WEST PAPUA: Nama yang Diperkosa Habis-Habisan
Oleh S. Karoba (Inggris, 3 Januari, 2000)
Menu Isi:
Arti sebuah Nama
Mulai Tanggal 1 Jan 2000 nama Irja menjadi Papua
Hukum Supply-Demand
Ini Perkosaan Hakmu, bukan sekedar Nama

ARTI SEBUAH NAMA
Sadar atau tidak, sebuah nama sangat berarti. Tidak usah jauh-jauh, pikir sejenak tentang namamu sendiri. Apa artinya namamu? Apa reaksimu jika berbagai macam orang datang dan memanggil namamu dengan nama yang berlainan? Ada yang bilang, "Kulit hitam, rambutnya melingkar-lingkar seperti fer" Ada yang sebut, "Anti Belanda!" Ada yang menyapa, "Oi, Pace Telanjang!"Ada yang panggil, "Tukang makan orang!"

Sebuah nama hanya "nama," tidak begitu masalah! Sebuah nama hanya huruf-huruf tersusun membentuk barisan huruf yang menjadi kata, hanya arbitrary! Begitukah? Kami beri nama New Guinea (Guinea Baru) karena Guinea (Guinea Lama) ada di Afrika, orangnya berkulit mirip, rambut sama! Begitukah? Kita sebut mereka Melanesia, karena mereka bukan Austronesia! Demikian? Kita panggil tanah ini "Irian" karena ini tanah panas! Begitukah? Kita tambah kata Irian dengan "Jaya" untuk menandakan kejayaan kita di negeri ini, bukan? Kita usulkan nama Irian Jaya menjadi Papua karena Irian Jaya itu singkatan Ikut Republik Indonesia Anti Netherlands! Begitukah? Kita rubah Irian Jaya menjadi Papua karena orang Papua menuntut! Begitu? Kami ganti nama Irian Jaya, karena kata ini dalam bahasa Arab artinya "telanjang!" Begitukah?

MULAI 1 JANUARI 2000, NAMA "IRIAN JAYA" MENJADI "PAPUA"
Demikian kira-kira ucapan Presiden neo-kolonial Republik Indonesia pada Dialogue Nasional Babak II antara Presiden Republik Indonesia dengan masyarakat adat Papua Barat. Inilah hadiah Tahun Baru dan Millennium Baru. Nama yang diperoleh setelah keringat dan usaha keras, dengan biaya yang tidak sedikit, bahkan dengan mengorbankan nyawa ratusan orang. Itulah riwayat singkat perjuangan untuk pengakuan Indonesia atas jati diri orang Papua Barat.

Adalah wajar kalau kita orang Papua bertanya, "Apakah ini 'another flower' untuk meredam kemarahan orang Papua, yang konon dibilang marahnya panas tahi ayam dan cepat lupa diri?" Bunga-bunga hiburan yang diberikan Jakarta telah menumpuk di Dok II, Jayapura, sampai di hutan-hutan. Bunga-bunga ini baik sekali untuk dijadikan kompost. Kita perlu bertanya, "Apakah ini bunga mayat?" atau "Bunga hiburan dan tanda cinta?"Sementara bunga-bunga itu beterbangan kemari, kekayaan kita, sumberdaya kita, kemerdekaan kita, hak kita untuk hidup di tanah dan rumah kita, hak untuk makan, hak untuk tidur nyenyak, hak atas hutan kita, hak untuk beranak cucu, hak atas tanah kita, bahkan hak untuk tanya, "Pace, mana saya punya bagian?"-pun rupanya tidak dapat kita miliki. Jangan bicara soal memiliki, mempertanyakannya-pun dilarang. Inilah nasib sebuah pulau, sebuah bangsa, dan sebua manusia, yang namanya: PAPUA BARAT.


POLICE.JPG (42350 bytes)HUKUM EKONOMI: SUPPLY-DEMAND
P
enyediaan dilakukan karena tuntutan atau kebutuhan. Nama Irian Jaya dirubah karena "kebutuhan." Itu suatu hal yang pasti. Yang tidak pasti adalah "Kebutuhan siapa?" Tapi, jangan ajukan pertanyaan bodoh seperti ini, sobat.

Barangkali rakyat Papua berpesta saat ini. Kita sudah merasa bahwa salah satu tuntutan kita dipenuhi, bukan satu, tetapi malahan tiga: Pertama, tuntutan untuk Dialogue Nasional II. Kedua, tuntutan untuk membebaskan semua tahanan politik asal Papua barat (64 orang yang sudah dibebaskan). Ketiga, tuntutan untuk merubah nama Irian Jaya menjadi Papua atau Papua Barat. Kalau pelajaran geography kita masih ingat, kita akan bilang ini Papua Barat, tetapi kalau kita anggap PNG tidak ada di pulau ini, sebut saja Papua.

"Eh, eh, tunggu dulu mas! Wong cuman dipanggil dengan nama baru kokh, udah pesta segala!" Barangkali itu suara hati Mbak Mega. Pak Gus Dur pun sudah terus terang bahwa tuntutan dan perubahan itu tidak bisa lebih jauh dari perubahan nama. TITIK.

Kebutuhan siapa yang dipenuhi dengan perubahan nama ini? Anak yang berusia 3 tahun akan jawab dengan mudah, "Papa, itu Jakarta mo!" Kalau ini betul, maka kapan tuntutan kita dipenuhi? Jangankan tanya "Kapan?," bertanyapun anda dikutuk dengan Pancasila.

APA ARTI PERUBAHAN NAMA SEBENARNYA
Jangan lupa, Gus Dur sendiri sudah berubah namanya, mulai dari Ketua PBNU, Ketua PKB, sampai kepada President R.I. periode IV. Mbak Mega lebih banyak lagi perubahan namanya, Mbak Mega, Ibu Mega, Ketua PDI, Ketua PDI-P, sampai sekarang Wapres. Karena itu, bagi mereka, sebenarnya perubahan nama itu wajar-wajar saja, adalah sesuai dengan fungsinya dalam sistem politik yang berlaku. Kita tidak bodoh, bukan? Perubahan ini terjadi sesuai dengan perubahan posisi atau kedudukan beliau berdua. Nah, kalau nama Pulau ini, yaitu Pulau di mana anda dan saya dilahirkan, dibesarkan dan akan mati ini diganti nama-nya, "Mengapa?" Apalagi yang merubah nama itu adalah orang-orang asing! Sebenarnya ada apa di balik batu? Kalau ada udang, "Udang itu nama-nya apa atau siapa sih?".

Barangkali di situlah buntutnya. Tetapi sayang, itu bukan buntut, tetapi awal-nya pertumpahan keringan, dana dan darah. Alasannya muda, kita bukan berdialog dengan Gus Dur sebagai seorang Ketua PBNU, bukan sebagai pimpinan Umat Manusia, tetapi sebagai seorang politikus. Dan politikus itu di bawah pengawasan Jakarta, yang sudah memperkosa hak asasi si "Papua" tanpa tega-teganya, dan yang masih bersikeras supaya Papua tetap "tunduk" dan "menjilat" telapak kakinya. Nah, kalau kita berhadapan dengan politisi dan Jakarta, maka satu-satunya hal yang kita harus ingat adalah, "Gus Dur harus menanggalkan kemanusiaan dan moral agama dan berdiri sujud menyembah dan menjilat kaki Mas atau Mbak Politik" Di situlah kapoknya kita. Kalau Pak Gus Dur sudah menjadi hamba dari Mbak/Pak Politik, apalah gunanya meminta sesuatu dari seorang hamba? Paling-paling jawabannya, "Ini di luar kapasitas saya!" Terpaksa kita harus pergi ke tuannya, "Politik."

INI NANAMU, SOBAT: NAMA YANG DIPERKOSA HABIS-HABISAN
Nama ini, nama satu pulau ini, nama bagian barat dari pulau ini, nama dari tumbuhan dan hewan, di atas semuanya, nama manusia yang tinggal di dalamnya. Nnama ini nama yang telah diperkosa habis-habisan. Bukan hanya oleh satu lelaki, tetapi oleh lelaki berbagai bangsa. Pria Barat, Pria Timur, berbahasa Belanda, Spanyol, Jepang, Indonesia, Jawa, Batak, Manado, Sulawesi, Maluku, Borneo, Timor, Bali, bahkan oleh bangsa Papua sendiri. Ingat lelaki mana yang belum pernah merasakan kenikmatan dengan dia? Benua Amerika, Australia, Eropa, Asia-Pasifik, Afrika. Semua pernah memanfaatkannya untuk kepuasan mereka. Semasa perawannya, semua pernah mengincarnya. Tidak heran kalau Amerika pernah melirik padanya dan sampai hari ini masih melakukan affair dengannya waupun tak mau jantan mengaku. Tak heran Belanda tak sampai hati menceraikannya. Barangkali karena itu ia tak mau usik lagi, karena patah cinta. Bukan cerita baru kalau Jakarta tak tega membilang "Monggo Mbak!" kepadanya. Itu karena nama itu mengandung arti, arti yang memberi kepuasan kepadanya. Karena itu nama itu perlu dikubur dan dibungkus baik, karena jika nama itu dia tahu, dia akan merontak tak keruan.

Pemerkosaan ini bukan sekedar sebuah nama, ini pemerkosaan atas manusia 1,5 juta lebih. Pemerkosaan atas jati diri dan harga diri. Pemerkosaan atas martabat dan jatidiri manusia di dalam pulau ini. Tetapi sayang, ada satu hal yang pasti, "Sehabis manis, sepah di buang!" "Nona e, nona e, nona waktu bujang, bujang manise, naik ke rumah lagi, susah e, susah banyak e!" akan merupakan lirik lagu Mas Jakarta, sewaktu menceraikan pulau ini. Terserah pulau ini, entah mau cerai sekarang, atau tunggu diceraikan. Ini bukan masalah "Ya!" atau "Tidak!," ini soal "Waktu!"