Another Letter of Advice  | Letter from Gebze to PIF   | From Octovianus Motte on Book Publication   |   Letter from TPN to Indonesian Supporters in Jakarta

AMP Numbay Updates on West Papua Peaceful Demonstration
INDONESIAN POLICE USES THE PEOPLE'S REPRESENTATIVE OFFICE AS A TRAINING CAMP TO EXERCISE AND PERFORM THEIR POWER

Port Numbay, 21 Desember 2001

The Indonesian police has made the office of the People's Representative (DPR) as their training camp, to show their military power to the tribal people of West Papua. Four tanks, 6 trucks and anti-riot equipment as well as tear gas with firearms (M.16 and AK.40 were all ready to fight at the DPR office.

Plus, 5 battalion and 4 other trucks full of police were patrolling the towns of Jayapura, Abepura and Sentani (Sentani is about 30 km from Jayapura or Port Numbay).

All was done to intimidate the Papuan students, Papua Task Force (Satgas Papua) and ordinary people who came
to the office peacefully to demonstrate their refusal of Jakarta's forceful deal of Special Autonomy Package to be handed as the Christmas Present by the President herself on 22 December 2001.

Total number of around 1000 people in 7 trucks came on 20 December at this office to peacefully demand the promise of dialogue from Jakarta which has not been fulfilled until today.

The people also demanded to investigate and point out the motifs and murderers of the late Ondofolo Theys H. Eluay. Major demand is to hold a national dialog with Jakarta. And if Jakarta is not willing to fulfill the demand, there should be an international dialogue to resolve the conflict.

If these two are impossible to reach, they are demanding a referendum to be held to determine the future of West Papua, democratically and peacefully.

With the show of force and power, the students and ordinary people were dismissed, they are not allowed to speak at the people's representative (their own representatives') office. Each gate of the two was parked with a tank and troops to keep the people out of the office.

Finally, the mass came back to HQ of Satgas Papua, the house of the late Ondofolo Theys H. Eluay in Sentani
Yours sincerely,

AMP Port Numbay Reporting

------------------------------------------

Dear Sobat Papua,

Hal legitimasi adalah persoalan yang patut dari awal dan secar dini harus disadari. Tentu kita tidak kerja untuk sesuatu yang tidak bakal membawa kebahagiaan bagi kita dan generasi mendatang. Pengalaman menunjukkan pendahulu kita yang dikumpul secara paksa untuk mengakui legitimasi rekayasa pada PEPERA 1969, lalu kemudian mereka di atara para terlegitimasi itu balik mendakwa hal yang tidak benar itu. They Eluay membuktikan ini atas dasar pengalamnnya yang bukan baru dimulai waktu turun dari DPR sebagai anggota Golkar sebagaimana dipergunjingkan oleh berbagai pihak. Perjuangan Pengembalian Hak Kedaulatan Papua itu sudah dimulai jauh sebelumnya. Tarulah pada tahun 1988 dengan memulai usulan pergantian nama Ibu Kota Jayapura menjadi Port Numbay dan mulai beredar desah tentang nama Papua; Wujud representatif sebagai wakil orang/rakyat Papua disuarakan melalui Dewan Adat Irian Jaya atau yang kemudian dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri-RI bagi seluruh Indonesia digunakan istilah Lembaga Musyawarah Adat (LMA). Sebelum hadir PDP atas peristiwa besar MUBES dan Kongres, Dewan Adat sudah membuat gebrakan yang luar bisa antara lain Deklarasi Port Numbay 12 November 1999 dan Pengibaran Bendera Bintang Fajar sebelah-menyebelah dengan Dwi Warna sebagai titik awal memulai Diplomasi Pelurusan Sejarah. Ini wahana yang telah terbangun dan by it self having made to be legitimated. Apa yang dibangun dari Australia ini tentu harus juga berhati-hati dengan menyimak apa yang disiasati Rumaseb maupun Gebze. Bukan berarti tidak ada kerja di DN. Bisa saja kita lakukan itu secara kita sendiri tentu dengan sangat-sangat rahasia misalnya pooling atau mengumpulkan tanda-tangan, tetapi kan juga bisa dipertanyakan Indonesia, karena tidak ada jaminan atau kesepakatan tentang adanya upaya sejenis. Sampai sekarang telah ada formulir yang diisi tanda tangan tetapi pasti juga orang bertanya, harus dilengkapi l;agi dengan pas-foto, lalu KTP/Pasport, Kartu Keluarga dan serba kesulitan lainnya lagi. Sementara untuk dapat legitimasi di tahun 1969 begitu mudahnya, hanya cukup bicara kasar, intimidasi, maka dengan sendirinya terjadi penurutan. Serba salah rupanya. Tetapi saya secara pribadi merasa betapa pekerjaan yang diprakaresai di Australia ini boleh membawa suatu kenikmatan kerja, prediksi, pandangan, opini, setidaknya. Orang Papua, Indonesia, dan siapun juga tahu, bahwa Orang Papua tidak berjuang sendiri, ada yang mendukung meskipun hanya secara moral. Bahwa orang Papua apalagi anggota PDP tidak melacur diri dengan OTSUS dan sebagainya yang bukan menjadi urusannya. Aneh, seluruh rakyat dengan perwakilan 14 Kabupaten ditambah utusan Betawi dan Mahasiswa semunya menolak, juga pernyataan terakhir PDP 19 Oktober 2001 sementara di seberang sana perewakilan yang ditujuk mewakili PDP berbicara tetang mengucapkan terima kasih kepada Megawati karena bisa kasih OTSUS kepada Papua. Apa ini sesungguhnya.

Terakhir, coba teman-teman di Ausi cari jalan keluar. Bisa juga kami kirim copy dari blanko yang sudah dittd cuma kalau pas foto, KTP dan Kartu Keluarga dan sebagainya harus juga diminta maka jawabnya ...this is impossible, because.. nanti ada kesulitan besar dengan authority di Tanha Papua sekarang yaitu Pemerintah RI dengan TNI dan POLRI-nya. Hayo siapa berani. Kalu seperti hari ini (20/12) truk-truk bermuatan pasukan dengan sirene dan deru mesin panser meraung-raung dan dihadangkan di depan Gedung DPR Provinsi, mau bilang apa oarang Papua, hayo, kalau berani, Inikan? Sementara yang lain dengan pakaian preman (free-man) berkeliaran dalam seluruh lini kehidupan. Betul-betul terkepung. Apa ini juga kita tanya legitimasi? Dan pembunuhan Pemimpin Papua, Theys Eluay apakah sah, terlegitimasikan? Dorang menyangkal "Itu perbuatan Oknum" sementara sebelumnya bantah sampai, pakai sumpah-sumpah.

Maaf, terlalu banyak, Tetapi ada sesuatu yang harus dibuat. Bukan mengupayakan orang berterimakasih kepada Megawati tetapi harus ada upaya agar keamanan di Papua itu terjamin sehingga orang Papua jangan mati seperti.... B I N A T A N G..!!!!!!!

----------------------------------------------

Dear all, from HGz

Polemik yang terjadi antara kita dalam menindaklanjuti hasil-hasil petisi yang akan diserahkan kepada Sekjend PBB, setidaknya memberikan gambaran yang cukup rasional dengan adanya sanggahan dari Sdr. Rumaseb.

Bahwa, "validitas" dan "legitimasi" penandantangan Petisi tersebut lewat internet tentu akan sangat
diragukan. Walaupun ada beberapa keuntungan yang dapat kita ambil dari sisi ekonomis, artinya bahwa kita tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk mendata dan mengambil tanda tangan setiap orang Papua yang telah memiliki hak suara. Baik di Tanah Papua maupun yang ada di Luar Tanah Papua. Cukup dengan Rp.10.000,- kita sudah bisa kumpulkan 20 sampai 50 tandantangan  dengan hanya datang duduk di depan monitor komputer lalu bikin tanda tangan.

Gagasan yang telah dituangkan oleh AWPA sangat brilian memang, namun sekali lagi, legitimasi dan validitas hasil petisi ini yang akan diperhitungkan oleh seorang sekjend PBB dengan sejumlah staff ahlinya bahkan oleh seluruh komponen masyarakat Internasional.

Kalau digugat oleh RI, lalu kami mau taruh muka dimana lagi? Secara hukum mereka (Indonesia) bisa untung karena Internet adalah media yang sangat mudah dipakai untuk rekayasa dan kita bisa dijebak serta kalah disini. Kita juga saat ini sedang melakukan rekayasa itu (dengan gunakan Internet sebagai media), sadar atau tidak sadar.

Disini kita bicara sebagai Bangsa Papua yang tau betul slogan perjuangannya selama 40 thn dari penjajahan Indonesia, yaitu: ONE PEOPLE, ONE SOUL. Slogan ini yang telah dipakai sebagi Gi-Roh Perjuangan Bangsa Papua sampai detik ini.

Jika, pengumpulan tandatangan lewat Internet ini tidak legitimate dan kurang ada validitasnya, maka kita boleh pikirkan cara lain yang menyentuh dan melibatkan seluruh aras grass-root Rakyat Papua Barat yang telah punya hak suara untuk tentukan nasib Bangsanya kedepan.

Logika musyawarah (seperti layaknya Indonesia waktu paksakan PEPERA'69) yang kita jalankan dalam menindaklanjuti petisi ini lewat PIF, adalah juga mengurangi separuh bahkan sebagian besar dari hak-hak Rakyat Papua lain, yang tidak kenal Internet atau bahkan untuk sebutkan kata ini saja sangat sulit.

Bukankah Konferensi Internasional tentang Papua Barat yang diselenggrakan di Bavaria, Jerman beberapa waktu lalu telah menghasilkan kesepakatan yang cukup penting dan sangat strategis bagi perjuangan Papua?

Ada dua team yang dihasilkan, yaitu "Team tentang Peluruasn Sejarah" yang diketuai oleh Dr. John
Stalford dan "Team untuk Tindakan Hukum bagi Rekayasa Pepera'69' yang diketuai oleh Prof. Sam Blaime. Bukankah tugas dari "Team untuk AKSI HUKUM" ini sama persis dengan apa yang telah dan sekarang tengah dilakukan oleh kita bersama-sama dengan tanda tangan petisi lewat Internet ini?

Bagi saya, pilihan lebih strategis dan tidak memalukkan Bangsa Papua untuk generasi ini sampai beberapa generasi yang akan datang adalah dengan tidak membuat kesalahan sejarah yang fatal bagi perjuangan Bangsa Papua, kita tidak malu dalam perjuangan kita dan kita tetap berjuang pada roda keadilan dan kebenaran itu. Sekali lagi ini persoalan "LEGITIMASI" dan "VALIDITAS" hasil yang mau kita capai.

Untuk hasil-hasil Konferensi Bavaria, terutama bagi kerja-kerja "Team untuk AKsi Hukum" sebaiknya kita tindaklanjuti guna kumpulkan tandatangan yang nanti mereka bawa ke PBB pada SU Th 2002 nanti.

Saat ini, mari kita siapkan Panitia yang akan bantu kumpulkan tandatangan diseluruh kota di Papua Barat sampai pelosok terpencil dari kumpulan manusia Papua yang jauh dari pearadaban modern ini, untuk bantu "Team untuk Aksi Hukum" ini.

Untuk Rakyat di Papua bisa diberikan pada PDP sebagai organisasi payung untuk atur masalah ini, dan kini saatnya rekonsiliasi bagi semua organisasi Gerakan Papua. Di pegunungan tengah dan ke Selatan bisa diberikan kewenangan ini dilapangan bagi DEMMAK, juga untuk FORERI dan MAMTA (Rukun Masyarakat Mamberamo-Tami) dapat ambil bagian dalam aksi ini. PDP tinggal koordinasi dengan organ-organ tadi.

Untuk Mahasiswa, PDP lewat Panel Mahasiswanya bisa koordinasikan ini dengan Aliansi Mahasiswa Papua dan Front Mahasiwa Nasional Papua Barat serta Solidaritas Nasional Mahasiswa Papua (SONAMAPA)dll.

Disinilah sentimen nasionalisme kita akan teruji dan terbentuk dengan matang. Tidak boleh ada arogansi dan atau eksistensi organisasi yang berlebihan, sejarah telah ajarkan kita dengan baik tentang kegagalan-kegagalan Perjuangan kita.

Untuk tanggapan lanjut, menyangkut Konferensi Bavaria-Jerman, saya kira, Kaka Ottis, Kaka Sem
Karoba, Kaka Henk Rumbewas, Kaka Paula Makabory, Kaka John Ondowame dan beberapa delegasi Papua lain yang hadir pada saat jkoferensi tersebut bisa jelaskan kepada para pejuang Papua lainnya.

Demikian, untuk jadi periksa dan perhatian kita bersama.

Salam Pembebaan,
"BERSAMA KEBENARAN SEJARAH SANG BINTANG KEJORA"

H.L Gebze
--------------------------------------------

Saran saya, segera dipercepat penerbitannya karena tulisan macam itu hanya berguna bila cepat diterbitkan sebelum kasus Pak Theys terungkap. Jangan lama-lama karena kalau lama manfaatnya kurang begitu terasa. Ingat dari keterangan Kapolres DAud Sihombing maupun Kapolda sudah jelas pembunuhnya yakni Kopassus. Cuma sulit mengharapkan Polisi tunjuk bantang hidung apalagi kalau itu atas kemauan Jakarta.

Buktinya, Daud Sihombing menyebutnya secara simbolis musang berbulu ayam masuk kandang ayam. Lebih transparan lagi dengan kata-katanya berikut ini, yang bunuh adalah mereka yang terus berkotek. Dan siapa lagi kalau bukan tentara yang terus menekan para pejuang kebenaran melalui berbagai macam teror itulah yang dia maksud. DAn aneh bin ajaib, Kapolda malahan mengatakan lebih jelas lagi, yang bunuh Theys adalah yang sembunyikan Aris. PAdahal masyarakat sudah tahu melalui laporan Elsham bahwa Aris berada ditangan Kopassus. Artinya secara tidak langsung Kapolda jawab tuntutan massa demonstran bahwa yang membunuh adalah Kopassus.

Jadi sol kita bukan pada siapa pembunuh karena ini hanya soal waktu, kriminal itu akan tertangkap. Soal kita adalah bagaimana menunjukkan bahwa ini adalah bagian dari rangkaian operasi besar-besaran terhadap Bangsa Papua, entah intelektual bebas dan mereka yang menjabat sebagai pegawai RI hingga rakyat banyak. Puji Tuhan, dokumen operasi itu sudah ada ditangan masyarakat. DAn Pemerintah akui bahwa memang ada dokumen itu. DAn baru kemarin, setelah Kontras temui Mendagri, Mendagri mengakui secara tidak langsung bahwa Theys memang dibunuh sebagai bagian dari operasi tersebut dengan mengatakan." Rakyat, termasuk Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), harus memahami bagaimana cara sebuah negara yang berdaulat melihat dan mengatasi gerakan separatis di dalam negaranya. Tidak ada satu pun negara di dunia ini yang memberikan toleransi atas keinginan wilayahnya untuk memisahkan diri".

bagi orang yang terbiasa membaca gaya tulisan media Indonesia yakni "between line", ungkapan itu jelas sekali menunjukkan keterkaitan Negara. Theys jelas pemimpin separatis dalam kosa kata hukum Indonesia. Hukum tidak berlak bagi orang macam Theys. Apalagi dibagian bawah dari tulisan itu ia kembali isyaratkan bahwa kalau membiarkan orang macam Theys itu ada dan hidup, tidak ada negara Indonesia. Disini tantangan para pekerja HAM dari luar tanah Papua, apakah komit pada nilai kemanusiaan yang lebih tinggi daripada batas suatu negara atau mundur dan tunduk dibawah "HUKUM" regim yang berkuasa.

Syukur padamu Tuhan, karena pada hari yang sama 3 Pimpinan Gereja tampil dimuka, menolak Tim Komnas HAM yang sudah mengecewakan rakyat Papua selama ini dan mengundang Tim Internasional. Inilah saatnya bagi seluruh rakyat Papua untuk mendukung usaha yang dilakukan Gereja yang kini tampil dimuka sesuai panggilan suara kenabian, agar Tim Internasional datang menuntaskan kasus HAM dari tahun 1962 hingga yang terkini, kasus Pak Theys.

Indonesia keliru besar. Mereka percaya seakan-akan rakyat akan lupa kasus Theys karena hendak menerima uang melalui Otonomi Khusus. Atau, karena sibuk menolak otonomi, sehingga kasus Theys akan dilupakan. Saya sungguh geli melihat cara Indonesia menghadapi aspirasi rakyat yang murni, damai dalam nuansa dialogis ini. Karena orang-orang kampung yang tidak berpendidikan dan dianggap amat sangat bodoh itu membuat Jakarta bingung luar biasa. Coba lihat, Theys dan kawan-kawannya belum terbukti salah, kasusnya sedang berjalan sudah bicara soal Abolisi segala. Anak kecil pun tahu kalau Abolisi hanya diberikan kepada mereka yang terbukti salah. DAn bagaimana mau menyalahkan para pimpinan Papua ini, kalau Bintang Kejora kini diperbolehkan berkibar, lalu Kongres dan Mubes bukan saja atas ijin tetapi dibiayai oleh Kepala Negara Republik Indonesia. Karena itu kalau Indonesia tahu menghargai hukumnya sendiri, mereka mestinya bebas demi hukum. Dan Bangsa mestinya tidak mundur untuk mendukung usaha dan perjuangan pimpinan Gereja sekarang, menuntut datangnya Tim Internasional untuk tuntaskan kasus HAM sejak 1962.

Menkopolkam, Yudoyono sebagai orang yang sungguh pintar tahu betul bahwa kasus Theys ini bisa mengkaitkan berbagai masalah lainnya. Itulah sebabnya ia katakan, bahwa Tim Independen Nasional akan diusulkan asalkan jangan menuntut yang macam-macam. PAk SBY, sudah terlambat dan akan semakin keliru kalau membiarkan pola lama yakni menghadapi lawan hanya dengan membunuh. Kasus Timor Lorosae, jelas menunjukkan kegagalan pola itu yang terus dipakai. DAlam kasus Acheh barangkali Indonesia menang karena saudara-saudari Bangsa Acheh itu kebetulan beragama Islam, langsung dengan muda mengkaitkannya dengan Ekstrimis dari Timor Tengah yang menjadi musuh bebuyutannya Amerika Serikat. Atau kasus Poso dan sebentar lagi atau mungkin sudah dengan Kasus Maluku. Artinya, militer yang terlibat dalam menciptakan kekacauan di daerah itu membersihkan diri lompat masuk perahu Amerika babat laskar Jihat yang menjadi pion di lapangan catur. Persis gaya diawal Orde Baru --sebagaimana diceritakan berbagai buku terbaru--, dimana Soeharto yang tahu betul PKI dan diduga terlibat didalamnya paling kurang dari kedekatannya dengan para tokoh PKI itu lalu begitu aksi pembantaian terjadi, lompat dari perahu itu dan masuk perahu lain balik bersihkan teman-temannya sendiri.

Bangsa Papua tetap konsisten dengan pola perjuangan sekarang ini damai, dialogis jangan terpancing provokasi. Dukung apa yang diperjuangkan Gereja, dukung apa yang diperjuangkan PDP dan memperhatikan seruan Lembaga-Lembaga HAM terutama Elsham. Hanya dengan jalan itu, Papua sebagai Zona DAmai bisa terwujud, bukan karena kehadiran militer Indonesia, bukan karena semakin profesionalnya Polisi Indonesia dan bukan karena Pemda yang dapat uang banyak.

Peace
tov



Terima kasih,

========================

Kepada Teman-Tema LMND di Jakarta

Kami orang-orang Papua yang ada di hutan rimba Papua mau menyampaikan ucapan terima kasih
setinggi-tingginya atas dukungan kepada perjuangan bangsa Papua.

Teman2 perlu ketahui bahwa baik kami yang ada di hutan rimba maupun teman2 kami di tanah Papua dan bahkan di luar negeri yang merantau TIDAK PERNAH RASA BENCI atau DENDAM kepada teman2 Indonesia. Bukan karena alasan dengki kami berjuang dan mempertaruhkan nyawa serta menderita di hutan-hutan. Bukan pula hanya karena kekayaan kami dibawa keluar dari Papua ataupun karena kami masih mengenakan koteka alias primitif. Kami harap teman2 di Jakarta tidak memiliki kesan demikian.

Perjuangan kami adalah perjuangan semesta, perjuangan yang merupakan bagian dari perjuangan untuk menolong Indonesia, karena dengan kemerdekaan Papua, Indonesia akan berdiri atas kaki sendiri alias berdikari seperti diinginkan Sukarno. DEngan Papua, Indonesia akan diperalat oleh tangan2 jahil dari luar yang tidak manusiawi. Kemerdekaan Papua akan membuat Indonesia terlepas dari belenggu tekanan asing, karena mereka punya dapur di Papua dan mereka menggunakan NKRI untuk meraup harta sebanyak2nya. Apalagi perusahaan seperti Freeport telah diberi hak mengambil kekayaan Papua sampai kapanpun, sejumlah berapapun, tanpa batasannya.

Mungkin karena saya seorang pejuang di hutan-rimba yang bicara, teman2 di Jakarta akan kurang percaya, tetapi itu biarlah. Kami yang jelas bicara dari hati ke hati.

Kita sedang berperang melawan tipu daya dunia Barat demi kepentingan perang dingin mereka tahun 1960-an. Tipu daya itulah yang telah membunuh lebih dari 1 juta penduduk Indonesia tak berdosa di waktu G30S/PKI. Alasan yang sama pula Indonesia selalu ditekan sampai hari ini. Sekarang perang dingin telah berlalu. Sekarang perang anti terorisme, perang anti globalisasi, perang anti World Trade Organisation. Perang ini hanya dapat dilawan kalau kita di dunia ketia saling membantu, saling memerdekakan dan saling mengatur barisan sana-sini. Selama kita masih bertanya
kepada dunia luar, selama itu pula kita masih dijajah, maaf kalau kami katakan NKRI adalah bekas jajahan Hindia Belanda tetapi adalah jajahan AS saat ini. Ini fakta. Sekali lagi maafkan kami kalau ini salah!!

Hanya pada waktu rakyat Indonesia bersatu dengan rakyat Papua memerdekakan Papua, waktu itu semua rakyat Indonesia yang awam akan berkata: "Kenapa tidak dari dulu?" Waktu itu Papua dan Indonesia akan menjadi negara sahabat terkuat, karena Papua ada di pintu Pasifik dan Indonesia ada di pintu Asia. Kedua negara itu akan tumbuh kakak-beradik dan semua rakyat akan hidup dalam keadilan dan kemakmuran.

Yang harus dibuat politisi Jakarta adalah, lupakan mengemis kepada IMF, uang yang mereka punya itu dibawa dari Papua dan Aceh. Jangan berurusan dengan pencuri uang itu, tetapi berurusan secara damai dengan orang yang punya uang itu.

Kebenaran di pihak kita, dan rakyat Papua selalu yakin sungguh2, entah bagaimanapun juga gencarnya kampanye miilter NKRI, bahwa kebenaran itu akan menang, karena ia selalu dan pasti menang. Kita semua hanyalah tunggu waktu. Alm. Theys H. Eluay selalu berkata ketia beliau
hidup: "Kemerdekaan Papua sesungguhnya ada di tangan Tuhan! Dan kemerdekaan itu sudah ada! Kita tinggal tunggu pengakuan NKRI atas dasar adat, sopan-santun dan penuh perdamaian!"

Kami rindu waktu itu, waktu di mana rakyat Indonesia bangkit membantu adik2 mereka di Papua dan waktu di mana keduanya saling memaafkan dan waktu keduanya bangkit bersama untuk membangun kedua bangsa bertetangga itu menjadi adil dan makmur.

Amin............!