HUKUM EKONOMI:
SUPPLY-DEMAND
Penyediaan dilakukan karena tuntutan atau kebutuhan. Nama Irian Jaya
dirubah karena "kebutuhan." Itu suatu hal yang pasti. Yang tidak
pasti adalah "Kebutuhan siapa?" Tapi, jangan ajukan pertanyaan bodoh
seperti ini, sobat.
Barangkali rakyat Papua berpesta saat ini. Kita sudah merasa bahwa salah satu
tuntutan kita dipenuhi, bukan satu, tetapi malahan tiga: Pertama, tuntutan
untuk Dialogue Nasional II. Kedua, tuntutan untuk membebaskan semua tahanan
politik asal Papua barat (64 orang yang sudah dibebaskan). Ketiga, tuntutan
untuk merubah nama Irian Jaya menjadi Papua atau Papua Barat. Kalau pelajaran
geography kita masih ingat, kita akan bilang ini Papua Barat, tetapi kalau kita
anggap PNG tidak ada di pulau ini, sebut saja Papua.
"Eh, eh, tunggu dulu mas! Wong cuman dipanggil dengan nama baru kokh, udah
pesta segala!" Barangkali itu suara hati Mbak Mega. Pak Gus Dur pun sudah
terus terang bahwa tuntutan dan perubahan itu tidak bisa lebih jauh dari
perubahan nama. TITIK.
Kebutuhan siapa yang dipenuhi dengan perubahan nama ini? Anak yang berusia 3
tahun akan jawab dengan mudah, "Papa, itu Jakarta mo!" Kalau ini
betul, maka kapan tuntutan kita dipenuhi? Jangankan tanya "Kapan?,"
bertanyapun anda dikutuk dengan Pancasila.
APA ARTI PERUBAHAN NAMA SEBENARNYA
Jangan lupa, Gus Dur sendiri sudah berubah namanya, mulai dari Ketua PBNU,
Ketua PKB, sampai kepada President R.I. periode IV. Mbak Mega lebih banyak lagi
perubahan namanya, Mbak Mega, Ibu Mega, Ketua PDI, Ketua PDI-P, sampai sekarang
Wapres. Karena itu, bagi mereka, sebenarnya perubahan nama itu wajar-wajar saja,
adalah sesuai dengan fungsinya dalam sistem politik yang berlaku. Kita tidak
bodoh, bukan? Perubahan ini terjadi sesuai dengan perubahan posisi atau
kedudukan beliau berdua. Nah, kalau nama Pulau ini, yaitu Pulau di mana anda
dan saya dilahirkan, dibesarkan dan akan mati ini diganti nama-nya, "Mengapa?"
Apalagi yang merubah nama itu adalah orang-orang asing! Sebenarnya ada apa di
balik batu? Kalau ada udang, "Udang itu nama-nya apa atau siapa sih?".
Barangkali di situlah buntutnya. Tetapi sayang, itu bukan buntut, tetapi
awal-nya pertumpahan keringan, dana dan darah. Alasannya muda, kita bukan
berdialog dengan Gus Dur sebagai seorang Ketua PBNU, bukan sebagai pimpinan
Umat Manusia, tetapi sebagai seorang politikus. Dan politikus itu di bawah
pengawasan Jakarta, yang sudah memperkosa hak asasi si "Papua" tanpa
tega-teganya, dan yang masih bersikeras supaya Papua tetap "tunduk"
dan "menjilat" telapak kakinya. Nah, kalau kita berhadapan dengan
politisi dan Jakarta, maka satu-satunya hal yang kita harus ingat adalah,
"Gus Dur harus menanggalkan kemanusiaan dan moral agama dan berdiri sujud
menyembah dan menjilat kaki Mas atau Mbak Politik" Di situlah kapoknya
kita. Kalau Pak Gus Dur sudah menjadi hamba dari Mbak/Pak Politik, apalah
gunanya meminta sesuatu dari seorang hamba? Paling-paling jawabannya, "Ini
di luar kapasitas saya!" Terpaksa kita harus pergi ke tuannya, "Politik."
INI NANAMU, SOBAT:
NAMA YANG DIPERKOSA HABIS-HABISAN
Nama ini, nama satu pulau ini, nama bagian barat dari pulau ini, nama dari
tumbuhan dan hewan, di atas semuanya, nama manusia yang tinggal di dalamnya.
Nnama ini nama yang telah diperkosa habis-habisan. Bukan hanya oleh satu lelaki,
tetapi oleh lelaki berbagai bangsa. Pria Barat, Pria Timur, berbahasa Belanda,
Spanyol, Jepang, Indonesia, Jawa, Batak, Manado, Sulawesi, Maluku, Borneo,
Timor, Bali, bahkan oleh bangsa Papua sendiri. Ingat lelaki mana yang belum
pernah merasakan kenikmatan dengan dia? Benua Amerika, Australia, Eropa, Asia-Pasifik,
Afrika. Semua pernah memanfaatkannya untuk kepuasan mereka. Semasa perawannya,
semua pernah mengincarnya. Tidak heran kalau Amerika pernah melirik padanya dan
sampai hari ini masih melakukan affair dengannya waupun tak mau jantan mengaku.
Tak heran Belanda tak sampai hati menceraikannya. Barangkali karena itu ia tak
mau usik lagi, karena patah cinta. Bukan cerita baru kalau Jakarta tak tega
membilang "Monggo Mbak!" kepadanya. Itu karena nama itu mengandung
arti, arti yang memberi kepuasan kepadanya. Karena itu nama itu perlu dikubur
dan dibungkus baik, karena jika nama itu dia tahu, dia akan merontak tak keruan.
Pemerkosaan ini bukan sekedar sebuah nama, ini pemerkosaan atas manusia 1,5
juta lebih. Pemerkosaan atas jati diri dan harga diri. Pemerkosaan atas
martabat dan jatidiri manusia di dalam pulau ini. Tetapi sayang, ada satu hal
yang pasti, "Sehabis manis, sepah di buang!" "Nona e, nona e,
nona waktu bujang, bujang manise, naik ke rumah lagi, susah e, susah banyak
e!" akan merupakan lirik lagu Mas Jakarta, sewaktu menceraikan pulau ini.
Terserah pulau ini, entah mau cerai sekarang, atau tunggu diceraikan. Ini bukan
masalah "Ya!" atau "Tidak!," ini soal "Waktu!"