“Papua Merdeka : Antara Ide dan Kenyataan”

Oleh Simeon Wenda

Dalam teori sosiologi dewasa ini ada dua ide atau aliran yang saling bersaing. Masing-masing ialah aliran Fungsionalisme dan aliran Strukturalisme . Kedua aliran tersebut berpengaruh luas dilapangan politik pembangunan negara-negara di dunia ini. Aliran Fungsionalisme berpengaruh di negara-negara Kapitalis di Eropa barat dan Amerika Serikat. Sementara aliran Strukturalis berpengaruh luas di negara-negara Sosialis di Eropa Timur, Cina dan Cuba. Kemudian politik pembangunan berasaskan kapitalisme dan Sosialisme tersebut ditiru oleh negara dunia ketiga (berkembang termasuk Indonesia) sesuai dengan politik luar negerinya. Bila suatu negara berpolitik luar negeri memihak negara Kapitalis, maka politik pembangunannya akan mengikuti garis-garis Kapitalis juga. Demikian sebaliknya. Indonesia sendiri terkolaborasi dengan dua aliran ini yaitu kapitalis dan sosialis.

Persaingan kedua aliran dalam sosiologi itu dilanjutkan pada ideology pembangunan, dimana Kapitalisme dan Sosialisme merupakan dua kutub ideology  yang menganggap paling benar sebagai asas politik pembangunan. Kedua factor ideologis yang selalu bersaing inilah yang menurut Peter L. Berger melakukan studi tentang perlunya suatu etika politik pembangunan yang manusiawi.  Perhatian yang amat besar  terhadap moralitas manusia oleh Berger karena pada kenyataannya kedua ideologi pembangunan itu tidak satupun menepati janji untuk meningkatkan martabat manusia.  ( Peter L.Berger, dlm bukunya PIRAMIDA KURBAN MANUSIA, etika politik dan perubahan social). Titik  tolak Berger dalam bukunya ini ialah moralitas ummat manusia di negara dunia ketiga.

Berangkat dari pikiran Peter L.Berger, keprihatinan kita yang luar biasa terhadap sekitar 2 juta manusia menderita di Papua yang terhimpit dalam deru derap gemuruhnya suara pembangunan yang selalu berjanji akan memakmurkan dan mengadilkannya. Cita-cita yang amat luhur ketika terompet pembangunan mulai ditiup berakhir dengan realitas utopis karena tidak mampu mengobati penyakit kemiskinan jutaan umat manusia di Papua. Potret sacral yang dimitoskan menjadi hampa lantaran diwujudkan dengan paksaan dalam suatu system politik otoriter. Elite politik menjadi “ vanguard” yang memperbudak factor etis manusia. Dalam suasana politik pembengunan yang didukung oleh system politik otoriter tersebut, pasti tidak ada tempat bagi manusia Papua yang lemah. Realitas otopis demikian membuat Berger  tidak satupun percaya kepada ideologi pembangunan yang membelah dua menjadi menjadi Kapitalis dan Sosialis. Lantas ia mengusulkan agar baik Kapitalisme maupun Sosialisme dibongkar kepalsuan-kepalsuannya.

Mengikuti jalan pikiran Berger akan tampak kepada kita bahwa ia sosiolog yang kehilangan konsistensinya terhadap aliran Fungsionalismenya. Tapi juga tidak yakin akan kemapuan aliran Strukturalisme. Sama tidak percayanya terhadap ideologi pembangunan Kapitalis dan Sosialis.

Membongkar Kepalsuan Ide Kapitalis- Pembangunan Pemerintah Indonesia

Ketidak yakinan penulis terhadap ideologi pembangunan kapitalis terhadap Papua Merdeka disebabkan oleh “Clue Consepnya”  yang memiliki peluang kecil untuk sanggup meningkatkan moralitas manusia menderita. Teoritis Kapitalis selalu mengandalkan Clue Consept ‘moderenisasi’,’pertumbuhan’, ‘diferensiasi kelembagaan’ disertai kelaparan hari ini untuk menggapai kemakmuran hari esok (Yogotak Hubuluk Motok Hanorogo). Kalau toh harus percaya siapa yang ‘lapar hari ini’ dan ‘siapa pula yang makmur hari esok’. Keraguan penulis terhadap ide kapitalisme Indonesia sebagai ideologi pembangunan contoh tentang Brasil sebagai negara dunia ketiga yang dianggap banyak orang paling sukses membangun dengan garis-garis lurus Kapitalisme. Dalam kenyataannya mitos “pertumbuhan” yang menjanjikan kemakmuran dan keadilan dihari esok itu, sama sekali tidak memuaskan dari kepentingan asasi manusia lemah. Paling tidak untuk mencapai mitos sacral yang disebut “Keadilan dan Kemakmuran” itu, Brasil harus mengorbankan paling tidak satu generasi. Lantas kalau ada pengeritik Kapitalisme dengan menolak kelaparan hari ini untuk kemakmuran hari esok tidak bisa disalahkan. Situasi umat manusia Papua yang mayoritas berada dibawah garis kemiskinan bagi penulis tidak mungkin dapat diselamatkan oleh model pembangunan ala pertumbuhan seperti senantiasa ditiup oleh ideologi Kapitalis. Melihat nasib umat manusia Papua yang teramat menderita karena menjadi korban asas pembangunan Kapitalisme itu, penulis memang menetang Kapitalisme disertai kritik terhadap model pertumbuhan.

Membongkar Kepalsuan  Ide Sosialisme - Pembangunan Pemerintah Indonesia  

Ideologi pembangunan Sosialis atau negara-negara Sosialisme selalu menganggap negara-negara Kapitalis sebagai kaum imperialis. Untuk melenyapkan ketergantungan negara dunia ketiga terhadap negara Kapitalisme (yang dianalogikan sebagai neoimperialis) harus dilakukan dengan “revolusi”. Mitos sakral yang dihempaskan angin Sosialisme ialah “terror hari ini dengan janji tatanan social yang manusiawi di hari esok”  ( Yogotak hubuluk Motok Hanorogo). Bagi penulis terlalu naïf untuk menata moralitas manusia melalui system terror. Kalau perang dirumuskan sebagai penggunaan kekerasan yang resmi antar negara, dan revolusi sebagai penghancuran “social order”  masyarakat melalui aksi kekerasan, maka mitos revolusi dari ideologi sosialis hanyalah “kecabulan” yang bertentangan dengan dimensi kemanusiaan. Adalah terlampau sampai hati misalnya bila seorang petani  Papua yang tidak memiliki tanah sementara anak-anaknya kelaparan, masih pergi untuk berperang. Seperti kapitalisme, sosialisme pun terlampau membebani biaya-biaya kemanusiaan yang terlampau tinggi, hanya karena demi revolusi negaranya. Karena itu Sosialismepun harus dibongkar kepalsuan-kepalsuannya.

Penulis memberi contoh RRC sebagai lawan Brasil yang dianggap sukses membangun, tapi dengan ideologi pembangunan Sosialis. Dari kepentingan moralitas manusia jauh dari keberhasilan. Sama seperti Brasil, untuk mencapai mitos sacral masyarakat adil dan makmur  Cina sedikitnya harus mengorbankan sekitar satu generasi. Sama seperti kapitalisme Clue Consept yang dikembangkan teoritis Sosialis memiliki peluang amat kecil untuk mampu mengobati banyak manusia miskin di belahan bumi selatan, barat, dan utara. Ini disebabkan clue consept sosialism yang mengandalkan “dependency”, “exploitation”, “neocolonialism”, “liberation”, disertai terror untuk mencapai hari esok lebih baik, harus dijawab dengan jatuhnya kurban-kurban yang bergelimpangan, penembakan dan pemboman tanpa pandang bulu terhadap penduduk tidak berdosa, penciptaan pengungsi, penghancuran besar-besaran terhadap sarana material penduduk dan sebaginya.

Bagaimana politi pembangunan sosialisme sama sekali bukan jawaban terhadap kegagalan politik pembangunan yang berasas kapitalisme. Model pembangunan “kiri” yang diagung-agungkan. Soviet dan RRC ditambah beberapa negara pengimpornya seperti Tanzania, Peru, Kuba, Yugoslavia dan negara Eropa Timur sebagai model pembangunan berasas sosialisme paling murni telah dikritik Peter L.Berger amat keras. Kritik tajamnya terutama karena negara yang menganggap dirinya pemegang asas sosialisme paling murni itu menyetujui usul Andre Gunder Frank. Frank menyetujui pendapat ekonom Brasil Helio Jaguaribe tentang kemungkinan otonomisasi bagi negara berkembang harus dilakukan dengan membentuk system politik yang revolusioner. Karena menurut Andre Gunder Frank hubungan antar negara berkembang dengan negara industri kapitalis maju bersifat vertical. Dengan sifat hubungan demikian ini, masalah yang dihadapi negara berkembang (dunia III) bukan keterbelakangan dalam kebudayaan, kekurangan sumber bahan alam, kecakapan teknologi atau mental yang tidak cocok dengan pembangunan. Masalah utama yang dihadapi negara berkembang tidak dapat bernafas karena “penghisapan” yang terus dilakukan oleh negara industri kapitalis maju. Dengan demikian menurut Frank kemajuan yang diperoleh negara berkembang selama ini tidak lebih “The Development of Under Development” (pembangunan keterbelakangan).

Peter L.Berger tidak menolak pandangan Andre Gunder Frank. Hanya saja menyelesaikan persoalan otonomisasi dan pengembangan politik pembangunan negara dunia ketiga terlampau utopis bahkan merupakan cita-cita palsu bila disertai dengan system politik revolusioner. Kegagalan pembangunan negara dunia ketiga yang menganut garis-garis sosialisme justru datang dari etika politik revolusioner. Dimanapun negara berkembang membangun dengan asas sosialisme selalu membuat “kaos” pengrusakan terhadap sarana kehidupan penduduk sipil sehari-hari. Cita-cita hampa dengan mitos “terror  hari ini untuk kemakmuran hari besok”  yang selalu dihempaskan riuhnya pembangunan berasas sosialisme dengan system politik revolusioner sekedar retorika revolusioner belaka. Kalau system kapitalisme tidak mampu menyembuhkan penderitaan manusia miskin, system sosialisme justru menghamburkan “darah”  segar yang dianggap sebagai saksi pengabdian rakyat kepada revolusi negara. Antara Kapitalisme dan Sosialisme keduannya sama palsu dan harus dibongkar kepalsuan-kepalsuannya.

Papua Merdeka Ide dan Kenyataan

Berangkat dari uraian penulis diatas berdasarkan pikiran Berger, bahwa kepalsuan-kepalsuan yang membikin pembangunan model kapitalisme dan Sosialisme sama-sama gagal dinegara dunia ketiga atau berkembang  termasuk Indonesia, yang kini papua berada didalam bingkai negara kesatuan Indonesia (Papua merupakan anak didik Indonesia), yang mendidik  politik pembangunan tidak dibuat atas dasar postulat ketidaktahuan (pengetahuan yang tidak memadai). Rumusan politik pembangunan yang dibuat pengambil keputusan selalu dianggap terbaik bagi rakyat. Rakyat adalah bodoh, tradisional, jadi apa yang baik bagi elite politik, pasti baik bagi rakyat. Cara pengambil keputusan demikian sama sekali tidak bermoral. Rakyat dipaksa menanggung beban-beban pembangunan tanpa mengindahkan moralitas manusiannya.

Jika demikain, pertanyaan-pertanyaan berikut ini perlu dijawab oleh Ide Papua Merdeka, antara lain;

1. Adakah ideologi pembangunan selain Kapitalis dan Sosialis sebelum dan sesudah merdeka?

2  Ideologi pembangunan semacam apakah yang dipakai untuk menjamin asas pembangunan yang lebih ‘bermoral’, ‘beradab’, ‘adil’, dan ‘manusiawi’, sesudah merdeka ?

3. Mitos sakral apakah yang akan dihempaskan angin ideologi pembangunan  sebelum dan            sesudah merdeka ?

4. Jika masih menggunakan Clue conceptnya ala Kapitalis dan atau  Terror  Revolusi ala Sosialis, berapakah target generasi yang harus dikorbankan ?

Kekeliruan pengambilan politik pembangunan negara-negara berkembang baik yang kapitalis maupun yang sosialis ialah setiap politik pembangunan harus dibuat berdasarkan postulat ketidaktahuan. makna ini akan mendorong untuk berhati-hati terhadap alternatif  kebijaksanaan politik yang menuntut biaya manusia yang tinggi. Dengan cara ini dimungkinkan lahirnya ‘partisipasi kognitif’ dimana rakyat memiliki kesempatan untuk merumuskan sendiri ‘difinisi of situation’ sesuai dengan kehendaknya. 

Usulan penulis

 Papua Merdeka atau tidak, fakta modernitas menuntut harga tinggi pada tingkat makna. Karenannya mereka yang tidak mempu membayar harga mahal harus tetap diperlakukan dengan hormat. Lembaga social yang baik adalah diciptakan oleh rakyat sendiri. Andaikan penciptaan lembaga social melawan moderenitas itu, mereka harus diperlakukan dengan hormat, bukan dimusnahkan. Sebab adil atau tidak adil, beradab atau tidak beradap, bodoh atau pintar, miskin atau kaya, bermoral atau tidak bermoral suatu bangsa tercermin dari cara manusia memperlakukan dirinya dan sesama manusia itu sendiri. Besi mengasah besi, dan manusia mengasah manusia, atau sebaliknya.

Penulis, tidak ada model teori pembangunan baru. Penulis hanya memberitahu bahwa politik pembengunan sekarang sudah melupakan fisafat manusia (termasuk etika perjuangan). Kebutuhan fisik, psikis, kognitif tertimbun mitos,”pertumbuhan” dan mitos  “revolusi” . dengan kata lain penulis menganjurkan kepada semua pengambil keputusan politik pembangunan, agar kebijaksanaannya memiliki etika politik. Titik pangkal dari seluruh etika pollitik itu adalah manusia seutuhnya dengan segala dimensinya. Tidak menyampingkan factor agama karena dinegara berkembang (Papua) agama masih dominan sebagai sumber etika politik. Penulis tidak peduli dengan politik pembangunan negara, asalkan manusia dengan segala dimensinya memiliki makna dalam tatanan social, bukan sebagai penanggung beban biaya pembangunan.

Refleksi Ide Papua Merdeka dan Fakta

Penulis telah mengamati sejumlah pergerakkan Papua merdeka, pada umumnya  sama dengan Sosialis dan Kapitalis, alasan menyangkut strategi perjuangan penulis tidak perlu menyampaikan contohnya.  Penulis sendiripun setuju Papua merdeka dengan catatan  memperhatikan usulan penulis diatas.

Factor kegagalan adalah pada draf siklus memandang masalah, cara kita memandang masalah mempengaruhi cara kita berpikir,  cara kita berpikir mempengaruhi cara kita bertindak atau berperilaku. Jika dalam perjuangan ini masih menggunakan ideologi pembangunan diatas, maka  ide Papua merdeka  tidak lebih dan tidak kurang dari ide pembangunan kapitalis dan sosialis yang nyata sekarang.  Semuanya kepalsuan belaka..!!