured on Thursday when they travelled to a remote jungled area to negotiate with the rebels, a policeman at the provincial police headquarters in the Irian Jaya capital of Jayapura said. The rebels seized the 11 plywood workers, including a South Korean, on Tuesday. "According to the police report the hostages are (now) three Koreans, two native people and the rest are migrants" from other Indonesian provinces, the officer, who indentified himself only as Agus, told AFP. He said the two captured South Korean negotiators worked for plywood firm PT Tunas Korindo, which employed the first batch of hostages. Police and military chiefs from the district of Merauke on Friday travelled to the jungled area near the border with Papua New Guinea to try to restart negotiations for the release of all 18 hostages. "The police and military chiefs are in Asiki to seek the release of the hostages," First Brigadier Robert Wogono of the Merauke district police told AFP by telephone. The first 11 captives, 10 Korindo workers and their South Korena manager, Kwon Oh-duk, 49, were abducted on Tuesday at the company's mill in Asiki, a jungled area close to the border with neighbouring Papua New Guinea. A Korindo worker in Asiki told AFP by phone that the company had not been contacted by the hostage takers, a local separatist group led by Willem Onde. She also said she had no information on the fate of the hostages, nor had she heard about the kidnapping of the negotiators. The Tempo weekly said the Willem Onde group was estimated to have a force of 500 men operating near the border with Papua New Guinea and the southern boundary of the Jayawijaya mountain range. Unconfirmed reports have said the kidnappers were asking for a ransom of one million dollars, the pull-out of an Indonesian police unit from the area and a halt to logging. But police have not confirmed those reports. On Thursday Irian Jaya military spokesman Lieutenant Colonel R. Siregar told AFP from the provincial capital Jayapura that police in Merauke were in charge of facilitating the negotiations. "The thing is, this case is purely a conflict between PT Korindo and locals, not with the government," Siregar said. "We are still trying to find out the root cause of the problem but what is clear is that there is a conflict there between the company and the local population." The Media Indonesia daily, quoting a correspondent for the newspaper's affiliate, Metro TV, said 16 policemen from the elite mobil brigade unit and a company of army soldiers had been flown to the hostage area by plane. The Free Papua Organization (OPM) separatist movement has been fighting to turn Irian Jaya into a free state since Indonesian troops began infiltrating in 1962. OPM groups have in the past used abduction to focus international attention on their cause. In the most notorious case, an OPM group took a group of six foreign and five Indonesian scientists hostage in the central hinterland area of Mapnduma for four months in 1996. Two Indonesian scientists were killed when troops released the captives. Calls for independence have been mounting in the predominantly ethnic Melanesian province, especially since East Timor broke away from Indonesia in October 1999 after a United Nations referendum on self determination. In 1969 a UN referendum ratified Indonesian sovereignty over Irian Jaya. Independence leaders claim the vote was flawed. Jakarta has ruled out allowing Irian Jaya to secede but has promised broad autonomy for sometime this year. Investor asing kuras log di hutan Irja dan Kalimantan Sumber : Bisnis Indonesia Selasa, 20 Februari 2001 JAKARTA Siapa bilang mendatangkan investor luar negeri itu sulit.Belajarlah dari sektor kehutanan yang kini 'dibanjiri' pengusaha Malaysia dan Hong Kong. Namun celakanya, menurut kalangan asosiasi kehutanan, para pengusaha asing tadi tidak menanamkan modal mereka secara langsung. Investor tadi hanya bertindak sebagai kontraktor yang mengerjakan areal Hak Pengusahaan Hutan terutama dalam skala kecil. Bahkan, tudingan lebih tajam, mereka hanya sekadar mengumpulkan kayu bulat (log) secara ilegal. Tak heran masuknya investor asing ke hutan di berbagai daerah tadi kini jadi sorotan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia, Asosiasi Panel Kayu Indonesia, serta payung asosiasi kehutanan Masyarakat Perhutanan Indonesia. Ketua Umum APHI, Adiwarsita Adinegoro, mengatakan kiprah investor Malaysia itu bisa dibuktikan dengan masuknya ratusan buldozer milik pengusaha negeri jiran ke Kalimantan dan Irian Jaya. Meski tidak secara terang-terangan menuding 'peran serta' Malaysia, Menhut Nur Mahmudi Ismail mengakui telah mendapat laporan bahwa di Irian Jaya juga banyak masuk alat-alat berat yang tidak sesuai dengan prosedur. Namun, Nur Mahmudi tidak bisa memastikan apakah alat berat tersebut berasal dari Malaysia dan berapa jumlahnya. Lalu mengapa Indonesia harus merasa khawatir terhadap masuknya alat berat dari negeri jiran itu? "Kalau alat berat itu masuk secara ilegal ke Irian Jaya, tentu yang mereka akan kerjakan adalah hal-hal yang ilegal," tegas Nur Mahmudi. Dia pun menilai alat berat ilegal yang masuk ke Irian Jaya akan mengerjakan HPH skala kecil itu. "Pemerintah daerah harus bertanggung jawab terhadap kasus-kasus seperti itu." Senada dengan itu, Adiwarsita menilai siapa yang bisa menjamin tidak terjadi penebangan di luar areal izin HPH skala kecil mengingat jumlah buldozer yang masuk amat banyak. Menurut Ketua Umum Apkindo Abbas Adhar, tidak hanya perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) skala kecil yang memanfaatkan kontraktor dari Malaysia, tapi juga perusahaan yang mendapatkan konsesi dalam luas puluhan ribu hektare. "Perusahaan HPH itu hanya meminta fee saja dari kontraktor Malaysia," tutur Abbas yang juga mengelola HPH di Irian Jaya. Irian Jaya boleh dibilang menjadi surga bagi penebangan liar karena hutan di sana masih banyak yang potensial. Belum lagi, dari kawasan tersebut amat mudah menyelundupkan kayu ke luar negeri. Ketua Harian Tim Penanggulangan Penebangan Liar dan Peredaran Hasil Hutan Ilegal, Deddy Ruchyadi mengatakan memang tidak sedikit kasus penyelundupan yang terjadi di Irian Jaya. Abbas menambahkan dari Irian Jaya, kapal pengangkut log memang mudah lolos langsung ke Hong Kong. "Tak heran kalau sekarang banyak orang Hong Kong datang ke Indonesia mencari kayu bulat." Buktinya, menurut data International Tropical Timber Organization, Hong Kong sekarang bisa mengekspor 250.000 m3 kayu bulat. "Anda bayangkan, dari mana hutannya." Modus yang umum terjadi di Irian Jaya adalah para cukong kayu, termasuk investor Malaysia, biasanya mengumpulkan izin areal HPH skala kecil yang biasanya diberikan kepada koperasi. Berbagai cara digunakan para penebang kayu liar itu untuk melindungi kegiatan mereka.Sekarang ini, menurut Abbas, di Irian Jaya muncul istilah 'balok kaleng'. Log yag tadinya bundar dibentuk menjadi empat persegi sehingga tidak termasuk lagi kategori log. Kehadiran alat berat asal negeri jiran juga terjadi di Kalimantan, terutama kawasan perbatasan Malaysia. Bahkan boleh dibilang yang terjadi di sana lebih gawat. Deddy Ruchyadi mengatakan 'sepak terjang' alat berat asal malaysia tersebut bahkan bisa disaksikan secara langsung. "Anda boleh saksikan sendiri bagaimana mereka membabat hutan kita." Sejak lama Apa yang terjadi di perbatasan Malaysia-Indonesia memang sudah menjadi cerita lama. Pada 1998, Menhutbun ketika itu, Muslimin Nasution menegaskan Yayasan Maju Kerja (Yamaker) bertanggung jawab terhadap pencurian kayu HPH senilai Rp 134 miliar selama Juli-Oktober di sepanjang perbatasan Indonesia-Malaysia. Kayu tersebut kemudian diselundupkan ke Malaysia mencapai 100.000 m3. Pencurian kayu di lokasi HPH itu dapat diketahui dengan adanya sekitar 300 alat berat-100 di antaranya traktor. Sebenarnya pemerintah sudah melakukan berbagai upaya penanggulangan praktek pencurian kayu di sana. Bahkan Sekjen Dephut Suripto harus melakukan operasi khusus untuk mengusut kasus tersebut. Hasil operasi itu, agaknya, tidak terlalu memuaskan. Praktek penebangan liar di kawasan tersebut terus saja berlangsung. Praktek penebangan ilegal, menurut Adiwarsita, menyebabkan para pengusaha HPH tidak bisa lagi bersaing karena harga jual kayu bulat yang dihasilkan dari penebangan liar lebih murah dari produksi pengusaha resmi. Harga kayu dari penebangan yang tidak jelas asal usulnya itu, katanya, hanya Rp 350.000 per m3. Sedangkan pengusaha hutan, lanjutnya, harus menjual Rp 500.000 per m3 karena harus membayar berbagai pungutan seperti dana reboisasi dan provisi sumber daya hutan. Deddy bahkan menilai sebagian dari industri perkayuan nasional juga menyerap kayu ilegal itu. "Buktinya harga kayu terus merosot," paparnya. Kekhawatiran para pengusaha tersebut, sebenarya juga sudah disuarakan oleh Menhut Nur Mahmudi. Bahkan dia telah mengirimkan surat edaran kepada bupati dan gubernur agar tidak menerbikan HPH skala kecil, sebelum terbitnya SK Menhut yang mengatur kewenangan pemerintah daerah menerbitkan izin HPH. Masuknya para pengusaha asal Malaysia agaknya juga dipicu oleh kebijakan pembukaan keran ekspor kayu bulat oleh pemerintah atas desakan Dana Moneter Indonesia (IMF). Abbas Adhar, mengatakan produsen pesaing seperti Malaysia dan Cina, saat ini menunjukkan peningkatan ekspor kayu lapis (plywood) dengan harga yang lebih murah karena mendapatkan kayu bulat murah dari Indonesia. Repotnya mereka mendapatkan sebagian bahan bakunya dari ekspor log ilegal Indonesia melalui penyelundupan. Makanya kami mengharapkan pemerintah mencabut ketentuan yang membolehkan ekspor log tersebut." Rumusan Lokakarya Perumusan Kebijakan Kehutanan Propinsi Irian JayaSumber: http://mofrinet.cbn.net.id/informasi/humas/rumusanIrja.html Jayapura, 17 Ð 18 Pebruari 2001 I. Memperhatikan :*Sambutan Menteri Kehutanan*Sambutan Gubernur Propinsi Irian Jaya *Presentasi dari : Masyarakat adat, Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Bappeda Propinsi Irian Jaya, Unsur Departemen Kehutanan Pusat dan Daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Universitas Papua dan Universitas Hasanuddin, Koperasi Masyarakat Adat (Kopermas) Papua *Hasil sidang pleno dan diskusi kelompok II. Hasil rangkuman diskusi kelompok:a. Kelompok Masyarakat Adat :
b. Swasta (HPH dan Kopermas)Telah terjadi perubahan-perubahan yang berkembang di masyarakat dimana terjadi kesalah pahaman pemikiran antara masyarakat adat atas hutan yang telah diusahakan oleh HPH yang memiliki perijinan panjang dan mahal dalam sistem sentralistis yang berlaku. Sehubungan dengan itu maka perlu penyatuan persepsi kepentingan masyarakat adat dan pemegang HPH. Mengingat permasalahan tersebut sudah pada tahap yang cukup serius maka perlu segera dicarikan jalan keluar yang melibatkan Pemerintah Daerah, Pemuka masyarakat adat, pihak pemegang HPH dan instansi teknis terkait.Ada harapan-harapan mayarakat umum terhadap HPH yang untuk medayagunakan tenaga kerja local, kantor HPH berkedudukan Jayapura, transaksi dilakukan di Irian Jaya, sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan pembangunan Irian Jaya. Pengusahaan hutan dilaksanakan dengan tetap memelihara seluruh fungsi hutan dengan memperhatikan aspek ekonomi, sosial budaya masyarakat setempat, dan lingkungan. Segala peraturan yang sudah tidak relevan perlu ditinjau kembali dan dirumuskan dengan melibatkan seluruh masyarakat adat dan pihak-pihak terkait Perlu dikembangkan industri-industri kehutanan seperti saw mill, plywood dan industri lainnya dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat lokal dan masyarakat adat terlibat didalamnya. Inventarisasi Data dan informasi tentang masyarakat adat dan hak ulayat di Irian Jaya berupa peta sebaran masyarakat adat dan hak ulayat perlu segera dibuat untuk menunjang management pengelolaan hutan baik olah HPH maupun instansi kehutanan serta instansi terkait lainnya. Perlu segera dilakukan regulasi peraturan perundangan dibidang kehutanan, perijinan kehutanan yang selama ini terpusat di Jakarta disinyalir sebagai penyebab terjadinya pelanggaran-pelanggaran seperti illegal logging, dan over cutting. HPH yang sudah memperoleh ijin HPH dari pemerintah harus segera berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan mensosialisasikan HPH nya kepada instansi terkait dan masyarakat. Visi sosial budaya masyarakat Irian Jaya harus dimiliki oleh masyarakat pendatang yang akan bekerja di Irian Jaya sehingga akan terjadi sinergi yang akan menjadi kekuatan dalam pembangunan umumnya dan pembangunan sektor kehutanan khususya dan akan meminimalkan terjadinya konflik baik horisontal maupun vertical dengan masyarakat lokal. c. Kelompok PemerintahVisi :Terwujudnya kesejahteraan masyarakat yang semakin meningkat di tahun 2005 melalui pengelolaan hutan yang optimal dan lestari untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah (atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa).Misi :
III. Rekomendasi
IV. PENUTUPDemikian rumusan ini dibuat untuk dapat ditindaklanjuti oleh semua pihak terkait.Jayapura, 18 Pebruari 2001
------------------------------------------------------------------------ 26 Jenis Anggrek Punah
Sumber: Republika JAYAPURA Sebetulnya ada 43 jenis anggrek yang tumbuh di Taman Wisata Teluk Yotefa, Kotamadya Jayapura, Irian Jaya. Namun 26 jenis di antaranya yang bernilai ekonomis tinggi punah. Sementara sisanya terancam punah akibat buruan pihak tidak bertanggung jawab dan aktivitas perambah hutan penduduk setempat. Menurut kolektor anggrek alam Irja, Agustinus Waromi, punahnya anggrek terlangka dan bernilai ekonomis tinggi ini diketahui ketika diadakan penelitian ke taman nasional tersebut. Padahal anggrek tersebut sejak 1970 sampai 1990-an masih tumbuh subur di tebing gua dan kayu. Namun setelah diteliti tidak ditemukan lagi dan kini hanya tinggal 17 jenis yang kurang bernilai ekonomis. Sementara penduduk Tobati, suku setempat, mereka tak berdaya menghadapi para penjarah anggrek. Waromi menambahkan selain kepunahan anggrek ini terdapat pula enam jenis hutan bakau (mangrove) dan beberapa tumbuhan langka yang punah. Diduga ini akibat pembangunan jalan tembus Entrop menuju Holtekang yang terletak di perbatasan RI dan Papua Nugini (PNG). Sialnya hingga saat ini jembatan internasional tersebut belum dibangun. Ant Otonomi di Irja Patut Perhatikan Flora dan FaunaSumber: KompasSenin, 12 Maret 2001 Jayapura Flora dan fauna di Irian Jaya (Irja) bersifat endemik dan menyebar luas di daerah itu. Masih banyak binatang dan tumbuhan endemik yang belum ditemukan. Oleh karena itu, program pembangunan Irja dalam rangka otonomi daerah, sepatutnya memperhatikan peta ekoregion di sana, jangan sampai merusak habitat flora dan fauna secara brutal. Kepala Bidang Informasi dan dokumentasi Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa (YPMD) Tommy Wakum di Jayapura, akhir pekan lalu (8/3), mengatakan, Irja masih menyimpan sejumlah besar tumbuh-tumbuhan dan hewan endemik, yakni bintang dan tumbuhan yang hanya dapat ditemukan di salah satu lokasi di Irja dan tidak ditemukan di daerah lain. "Jumlah flora dan fauna endemik yang tercatat di Irja, sekarang baru mencapai masing-masing sekitar 50-100 jenis. Ini jauh dari yang diperkirakan-setidaknya ratusan. Penelitian, survei, dan penyelidikan masih sangat sedikit. Kita kekurangan tenaga peneliti ahli di bidang tumbuh-tumbuhan dan binatang yang memiliki semangat," tambahnya. Nilai ekonomis Flora dan fauna endemik Irja, menurut Wakum, memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Oleh karena itu, habitatnya perlu disurvei dan dilindungi, sehingga tidak punah. Misalnya, ular sanca bulan atau Moereli boelini yang harganya sampai Rp 6 juta per ekor. Ular tersebut hanya ditemukan di Wamena dan tidak ada di daerah atau negara lain. Kalau keanekaragaman hayati Irja ini bisa dilindungi, dipelihara, dan dikembangbiakkan, kata Wakum lagi, dengan sendirinya Irja dapat meningkatkan ekspornya di bidang ini. Perlindungan dan pengembangan flora dan fauna endemik, lanjutnya, jauh lebih menguntungkan daripada membabat hutan. Ditambahkan Wakum, sejak tahun 1997 lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Irja seperti Conservation International dan World Wild Fund for Nature (WWF) telah membuat peta ekoregion di Irja untuk diserahkan kepada Pemda Irja. Tujuannya agar pemda dalam mengambil kebijakan di bidang pembangunan daerah memperhatikan keanekaragaman hayati beserta habitatnya. Namun, tampaknya pemda belum menindaklanjuti hasil pemetaan ekoregion wilayah Irja tersebut. Beberapa kebijakan, seperti penempatan warga transmigrasi dan pengelolaan hutan, kata Wakum, tidak memperhatikan pemetaan yang telah dilakukan LSM di daerah itu. Secara terpisah, Direktur WWF Irja Agust Rumansara mengatakan, WWF telah memberi sejumlah masukan kepada para pengambil kebijakan di Irja agar memperhatikan keanekaragaman hayati yang ada di daerah ini. Diharapkan, pengusaha hutan yang masuk Irja juga mau menaati kebijakan yang bersifat melestarikan flora dan fauna. (kor) Jalan Diblokir, Pemegang HPH di Irja CemasSumber: KompasSabtu, 3 Februari 2001 Jayapura Jalan utama yang selama ini dilalui empat perusahaan di Desa Benyom Kecamatan Nimborang Kabupaten Jayapura sejak dua bulan terakhir diblokir sejumlah orang dari berbagai suku yang mengaku sebagai pemegang hak ulayat atas hutan yang dikuasai pemegang HPH (Hak Pengusahaan Hutan). Para pengusaha hutan di daerah itu pun cemas karena mereka tidak bisa melakukan aktivitas sama sekali. Masyarakat menuntut ganti rugi hak ulayat sebesar Rp 56 milyar. Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia Cabang Irja Bosco Fernandes di Jayapura, Kamis (1/2) mengatakan, tuntutan hak ulayat di wilayah Benyom semakin meresahkan pemegang HPH di daerah itu. Ada empat pemegang HPH di wilayah Benyom. Masyarakat memblokir jalan logging sepanjang 200 km yang dibangun para pengusaha tersebut. Sejumlah kayu yang telanjur ditebang menjadi rusak. "Jalan itu dibangun oleh pengusaha hutan, kemudian pemerintah melalui surat keputusan menteri dalam negeri menetapkan sebagai jalan provinsi dan dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar. Selain itu jalan tersebut juga dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan bisnis di daerah itu termasuk para pedagang dan pemegang HPH," kata Fernandes. Tuntutan hak ulayat tersebut datang dari 14 suku yang mengaku memiliki hak ulayat di sepanjang jalan yang panjangnya 200 km itu. Masing-masing suku menuntut ganti rugi sebesar Rp 4 milyar. Jika pengusaha bersangkutan membayar hanya kepada satu suku, suku lain pun akan menuntut hak yang sama. Sementara itu, kemampuan pengusaha sangat terbatas. Mereka juga telah memenuhi sejumlah ketentuan dari pusat seperti pajak hasil hutan, dana reboisasi, pajak bumi dan bangunan serta retribusi lainnya. Dana-dana itu disedot ke pusat sehingga masyarakat di sekitar lokasi tidak mendapat bagian sama sekali. Ketika reformasi digulirkan, masyarakat mulai melakukan aksi pemblokiran jalan di mana-mana. Akibat pemblokiran ditambah aspirasi kemerdekaan Irja, beberapa pemegang HPH di daerah kabupaten lain telah mengundurkan diri. (kor) Irian Jaya intends to develop "mega-projects" Source: BBC Summary of World Broadcasts, March 28, 2001Jakarta-based daily Kompas carried two interesting items in its 24 March edition stemming from a two-day ministerial visit to Irian Jaya by Energy and Resource Minister Purnomo Yusgiantoro, Housing and Regional Infrastructure Minister Erna Witoelar, Trade and Industry Minister Luhut Binsar Pandjaitan and State Minister for Development in Eastern Indonesia Manuel Kaisiepo. At a 23 March meeting in Jayapura attended by the four ministers, various Jakarta officials and Irian Jaya figures, Governor JP Salossa stated the province's intention to develop several "mega-projects" worth trillions of rupiah in the long term aimed at getting the province's economy going. The projects listed were a cement factory in Jayawijaya, hydro-electric plant in Mamberamo, trans-Irian highway and the Tangguh natural gas field in Berau Bay. Mamberamo hydro-electric plant: According to the report, the projects to be started very soon include a giant hydro-electricity project at Mamberamo whose three units have the potential to generate 10,000 megawatts of power. The project is worth 6bn US dollars and will be funded by World Bank and ADB loans, said Irian Jaya Governor JP Salossa. Dance Y Flassy, the head of the Development of Irian Jayan Autonomy, said that the first stage of the Mamberamo project would be realized after the implementation of special autonomy, and the project would be jointly managed by foreign investors through the central government, and the Irian Jaya provincial administration. He claimed that investors from the US, Australia, Japan, Germany and the Netherlands had expressed interest in developing a wide range of related industries. However, Energy and Resource Minister Luhut Pandjaitan said that the project required careful study and clarification to foreign investors on issues like who was selling the projects and under what conditions. Jayapura district head Yan Karafir warned that local landowners and the Jayapura district administration would have to be involved before investors could enter Mamberamo. "Jakarta should not be allowed to speak to the foreign investors in Jakarta without the Jayapura district head and the people knowing about it. If that kind of negotiation-style is used, the investors will suffer difficulties in the area," he said. Governor Salossa announced that a second mega-project soon to be commenced in Irian Jaya was the Tangguh natural gas field in Berau Bay. The gas field is to be operated by British giant British Petroleum (BP) and national fuel company Pertamina, and has estimated reserves of over 18 trillion cubic feet of gas plus another five trillion cubic feet of gas have been identified. About 2bn US dollars will initially be spent on the project which has the potential to generate foreign currency earnings of 22bn US dollars. Salossa said that two trains with the capacity to carry 6-7m metric tons of gas per year would be developed in the first stage of the project, requiring gas supplies of 1.2 to 1.4m cubic feet per day. "Construction will start in mid 2001-2002. Both trains will start full operation by the beginning of 2005," Salossa said. BP Senior Vice-President in Indonesia John O'Reilly said that the natural gas from the Tangguh field would probably be destined for China, but the main challenge facing the company was ensuring reliable supplies.
--------------------------------------------- Freeport tailings to be made cement raw materialSource: Miningindo.com, March 30, 2001 The Governments of Indonesia and Australia have agreed to cooperate in order to accelerate the economic improvement of Irian Jaya, among others by building a cement factory that uses tailing waste from PT Freeport Indonesia. The deal, which encompasses various development programs, is expected to be realized soon. In the joint venture, which has already been signed by the two countries, it has been agreed that a cement factory is to be built which utilizes tailing waste from PT Freeport Indonesia. "Construction of this cement factory is to utilize waste from Freeport," said Luhut B. Panjaitan in Jakarta, Minister of Industry and Trade, as quoted by Satunet.com (3/30). Based on studies conducted in the Institute of Technology of Bandung (ITB), the cement product will be cheaper that the ordinary cement, said Luhut. Cement from the tailing, said Luhut, will be used for infrastructure development in Papua, such as roads, bridges, and ports. "The joint venture involves the local government of the Northern Territory of Australia with the local administration of Timika. The central government only facilitates," he explained. The amount of investment to be spent for development of the factory and the cement industry has not been determined definitively, Luhut admitted. "A survey will be conducted two weeks from now. From the survey result will be known the investment value," said Luhut. --------------------------------------------- 9. Irianese rebels attack logging base campSource: Jakarta Post, April 02, 2001 JAKARTA Police and Irian Jaya's rebels were involved in a shootout Saturday when the rebels attacked a base camp of PT Dharma Mukti Persada logging company in Wonggema village, Wasior district, Manokwari regency. No casualties were reported in the clash, Antara reported. Members of the Police Mobile Brigade (Brimob) guarding the camp fired back at the attackers, who fled to the jungle, chief of Manokwari Police precinct Adj. Snr. Comr. Bambang Budi Santoso, said Sunday. He said the police had deployed 12 additional Brimob troopers to the site to reinforce the security guards there. More troopers would be flown in there Monday, said Bambang. No information was available on the motive of the attack. Sources meanwhile speculated that it might have been related to a dispute on land compensation between the company and local villagers. Last August the company paid Rp 143 million in landcompensation to three tribal chiefs representing the Mere, Toroar and Maerasi tribes in the regency. Earlier the people demanded Rp 9 billion in compensation, but after negotiations both sides agreed to settle for Rp 143 million. The amount was further reduced by Rp 13 million as payment for a debt the people owed the company, sources said as quoted by Antara. --------------------------------------------- Indonesia to build hydropower plant in Irian JayaSource: Asia Pulse, April 02, 2001 JAYAPURA Irian Jaya will build a 5,600 megawatt hydropower plant to support economic development in the country's easternmost province, an official said. Investors from Japan, Australia, and Germany have shown interest in the multibillion dollar hydropower project at the Mamberamo river, according to LM Sianipar, an official of the Technology Study and Application Center [BPPT], which is in charge of the project development. Sianipar said the project was planned by former Research Minister and head of BPPT BJ Habibie. He said around US$5 million had been spent for the feasibility study on the project. Sianipar said that the unfavorable political situation has delayed implementation of the project, which is expected to help speed up development of the province. Irian seeks bigger portion of own wealth with autonomySource: Jakarta Post, April 16, 2001 JAKARTA Indonesia's resource-rich Irian Jaya is pressing the central government for a bigger slice of its own wealth, provincial governor Jacob Soloussa said on Monday. When presenting its version of special autonomy bill to President Abdurrahman Wahid, Soloussa proposed that the Irian administration get 80 percent of revenues generated in the province and the central government get 20 percent. If approved, the Irian administration would get between Rp 16 trillion and Rp 20 trillion per annum from revenues generated in the province, compared to around Rp 2.8 trillion now. Under the draft bill, the Irian administration also demanded that it was given the authority to collect and manage the revenues in the province and then allocate 20 percent of them for the central government. The central government is giving the country's 32 provinces more say over their own political and economic affairs, especially Irian Jaya -- also known as West Papua -- and Aceh, where separatist rebellions are being waged. With their fabulous mineral and natural resources wealth, Irian Jaya and Aceh are also two of the richest provinces and there is widespread resentment at what is seen as the central government siphoning off their riches and giving nothing back. Accompanied by 10 Irianese councillors and local figures, Soloussa explained that the proposed special autonomy bill was a result of a meeting on March 28 and 29 in the provincial capital of Jayapura that was attended byrepresentatives of different groups, including proindependence activists. The meeting, that was marred by violent proindependence demonstrations, issued a number of recommendations to both the central and local dministrations. The recommendations included the release of political prisoners in Irian Jaya, the revision of the history of Irian Jaya's integration into Indonesia and the establishment of an independent human rights commission to investigate human rights abuses in the province. 24. Data Potensi Hutan di Irja Tidak AkuratSumber: KompasSabtu, 2 Juni 2001 Jayapura Data mengenai potensi hutan di Irian Jaya (Irja) tidak akurat. Data tersebut adalah data tahun 1982, sehingga tidak cocok lagi digunakan sebagai patokan dalam menentukan kebijakan pengelolaan hutan pada masa otonomi daerah. Dalam waktu dekat kondisi hutan di Irja akan ditata ulang, termasuk luas areal yang dikelola pengusaha. Dengan demikian, setiap daerah kabupaten tahu secara tepat berapa potensi hutan di daerahnya. Demikian dikatakan Kepala Dinas Kehutanan Irja Ir Rajaar, di Jayapura, Jumat (1/6). Data potensi hutan yang digunakan di daerah itu sampai hari ini dikumpulkan tahun 1982, sehingga sudah tidak cocok lagi dijadikan tolok ukur dalam mengambil kebijakan mengenai pengelolaan hutan, pengukuran potensi hutan, pemetaan hutan lindung, hutan produksi, kawasan suaka alam, hutan konversi, kawasan perairan, dan hutan hak ulayat. "Semua data masih tumpang-tindih. Ada kawasan hutan yang sudah rusak oleh kegiatan pemegang hak pengusahaan hutan, tetapi masih didata sebagai kawasan potensial. Ada kawasan hutan yang tadinya menjadi hutan produksi, kini berubah menjadi kawasan perkebunan dan seterusnya," kata Rajaar. Menurut data tahun 1982 itu, luas kawasan hutan di Irja 42.224.840 hektar (ha), terdiri dari kawasan suaka alam dan pelestarian alam 8.025.820 ha, hutan lindung 10.619.090 ha, hutan produksi terbatas 2.054.110 ha, hutan produksi 10.585.210 ha, hutan produksi yang dapat dikonversi 9.262.130 ha, dan kawasan perairan 1.678.480 ha. Tingkat kerusakanMengenai tingkat kerusakan hutan di Irja, sekarang ini diperkirakan mencapai sekitar 30 persen. Angka ini pun hanya perkiraan, karena tidak ada pelaporan dari setiap pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) di Irja. Mereka secara diam-diam melakukan penebangan di daerah-daerah terpencil tanpa kontrol oleh pihak berwajib. Menurut pemantauan dari udara, Irja masih memiliki potensi hutan yang cukup besar dibanding provinsi lain. Meski demikian, itu tidak berarti bahwa semua hutan yang tampak lebat tersebut memiliki potensi kayu bagi peningkatkan sumber daya ekonomi daerah. Selain itu, tidak semua kayu bernilai ekonomis, kecuali kayu merbau, kayu jati, dan beberapa jenis kayu lainnya. Pada umumnya kayu merbau tersebar di bagian utara Irja. Penataan ulang juga menyangkut izin usaha dari pengusaha hutan. Dari 50 pengusaha hutan di Irja, beberapa di antaranya memiliki rencana kerja tahunan sampai 35 tahun, tetapi sampai saat ini mereka belum memulai kegiatan meski izin usaha sudah diberikan dua atau tiga tahun lalu. Tercatat 16 pengusaha hutan yang sudah tidak aktif, karena itu hak-hak mereka akan diambil alih. Penataan ulang hutan di Irja tahun ini melibatkan beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) di bidang lingkungan. Mereka diharapkan mampu memberi masukan mengenai hutan mana yang boleh dipetakan sebagai hutan produksi, hutan konversi, hutan lindung, hutan suaka alam, dan potensi keanekaragaman hayati. (kor)------------------------------------------------------------------------ |