From: "john rumbiak" <jrumbiak@hotmail.com>
Date: Fri, 27 Oct 2000 10:19:57 GMT

TESTIMONY 17 TAHANAN TRAGEDI WAMENA: "Kami Dianiaya dan Disiksa Aparat Keamanan"
(Wamena, 27 Oktober, 2000)

Pengantar
Seperti diketahui bahwa sehubungan dengan  Tragedi Wamena 6 Oktober  EL-S-HAM Papua Barat, LBH Jayapura dan Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura  telah membentuk suatu tim untuk menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia (ham) yang terjadi dan melakukan pendampingan hukum terhadap para tersangka/ tahanan yang dituduh terlibat dalam insiden tersebut. Tim tersebut telah mulai bekerja sejak   20 Oktober sampai sekarang (saat laporan ini dibuat). Untuk kepentingan campaign yang kontinyu, khususnya mengenai para tahanan sebagaimana selama ini dilakukan, ELS-HAM telah menyelidiki secara spesifik tentang situasi para tahanan dan menurunkan laporan di bawah ini.

Testimoni
Para tersangka dari daftar tahanan nomor 1 sampai dengan 7 ditangkap tangga 6 Oktober (insiden Wamena berdarah), sekitar pukul 7.30 WPB di lokasi Posko Satgas yang bermarkas di Pikhe. Ketika sejumlah pasukan gabungan yang terdiri dari satuan Brimob, Polisi, TNI AD dan Kostrad yang dipimpin Kapolres Jayawijaya Letkol. Pol Daniel Suripatty yang mendatangi Posko tersebut untuk menurunkan Bendera Bintang Kejora secara paksa tanpa perlawanan, kemudian pasukan Suripatty membunyikan mesin sensor untuk memotong putus tiang bendera, sementar anak buahnya terus melancarkan pukulan terhadap para Satgas Papua dengan menggunakan tangan kosong,tongkat rotan, pentungan, popor senjata serta menendang dengan sepatu boots  yang menyebabkan Frans Huby (36) mandi darah akibat kepalanya pecah. Begitupun Satgas Papua lainnya  mandi darah akibat benturan benda keras pada wajah yang dilepas aparat keamanan,  mereka juga mengalami siksaan fisik di sekejur tubuh mereka. Akibat siksaan yang berlebihan itu menyebabkan Yules Wenda (20), Atinus Wenda  (36) dan Les Wenda (26) masing-masing mengalami gangguan pendengaran sehinga saat ini mereka tidak dapat mendengar lagi
dengan baik, kecuali suara teriakan.

Setelah mereka mengalami siksaan yang hebat di lokasi pengibaran bendera, mereka selanjuntnya diangkut dengan Truck menuju Kantor Polres Jayawijaya.
 
Tiba di markas Polres, kembali aparat melancarkan pukulan dan tendangan kepada parat Satgas, dan selanjutnya ditampung bersama tersangka lainnya di dalam Aula Polres (bekas gudang) selanjuntnya mereka diperintahkan buka semua pakaian, kecuali celana dalam, kemudian mereka disuruh duduk di lantai. Selama dua hari dari tanggal 6 s/d 7, mereka dalam kondisi demikian para tersangka tersebut mengalami siksaan fisik berupa pukulan dengan rotan, kayau bahkan mereka ditendang oleh setiap anggota Polisi/Brimob yang masuk ke ruang aula tersebut. Dalam keadaan telanjang (hanya mengenakan celana dalam saja) selama dua hari mereka tidur  di lantai (semen) tanpa alas tikar, apalagi selimut. Mengenai makanan  diberikan oleh polisi 1 (satu) bungkus untuk dimakan oleh 10 s/d 20 orang tersangka dengan tersangka lainnya dan 1 (satu) bungkus nasi campur tahu yang disuap oleh polisi agar sedapat mungkin dimakan oleh 10 s/d 20 orang. Adapun perlakuan polisi lainnya adalah mereka (Polisi) memberikan gula-gula (Permen) yang kemudian mereka menyuruh tersangka yang duduk di lantai paling depan yang kemudian diberikan tersangka yang berada disebelahnya melalui mulut (tidak dipegang dengan tangan), begitupula dengan tersangka yang satu dengan tersangka yang lain berturut-turut sesuai dengan posisi duduk mereka sampai semuanya menghisap gula-gula tersebut. (Semua tersangka pada saat itu berjumlah sekitar 59 orang/perkiraan mereka). Mereka juga diberikan biscuit harga Rp.500,- dikeluarkan satu buah oleh polisi yang kemudian diberikan kepada tersangka yang duduk paling depan dan kemudian harus dimakan oleh 59 orang tersangka tersebut, dan kalau satu buah biscuit tersebut tidak cukup untuk 59 orang tersebut maka mereka akan mengalami resiko berupa siksaan pukulan dan tendangan, akhirnya ada tersangka yang hanya menaruh biscuit tersebut dimulutnya saja tanpa menyicipinya.

Pada tanggal 9 Oktober 2000 mereka (tersangka) dibawa ke ruang reserse untuk diperiksa oleh penyidik dan tanpa didampingi oleh Penasehat Hukum, sekalipun hal tersebut telah dimintai oleh tersangka ketika ditanyai oleh penyidik, mereka diperiksa mulai jam 8.00 malam sampai jam 5.00 pagi. Dalam pemeriksaanpun siksaan dan intimidasi tetap berlangsung. Pada hari itu juga para tersangka diberikan surat Perintah Penahanan. (surat perintah penahanan terlampir). Mereka ditahan di Polres  (Aula) sejak tanggal 6 s/d 11 Oktober 2000 kemudian mereka dititipkan di tahanan Lapas/LP sejak tanggal 12 s/d saat ini, terhadap mereka tidak ada surat penangkapan.

Para tersangka dituduh telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban kekuasaan umum (melawan petugas) dan membawa senjata tajam tanpa dilengkapi surat ijin, sebagaimana dimaksud dalam pasal 214 KUHP Jo ps 2 ayat (1) UU Darurat Nomor 12 tahun 1951.

Para tersangka yang ada didaftar tahanan  nomor 8 s/d 16 ditangkap pada tanggal 6 Oktober 2000 sekitar pukul 7.50 Wit bertempat di posko satgas Honay resort Pikhe. Ketika sejumlah pasukan gabungan Brimob, Polisi, dan TNI/Kostrad  yang dikomandani oleh Kapolres Jayawijaya Letkol Pol Daniel Suripatty mendatangi posko tersebut untuk menurunkan bendera Bintang Kejora yang dikibarkan. Kapolres memerintahkan para tersangka untuk menurunkan bendera Bintang Kejora yang dikibarkan dan kemudian anak buahnya menembak ke atas sebanyak 3 kali dan  tanpa perlawanan dari para tersangka . Salah satu tersangka Teri Wenda menuju ke tiang bendera dan hendak melepaskan tali di tiang bendera tersebut, namun salah seorang dari pasukan Suripatty memukulnya dengan popor senjata yang menyebabkan kepalanya pecah dan  wajahnya berlumuran darah. Sementara itu pasukan Suripatty yang lainnya membunyikan sensor dan bergerak menyensor tiang bendera, sedangkan anak buah Suripatty yang lainnya memukul para tersangka dengan menggunakan tangan, rotan, Hampestok dan popor senjata serta menendang dengan sepatu.

Tersangka dalam daftar tahanan nomor 17 ditangkap pada tanggal 9 Oktober 2000, pada sore hari jam 3.00 Wit sewaktu mengendarai sepeda motor dinas di jalan Irian Wamena sewaktu hendak mencari minyak tanah. Kemudian dia dicegat dan diperintahkan oleh polisi untuk berhenti dan selanjutnya disuruh naik ke atas truk untuk dibawa ke kantor Polres Jayawijaya, sedangkan motor dinasnya disita oleh polisi hingga kini. Dia diperiksa sebagai tersangka dalam kasus tindak pidana kejahatan yang mendatangkan bahaya bagi keamanan umum manusia atau barang dan kejahatan terhadap ketertiban umum sebagaimana dimaksud dalam pasal 192 sub 1e KUHP dan pasal 160 KUHP yang terjadi pada tanggal 6 Oktober 2000 di jalan Bhayangkara dan jalan sudirman. Pada saat itu juga dia ditangkap dan dipukul oleh anggota Brimob, setelah itu dia diperiksa oleh penyidik tanpa ditunjukkan surat perintah penangkapan.  Para tersangka dituduh telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban kekuasaan umum (melawan petugas) dan membawa senjata tajam tanpa dilengkapi surat ijin, sebagaimana dimaksud dalam pasal 214 KUHP Jo ps 2 ayat (1) UU Darurat Nomor 12 tahun 1951.

Diberitahukan oleh penyidik tentang hak tersangka untuk didampingi penasehat hukum dengan embel-embel harus disiapkan sejumlah uang untuk membayarnya jika penasehaht hukumnya ditunjuk oleh Polisi . Karena tersangka tidak sanggup untuk membayar pengacara maka dia katakan tidak perlu untuk didampingi PH dan sanggup menghadapi sendiri di sidang manapun. Sepanjang pemeriksaan dia selalu mendapat pukulan, baik oleh penyidik maupun siapa saja (polisi) yang masuk dalam ruang pemeriksaan tersangka, sehingga menyebabkan tersangka pingsan 3 (tiga) kali. Tersangka diperiksa sebanyak 8 kali (dari tanggal 9 s/d 16). Setiap tidak ada pemeriksaan parea brimob yang datang di sel selalu mengeluarkan dan memukul tersangka dan juga selalu mengeluarkan umpatan berupa pegawai negeri, sudah makan gaji pemerintah, kenapa pimpin massa=94 disertai pukulan dan tendangan.

Setelah di dalam sel baru diserahkan surat perintah penangkapan sekaligus dengan surat perintah penahanan (SP Penahanan No.Pol : SP.KAP / 50 / X / 2000 Serse dan SP Penahanan No.Pol : SP.TAH / 51 / X / 2000 Serse).

Catatan:
#61558; Sewaktu para tersangka tersebut ditahan di Polres (aula) kapasitas aula tersebut tidak dapat memuat mereka untuk untuk dapat tidur terlentang, sehingga mereka tidur sambil duduk.

#61558; Sewaktu ditahan di Lapas / LP 3 kali berturut-turut, yaitu pada hari rabi, kamis dan jumat, keluarga mereka yang hendak mengantar makanan sekaligus menjenguk mereka tidak diijinkan masuk dalam LP dan disuruh pulang.Setelah saya komplain hal tersebut dengan pihak lapas, mereka katakan bahwa hal itu dilakukan karena mereka (keluarga para tersangka) tidak mempunyai ijin dari polisi, sedangkan para tahanan tersebut merupakan tahanan titipan polisi, sehingga untuk menjenguk harus ada ijin dari polisi. @

LEMBAGA STUDI  DAN ADVOKASI HAK ASASI MANUSIA (ELS-HAM)
Institute for Human Rights Study and Advocacy (Ihrstad)
Jln. Kampus ISTP =96 Padang Bulan, Jayapura =96 PAPUA BARAT
Telp/Facs: 62-967-581600/582520; email:
elsham_irja@jayapura.wasantara.net.id