Kekerasan Militer Indonesia di Papua, Pegunungan Tengah Berakhibat Wunin Berdarah

 

Setelah Kasus Puncak Jaya Berdarah Baru saja selesai, Kembali Militer Indonesia Melakukan Profokasi di Kabupaten Pemekaran Tolikara, Akibatnya Dristrik Wunin Hancur, harta Benda Masyarakat Tak Berdosa jadi Sasaran Enpuk Militer Indonesia. Kemudian dikenang Oleh masyarakat Koteka Sebagai; Wunin Berdarah. Dimana Lagi Akan Terjadi Pertumpahan Darah ?

 

Dilaporankan Oleh

 

Erimbo Y Anggumuli

Crue DeMMaK Indonesia

 

Hidup sejahtera di negeri sendiri adalah dambaan setiap orang, apalagi mereka yang berada dalam kondisi kekurangan. Sebagian anggota masyarakat yang kesulitan memperoleh pekerjaan, tingkat upah atau gaji yang rendah, hidup di bawah garis kemiskinan, atau malah terlunta-lunta di pengungsian akibat penciptaan kondisi yang tidak kondusif dan akibat kekerasan bersenjata dan pengusiran, sudah pasti mendambakan kehidupan hari esok yang lebih baik.

 

Harap diatas tidak pernah diberoleh, bagi masyarakat koteka. Karena kapan dan dimana saja profokasi yang dilakukan baik oleh TNI  maupun kakitangan mereka untuk mengadu masyarakat koteka terus terjadi setiap saat.  Kembali Militer Indonesia mengunakan strategi dalam dua bentuk, bentuk pertama adalah, melakukan profokasi lewat kursi empuk wilayah pemekaran baru, dan kedua tetap dengan strategi lama, yaitu melakukan kekerasan dengan isu separatis Papua Merdeka dalam hal ini, untuk menarik simpati masyarakat Indonesia dan dunia, militer mengunakan istilah menghancurkan markas-markas TPN/OPM. OPM juga digunakan sebagai stigma terhadap masyarakat, seperti kasus di Indonesia misalnya Partai Komunis Indonesia (PKI) dijadikan stigma terhadap masyarakat Jawa yang memang terlibat langsung maupun yang tidak. Masyarakat Papua dibayang-bayangi dengan stigma ini setiap kali mereka berkonflik dengan kelompok yang disokong oleh atau menjadi bagian dari kaki tangan aparat militer dan juga kakitangan Jakarta, baik itu dengan perusahaan, dengan pemerintah daerah, maupun dengan pihak militer sendiri. Stigma ini berfungsi untuk merepresi sekaligus teror untuk membunuh keinginan melakukan kritik maupun resistansi yang tumbuh di kalangan masyarakat. Namun pada saat yang sama militer sebenarnya juga mengajarkan pada masyarakat bahwa OPM adalah musuh militer dan oleh karena itu dapat menjadi alternatif simbol perlawanan dan harapan bagi rakyat Papua. Atas nama OPM pula militer melakukan represi fisik. Setiap kali ada aksi penyanderaan oleh kelompok OPM, setiap kali itu pula dilakukan operasi militer besar-besaran di wilayah yang dianggap sebagai wilayah OPM. Harga yang harus dibayar dengan pola semacam ini adalah berbagai macam pelanggaran HAM dari yang paling ringan hingga yang paling biadab terhadap masyarakat sipil. Militer, bagi kebanyakan rakyat Papua, telah menjadi simbol representasi Indonesia sebagai rejim pembunuh rakyat. Oleh sebab itu ketika gerakan Pro-Demokrasi mulai tumbuh dan melakukan kampanye HAM sejak 1994 hingga 1998 di Papua, rakyat Papua memberikan dukungan “moral” yang sangat besar. Isu HAM menjadi instrumen yang efektif dalam memberikan tekanan politik dan delegitimasi terhadap keberadaan militer.

 

 

Di Papua sediri ada empat bentuk/sistem kekerasan militer yang sering dialami secara langsung oleh masyarakat Papua Barat. Pertama, operasi intelijen yang bertugas memata-matai masyarakat Papua dalam setiap aktifitas; Kedua, operasi teritorial yang berfungsi menyuplai pasukan dan mengontrol masyarakat Papua; Ketiga, operasi penyerbuan terhadap kelompok-kelompok yang dianggap sebagai bagian dari OPM atau pendukung OPM dan juga terhadap OPM sendiri, yang berdampak pada pembantaian masyarakat sipil yang tidak tahu menahu. Keempat, operasi pemulihan keamanan dan melibatkan masyarakat Papua. Operasi ini biasanya memungkinkan penetrasi tentara dan doktrin-doktrin militer ke dalam kehidupnan masyarakat atas nama ancaman kesatuan NKRI.

 

Provokasi kekerasan militer akhir, akhir ini dijalankan dengan sangat intensif dan sistematis. Ada beberapa bentuk kekerasan yang biasanya dilakukan oleh militer Indonedia di Papua antara lain adalag, kekerasan dengan bendera suku bangsa maupun agama, kemudian sekarang muncul baru lagi yaitu dengan Otonomi (MRP) dan pemekaran, yang secara kronologis paralel dengan pembalikan isu politik dari HAM dan demokratisasi ke separatisme. Kita melihat contoh kasus-kasus yang terjadi akhir-akhir ini di Papua.

 

Hasil profokasi yang dilakukan oleh TNI untuk mengadu Kita dapat membaca saat beredarnya  isu dua  versi di Jayapura pada Senin-Selasa, 8-9 Juni 1998, pada saat mana isu HAM dan demokrasi sedang memuncak. Versi I yang ditujukan kepada ummat Muslim bahwa kaum Kristen akan melakukan pembakaran masjid. Sebaliknya Versi II yang ditujukan kepada kaum Kristen menyatakan bahwa pihak Islam akan melakukan pembakaran gereja. Selebaran beredar tiga hari setelah demo besar di gedung DPRD I menuntut penarikan pasukan TNI di Papua. (Lihat Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura, 2001, Memoria Passionis di Papua: Kondisi HAM dan Gerakan Aspirasi Merdeka, Gambaran 1999, Jakarta: SKP dan LSPP, hal. 7). Provokasi tersebut tidak berhasil karena diantisipasi dengan cepat oleh para pemimpin dan tokoh agama. Tetapi sembilan hari kemudian, 17 Juni 1998, kekerasan terjadi di tempat lain dengan korban nyawa tiga warga transmigran Arso dan seorang diculik. Menarik bahwa kemudian pada hari yang sama TNI AD menuduh OPM. Kekerasan kemudian terjadi di kampus Uncen antara massa mahasiswa melawan aparat kepolisian dan TNI pada 3 Juli ketika berlangsung demo pro Papua Merdeka. Seorang mahasiswa tewas tertembak, seorang anak kecil tewas terkena peluru nyasar, dan seorang aparat intel dianiaya. Kekerasan yang paling menonjol pada 1998 adalah bentrok antara massa pro Papua Merdeka melawan aparat keamanan. Jumlah korban kekerasan selama 1998 tidak menonjol, “hanya” 9 orang tewas dan 69 luka-luka. Namun pada 1998 ini atmosfer kekerasan sudah sangat terasa. Meskipun jumlah korban tewas hanya 9 orang tetapi terjadi secara merata di Jayapura, Biak, Sorong, Tembagapura, Timika, dan Manokwari. Ketegangan yang dihasilkan oleh kekerasan itu mencolok karena isu yang muncul adalah Papua Merdeka dan isu anti pendatang di kalangan orang Papua.

 

Pada 1999, Terjadi pembunuhan misterius pada 5 Mei 1999 ketika 4 karyawan PTP II Arso terbunuh. Pihak aparat menuduh OPM sebagai pelaku dan pihak masyarakat menuduh kelompok di dalam TNI AD sebagai pelaku.Pada tahun 1999 Total korban hampir sama dengan 1998, yaitu 9 korban tewas dan sekitar 50 orang luka-luka. Dari 6 kasus kekerasan yang tercatat, 4 kasus di antaranya dilakukan oleh aparat keamanan (3 kasus oleh TNI dan satu kasus oleh polisi). Sisanya adalah kekerasan oleh warga setempat terhadap pendatang, dan Memasuki tahun 2000 kekerasan politik kian marak. Total kasus kekerasan sebanyak 37 peristiwa yang terjadi di hampir semua kabupaten di Papua. Korban jiwa 71 orang dan sekitar 220 orang terluka. 28 Januari TNI memprofokasi Satgas Papua dan massa yang berdapak pada perusak sejumlah bangunan milik pemerintah. Pada 16 Februari di Merauke meledak kerusuhan yang dipicu oleh kampanye otonomi oleh calon bupati. Kantor Radio Republik Indonesia (RRI) dan kabupaten dirusak. Tiga warga tertembak, satu tewas, dan 21 orang terluka termasuk polisi. Di Nabire pada akhir Februari satuan Brimob bertempur melawan massa rakyat yang berdemo menolak kehadiran Brimob. Tiga warga tewas, 11 luka-luka, dan 2 rumah dibakar oleh massa. Setelah kejadian 18 orang ditahan. Pada 19 Maret Bupati Fakfak dan ajudannya dikeroyok oleh massa rakyat. Akibatnya seorang pengeroyok ditembak dan 26 orang ditangkap. Pada 7 September di Fakfak seorang anggota DPRD II Fakfak yang sedang melakukan kunjungan kerja ke desa dipukuli oleh massa karena dituduh kampanye otonomi. 27 warga desa ditangkap.

 

Pada 7 Desember dinihari Mapolsek Abepura diserang oleh kelompok tak dikenal. Seorang polisi tewas dan tiga luka berat. Di bawah pimpinan Kapolres Jayapura penangkapan dilakukan di tiga asrama mahasiswa yang diduga sebagai pelaku. Puluhan orang ditangkap, ditahan, dan disiksa. 2 pelajar tewas di dalam tahanan polisi dan 1 pelajar tewas ditembak oleh Brimob. Peristiwa Abepura ini kemudian ditindaklanjuti dengan investigasi oleh KPP HAM dari Komnas HAM. Pada 15 Desember Tiga anggota TNI Yonif 713 di Tiom diserang oleh massa setelah menurunkan bendera Bintang Kejora dan menggiring 13 orang penjaga bendera ke Koramil terdekat. Seorang Kopral Dua TNI tewas. Pada hari Natal dua polisi yang sedang menjaga misa Natal diserang 30 massa. 2 pucuk senjata dan 86 butir amunisi dirampas. Kedua polisi korban melarikan diri.

 

Menyikapi suasana penuh kekerasan ini aparat pun bereaksi dengan lebih keras dan brutal. Pada 25 April di Merauke seorang sersan dua polisi tanpa alasan yang jelas menembak dua anggota satgas Papua. Akibatnya warga setempat mengamuk dan menyerang aparat kepolisian. Pada 1 Juli 29 anggota Brimob menganiaya sejumlah warga sipil di pasar Hamadi Jayapura. Pada 28 Juli di Sorong aparat polisi menembak lima warga sipil yang berdemo menolak kedatangan kapal Dobonsolo yang mengangkut pengungsi Ambon. Di Sorong pada 22 Agustus, massa yang mengibarkan bendera Bintang Kejora di depan Gereja Emmanuel, bentrok dengan aparat. 3 orang tewas dan 11 luka-luka. Pada 21 September seorang mahasiswa di Jayapura ditikam dengan sangkur yang diduga milik anggota TNI AD. Mahasiswa marah dan menutup jalan Abepura-Sentani. Pada 5 Nopember kerusuhan meledak di Merauke. 5 orang tewas tertembak dan 36 luka-luka. Pada 8 Nopember Manokwari rusuh. 4 orang tertembak. Dua hari kemudian satu anggota satgas Papua tewas ditembak. Pada 19 Nopember di Merauke kembali seorang anggota satgas Papua ditembak mati. Pada 1 Desember, bersamaan dengan pengibaran bendera untuk peringatan “hari kemerdekaan” Papua, di Fakfak polisi memaksa menurunkan bendera. 40 orang warga marah dan bentrok dengan polisi. Dua orang tewas tertembak dan 7 ditangkap. Sehari kemudian di Merauke 100 massa yang marah karena bendera Papua diturunkan, merobek Merah Putih, dan menyerang polisi dengan panah dan tombak. 7 tewas seketika. 2 meninggal di rumah sakit. 12 anggota satgas Papua ditahan.

 

Di dalam dan di antara aparat keamanan sendiri terjadi kekerasan yang semakin meyakinkan kita betapa kekerasan sebagai mekanisme penyelesaian konflik juga menjangkiti kalangan aparat. Di antara mereka terjadi perkelahian. Pada 1 Agustus di Timika terjadi penikaman terhadap anggota Brimob oleh anggota TNI AD yang mengundang tawuran baru antara satuan Brimob melawan TNI. Akibatnya 7 orang tertembak termasuk Dandim Mimika. Pada 17 September Danramil Jayapura Utara tewas akibat penganiayaan dalam kasus tawuran antara Brimob melawan Kopassus.

 

Kekerasan juga melanda kelompok-kelompok masyarakat, terutama antara pendatang dan orang Papua. Di Entrop Jayapura, berawal dari perkelahian pribadi, 300 orang Dani asal Wamena menyerang warga yang bermukim di sekitar terminal Entrop. Satu tewas, 5 luka-luka, dan sejumlah kios dan mobil dibakar. Di Timika empat warga pendatang pencari kayu gaharu dipanah dan ditembak. Menurut Dandim Mimika, kemungkinan pelakunya adalah kelompok OPM pimpinan Kelly Kwalik. Pada 6 Oktober, sehubungan dengan operasi penurunan bendera Bintang Kejora secara paksa, orang Dani di Wamena mengamuk dan menyerang pendatang. 34 warga pendatang tewas mengenaskan. 88 orang terluka. Pada 13 Nopember terjadi perkelahian massal antara warga pendatang yang menghuni pasar Abepura melawan kelompok warga di sekitar pasar dengan menggunakan badik, sumpit, parang dan sejumlah alat peledak. Jumlah korban tidak diketahui. Pada 9 Desember di dekat perbatasan RI-PNG Ma’pang terjadi penganiayaan terhadap pendatang dan penduduk setempat. 2 tewas di tempat. 2 luka parah dan satu orang dipotong-potong dan dibuang ke tempat lain.

 

Kasus-kasus diatas belum selesai secara tuntas, kembali Kopasus melakukan penembakan terhadap warga asing di Jl Tembagapura. Dimana secara langsung Militer dan Pemerintah Indonesia menuduh pelaku penembakan adalah pihak OPM. Ternyata setelah Tim Investigasi dan Tim FBI turun kelapangan, ketahuan bahwa pelaku penembakan adalah pihak Militer Indonesia dalam hal ini Kapasus. Tetapi kemudian entah karena apa, konspirasi antara pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat meredam isu ini dan sampai saat ini belum jelas nasib penyelesaian kasus Tembagapura Berdarah.

 

Kasus Tembaga pura berdarah baru menjelang setahun, belum ada penyelesaian, kembali lagi terjadi pertumpahan darah di Puncak Jaya dengan pembunuhan terhadap 6 warga sipil. Akibatnya terjadi operasi militer besar-besar dan 500 masyarakat harus mengunsi ke hutan-hutan dengan mengosongkan gedung gereja yang juga menjadi tempat tinggal warga masyarakat antara lain, Gedung gereja yang dikosongkan oleh umatnya  sebagai berikut : Gereja Tanoba, Gereja Yagorini, Gereja Monia, Gereja Bigiragi, Gereja Peragi, Gereja Yogonggum, Gereja Yoromugum, Gereja Pilia, Gereja Wulindik, Gereja Gimanggen, Gereja Tingginambut, Gereja Toragi, Gereja Pilipur, Gereja Kolome, Gereja Agape, Gereja Yanenggawe, Gereja Kayogebut, Gereja Pagarigom, Gereja Yiogobak, Gereja Yibinggame, Gereja Ndondo, Gereja Yamiruk. Gereja Wirigele, Gereja Yagonik, Gereja Wunagelo, Gereja Wandenggobak, Gereja Pagelome. Pasukan melancarkan operasi dari darat dan udara terhadap penduduk sipil. Helikopter TNI menembak dan meluncurkan boom-boom ke perkampungan penduduk sipil sementara acara makan bersama sedang berlangsung. Tetapi om-bom dan peluru yang diluncurkan helikopter TNI tidak meledak. Aksi boom membabi buta itu menyebabkan perkampungan di 27 Gedung Gereja, atau 27 jemaat terpaksa lari ke hutan-hutan untuk bersembunyi dan menyelamatkan diri sejak peristiwa tanggal 17 Agustus 2004.

 

***

 

Belum genap satu tahun, kembali Aparat melancarkan profokasi. Akibatnya terjadi lagi pertumbahan darah, nyawa dan harta benda masyarakat Koteka Pegunungan Tengah di Papua. Kali ini Peristiwa terjadi di Kabupaten pemekaran Tolikara Dsitik Wunin. Peristiwa Wunin Berdara dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Pegunungan Tengah Papua adalah tidak terlepas dari kebijakan negara terhadap Papua. Hal itu tertuang dalam Rencana Operasi Pengkondisian Wilayah Dan Pengembangan Jaringan Komunikasi Dalam Menyikapi Arah Politik masyarakat Papua Untuk Merdeka dan Melepaskan Diri Dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kepolisian Daerah Papua umumnya dan khususnya kab. Kasus Wunin berdarah ini terjadi bukan karena tidak segaja, tapi hasil keputusan Pangdam TRIKORA yang mendeklarasikan tahun 2005 sebagai tahun Operasi Militer untuk meredan dan menekan aspirasi masyarakat Papua yang sedang berjuangan untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari diskusi dengan kawan-kawan seperjuangan saya di Jayapura, kami menterjemahkan Rencana Operasi itu dengan membuat Telaahan Aktifis Numbay Tentang Upaya Polda Papua Menanggulangi Separatis Papua Merdeka Dalam Rangka Rencana operasi pengkondisian. Analisis kawan-kawan Numbay bersama saya dan kakak Y Baweng ini kemudian ditindaklanjuti dengan pengamatan kebelakan tentang menyusun operasi yang disebut saat itu “Operasi Tuntas Matoa 2000” yang berlangsung selama 90 hari. Operasi  90 hari yang waktu itu ditujukan kepada gerakan Pembebasan nasional Papua, baik di perkotaan maupun gerakan TPN/OPM di rimba raya Papua dan simpatisannya.

 

Dari analisis yang Crue WPNews lakukan di Jayapura yang melibatkan beberapa kawan-kawan UNCEN maupun wartawan WPNews. Ternyata kesimpulan dari pembicaraan adalah sama persisnya dengan operasi-operasi militer yang dilakukan sebelumnya di daerah-daerah lainnya di Papua Barat. Operasi militer ini menunjukkan bahwa militer di Papua (PANGDAM TRIKORA dan KAPOLDA PAPUA) telah memiliki stretegi dan  mempersiapkan suatu rencana operasi yang sistematis dalam bertindak terhadap apa yang mereka sebut sebagai gerakan separatis. Kalau dulu setiap operasi militer mengunakan kata-kata seperatis, namun kali ini Operasi yang mereka lakukan di Pegunungan Tengah, mereka (Militer) menghembuskan isu baru yaitu OPERASI PEMBASMIAN TERORIS. Sama persis dengan bahasanya Presiden Indonesia (Susilo Bambang Yudoyono). Kebijakan Militer di Papua ini adalah sesuai dengan Intruksi Presiden, agar mengamankan basis gerakan untuk melakukan proses Sosialisasi MRP dengan baik, tanpa ada penolakan Masyarakat Papua. Selain itu kebijakan Pandam Trikora dan kapolda Papua ini menurut analisis kawan-kawan numbay adalah bagian dari kebijakan negara secara keseluruhan. Dua hal pembacaan ini menunjukan adanya unsur sistematis yakni memperlihatkan tindakan yang terorganisir dan mengikuti pola yang berulang, berdasarkan kebijakan yang melibatkan secara substansial sumber daya baik milik umum ataupun perorangan.  Unsur lainnya adalah tindakan yang luar biasa yang ditujukan pada sekelompok penduduk sipil. Dalam kasus Pegunungan Tengah Papua, Distrik Wunin pada khususnya sekelompok penduduk sipil yang dijadikan sasaran adalah orang-orang yang dikategorikan sebagai pucuk-pucuk pemimpin DeMMaK, pengikut dan simpatisannya.

 

***

Kronologis kejadian yang saya peroleh baik lewat wawancara saya maupun sesuai dengan laporan yang di sampaikan oleh jaringan DeMMaK di lapangan bahwa :

 

1.      Pernah ada pertemuan di Wamena oleh beberapa pejabat pemerintah yang juga Putra daerah, pada saat perayaan Tahun Baru. Pada saat itu, Pimpinan Kodim Wamena mengumumkan tahun 2005 sebagai tahun operasi pengkondisian masyarakat dan tahun operasi militer di basis-basis gerakan masyarakat Koteka. Daerah yang di petakan waktu itu untuk menjadi tujuan utama operasi Militer Indonesia adalah; Distrik Wunin (Longgoboma, Bolobur, Panaga, Bawi, Kaiga, Wurineri, Arombok), Eragayam, Distrik Wolo. Distrik Tagime, Distrik Kelila dan Distrik Bogondini.

 

2.      Di Kab. Tolikara terjadi perebutan kekuasaan, dan dalam pertengkaran mulut antara Jhon Tabo dan Ptd. Timotius Wakur, pernaha ada unjuk kekuatan dan untuk jaringan kekuatan di Jajaran pejabat Indonesia. Dalam pertengkaran/perang mulut memperebutkan kursi ketua DPRD Tolikara, secara sengaja atau tidak terungkap hubungan mesra antara Jhon Tabo dan Timotius Wakur dengan Militer Indonesia dalam hal ini Badan Intelijen Negara (BIN). Ternyata Timotius Wakur dan Jhon Tabo adalah agen dari BIN yang sengaja di pasangan untuk menghancurkan gerakan masyarakat koteka untuk membebaskan diri dari Kolonial Indonesia. Kesempatan dalam pertengkaran perebutan kursi kepemimpinan ini, diduga orang ketiga bermain disana. Orang ketiga ini adalah Pihak militer Indonesia. Militer Indonesia mendorong Timotius Wakur dan Jhon Tabo untuk menciptakan konflik, terutama di daerah-daerah basis gerakan DeMMaK. Timotius Wakur mengunakan Jimmy Munif Erelak (anak Bpk Tigitigir) yang kebetulan menjadi anggota DPRD Tolikara, aagar meminta bantuan masyarakat Wunin untuk memihak kepada Pdt. Timotius Wakur, Hal ini ditantang oleh Ir. Panus Jingga dengan melakukan Demonstrasi di Karubaga bersama masa saat DPRD sedang melakukan rapat untuk pemilihan ketua. Saat itu terjadi pertengkaran antara Jimmy Munif Erelak dengan Panus Jingga. Akibatnya pemilihan ketua batal.

 

3.      Pdt. Timotius Wakur ke Mamit Dstrik Kembu dan melakukan pertemuan empat mata dengan Manase Murib yang saat ditangkap dan mengakui dirinya sebagai Kelly Kwalik. Dalam pertemuan tersebut diketahui oleh mama Kumipaga Gombo, kemudian membongkar rencana ini dan sampaikan kepada masyarakat setempat kemudian masyarakat sampaikan cerita ini kepada saya. Bahwa Timotius yang didukung oleh Jhon Tabo meminta kepada Manase Murib untuk melakukan kekacauan di Kab Tolikara, khususnya di basis-basis gerakan DeMMaK. Dalam pertemuan itu juga, Timotius Wakur berjanji untuk memberikan uang dan Senjata Api kepada kelompok Manase Murib. Selain itu Jhon Tabo dan Timotius Wakur melakukan propaganda politik sebagai berikut, “………kalau kamu mau merdeka, kamu harus membakar seluruh fasilitas pemerintah Indonesia sebagai sikap menolak Indonesia………Setiap bangunan yang sengnya berkarat harus dibakar karena itu milik pemerintah Indonesia…….nanti setelah kamu merdeka baru bagun rumah yang bagus-bagus kaya orang barat punya rumah….? Hal ini disampaikan oleh saksi mata yang saat itu sedang menyediakan makanan untuk tamunya atas ama Manase Murib yang turun dari Mulia. Setelah pertemuan emapat mata antara Timotius Wakur dan Manase Murib, kemudian Manase Murib melakukan pertemuan dengan beberapa toko-toko gerakan yang berada di Distrik kembu, Distik Kangime, Ditrik Ilu dan beberapa daerah yang ada di Wilayah Tolikara. Dalam pertemuan tersebut mereka bersepakat untuk melakukan penyerangan terhadap rumah-rumah yang dibangun oleh pemerintah Indonesia.

 

4.      Untuk pertama kalinya Kelompok ini menyerang Pos Dundu sebelah barat Mamit. Kemudian kelompok ini menyerang Distrik Panaga dan membakar seluruh perumahan di Panaga, baik rumah dinas milik Camat, Kantor Camat, perumahan pegawai kecamatan dan gedung-gedung sekolah yang berbauh Indonesia. Setelah itu kelompok bayaran ini menyerang Pos Bolobur, mereka membakar gedung sekolah dan rumah-rumah guru, rumah sakit, rumah para mantri dan pos yantu milik pemerintah. Saat pembakaran di Bolobur. Pimpinan DeMMaK Tolikara yang berkedudukan di Wurineri  Bapak Pdt. Auru Wanimbo mengirim surat kepada Manase Murib agar tidak melanjutkan kegiatan pembakaran hingga ke daerah basis utama yaitu Wurineri dan sekitarnya. Namun Surat tersebut tidak diindahkan. Hari berikutnya kelompok Manase Murib melakukan penyerangan di Pos Lubuk serta melakukan pembakaran seperti yang mereka lakukan di Pos Bolobur. Di pos ini Pdt Auru mengirim surat kedua kalinya, agar jangan melanjutkan pembakaran ke daerah lain disekitarnya dan jangan ke daerah Wunin. Tiga hari berikutnya kelompok ini yang sudah merangkul sekita 500 masa membakar pos Keribaga dengan motif pembakaran yang sama. Disini kembali Pdt. Auru mengirim surat secara tegas agar berhenti sampai disitu, namun kayanya target kelompok ini untuk menghancurkan basis utama DeMMaK di Wunin, maka mereka tidak menanggapi surat Pimpinan DeMMaK Kab Tolikara. Empat hari kemudian setelah pembakaran di Keribaga, Kelompok Manase Murib yang mengakui diri sebagai Kelly Kwalik ini melakukan penyerangan besar-besar di Distrik Wunin. 10 rumah dinas Kecamatan di Bakar Musna (termasuk rumah camat dan kantor Kecamatan), 8 rumah Sosial yang dibangun pemerintah juga dibakar, 3 buah rumah Lurah dibakar, diantaranya 1 Kantor Lurah, 1 Aula Lura dan 1 buahm rumah Lurah. 2 Buah gedung sekolah, SMP dan SD di bakar, rumah rumah guru, rumah-rumah Mantri 1 buah gedung gereja lama, 1 buah kantor klasis, 3 buah rumah sehat staf Klasis, 2 buah rumah misionaris, 4 buah kios Masyarakat. Dan 8 rumah masyarakat. Kelompok Manase juga menyerang Kaiga dan membakar gedung sekolah, kantor lurah, rumah-rumah masyarakat. Di Kaiga inilah kemudian masyarakat melakukan perlawanan. Perang meledak antara masyarakat Kaiga dan kelompok Manase Murib, namun dalam peperangan ini tidak ada korban Jiwa.

 

5.       Ada hal yang unik disini, pada saat penyerang di Dundu, Panaga, Bolobur, keribaga aparat keamanan tinggal masa bodoh, namun pada saat penyerangan di Wunin, satu hari kemudian Helikopter Puma menurunkan pasukan Kopasus dan 1 Pleton pasukan Brimob melalukan operasi melalui jalan darat. Sesampai di Wurineri, aparat keamanan kemudian melancarkan aksinya dengan mengejar Tokoh-Tokoh DeMMaK. Militer membakar sisa rumah-rumah yang ditinggalkan oleh kelompok Manase Murib antara lain adalah Posko DeMMaK dan kaya mereka mengetahui setiap rumah masyarakat sipil yang terlibat dalam gerakan Kemerdekaan Papua dibawah Payung DeMMaK musna dibakar oleh aparat keamanan. Keamanan bersama beberapa putra daerah Kab Tolikara yang mengantarkan mereka, membabi buta memusnakan semua ternah milik masyarakat sipil. Secara kasar diperkirakan selama 1 minggu aparat membunuh ternah Masyarakat sekita 150 ekor babi, belum lagi Ayam, Kelenci dan membuka kolam-kolam Ikan milik usaha masyarakat.

 

Pada saat penyerangan militer inilah kemudian Militer melakukan penembakan terhadap Masyarakat sipil. 1 Orang menjadi Korban yaitu. Al Bapak Lelewarir Erelak. Bapak Lelewarir Erelak di tempak dari Jarak 6 Km daerah Ponim. Kronologisnya adalah Pada saat itu Kelly Kwalik alias Manase Murib  meminta kepada masyarakat untuk menyerang Aparat Brimop yang sedang melakukan operasi di daerah Wanagalo. Lelewarir bertindak sebagai mata-mata dan memantau dari jauh kedatangan aparat Brimob. Al. lelewarir yang bersembunyi dibaik kayu gene itu ternyata diketahui oleh Brimob dan Brimob melakukan penembakan, tanpa ada reaksi sama sekali. Pelaku penembaknya adalah dilakukan oleh BRIDA AGUS KUMBIA dengan nomor MR. 8105003. Korban lainnya adalah Yakobus Murib, yang kena tembak di Pergelangan tangan dan jatuh ke jurang lalu kena batu disungai dan meninggal tempat.

 

Fakta Peristiwa ini digambarkan oleh Pimpinan sendiri, selain itu saya sendiri melihatnya dengan mata kepala, tempat yang Militer Indoneia lewat Manase Murib hancurkan dan Militer sendiri yang hancirkan.: Tindakan Aparat Militer  di Distrik Unin ini terihat sangat Jelas kompromi strategi penyerangan yang dilakukan militer bersama beberapa elit politik local kec Tolikara, yaitu Jhon Tabo dan Pdt. Timotius Wakur.

 

Mari kita menyimak pernyataan kepala suku kabupaten pemekaran  Tolikara, hasil wawancara.  Konflik yang terjadi di Dstrik Wunin, Papua Barat, sengaja diprofokasi oleh pihak-pihak tertentu untuk mencari keuntungan sesaat, baik ekonomi, sosial, maupun politik. Karena itu, konflik tersebut dinilai sulit diselesaikan selama pihak-pihak tersebut terus mendapatkan keuntungan dari konflik tersebut. Konflik ini sangat system matis yang berdapak pada pembakaran rumah masyarakat dan juga penembakan jarak lima kilo yang sama sekali tidak manusiaawi yang dilakukan oleh pihak Brimop Papua di Kapupaten pemekaran Tolikara, yang dilakukan oleh  BRIDA AGUS KUMBIA dengan nomor MR. 8105003. Demikian diungkapkan toko masyarakat Tolikara. Pdt A. Wanimbo, dalam diskusi bersama Crue WPNews “Pada saat Crue WPNews melakukan kunjungan langsung di Lapangan pasa 26 Januari 2005 di Distrik Wunin Kabupetan Pemekaran Tolikara” yang sengaja diundang oleh masyarakat Tolikara untuk melihat secara langsung kejadian tersebut.

 

Pdt. A. Wanimbo  yang juga Kepala suku masyarakat Tilikara tersebut mengatakan pihak-pihak yang sengaja melestarikan konflik tersebut adalah pejabat sipil maupun militer, baik yang berada di Tolikara Papua maupun di Jakarta. Namun ditegaskan, pihak-pihak yang lebih berperan dalam kasus itu adalah para mereka yang berada di Tolikara yang sementara ini mempeserbutkan kursi pimpinan DPRD Tolikara, antara Jhon Tabo dan Timotius wakur. “Bagi pejabat di Tolikara Jayawijaya, misalnya, konflik itu dilestarikan karena mereka menikmati apa yang namanya industri pengungsi. Dengan banyaknya pengungsi, hal itu menjadi pembenaran bagi adanya bantuan. Bantuan dan mereka akan hadir sebagai malaikat penolong dan itulah yang menguntungkan mereka,” kata Pdt. A. Wanimbo. Sementara itu bagi mereka yang berperan di Jakarta, konflik Papua khususnya di distrik Wunin Kab Pemekaran Tolikara telah dijadikan komoditas politik. Dalam skala luas, konflik tersebut bertujuan untuk menghambat atau menggagalkan kemampuan memimpin para putra daerah dan kemungkinan akan diambil alih oleh para pejabat militer Indonesia, sebagaimana yang terjadi di Aceh dan daerah konflik lainnga di Indonesia. A.Wanimbo  yang sempat menjadi ketua wilayah Wunin dan menjabat sebagai ketua Klasis itu mengatakan sesungguhnya konflik di Distrik Wunin adalah bentuk persaingan antara TNI dan polisi serta elit local yang berkepentingan dengan jabatan mereka.

Sementara kondisi masyarakat ketika konflik dan kekerasan yang terjadi di Wunin sekarang telah berusia 2 bulan saat saya berada di sana Hapir semua masyarakat naik telah masuk hutan untuk menyelamatkan diri dari pengejaran Militer Indonesiah. Keberadaan masyarakat saat ini tenang saja, tanpa melakukan aktivitas seperti biasanya.  Penyusup militer lewat elit yang masuk ke wilayah Wwunin yang elakukan pembakaran rumah dan ternyadinya dua orang menjadi korban. Saat ini masyarakat telah membuat sistem pengamanan di hutan

Akibat konflik/kekerasan ini tercatat 2 orang korban militer dan 1 korban karena kelaparan dihutan, puluhan rumah dibakar, perkantoran , sekolah hancur serta terdapat 60 jiwa sebagai korban kekejaran militer yang sekarang telah menjadi pengungsi di dalam hutan. Masyarakat kini semakin tidak percaya dengan dengan upaya – upaya penyelesaian yang ditawarkan oleh pemerintah Tolikara, kecuali pimpinan pusat DeMMaK, karena mereka menilai kasus ini dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Ada ketakutan di masyarakat akan diberlakukannya Daerah Operasi Militer di Wunin dan juga ada pemahaman bahwa apabilah masyarakat melakukan kegiatan akan mendapatkan sangsi untuk di penjarah, bahkan lebih radikal lagi, ada ancaman apabilah masyrakat tidak mau turun gunung maka akan dilakukan menyerang serta Darurat Sipil.

Banyak orang tua kita yang sudah putus asa, bingung dan trauma terhadap situasi dan kondisi yang terjadi di Wunin ditambah dengan profokasi yang dibangun oleh mata-mata militer. Selain itu juga akibat dari ketidak-jelasan proses penyelesaian konflik serta ketegangan yang terjadi saat ini masih tterus ada. Komunikasi sosial masyarakat tidak jalan dengan baik, sehingga perasaan saling curiga antar kawasan terus ada dan selalu bisa dimanfaatkan oleh pihak ketiga yang menginginkan konmflik jalan terus. Perkembangan situasi dan kondisis yang terakhir tidak ada pihak yang menjelaskan kepada masyarakat tentang apa yang terjadi sehingga masyrakat mencari jawaban sendiri dan membuat antisipasi sendiri.Sampai pada tingkat radikalnya ingin melakukan penyerangan terhadap pos-pos militer Indonesia.Wilayah pemukiman di Wunin sudah terbagi 2, antara mereka yang pro elit lokal daan mereka yang masih setiah dengan perjuangan ini , kemudian masyarakat dalam melakukan aktifitasnya selalu dilakukan kawasannya hal ini terlihat pada aktifitas ekonomi seperti kekebun dan kegiatan lainnya. Pendidikan sangat sulit didapat oleh anak – anak korban langsung/tidak langsung dari akibat pembakaran gedung sekolah oleh kelompok baik Manase Murib maupun Militer Indonesia. Karena banyak diantara mereka sudah sulit untuk mengakses sekolah, masih dalam keadaan trauma.

Masyarakat Wunin hari ini sangat sulit mengakses pelayanan kesehatan, karena keadaan yang penuh dengan kecurigaan dan ketakutan. Obatan tidak dapat mencukupi kebutuhan masyarakat karena dikuasai oleh kaki tangan Militer.

***

 

Tuntutan Papua untuk merdeka, pengibaran bendera, berbagai kekerasan dan kerusuhan semakin diperkeruh dengan kecenderungan represif di satu pihak dan peningkatan kehadiran pasukan TNI dan kepolisian (Brimob) di pihak lain. Lihat bagaimana penolakan masyarakat pada Brimob dan akibatnya pada keamanan dan eskalasi kekerasan. Lihat juga bagaimana pameran kekuatan TNI tidak berpengaruh membaiknya stabilitas politik di Papua. Peningkatan pasukan baik oleh polisi maupun TNI ternyata justru membuat suasana Papua secara politik semakin panas dan sangat rawan dengan kekerasan. Pasukan menjadi secara berlebihan reaktif. Masyarakat pun sangat reaktif menanggapi sikap dan tindakan aparat pemerintah maupun aparat keamanan.

 

Jika keberhasilan aparat keamanan diukur dari kemampuannya menciptakan stabilitas sosial dan politik maka aparat keamanan baik polisi maupun TNI AD gagal dalam menjalankan tugasnya. Tetapi pertanyaannya adalah apakah aparat keamanan sebagai kelompok kepentingan di dalam politik dan ekonomi lebih diuntungkan oleh stabilitas atau kah instabilitas. Secara normatif barangkali dapat dikatakan bahwa aparat keamanan gagal namun dalam konteks Papua pertarungan dan tujuan praktis aparat keamanan bukan hanya pada penciptaan stabilitas. Wilayah Papua bagi sebagian kelompok di dalam institusi TNI dan kepolisian adalah “tambang emas.” Bisnis keamanan menjadi salah satu motivasi yang cukup kuat bagi aparat keamanan untuk tetap dominan di Papua. Dalam keadaan tidak stabil dapat dipastikan bahwa institusi keamanan akan dengan mudah mempertahankan dominasinya dan orang Papua tetap akan menjadi bulan-bulanan komplikasi perubahan politik yang didominasi oleh faksi-faksi di dalam institusi negara yang memiliki legalitas untuk menggunakan kekerasan.           


Ruang gerak demokrasi, saat ini menjadi semakin sempit, ketika TNI mulai mengkonsolidasikan diri dan memantapkan posisi tawarnya bagi politisi sipil, baik di pemerintahan RI maupun DPR/MPR-RI. Partai politik saat ini lebih mementingkan kepentingan partainya tanpa mempedulikan rakyat yang semakin miskin dan tertindas. TNI menjadi rebutan partai-partai politik besar di parlemen maupun pemerintahan, akibatnya gagasan TNI tentang "menjaga keutuhan NKRI" menjadi gong yang menggema diseantero jagat nusantara dan sangat ampuh bagai hantu "stabilitas nasional" yang selama 32 tahun diskenariokan dan disutradarai oleh Jendral Besar Haji Muhamad Soeharto. Herannya, parlemen dan eksekutif RI sepenuhnya mendukung konservatisme TNI tersebut. Amien Rais, Akbar Tanjung, Megawati dan kroco-kroconya, tidak lagi memikirkan nasib rakyat miskin dan rakyat tertindas seperti di Papua dan Acheh serta daerah konflik lainnya.

 

Gerakan demokratik Papua sedang menuju jalan buntu, dimana ruang demokrasi yang seharusnya kita lalui, kembali ditutup lagi oleh TNI dengan sejumlah aturan tadi. Secara keseluruhan, kekuatan demokratik Indonesia sedang mengalami hal yang sama. Potensi berlawan yang sedang diperlihat oleh sejumlah kekuatan prodemokrasi Indonesia, sesungguhnya menunjukan kepada kita (Gerakan Papua Merdeka) akan adanya kepentingan perjuangan secara bersama, yaitu menumbangkan regime yang menjadi agen kapitalisme internasional dan juga memasukan militer ke barak, bukan sebagai prajurit politisi, karena Dwi Fungsi TNI ataupun peran politik yang dimainkan oleh TNI, sama sekali akan menghancurkan tatanan demokrasi bagi gerakan sipil yang sedang menguat.

Gerakan Papua Merdeka saat ini tinggal memilih, apakah diam dengan fenomena militeristik ini atau ambil bagian dalam proses penciptaan ruang demokrasi di Indonesia? Jawabannya, "Ya." Gerakan Papua harus menyatu dengan perjuangan demokratik secara kesluruhan di Indonesia, sebab terciptanya demokrasi di Indonesia akan memberikan dampak bagi terwujudnya "Dialog Nasional" atau terjadinya sebuah REFERENDUM bagi Papua Barat.

 

Dari berbagai rentetang peristiwa demi peristiwa kekerasan Militer (TNI/POLRI) Indonesia di Papua, telah terlihat dan terbaca secara jelas bahwa; Bangsa Indonesia sendiri telah mengajarkan kepada bangsa Papua bahwa, Bangsa Papua sebenarnya bukan bagian dari bangsa Indonesia. ***