PENDEKATAN KEKERASAN DAN ANTI KEKERASAN DALAM PERJUANGAN PAPUA MERDEKA: MENGUJI KEBENARAN MUTLAK Damai tetapi mati atau mati dalam perang untuk damai. Bila demikian, identitas apa yang sedang diperjuangkan, “Orang Papua atau Orang kristen”? Oleh: Joseph Baweng A. Mulai
Dari Pikiran Mereka
Menteri Pertahanan RI
Prof.Dr Mahfud mengatakan “Irja tidak akan dilepaskan dari NKRI apa pun
risikonya” (baca Jubi.No.10 Thn 2000). Sedangkan Kapolres Jayapura Superintenden
Daud Sihombing, lewat radio dan media lainnya menghimbau “agar warga
bersiap-siap mempertahankan rumah dan lingkungannya masing-masing kalau ada
yang menyerang, jangan tinggal diam, tapi lawan”. Kapolda pun mengamini
kelakuan Sihombing. “Mereka kan mengamankan lingkungan masing-masing,
bahkan itu sesuai undang-undang. Kalau mereka diserang orang-orang Papua,
masak diam saja. Bodoh namanya, harus dilawan”. Kaitannya dengan Wamena
berdarah 6 Oktober 2000, menyikapi isu penyerangan kaum imigran di Jayapura.
(Jubi No.16 Thn 2000). Komentar di atas merupakan kebenaran normatif yang mereka ungkapkan.
Di lain pihak, itu tanda mengiyakan, makanya perlu dikritisi dan
ditindak-lanjuti. Wamena berdarah merupakan tolok ukur perjuangan mencari
jati diri orang Papua, sehingga tidak sepenuhnya harus menggunakan pembenaran
normatif, untuk mencari siapa yang benar atau salah. Pelajaran penting yang
mau diambil adalah aksinya yang harus dilakukan oleh rakyat Papua lainnya.
Aksi seperti itu sekarang pun bisa didemonstrasikan langsung dan perlu terus
menerus melakukan perlawanan darurat sipil di penjuru Papua. Catatan khusus lainnya,
pada pembukaan sidang MPR RI (7/8/2000).
Walaupun anggota MPR tidak mau mengakui nama dan keberadaan bangsa Papua.
Kendatipun demikian Drs. Alex Hesegem seorang anggota MPR utusan Papua, mampu
tampil mempertahankan dirinya sebagai manusia Papua sejati. Yang terpenting
disini anggota MPR bangsa Indonesia sudah melihat dan mengetahui kebenaran
faktual namun mereka dikelabui oleh kebenaran normatif yang mereka
(Indonesia) buat sepihak bekerjasama dengan whiteman capitalist. Sangat jelas bahwa bukan untuk membuat kebenaran baru,
justru membedah kebenaran baru untuk mendapatkan kebenaran kuno yang sudah dikuburkan oleh
kebenaran-kebenaran baru. Maka tidak mengherankan dan tidaklah salah bila
gerakan back to basic harus
dihidupkan kembali untuk mendemonstrasikan persembahan nyata kepada Sang
Khalik Leluhur Papua. Nama persembahannya darah yang artinya suci, bukan
merah artinya berani versi Indonesia karena merah konotasinya imperialisme. B.
Coba Bongkar Sedikit
Orang Papua!
Kemerdekaan sesungguhnya yang kau perjuangkan telah diputarbalikkan sesuai
dengan hati dan pikiran mereka yang tidak pernah menderita. Pikiran mereka
menderita tapi hati mereka
senang-senang saja. Malah mereka tiada duri dan onak merintangi keseharian
mereka. Kelompok ini termasuk Orang Papua sendiri dalam romantika interest group dengan mengatasnamakan
HAM dan Demokrasi. Suatu koreksi perjuangan
ini untuk membongkar kelompok-kelompok yang bersembunyi di balik penderitaan
bangsa Papua. Kelompok-kelompok tersebut sedang menciptakan suatu situasi pra
kondisi baru untuk kepentingan ekonomi dan politik dengan memanfaatkan
informasi-informasi berdarah dan himbauan-himbauan kemanusiaan di seluruh
Tanah Papua.
Benarkah kelompok demikian mengalami penderitaan dan berdarah-darah
secara faktual ataukah mereka merupakan pasukan-pasukan suci takut tersimbah
darah demi suatu perjuangan suci? Yah, dialog yang dilakukan selalu mengalami
jalan buntu akibat terhalang oleh kebenaran normatif dan kebenaran
akal-akalan penguasa Indonesia , barangkali juga kebenaran kapitalis.
Di lain pihak, kita selalu berdoa dan berdoa agar keadaan aman dan
damai, jiwa-jiwa korban diselamatkan, keluarga yang ditinggalkan mendapat
perlindungan Tuhan. Ternyata kita menipu dan sedang menghibur batin pribadi
masing-masing, dampaknya tidak terlalu kuat bahkan cenderung bertentangan
dengan nilai-nilai kemanusiaan yang diinjak-injak. Sementara darah terus
bertumpahan seluruh tanah Papua. Yah kita
rindu akan perdamaian, damai untuk eksistensi, damai untuk identitas.
Jalan lain yang perlu ditempuh dalam perjuangan kemerdekaan adalah
menguji kebenaran yang bersembunyi di dalam kebenaran. Meski kita hanya
tinggal 1.000 orang, rasanya lebih baik daripada 2 juta orang Papua hidup
saling mengeksploitasi, apatis terhadap perjuangan bahkan cenderung menjalin
hubungan mesra dengan gaya kapitalis barat.
Dalam konteks perjuangan Papua merdeka,
nilai-nilai Papuanis harus dipertahankan agar tetap ada dan hidup bersama, sedangkan NKRI beserta
perangkatnya wajib keluar dari Papua. Jika tidak, bisa diperhatikan saja,
mental dan perilaku orang Papua dalam mempraktekan hidupnya setiap hari sudah
sering melakukan penyangkalan falsafah, identitas dan karakter Papuanis
Melanesia.
Fakta lainnya, Bupati Jayawijaya Drs. David Hubi mengatakan “bukan
rahasia lagi jika kaum imigran yang menghidupkan Wamena” (Jubi No.10, Thn.2000). Beliau ikut
tidak sadar bahwa ada ketidak-berhasilan pemerintah Indonesia memanusiakan
manusia Papua versi Indonesia. Seharusnya Pak Hubi menyadari bahwa
kemanusiaan orang Papua itu masih nampak ada dan hidup. Jadi tidak
perlu lagi memanusiakan lagi, mereka sudah manusia sejati.
Bupati
Merauke Drs John Gluba Gebze pun menunjukan sifat dan perilakunya
mengatakan"Apabila terjadi pengusiran warga transmigrasi (pendatang) di
Kabupaten Merauke maka hal itu merupakan mala petaka". Menyangkut padi
dan lumbungnya, itu ditanam dan dibangun di Merauke dan bukannya hasil karya
leluhur Papua atau lewat proses alamiah. Melainkan konstruksi falsafah Jawa
dalam rangka penaklukan nilai kemanusiaan Papua. Bila tidak menanam dan
mendirikan lumbung padi, itu baru namanya acuan kembali ke basis.
Kedua Bupati ini menunjukan toleransi kemanusiaan imperialisme, malah
kemanusiaan Papuanya disepelehkan. Isi wacana dari kedua bupati ini lain
tentunya. Justru nilai kemanusiaan Papua itu yang sedang diperjuangkan orang
Papua saat ini. Siapa takut bila hidup tanpa kaum imigran, siapa takut mala
petaka kalau tidak makan nasi. Ini hanya soal biasa dan tidak biasa, tapi
nilai kemanusiaan Papua (Hubi dan Gebze sejati, siapa pun dia Papua) itu
bukan soal biasa atau tidak biasa. Banyak tipe
kelakuan-kelakuan seperti ini yang telah dan sedang dilakukan oleh para
pejabat orang Papua. Kita dapat menyimak satu persatu komentar mereka di
media-media massa. Dan juga dapat mengklarifikasi sifat dan perilaku apa yang
ditonjolkan dalam komentar-komentar para pejabat (sifat dan perilaku Papua
tulen atau Indonesia). C.
Pendekatan Anti Kekerasan dan Kekerasan
Kalau semua orang Papua sepakat berjuang untuk merdeka itu adalah hak asasi. Orang berjuang karena rindu
akan perdamaian. Kerinduan akan damai dalam konteks perjuangan Papua merdeka,
prosesnya dilakukan dengan 2 pendekatan, yakni pendekatan non-violent dan violent (anti kekerasan dan kekerasan).
Isi dari dua pendekatan ini masing masing mempunyai rasio kebenarannya, yang
mana sedang mengkritisi perjuangan yang telah, sedang dan akan berlangsung
untuk mencapai kerinduan perdamaian tadi menurut orang Papua.
Dengan kata lain merebut damai untuk eksistensi dan identitas di atas
kedaulatan bangsa Papua sendiri. Untuk menguji kebenaran rasio dari dua
pendekatan ini, maka dirasa perlu orang Papua bercermin untuk memecahkan dua pendekatan dimaksud. Karena
keduanya mempunyai kemuliaan yang tinggi di hadapan Tertinggi Leluhur Papua.
Akan tetapi, kedua pendekatan ini saling bertolak belakang, begitu
pula proses pencapaiannya pun berbeda, kendatipun demikian tujuannya sama
yaitu merdeka, namun kesucian (nilai kemanusiaan) harus dikorbankan demi
sebuah perdamaian abadi. Mungkin syair lagu ini menjadi dirigen perjuangan
Papua "biarlah yang hitam menjadi hitam, jangan harapkan jadi putih".
Bahkan suci itu tidak selamanya harus putih bersih. Jadi suci menurut dua
pendekatan ini perlu dibedah agar kemapanan itu ada di pihak Papua Melanesia,
artinya suci itu harus dinodai demi sebuah nama yang sedang diperjuangkan ini
tetap exist dan alife. Karena ada untuk mengatur yang hidup dan hidup untuk
mengatur yang ada di atas
tanah leluhur Papua. Dalam pengertian lain, orang Papua makan bukan sekedar
hanya untuk hidup semata, melainkan lebih dari itu, makan untuk
mempertahankan eksistensi.
Oleh karenanya, perlu mengkritisi pikiran-pikiran besar yang selama
ini disembah sebagai tolok ukur untuk membantai pikiran-pikiran genous Papua. Untuk menguji mana yang
dapat dipakai untuk mempercepat proses kemerdekaan negeri yang berjuluk pulau kasuari ini.
Untuk menguji kebenaran dari dua pendekatan ini, tentu bukan pikiran
saja tetapi perilaku pun diuji untuk menggenapi perjuangan Papua merdeka.
Mungkin kita sedang berpikir dan berperilaku seperti pendekatan berikut ini: C.1. Pendekatan Anti Kekerasan
Munculnya pendekatan ini ketika terjadi degradasi moral manusia dan
jatuhnya harkat dan martabat manusia demi sebuah harga perjuangan luhur
kelompok dalam rangka mempertahankan eksistensi
dan kehidupan. Jatuhnya harkat dan martabat manusia ini kemudian
dikelolah oleh orang-orang pencinta perdamaian untuk meminimalisir jatuhnya
korban tindak kekerasan. Pola berpikir tanpa kekerasan ini telah
menghanyutkan orang dalam situasi pikiran yang damai kendati mereka sendiri
bukan tipe orang yang selalu damai seperti cara berpikir mereka.
Ciri-ciri Pendekatan Anti Kekerasan selalu mendekatkan diri dengan
mengedepankan berpikir, berdialog dan menegur, menggunakan asas demokrasi dan
HAM, mengurangi adanya korban jiwa manusia, tanggung jawab moral, mendapat
mandat baik sosial maupun politik dari rakyat. Sedangkan sifatnya, prihatin,
berdiskusi dan berteriak untuk menghentikan kekerasan dengan dasar kerinduan
akan perdamaian. Kadangkala mereka meneriakan yel-yel "kami cinta
perdamaian dan anti kekerasan" dalam aksi-aksi menentang kekerasan yang
dilakukan Penguasa.
Pemeluk Pendekatan anti kekerasan kadangkala bersembunyi pada
cara-cara damai, sehingga mengkonstruksikan diri menjadi rasa aman dan
terhindar dari kekerasan. Ini menunjukan kebangsaannya sedikit sekali.
Sekalipun ada, selalu menunggu kekerasan muncul, opini non kekerasan
digembar-gemborkan agar aman dan damai.
Kehidupan penganut pendekatan ini kehidupan sosial dan ekonominya baik
sekali, menjadi elit dan dihormati karena mereka mampu meredam gejolak Papua
berdarah. Sementara Papua tetap saja dibantai. Apakah kelompok ini mendapat
banyak manfaat dari darah-darahnya saudara kita?. Apa Jalan keluarnya untuk
mempercepat proses kemerdekaan Papua? Semuanya takut dan menyangkal diri
dengan 1001 macam dalil intelektualitas mereka.
Memang tanpa kekerasan rasanya manusiawi sekali, menjadi seni dalam
pemikiran dan penghibur hati dalam pekerjaan kemanusiaan. Kalau kerja untuk
manusianya saja tidak perlu melihat interaksi mereka. Tetapi orangnya saja,
supaya jelas keberpihakannya. Apakah berpihak kepada orangnya saja atau
berpihak pada interaksinya saja ataukah berpihak kepada keduanya. Pilih yang
mana, tergantung rasio dan nurani Papua yang teramat dalam.
Fakta empiris menunjukan, mereka tidak mengalami suatu kekerasan fisik
atau tekanan psikologis malahan mereka merasakannya saja tapi tidak
berkepanjangan. Mereka tidak merasakan penderitaan. Pikirannya saja yang
menderita tapi tidak langsung menderita dan tidak ada kesan menderita, justru
yang terpancang di raut wajah mereka hanyalah wajah berkerut-kerut tandanya
prihatin, marah, jengkel, sedih, mencucurkan air mata dan protes atas suatu peristiwa berdarah
darahnya orang Papua.
Mudah-mudahan mereka marah dan bangkit dari antara orang-orang Papua
yang mati bersimbah darah dan terusik keluar dari tempat persembunyian dan
mengatur paduan suara "Hai
Tanahku Papua"
Sikap kelompok non violent juga mempunyai sifat emosi perdamaian yang tinggi dan
berjangka panjang bahkan tak terbatas. Dalam konteks perjuangan Papua merdeka,
mereka termasuk salah satu kelompok yang mengulur-ulurkan waktu kemerdekaan
Papua Barat. Sifat menghindar diri dan turut serta mengaburkan arti
kemerdekaan menurut orang Papua (merdeka politik). Kelompok ini banyak
menerima manfaat yang sangat besar dari donor-donor yang berprespektif HAM dan Demokrasi.
Dengan demikian banyak terjadi legitimasi pembantaian terhadap sipil Papua.
Kelompok ini perlu merefleksi diri secara sadar serta rasional pula. Karena
secara logika penganut pendekatan ini mereka sudah damai tapi masih cari
damai lewat darah-darah yang dipersembahkan untuk tanah ini.
Dengan kata lain, pendekatan anti kekerasan merupakan pendekatan nabi
yang takut mati karena alergi dengan damainya yang selalu berhubungan erat
dengan kapitalis dan takut akan eksistensi
dan kehidupannya nama besar leluhur Papua.
Pendekatan anti kekerasan termasuk dalam konspirasi whiteman capitalist (Bank Dunia, Bank
Pembangunan Asia dan Dana Moneter Internasional. Dana-dana kapitalis tersebut
diberikan kepada Funding Agency for
Humanity (donatur kemanusiaan) diberikan kepada aliran pendekatan anti
kekerasan dalam bentuk grant (hibah).
Dana grant ini diberikan bukan
untuk dikembalikan dalam bentuk uang tunai melainkan dalam bentuk
pertanggungjawaban program kerja atau pertanggungjawaban profesionalisme. Dan
semua program itu harus berprespektif HAM dan Demokrasi. Mengkritisi
perspektif tersebut, seluruh komponen pejuang Papua merdeka harus menengok ke
belakang dan ingat akan sejarah imperialisme barat yang menggunakan semboyan 3G (Gospel, Gold dan Glory = Injil, Emas dan Kejayaan). Ketiga
semboyan tersebut telah mematahlumpuhkan kemanusiaan Papua beserta isi dari
roh-roh penghidupannya, kemudian diidentikan dengan HAM, Demokrasi dan
Globalisasi (Injil = HAM, Emas = Globalisasi
dan Kejayaan = Demokrasi) .
Dari gambaran konspirasi kapitalis di atas, pendekatan anti kekerasan
sedang memainkan peran untuk menguatkan posisi kapitalis dengan proyek
kemanusiaan yang identik dengan Injil. Padahal Injil Barat lebih awal telah
melecehkan sebuah nilai kemanusiaan Papua sebagai suatu bangsa berbudaya
tinggi yang kaya akan falsafah yang sangat manusiawi dibanding bangsa lain.
Padahal bangsa Melanesia umumnya dan Papua Barat khususnya tidak pernah
mengeksploitasi manusia dan sumber daya alam dari bangsa lain di dunia ini.
Bila diperhatikan secara seksama bukannya suatu kemajuan dalam
perjuangan mempertahankan eksistensi melainkan ada semangat proses mematikan
kreatifitas orang Papua Melanesia. Oleh sebab itu, pendekatan anti kekerasan
perlu dikoreksi agar kita kembali ke mental Papua tulen sehingga Papua juga
memberikan konfigurasi warna tersendiri di mata dunia yang multinasional.
Beban moral kelompok anti kekerasan paling banyak
dipertanggungjawabkan ke donor daripada ke orang Papua yang berdarah-darah
dan mayat-mayat yang menjadi korban persembahan bangsa dan tanah air Papua.
Jumlahnya dibanding penganut kekerasan yang berada di kelompok basis hingga
ke pusat-pusat perkotaan. C.2. Pendekatasn
Kekerasan
Disadari bahwa kadangkala kita tertipu oleh panca indera kita, tapi
rasanya senang pikiran bisa menghibur tapi juga dapat mengacaukan. Hidup pun
demikian, dapat dimainkan secara kasar dengan kebenaran kasar pula, tetapi
rasio pendekatan kekerasan dapat memenangkan babak permainan menuju kedamaian.
Itulah hidup damai mendapat keras sedangkan yang keras mendapat damai.
Bukanlah kutukan atau laknat dari sebuah pengorbanan nilai kemanusiaan, tapi
lebih dari itu merupakan proses seleksi alam yang harus dilewati oleh seluruh
insan sekalipun aliran darahnya lembut atau kasar tapi lewat satu nadi.
Kini orang Papua sendiri tertipu dengan pendekatan anti kekerasan,
kasih sayang ala Kapolda Papua Silvianus Wenas, damai, sopan santun dan adat
ala PDP. Semua pendekatan tersebut dapat di-cover design dengan
pendekatan violent, dengan membunuh
demi identitas kolektif, eksistensi, harkat dan martabat moyang Papua
Melanesia.
Pengalaman Timtim bukan tolok ukur untuk menundah-nundah kemerdekaan
Papua. Kita Harus mati jadi
humus, penyubur tanah ini mempersiapkan generasi kita bersuka ria di halaman
rumah dengan taman anggreknya, cenderawasihnya, mambruk, kasuari, kuskus,
tikus tanah, ular patola, biawak, teteruga, kangguru.
Memang ada yang mengatakan perjuangan Papua semakin kabur. Siapa dan
apa yang kabur? Apakah konsep atau kegiatan perjuangannya yang semakin kabur
ataukah semua orang Papua semakin kabur karena sedang menunggu kedatangan
sang ratu adil dengan pendekatan non-violent
!
Paham kekerasan tidak pernah menunggu perdamaian tapi mencari dan
merebut perdamaian, nilai kemanusiaan Papuanya lebih tinggi di hadapan nenek
moyang Papua sebagai lambang jatidiri dan lambang kerinduan akan perdamaian
bagi orang Papua. Bagi orang Papua membunuh itu bukan dosa bila kedaulatannya
dilanggar apalagi dihina dengan alasan tidak melanggarnya. Membunuh itu salah
satu kebudayaan manusia dan sah jika terus-menerus melakukan perbuatan yang
sama tanpa merasa bersalah dan tanpa pernah meminta maaf.
Munculnya gerakan pembantaian sipil merupakan satu aspek dari ledakan
emosional politik Papua merdeka, yang menunjukan kecenderungan yang erat
hubungannya dengan keseluruhan struktur politik masyarakat yang merupakan
bagian dari gerakan perdamaian yang tumbuh karena penderitaan dan viktimisasi
perang militer Indonesia dengan masyarakat sipil Papua tak bersenjata.
Lagi pula dalam acara siaran Kamtipmas Polda Papua di RRI Nusantara V
Jayapura , Pagi 1 November 2000,
diakhir siarannya menyatakan bahwa " Jaga tanah Papua ini untuk Republik
Indonesia". Logikanya Manusia Papua harus dimusnahkan dan pulau ini
harus dikuasai. Acuan ini acuan imperialis Soekarno yang digenapi oleh cucunya. Kiranya sangat cocok
dan objektif untuk dilanjutkan saja menjadikan tanah ini merah agar
masing-masing mencari jalan mana kawan dan mana lawan, sama-sama rasa. Tidak
mungkin dalam suatu pertempuran alat secanggih apa pun dapat memusnahkan
suatu bangsa rata bersama tanah leluhurnya.
Yang perlu diperjelas di sini secara konseptual apa sebenarnya gerakan
kekerasan. Tentu secara historis baru terjadi di Wamena yang dapat dijadikan
tolok ukur perjuangan di daerah-daerah lain dan ini merupakan peran
fungsional gerakan masyarakat Papua di awal abad ini. Makanya komitmen harus
tumbuh dalam sebuah perjuangan.
Adanya masyarakat sipil non Papua dan lokasi pemukiman transmigrasi
merupakan indikator dari hadirnya militer sedangkan pemukiman penduduk asli
dijadikan issu tempat persembunyian gerakan separatisme sehingga alasan
militer yang ditugaskan di situ
adalah menjaga teritorial NKRI. Tidak ada alasan bagi
perjuangan Papua, masyarakat sipil non Papua harus dilihat sebagai ancaman
bagi orang Papua, karena mereka adalah inti persoalan di negri kasuari ini.
Sipil pendatang sebagai legitimasi nasionalisme Indonesia harus dihancurkan.
Kelalaian pendekatan anti kekerasan yang dapat ditunjukan kepada orang
Papua bahwa: ·
Pendekatan anti kekerasan turut mengaburkan pengertian merdeka dan
membawa pikiran orang Papua ke pengertian kemerdekaan ekonomi ·
Pendekatan anti kekerasan melarang orang melakukan tindak kekerasan.
Jika terjadi pembunuhan terhadap orang Papua barulah berdemonstrasi ·
Sadar atau tidak, percaya atau tidak Pendekatan non-violent juga turut melegitimasi
pembantaian orang Papua,
Kelalaian dari pendekatan anti kekerasan harus dibantah habis dengan
sebuah komitmen agar semua merasa sama dalam penderitaan perjuangan maupun
senang dalam kemerdekaan.
Respon balik dari kelalaian di atas, bahwa seharusnya kita lakukan
pembunuhan karena hajat orang Papua diinjak-injak, demi sebuah harkat dan
martabat karena karakter orang Papua bukan karakter kultural non-kekerasan
yang irasional tapi harus kekerasan yang rasional dan itulah karakter seorang
aktor yang namanya Papua. Membunuh karena cinta kasih, perdamaian, keadilan
dan hukum yang ada di dalam sanubari orang Papua Melanesia. Bila sebaliknya,
maka orang Papua sedang kerasukan roh kapitalis barat dan timur. Oleh sebab
itu orang Papua harus merelakan kehidupannya atau kemerdekaannya, demi
keselamatan bangsa Papua Melanesia. D.
Orang Papua atau Orang Kristen
Sejak 1855 telah terjadi transformasi kultural Kristen barat. Pada saat
itu pula terjadi degradasi nilai kemanusiaan Bangsa Papua sejati.
Sarana-sarana pendukung kehidupan dihancurkan dengan peradaban mereka (barat),
sampai hari ini manusia Papua hidup tanpa nyawa.
Nelson Mandela dan Marthen Luther King Jr, dua orang Kulit Hitam dan
sebagai tokoh anti kekerasan abad 20 yang menang bersama pendukungnya melawan
bangsa kulit putih. Mereka tidak luput dari pertumpahan darah dan tidak semua
anti kekerasan dalam memenangkan sebuah cerita perdamaian dan kemerdekaan
melawan bangsa kulit putih tanpa pertumpahan darah. Yang menarik juga, mereka
berdoa dengan ayat-ayat kitab suci mengungkapkan doa-doa leluhur barat, sehingga mereka bebas dari belenggu
diskriminasi rasial dan penjajahan kulit putih.
Dari dulu hingga sekarang, gereja-gereja mengklaim kebenaran ada
dipihaknya. Sama halnya di Papua. Seakan-akan penentu keselamatan, pusat dari
kebenaran moral dan keadilan hukum ada di gereja. Jikalau orang menyangkal
atau membuat kebenaran baru akan medapat kutukan. Menurut tanggapan nurani di
saat kita kecil bahwa Tuhan dan surga ada di Eropa. Dalam konteks perjuangan
Papua merdeka, doa Kristen tidak akan kena dengan Islam karena penganut
kristen di bawah kendali negara mayoritas penganut agama Islam. Makanya, apa
yang paling cocok itulah yang dipakai sebagai sasaran tembak.
Memang berat rasanya menggugat sesama bangsa, kendati taruhan
gugatannya amat berat. Itulah komitmen dari sebuah perjuangan kemerdekaan
berbangsa dan bertanah air.
Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya diri kita ditempatkan pada sebuah
ruang untuk bercermin diri sendiri. Mungkin kita membuat pertanyaan sederhana di depan cermin sambil bertanya, Apa masalahku sekarang? Di manakah aku
sekarang? Siapakah aku? Darimana asalku? Kapan aku ada disini? Bagaimana cara
masalahku diselesaikan? Kalau dialog berapa korban? Kalau
berperang berapa korban?
Gugatan lainnya bahwa kebanyakan orang Papua baik Kristen maupun Islam selalu mempertahankan
agama dan perangkatnya hanya karena sebuah kepercayaan. Dengan segala dalih
atau bentuk apa pun juga, umatnya akan berjaga-jaga melindungi rumah
ibadahnya masing-masing secara ketat dan rapih dengan pembagian tugas yang
jelas.
Hal ini selalu dilakukan ketika beredarnya isu penyerangan antar umat
beragama. Lalu bagaimana dengan sebuah identitas yang terancam? Dapatkah
semua pikiran dan perilaku orang Papua berubah 100 derajat untuk
memperjuangkan kemerdekaan Papua dengan memanfaatkan pikiran dan tenaganya
seperti menjaga sebuah gedung ibadah?
Lebih baik melindungi dan mempertahankan Ibunda Papua daripada mempertahankan
sebuah gereja yang bukan merupakan kultur bangsa Papua, melainkan lebih pada
sebuah lambang penakluk sifat dan perilaku sejati bangsa Papua Melanesia.
Ibunda Papua akan beranak anak Papua (khusus dan jelas) tapi Gereja tidak
akan beranak Papua tapi beranak Kristen (umum dan tidak jelas). Jadi di Papua
tidak ada orang Kristen tetapi yang ada hanya orang Papua Melanesia
Kalau memang rasanya berat mengatakan demikian, kita sepakat
menghilangkan kata identitas bangsa yang namanya Papua, agar tidak terganggu
perasaan dan moral kebangsaan Papua. Sekiranya banyak contoh aksi lain yang
telah membuang energi dan pikiran untuk memperjuangkan hal-hal yang tidak ada
hubungan dengan kemerdekaan Papua. Kalau bisa aksi-aksi seperti itu
dianalogikan sebagai sebuah perjuangan untuk merebut kembali kedaulatan
Bangsa Papua yang tinggal sebentar lagi akan diganti-posisikan oleh bangsa
lain.
Terkadang orang bertanya kepada seorang Papua "apakah anda orang
Kristen ?" Orang Papua menjawab "Ya". Mungkin ini yang namanya
aneksasi identitas kultural yang melekat pada orang Papua yang tidak bisa
ditukargantikan. Namun kenyataannya orang Papua semakin membuka diri dan
semakin tidak kenal diri. Benar juga bila pelurusan sejarahpun ditegaskan
dalam Kongres Nasional Papua II. Dimaksud agar seluruh pikiran dan perilaku
Papua berpijak kepada dimana langit dijunjung dan di situ bumi dipijak.
Berhubungan dengan itu, banyak pakar psiko terapi siap menganalisis
mental pejuang Papua Merdeka yang sembunyi-sembunyi maupun yang
terang-terangan agar ke depannya berpegang pada Papua Melanesia. Upaya ini dalam
rangka mengembalikan perilaku dan spiritualitas tulen orang Papua. Karena
nampaknya orang Papua sedang menipu dirinya karena telah dikotori oleh
pikiran dan tingkah laku dan mental orang Indonesia dan barat.
Untuk tujuan itu, perlu adanya kritik diri sendiri untuk menoleh ke
belakang bahwa dalam sejarah peradaban orang Papua, di abad 20 belakangan ini orang Papua
dapat berinteraksi dengan dunia luar dan belum berabad-abad lamanya. Menurut
perkiraan hitungan, generasi sekarang merupakan generasi ketiga setelah
kakek-nenek melahirkan Bapak-Mama dan melahirkan anak-anak, kita sekarang ini
melahirkan anak-anak kita semua terjadi diabad 20.
Yang mau dikatakan di sini bahwa kita masih membawa sifat kanibalistik,
naluri membunuh cukup tinggi karena ingatan cerita tete-nene terlalu dekat
dan masih ada di belakang kepala, tinggal eksplorasi keluar dalam bentuk
kegiatan kongkrit. Ingat kata PDP dalam suratnya kepada Kapolda yang
ditandatangani oleh Theys H. Eluay dan Tom Beanal: "Kita siap perang
habis-habisan bersama leluhur Papua terhadap militer". Dalam pengertian
ini, orang Papua harus melihat peluang, sasaran dan ancaman dengan melihat
kembali kepada jati dirinya sebagai alat ampuh. Dapat diubah, bukan perang
terhadap militer melainkan terhadap penduduk migran pendatang.
Kalau Kapolda bilang pendatang non Papua siap membela dan
mempertahankan diri jika ada serangan dari orang lain, itu ada Undang-Undang
yang mengaturnya. Jika orang Papua ternyata dibunuh itu didukung oleh
undang-undang. Ini yang disebut kebenaran normatif. Sebenarnya kebenaran itu
membuka peluang besar bagi rakyat Papua untuk menyerang sipil pendatang.
Kebenaran orang Papua akan berbeda dengan kebenaran orang Indonesia.
Untuk itu, kebenaran harus dibedah dengan pendekatan-pendekatan yang dapat
memperpendek cerita penderitaan panjang. Di dunia ini kadang kala mujizat itu terdapat pada tumpahan darah anak
bangsa. Pertumpahan darah merupakan doa panjang yang harus diselesaikan oleh
setiap anak bangsa Papua Melanesia. Untuk itu, tunggu apa lagi Bangsaku Papua
Melanesia, buatlah sesuka hatimu di atas tanah ini demi anak cucumu. Berikut ini beberapa
catatan : ·
Perlu membangun sebuah imajinasi logis dengan menggunakan karakter
asli Papua Melanesia dan menjauhkan imajinasi logis Indonesia untuk
mendapatkan suatu tindakan nyata menyelamatkan manusia dan tanah Papua
Melanesia. ·
Pendekatan anti kekerasan dengan unsur-unsur demokrasi dan HAM
merupakan ide kapitalis dan imperialis barat yang harus dirobah dengan
demokrasi dan HAM versi Papua. ·
Anti kekerasan sebenarnya bukan kebudayaan Papua Melanesia karena
cinta kasih pun dapat diujudnyatakan dengan membunuh musuh ataupun sesama
yang bersalah terus menerus dengan nafsu apa pun. ·
Upayakan sifat dan perilaku tulen Papua itu muncul ke permukaan publik ·
Komponen orang Papua harus menggarap satu lahan perjuangan dan jangan
bagi-bagi lahan dengan alasan mandat yang berlainan. Jangan ulangi teori 3G
ala kapitalis barat/timur ·
Saat ini uang dapat menghancurkan moralitas sebuah perjuangan Papua
merdeka. Saat ini pula isu kemiskinan, keterbelakangan dan kebodohan
merupakan roh penghancur semangat idealisme Papua sejati. Sudah saatnya kini kita
lebih menaruh kepercayaan dan hormat yang tulus pada kesadaran dan kerinduan
akan pembebasan itu, yang sedang tumbuh subur dalam sanubari dan iman leluhur
Papua. Sebagian besar rakyat kecil di tanah Papua kaum yang berdarah-darah
dalam perjuangan Papua merdeka telah membuat kesejahteraan hidup bagi kaum non violent (anti kekerasan) di tanah
Papua. Di kesehariaan
lalu-lalangnya manusia Papua membicarakan nasib bangsa ini dengan berbagai
saran dan pendapat mereka. Mereka merasakan fenomena perjuangan Papua merdeka
sudah tidak sesuai lagi dengan harapan kaum yang melegenda. Kata mereka "mati hari ini sama
dengan mati besok". Pilihan paham kekerasan ini, merupakan suara bahagia
yang saya dengar dalam pengalaman iman leluhur Papua. Saya lebih percaya pada
carita leluhur sendiri sebagai
refleksi alamiah yang harus diujudnyatakan dengan mngorbankan darah. Kalau anda mau
cukur jenggot, gunakanlah silet Kalau mau babat
rumput, pakailah parang Kalau mau tebang
pohon, pakailah kampak Kalau mau lawan
Inggris, sorotilah demokrasi Jika hendak lawan Amerika, kedepankanlah HAM Semuanya merupakan
kesalahan fatal kalau kita salah membaca alat dan tujuan dari alat yang kita
pakai dalam melawan Indonesia. Lakukan dengan ketulusan
hati, meski tangan kananmu berwarna merah dan tangan kirimu berwarna putih Biarlah kupersembahkan
darah ini di atas altar persembahan suci leluhurku Papua. Tuhanku adalah
Tanah Airku, Moyang Papua
Melanesia. |
VIOLENT AND NON-VIOLENT ACTIONS IN THE WEST PAPUA INDEPENDENCE MOVEMENT: TO TEST THE ABSOLUTE TRUTH Peaceful but die or die in a battle for peace. If that is the case, which identity are we fighting for: "Papua identity or Christian Identity?" by Joseph Baweng? A. It Starts from their Thoughts The Indonesian Defense Minister, Prof. Dr. Mahfud said, "Irian Jaya will not be allowed to disintegrate from Indonesia whatever the risk is." (read Jubi. No. 10. Yr. 2000). While the Japura Police Commander, Superintendent Daud Sihombing announced through local radios and papers "that all people should be on alert to defend themselves, their houses and their environments whenever anyone attacks, do not stay without reacting, you must fight back." The Papua Regional Commander also has the same attitude towards the matter. "They are protecting their environments, and it is according to the laws. If they are attacked by the Papuans, should they not fight back? That is called foolish, right? They should fight back." In relation to the bloody-Wamena on October 6 2000, and also in response to rumour that Jayapura will also be attacked by the Papuans. (Jubi No. 16 Yr. 2000) The above comments are normative truths that they expressed. On the other side, they approved violent actions, therefore it needs further criticisms and follow-ups. Bloody-Wamena is the measure for all of us in search for a Papua identity and integrity, therefore, we cannot fully apply the normative truth to find out who is wrong and who is correct. The lesson from this event is the way the event happened. The same thing can happen anytime anywhere in Papua. Another special note, is at the opening ceremony of the House of People's Meeting - MPR RI (7/8/2000). Even though members of the MPR RI did not want to acknowledge the name "Papua" for the Papua people, Papuans' representative to the House, Drs. Alex Hessegem has shown himself as a pure Papuan. The important thing here is that the MPR members already seen and known the factual truth but they are being manipulated by their normative truth, to co-operate with the white man-capitalist. It is obvious that there is no new truth, what actually happens is digging up the new truth to get the old truth that has been manipulated by the new truths. Therefore, it is right to say that we need to back to basic should be revived to demonstrate our real sacrifice to the Creator of Papua. The name of the sacrifice is blood, which means holly, not the same as the meaning Indonesia uses for red as brave cause read has a connotation similar to imperialism. B. Let us Open a Little bit Hi Papuans! The real independence that you are fighting for has already been manipulated in accordance with the hearts and minds of those who never felt any sufferings. Their minds suffer, but their hearts stay happy. Event they do not have any obstacles in their lives. This group of people also including Papuans who are in the same romantic interests with interest groups in the names of Human Rights and Democracy. This is a correction to current struggles to identify groups who are hiding behind the sufferings of Papua people. Those groups are now creating a new pre-condition for their economic and political interests by effectively using information on bloody events worldwide with humanitarian statements all over Papua. Do they really experience the sufferings and do they bleed in reality or are they just the holly troops who are scared of blood for the sake of a holly battle? Yes, they do hold dialogues, but they always face failures due to the normative truths and made-up reasons of the Indonesian colony, perhaps it is also a truth of the capitalist.
|