PASAL MAKAR: SUATU STRATEGI

 MENGHUKUM RASIONALITAS ORANG PAPUA?

Oleh Joseph Baweng

 

Terlepas dari pasal-pasal makar yang dimuat dalam KUHP yang menjadi polemik para praktisi hukum maupun politisi di Papua. Tulisan ini ingin dilihat dari aspek objektif sosiologis dalam masyarakat Papua yang berkembang akhir-akhir ini. Dan tentu saja tidak terlepas dari pengalaman berpikir sederhana yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa penting Bangsa Papua dalam NKRI. Untuk itu, tidak berlebihan kalau hak berbicarapun semakin lantang disuarakan untuk mendidik moral manusia yang semakin hancur hanya karena kekuasaan yang sewaktu-waktu nekat membunuh suara nurani sesama manusia yang tidak mungkin mati itu.

Begitulah  manusia harus dilahirkan dari perbedaan-perbedaan lahiriah. Sesungguhnya perbedaan itu perlu ada karena perbedaan itu akan memberi kesan identitas suatu bangsa sebagai warisan leluhur. Memang "saya bisa menjadi dia dan dia bisa menjadi saya, akan tetapi saya ataupun dia tidak serupa dengan dia atau saya, atau saya bukan dia dan dia bukan saya". Tentunya sangat sesuai dengan dasar dimana tanah dipijak disitu langit dijunjung, itulah yang benar disebut dengan penduduk pribumi.

Barangkali di awal millenium ketiga abad 21 ini, sebaiknya tidak ada lagi bentuk-bentuk penjajahan apapun di atas planet ini. Setiap bangsa berhak atas kemerdekaannya mengatur warna kehidupannya yang unik ditengah-tengah bangsa lain. Dengan begitu semua bangsa merdeka tanpa ada ikatan kolonialisasi yang ingin tetap bercokol mengatur bangsa lain di dalam tatanan pemerintahan sendiri (contoh kasus Papua dalam NKRI), harus dipisahkan Indonesia sendiri punya diri Papua sendiripun punya diri, masing-masing atur dirinya sendiri dengan prinsip-prinsip kemanusian yang peradabannya tinggi.

Konfrontasi fisik mengakibatkan degradasi mental umat manusia,takut dan segan, merasa tertekan, kurang percaya diri dan ditaklukan oleh bangsa lain. Nilai-nilai HAM universal semakin terkikis ketika terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Posisi penduduk pribumi diambil alih oleh aparat militer dan pemerintah yang bertugas di kampung-kampung bagaikan pemilik sumber daya alam. Hal-hal tersebut selalu saja ditepis dengan alasan demi keamanan kedaulatan negara, melawan pembangunan, mbalelo, pembangkang (GPK), keras kepala dan juga subversif serta menjadi urusan dalam negeri, padahal urusan pelanggaran HAM universal sudah menjadi persoalan bersama bangsa-bangsa tanpa batas-batas kedaulatan di dunia.

Dari ketidak-adilan, diskriminasi, perampasan hak-hak bangsa pribumi telah menimbulkan perlawanan/protes oleh penduduk asli terhadap negara. Perlawanan/protes ini dilakukan dalam bentuk pertemuan-pertemuan merancang aksi demonstrasi maupun pengibaran bendera dengan menunjukan diri bahwa Papua Barat pernah merdeka 1 Desember 1961, namun kemudian dianeksasi oleh Indonesia dengan diturunkannya Trikora. Aksi-aksi tersebut membangun kesadaran baru atas identitasnya secara total, namun bagi penguasa Indonesia tidak merasa dipermainkan  karena mereka (orang Papua) bagi Indonesia dengan mudah telah digiring masuk ke dalam jerat makar.

Pasal Makar merupakan alat pelaksanaan kekuasaan negara yang mengandung kekejaman politik bernuansa imperium, di dalamnya terdapat konfrontasi kekuasaan negara terhadap bangsa Papua untuk menjunjung tinggi semangat NKRI. Pengadilan makar lebih akrab disebut juga sebagai upacara ritual politik, suatu paham undang-undang yang sengaja diberlakukan untuk menghukum kebebasan orang Papua di dalam NKRI, yang jelas-jelas berindikasi imperialis. Dijadikan alasan prosedur hukuman yang kejam serta untuk menunjukan pelaksanaan  kekuasaan dan menyatakan kebenaran atas dasar keuntungan politik, pertahanan dan keamanan Indonesia, baik di kawasan Asia maupun Pasifik. Itu hanya kepentingan taktis dan keuntungan jangka pendek yang terasa usang bila dihadapkan pada dinamika masalah maupun tuntutan globalisasi.

Fakta bahwa perlakuan makar dan hukuman dikaitkan dengan bentuk kekejaman politik, merupakan akibat dari mekanisme kekuasaan Indonesia untuk menghapuskan nasionalisme Papua secara langsung, sistematis serta demi mempertahankan dan memperkuat kekuasaan melalui perwujudan pengadilan makar yang tampak sekarang ini.

Kekerasan itu ditampilkan melalui aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban sebagai pembatas, menetapkan dan memberi balas dendam kepada pelanggaran terhadapnya. Maka itu, pemerintah RI harus menunjukan bukan hanya pemaksaan hukum-hukumnya tetapi menentukan siapakah musuh-musuhnya.

Kenyataan lain menunjukan bahwa kekuasaannya tidak terkontrol (absolut) yang harus diperbaharui, akibat-akibat dari pengaruhnya atas jalannya persidangan makar dengan memepertontonkan diri (Indonesia). Hal serupa dilakukan pada musuh-musuhnya dalam pelaksanaan upacara ritual dengan menuntut, kembali menyatakan realitasnya sebagai super power, agar rakyat Papua jadi takut dan tunduk total.

Namun benarkah ideologi Papua merdeka dapat punah bila terjebak makar? Ataukah ideologi tersebut dapat punah akibat termakan waktu atau  itu dapat hilang begitu saja ketika kita sambut pasar bebas dengan kartu tanda penduduk (KTP) Indonesia tapi bangsa Papua Melanesia? Jelas tidak demikian, buktinya mantan tapol dan napol OPM masih melantunkan lagu "Hai Tanahku Papua"

Hukuman-hukuman karena makar juga merupakan salah satu desakan  integral untuk mengakui Indonesia sebagai suatu bangsa yang lahir dari nenek moyang Indonesia, entahlah. Yang terpenting kemenangan rakyat Papua membangkitkan nasionalisme Papua yang barangkali seringkali terdengar bahwa, sejarah sesungguhnya bukan hanya berisi lukisan-lukisan tentang kemenangan dan keagungan elit penguasa, melainkan juga perekaman atas dinamika perlawanan rakyat dan kaum  jelata. Mahasiswa dan masyarakat mencari pilihan paradigma gerakannya sehingga mampu mewujudkannya. Formulasi gerakan-gerakan tersebut sebagai bagian dari pendidikan politik dalam perluasan dan penguatan masyarakat sipil Papua.

Dinamika perpolitikan ini tidak akan pernah basi melainkan menarik untuk diperdebatkan dengan mengacu pada kondisi objektif di tanah Papua dan realitas politik masyarakat Papua. Kondisi objektif dimaksud, adanya semangat nasionalisme Papua yang telah bangkit serta mengkristal di seluruh tanah Papua. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya:

·            informasi baik yang terdapat di media cetak maupun elektronik lokal, nasional dan internasional

·            menjadi topik pembicaraan orang dari kecil hingga orang dewasa disemua tingkatan masyarakat bahkan non-Papua

·            menyaksikan sendiri aksi-aksi yang digelar rakyat Papua.

Sosialisasi nasionalisme Papua sudah lebih menggigit sehingga tidak mengalami kekaburan idiologi Papua yang tetap konsisten dengan non-violance action (aksi tanpa kekerasan).

Sedangkan realitas subyektif, adanya :

·            Demonstrasi 1 Juli 1998 di Jayapura

·            Pertemuan 30 Juli, 30 dan 31 Agustus dan 15 September 1998 di rumah pemimpin besar Papua Barat

·            Pertemuan pada 1 Agustus dan 1 September 1998 di Gedung BPD Irja di Jayapura

·            Dialog Nasional 26 Februari 1999 di Gedung Negara, Jakarta, 100 Utusan Duta Papua bersama Presiden Habibie dan 21 menteri Reformasi.

·            Pendudukan Kantor Gubernur oleh Mahasiswa seJayapura dan masyarakat menuntut penolakan pemekaran dan pelantikan 3 gubernur di Papua yang kemudian didukung oleh DPR TK I Papua dengan mengadakan sidang istimewa.

·            Pengibaran bendera Bintang Kejora 1 Desember 1999 di seluruh tanah Papua

·            Penyampaian aspirasi rakyat Papua pada saat kunjungan Presiden Gus Dur menyambut terbitnya matahari pagi abad 21 di Ufuk Timur Papua 31 desember 1999 di gedung negara Jayapura

·            Sidang Makar Theys H Eluay,Barnabas Yufuway dan Pendeta Agustinus Ansanay, S.Th, MA, Drs. Don AL Flasi, MA dan Sem Yaru

·            Rencana Kongres Nasional Papua Barat Akhir Februari 2000

 

Peristiwa-peristiwa penting di atas semuanya dalam rangka membela rakyat dan tanah tumpah darah Papua, rakyat Papua mau atur rumah tangga sendiri tanpa intervensi bangsa lain. Apalagi dokumen sejarah di negara manapun di dunia ini tidak ditemukan bangsa Papua berasal dari nenek moyang Indonesia.

Ada gagasan yang bertolak dari suatu pra-anggapan bahwa generasi yang sadar dengan identitasnya adalah suatu proses sejarah dan karena mempunyai kesadaran sejarah tertentu, yang membentuk bingkai penglihatan mereka terhadap lingkungan dan alam sekitar (Pemuda dan Perubahan Sosial, LP3S, Februari 1985). Bingkai penglihatan ini terbentuk di  sekolah, kantor pemerintah dalam upacara bendera, penataran P4 pola 45 s/d 100 jam, Lemhanas, Suskalak dan kegiatan-kegiatan yang bernafaskan nasionalisme Indonesia

Menemukan identitas bangsa itu bukan berarti nama Irian dikembalikan sesuai aslinya jadi Papua tapi KTPnya Indonesia,ini suatu pertanda belum ada penemuan jati diri secara total. Jatidiri bukan soal makan cukup, punya mobil, para penganggur dapat jaminan sosial setiap bulan ala suku Inuit di propinsi Quebec di Canada dengan batasan-batasan dari orang lain (bangsa lain). Jelaslah, apa yang dialami bangsa Papua Melanesia selama hampir  empat dekade ini telah digiring ke dalam suatu identitas yang terbentuk lewat proses belajar di sekolah-sekolah, kantor-kantor swasta dan pemerintah dengan bingkai/sangkar NKRI  yang tertata rapi bak lingkungan alamiah nan asri.

Nilai-nilai kebenaran berdasarkan kesaksian sejarah dan para korban yang pernah ditemukan, meski telah berusaha dikubur habis oleh modernisasi orde baru tak akan pernah lenyap dalam liang kenangan sejarah. Sebab dengan keras ia akan terus mengepalkan penilaiannya terhadap kondisi hidup dewasa ini sebagai fakta dan jejak sejarah.

Hati nurani tidak pernah akan membusuk menjadi sekedar rangkaian institusi dan kehilangan spiritualitasnya. Para pelaksana imperialisme dan imperialisme kebudayaan yang sengaja menyembunyikan hati nuraninya terhadap kenyataan kolonialisasinya dengan segala suka cita atas kedaulatan bangsa lain.

Pasal-pasal makar terciptakan untuk menjadikan sejarah fatal (fatal history) serta menghukum rasionalitas orang Papua yang menuntut hak kemerdekaannya sebagai bangsa pribumi Papua yang memiliki sumber daya alam, sosial, budaya, politik dan ekonomi. Tanpa menyadari hal ini maka pemecahan hanyalah akan bersifat suatu dialog tanpa arah. Yang terjadi ialah "Kata tak menemukan Jawab, Gayung tak menemukan Sambut". Suatu salah pengertian yang merisaukan, yang bukan tak pernah terjadi di tanah air Indonesia mengakibatkan pelanggaran HAM, disisi lain terjadi manipulasi sejarah suatu bangsa dalam suatu bingkai besar NKRI yang terdiri dari bangsa-bangsa.

Hukuman makar dalam kaitannya dengan ruang gerak bangsa Papua mengandung beberapa aspek yang merupakan agenda tetap para Hakim dan Jaksa :

·            hukuman rasionalitas pendukung kemerdekaan Papua;

·            hukuman fisik  agar kemudian orang Papua tidak lagi berbuat aksi menentang pemerintah RI dan sekaligus sebagai sarana penghapus mental Papuanis; (bandingkan dengan mantan Tapol-Napol yang telah membentuk forum Persatuan Tapol-Napol Papua)

·            Hukuman rasisme, bahwa orang Papua harus jadi orang Indonesia tulen menurut klaim soekarno atas daerah bekas jajahan Belanda. Sayang sekali bahwa seluruh penduduk Indonesia adalah non-pribumi sehingga wajar dikatakan hukan rasisme (bandingkan sendiri dalam peta Indonesia).

·            Hukuman politik, orang Papua harus tahu bahwa doktrin politik harus berwawasan di dalam koridor NKRI

·            Menghukum kreatifitas bernegara suatu bangsa dengan sistem-sistem kepemimpinan yang unik sebagai bagian dari kreasi kepemimpinan di dunia. Nilai-nilai kreativitas pemberian Sang Pencipta, seolah-olah menghukum Tuhan lewat perangkat-perangkat hukum yang diciptakan oleh negara.

Bukan saja menghilangkan nyawa orang melainkan hukuman-hukuman tersebut di atas telah mendukung pelecehan martabat manusia, menginjak HAM serta suatu upaya merintangi semangat kebebasan bangsa lain di depan pengadilan. Catatan abad 20 dengan Sang Nelson Mandela maupun Xanana Gusmao dianggap rendah dihadapan hukum namun di hati masyarakat mereka tidak serendah hukum itu sendiri. Para Jaksa dan Hakim tidak bisa bermain dengan norma, agama, perasaan atau main kompromi-kompromi politik penguasa. Tetapi bermain demokrasi harus rasional sehingga hukuman bisa diterima oleh masyarakat dengan rasio.

Diturunkannya Roma dan New York Agreement, Trikora oleh Presiden Soekarno merupakan pendudukan yang disertai dengan perlawanan senjata, PEPERA 1969, Daerah operasi militer. Adalah suatu kenyataan menunjukan bahwa pemerintah Indonesia yang memulai menyerang terlebih dahulu dan mengakui bahwa gagasan pemerintah RI sudah habis, sehingga  terpaksa menjebak orang Papua dengan pasal makar. Boleh dikata jujur, sebelumnya orang Papua tidak ada perlawanan dengan bangsa Indonesia, karena memang tidak ada persoalan dengan RI.

Meski begitu sudah menjadi satu kebiasaan bahwa realitasnya Belanda selama 350 tahun menjajah Indonesia tidak pernah mau mengakui bahwa dia adalah penjajah sekalipun Indonesia mengatakan penjajah. Juga dikatakan orang Indonesia bodoh, pemalas, pemabuk, tidak tahu kebersihan, SDM lemah. Pokoknya hal-hal yang merendahkan harkat dan martabat bangsa Indonesia. Hal serupa dilakukan juga oleh Indonesia terhadap Bangsa Papua seperti terjadi sekarang ini. Sekaligus merupakan tranfer stigma yang diberikan penjajah Belanda kepada Indonesia kemudian Indonesia terhadap bangsa Papua. (catatan diskusi seminar dan pameran foto memperingati hari HAM sedunia 10/12/1999 oleh ESL-HAM-Papua di Aula STT GKI Abepura)

Tentu hal ini bukanlah renungan akhir zaman bagi orang Papua terlebih tokoh penggerak semangat kebangsaan Papua yang sedang menghadiri upacara ritual politik di Pengadilan Negeri Jayapura. Banyak jalan menuju kemerdekaan bangsa Papua. Dan bukan pula suatu eksepsi makar buat paka Hakim dan Jaksa tetapi merupakan refleksi moral yang paling dalam. Mudah-mudahan para penguasa RI lewat Hakim dan Jaksa tidak tertipu oleh inderanya untuk menghukum kebenaran yang tidak pernah akan mati selamanya.

Jawaban-jawaban nurani meski terangkat kepermukaan seperti yang diungkapkan oleh ketua UNTEA/ utusan PBB di West New Guinea kala itu Fernando Ortiz Sanz dalam laporannya menyatakan bahwa "saya takut untuk mengekspresikan apa yang saya lakukan pada saat referendum, sebab saya merasa pemerintah Indonesia dan saya tidak melaksanakan pasal XXII ayat 1 dalam perjanjian New York". (Ferry Marisan, Hak Untuk Menentukan Nasib Sendiri dan Mekanisme Kerja PBB, Makalah dalam rangka diskusi seminar sehari dan Pameran Foto memperingati hari HAM sedunia 10/12/1999 oleh ELS-HAM Papua di Aula STT GKI-Abepura)

Catatan hukum yang cacat moral lainnya adalah peristiwa PEPERA 1969 yang melahirkan anak haram hasil perselingkuhan politik antara Indonesia - UNTEA sedangkan Belanda disebut penjajah dan bangsa Papua jadi korban dalam upacara sakral itu. Meskipun sudah 30 tahun lamanya, Bangsa Papua berhak mengetahui sejarahnya yang telah mengalami kekaburan dengan ajaran-ajaran pribumisasi Indonesia.

Hukuman-hukuman makar yang diberikan kepada bangsa Papua dengan gerakan moral yang sangat mendalam telah bergeser dan mengundang permusuhan timbal balik. Karena indoktrinasi yang tidak memberikan kebebasan memberikan pilihan yang terbaik bagi para didikannya. Jelaslah bahwa manusia selalu bersalah baik sadar maupun tidak, tapi manusia bersepakat untuk melahirkan hukum. Memasang pagar-pagar bila terlalu banyak akan mengganggu pemandangan. Sebaiknya Pagar-pagar itu dipasang pada lokasi yang tepat sehingga tidak membingungkan masyarakat yang mau menjalankan aturan-aturan itu sendiri.

Bangsa Papua sudah sadar bahwa para tokoh pergerakan kebangkitan nasionalisme Papua yang sedang menjalani korban persembahan kepada negeri tercinta ini, dihadapan altar persembahan pengadilan Indonesia. Tentu saja pagar itu telah salah tertancapkan bagi bangsa seperti kami ini, Papua Melanesia. Tapi... ada keyakinan bahwa roh para korban perjuangan OPM dan terutama Roh Nenek Moyang Papua Sang Pembangkit Nasionalisme tak pernah dapat didiamkan. IA memang sulit mati, suaraNYA akan selalu bangkit memperdengarkan diri sampai tuntutan akan perwujudan nilai-nilai yang dibawanya terpenuhi, Papua merdeka. *****