SERI M E M O R I A P A S S I O N I S NO. 6
________________________________________________________________________
ASPIRASI "MERDEKA"
MASYARAKAT TANAH PAPUA
DAN
PERJUANGAN DEMOKRASI
BANGSA INDONESIA
AWAL TAHUN 2000
==== SUATU PETA SOSIO-POLITIK====
Oleh
SEKRETARIAT KEADILAN & PERDAMAIAN
KEUSKUPAN JAYAPURA
JAYAPURA
Februari 2000
Makalah Diskusi Pertemuan Del-Del Plus
-------------------------------------------------------------------
KATA PENGANTAR
Memasuki awal abad ke-21 Indonesia mewarisi sejumlah masalah dari masa yang silam. Ada masalah-masalah yang cukup baru dan mungkin kurang dialami sebelumnya selama sejarah kemerdekaannya. Dari antara masalah-masalah yang ada kami hanya sebutkan enam saja yang menurut penilaian kami sangat mewarnai suasana nasional maupun regional di Indonesia dewasa ini. Masalah-masalah sbb.:
Boleh jadi bahwa ada sejumlah unsur permasalahan lain lagi yang patut disebut atau diberikan perhatian, namun dalam refleksi mengenai Perjuangan Demokrasi Bangsa Indonesia kami membatasi diri dan bertitaktolak saja dari ke-enam masalah yang disebutkan tadi.
Selanjutnya dalam suatu refleksi/uraian mengenai Aspirasi "Merdeka" Masyarakat Papua kami akan memberikan perhatian pada beberapa unsur sbb.:
BAGIAN I
PERJUANGAN DEMOKRASI BANGSA INDONESIA
[1] Peralihan Kekuasaan
Sudah tentu bahwa keadaan sekarang ini tidak lepas dari apa yang terjadi pada bulan Mei 1998; pada saat itu setelah didesak oleh suatu masa besar yang meluncurkan protes dan setelah mengalami suatu kejadian yang sangat pahit, ialah pembakaran sebagian pusat perdagangan di kota Jakarta (yang menuntut korban banyak sekali) akhirnya Presiden Suharto bersedia untuk mengundurkan diri. Pengundurannya tidak merupakan suatu penyelesaian masalah-masalah, namun sekurang-kurangnya membuka jalan bagi suatu kebijaksanaan yang lebih demokratis, dan yang lebih terbuka untuk mengakui segala macam kekurangan dari masa yang lampau (Orde Baru). Apalagi terbuka kemungkinan untuk bertindak secara hukum atas segala kesalahan yang telah dibuat oleh . kalangan penguasa. yang lama.
Tapi perlu disadari: pergantian pemerintahan dari sebuah regim otoriter ke pemerintah yang populis belum merupakan suatu jaminan transformasi Indonesia ke arah yang lebih adil dan manusiawi. Sistem politik yang diwarisi adalah kekuasaan yang berdiri di atas pembungkaman suara korban. Tindakan pembungkaman suara korban paling terang benderang terlihat dalam sejarah berdirinya Orde Baru. Peristiwa G30S hingga kini tidak pernah menjadi jelas mengenai apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa semuanya itu terjadi. Dalam pemerintah Orde Baru, pembungkaman suara korban itu selanjutnya disistematisasikan dengan penulisan sejarah secara tunggal oleh pihak penguasa sehingga menjadi sebuah mitologisasi: makna persatuan, pengunggulan peran tentara, SARA.
Pengunduran Suharto hanya merupakan titik awal suatu proses . peralihan kekuasaan. yang makin hari makin terbukti sangat sulit dan rumit. Memang tidak dapat dinantikan bahwa . elite yang begitu lama berkuasa. menikmati segala kemudahannya dan privilegenya begitu saja akan menyerah. Sikap untuk mempertahankan apa yang sudah dikuasai, atau malahan usaha untuk merebutkan kembali kuasa yang dinikmati selama puluhan tahun, makin hari makin jelas dan terungkap (bdk. Wawancara dengan Mgr. Mandagi mengenai kerusuhan di Ambon; segala berita dewasa ini mengenai peranan para provokator yang . katanya. sudah menyusupi kebanyakan provinsi dari Republik Indonesia ini). Sudah tentu bahwa kelompok yang begitu lama berkuasa . tanpa batas. tidak mau kalah, dan ternyata masih memiliki dukungan yang sangat luas di kalangan siapa saja yang merasa terancam dengan kebijakan-kebijakan baru; apalagi mereka didukung oleh modal yang besar. Secara singkat terdapat (1) kelompok Suharto dengan kawan-kawannya, (2) kelompok TNI yang sedang kehilangan segala kepercayaan masyarakat, dan (3) kelompok pengusaha-pengusaha yang berada dalam kesulitan karena hutang sekaligus kekurangan modal untuk mengatasinya. Inilah kelompok pengusaha yang sebenarnya tidak pernah patut diberikan kredit, namun karena hubungannya serta permainannya memperoleh kredit yang sangat besar. Sekurang-kurangnya ketiga kelompok ini tidak merasa diuntungkan dengan segala kebijakan serta keterbukaan (gaya demokratis) yang sedang diterapkan.
Seandainya segala berita mengenai peranan kelompok-kelompok tadi melalui pelbagai bentuk . provokator. benar, menjadi jelas pula bahwa mereka tidak segan untuk memakai cara-cara yang sangat tidak manusiawi lagi. Mereka ternyata tidak segan membuat korban banyak, apalagi di kalangan orang yang tidak berdosa. Lebih jelek lagi . pintu masuk. yang makin diandalkan adalah pintu masuk SARA (bdk. a.l. kerusuhan di Ambon, Lombok dan Ujung Pandang). Justru unsur itu sangat peka di masyarakat Indonesia yang dari satu segi merupakan negara yang umatnya Islam terbanyak di dunia ini, dan yang dari segi lain membanggakan kemajemukan agama serta toleransi keagamaan.
Sisi permasalahan ini masih perlu dikaitkan lagi dengan kenyataan bahwa kabinet (pemerintah baru dibawah Pimpinan Gus Dur) merupakan suatu . kabinat kompromis. dimana baik kepentingan pelbagai partai politik diperhatikan maupun unsur keahlian untuk menangani sejumlah bidang permasalahan (yang untuk sebagian adalah pribadi-pribadi orang yang kurang makan garam dalam berpolitik). Perobahan-perobahan dalam susunan kabinet cukup mencerminkan kesulitan-kesulitan yang sedang dialami. Disamping itu perlu diperhitungkan bahwa dalam badan-badan seperti DPR dan MPR . unsur Orde Baru. masih sangat terwakil dan berpengaruh. Ditambah lagi bahwa proses . redefinisi peranan TNI. dalam struktur politik negara berjalan sangat alot (penghapusan kodam, pemisahan polisi dari tentara, perobahan doktrin tentara, pengusutan pelanggaran HAM bagi jendral-jendral dst). Gus Dur sendiri terus berusaha menjinakkandominasi Angkatan Darat dalam TNI dengan berbagai langkah mengganti pejabat-pejabat tinggi TNI. Pergelokan ini kiranya belum akan reda dalam waktu dekat tetapi boleh jadi akan semakin tegang mengingat kelompok Angkatan Darat yang setia pada Wiranto dkk. pasti tidak akan begitu saja mau dipersalahkan atas kasus Timor Timur. Tindak lanjut dari Kejaksaan Agung atas laporan KPP-HAM selama tiga enam bulan mendatang dan sikap Gus Dur akan sangat menentukan masa depan (demokratisasi) Indonesia.
[2] Krisis Ekonomi
Kaitan antara suasana poltik dan suasana ekonomis sulit dapat disangkal. Memang krisis ekonomi bukan sesuatu yang baru. Sebenarnya sudah menimpa Republik ini sejak akhir tahun 1997, dan de facto krisis total itu tidak lain daripada suatu "tagihan" yang akhirnya disajikan selaku akibat dari suatu kebijaksanaan ekonomis (dan politik) yang pelan-pelan mengantar Republik ini ke tepi jurang. Justru merosotnya ekonomi menjadi salah satu dorongan utama untuk menggeser para penguasa dari Orde Baru.
Sistem ekonomi yang dipromosikan oleh para penguasa Orde Baru sering dijual sebagai "ekonomi Pancasila". Tidak jelas sama sekali apa yang dimaksudkan dengan istilah itu, namun agak jelas bahwa sistem ekonomi yang dipromosikan merupakan semacam campuran antara . unsur-unsur buruk sistem kapitalis. dengan . unsur-unsur buruk sistem sosialis. .
"Dari sisi buruk kapitalisme terdapat ketergantungan pada utang luar negeri (yang sekarang jumlahnya lebih besar daripada US$ 150 milyar) dan pada impor barang modal, bahan baku dan bahan setengah jadi sehingga ekonomi Indonesia sangat rentan terhadap aliran keluar modal jangka waktu pendek, gejolak nilai mata uang rupiah dan sekarang harus menanggung kewajiban membayar cicilan dan bunga hutang luar negeri yang jumlahnya lebih besar dari utang baru. ... Dari sisi buruk sosialisme diwarisi sistem sentralisme perencanaan pembangunan dan penguasaan sumber-sumber daya alam di tangan pemerintah pusat. Ditariknya sebagian besar surplus ekonomi dari daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam seperti Aceh dan Irian Jaya disertai dengan penindasan politik selama puluhan tahun. Sentralisasi dan penindasan politik tersebut jelas merupakan biang keladi dari keinginan Aceh dan Irian Jaya sekarang ini untuk melepaskan diri dari Indonesia".
Salah satu unsur yang cukup . membantu. timbulnya krisis adalah sistem perbankan yang dikembangkan selama Orde Baru berkuasa. Maka seluruh penyelesaian krisis ekonomi juga sangat berurusan dengan skandal-skandal perbankan yang akhirnya tersingkap dan menjadi sumber keresahan umum. Tentu saja banyak nama orang . penting. dapat dikaitkan dengan pelbagai skandal itu, hingga sering turut mempersulit penyelesaiannya secara hukum (kasus Bank Bali, kasus Bank Indonesia- yang semuanya tak lepas dari sistem KKN yang telah tumbuh selama rezim Orde Baru). Birokrasi yang korup ini membuahkan suatu iklim usaha di Indonesia yang rawan seperti diakui oleh Menko Ekuin Kwik Kian Gie. Tentu, yang menjadi korban adalah rakyat biasa; menurut laporan-laporan akhir dikabarkan bahwa sekitar 80 juta warga Indonesia adalah dibawah garis kemiskinan.
Tidak mengherankan bahwa Presiden yang baru meluangkan banyak waktu untuk mengelilingi dunia guna memperoleh dukungan internasional untuk memulihkan kembali suasana ekonomi yang lebih cerah. Kebijaksanaan ini pasti berdasarkan suatu pengalaman umum bahwa masyarakat yang merasa tertekan secara ekonomis tidak pernah akan tenang. Maka, untuk membuka peluang supaya suatu suasana pemerintahan yang baru dapat ditingkatkan dan berakar, pertama-tama perlu memulihkan kembali keadaan ekonomis. Kepercayaan terhadap pemerintah baru untuk sebagian (ter)besar akan bergantung pada keberhasilan dalam hal ini. Justru hal ini sangat disadari oleh kelompok "mantan penguasa" (kalangan Cendana, TNI dan pengusaha-pengusaha yang berutang) maka ada kesan bahwa usaha-usaha mereka justru dimaksudkan untuk menghindari segala keberhasilan dalam hal ini, sehingga "pemerintahan Gus Dur" dapat didiskreditkan. Sekali lagi kelompok "mantan-penguasa" ternyata kurang sekali peduli mengenai nasibnya masyarakat biasa, dan mereka hanya berminat untuk menjaga kepentingannya sendiri hingga tidak pusing beberapa banyak korban akan jatuh ditengah jalan. Sudah tentu bahwa para investor merasa kurang tertarik untuk menanamkan modalnya selama suasana sosio-politik tidak stabil dan tenang.
[3] Birokrasi yang ber-KKN
Salah satu unsur kunci dalam segala protes selama dua tahun terakhir ini menyangkut soal Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Hal ini cukup disadari kita semua, namun perlu disadari juga bahwa tidak begitu mudah untuk . membersihkan. segala jenjang kekuasaan. dari sikap ber-KKN ini. Sikap ini diberi keleluasan untuk berkembang selama sekian tahun sampai orang sudah tidak sadar lagi bahwa sikap KKN adalah sesuatu yang buruk/salah. Sudah dijadikan suatu unsur dalam kebiasaan segala aparat dan sudah begitu disosialisasikan sehingga masyarakat yang luas telah . menerimanya. sebagai sesuatu yang wajar. KKN seakan-akan sudah menjadi bagian dari kebudayaan sehari-hari kita, maka sangatlah sulit untuk diperangi.
Apalagi sikap KKN tidak terbatas pada . bos-bos besar. namun terlihatan pada segala tingkat kepegawaian; malahan tidak terbatas pada kalangan itu, karena kalangan swasta, termasuk kalangan LSM sering menunjukkan sikap yang sama. Suatu sikap yang dapat digambarkan dengan istilah "mental proyek" telah menjadi suatu penyakit di segala tingkat pemerintah maupun swasta. Pendek kata: sikap KKN tersebar dalam hampir segala kalangan masyarakat kita. Boleh jadi bahwa adanya KKN ada kaitan dengan rendahnya gaji yang lazimnya dibayar kepada para pegawai (dan petugas-petugas swasta). Sudah tentu bahwa kenyataan demikian mengambil peranan yang cukup berarti, hingga sangat tepat kalau sikap KKN a.l. diperangi dengan mengadakan peningkatan penggajian. Namun tidak mengherankan juga bahwa sikap KKN sebenarnya pelan-pelan dilahirkan sebagai akibat dari suatu kehilangan pegangan pada nilai-nilai moral/etis. Kedua unsur (rendahnya gaji dan kehilangan pegangan etis) saling memperkuat, dan akhirnya menghasilkan suatu "kebudayaan yang amoral". Hal ini sebenarnya cukup memprihatinkan dalam suatu negara yang menamakan diri suatu negara yang "sangat religius".
Sikap KKN mungkin perlu dikaitkan juga dengan suatu sifat budaya yang sering menuju suatu . kemunafikan. : pokoknya buat dunia luar beres semuanya, sedangkan kedalam diketahui bahwa tidak beres. Boleh jadi bahwa kelonggaran mental demikian sangat mendukung bertumbuhnya suatu sikap KKN. Malahan dalam suasana dewasa ini dimana setiap orang yang menghargai diri akan berprotes terhadap KKN, banyak bentuk KKN masih sangat popular (biar kadang-kadang sangat tersembunyi). Pokoknya, pengalaman selama sekian tahun sudah membuat banyak orang pintar untuk ber-KKN . halus. , apalagi memungkinkan kelanjutan gaya-KKN yang sangat terbuka karena sudah normal! Jelaslah hanya ada satu kesimpulan saja: masyarakat kita sudah menjadi . pasien yang sakit berat. .
Sebagai contoh kami dapat mengutip persoalan Jaring Pengaman Sosial (JPS). Kasus JPS merupakan penyelewengan program kesejahteraan masyarakat yang dibuat oleh pemerintah untuk menyelamatkan warganya yang berada di ambang batas kemanusiaan. Sumber dana JPS adalah hutang luar negeri yang disalurkan melalui IMF yang besarnya US$ 1 Milyar (= Rp. 17,9 Trilyun). Dana itu dikucurkan untuk mendukung 13 sektor ekonomi rakyat. De facto, dana itu menyuburkan praktik korupsi semata karena sistem birokrasinya belum berubah.
. Urban Poor Consortium. (UPC) memberikan deretan kesaksian komunitas-komunitas masyarakat di 12 wilayah di Indonesia yang menunjukkan bahwa dana itu diselewengkan untuk pemenangan pemilu oleh Golkar dan Partai Daulat Rakyat (PDR). Polanya terdiri dari dua macam.
[1] Pertama, dari pihak Golkar, dana JPS disalurkan melalui LKMD. Secara praktis, pengurus LKMD adalah anggota Golkar. Karena itu mereka menyalurkan dana itu jika para pemimpin lokal mendukung Golkar. Jika tidak, para tokoh masyarakat itu tidak diundang untuk membicarakan penggunaan dana tsb.
[2] Kedua, Adi Sasono yang dalam kabinet Habibie menjabat sebagai menteri koperasi, mengadakan program KUT (Kredit Usaha Tani) sebagai bagian dari program ekonomi rakyat. Dana kredit ini berjumlah Rp. 6,5 Trilyun dan dipinjamkan kepada para petani dengan bunga 10,5% per tahun. Itu berarti bahwa sekitar 20 % bunga harus ditanggung negara karena pada waktu itu bunga yang berlaku adalah 30%. Akan tetapi, dana tersebut diselewengkan sehingga negara dirugikan Rp. 2 Trilyun (20% dari Rp. 6,5 Trilyun).
Dengan kebocoran dana JPS itu, terhitung Rp. 8,6 milyar dimanipulasi untuk kepentingan partai-partai politik dan hal ini rupanya diakui oleh pemerintah sendiri. Berdasarkan pengalaman buruk itu, banyak kalangan menolak diteruskannya program JPS karena de facto masyarakat tidak pernah mendapat keuntungan tetapi terus menerus harus menanggung beban hutang luar negeri yang makin besar. Karena itu menjadi pertanyaan serius: apakah etis pertama, jika JPS diteruskan sementara sistem korup tidak diubah; dan kedua, jika negara-negara kaya tetap memberlakukan bunga yang sama untuk program JPS bagi masyarakat lemah pada negara yang "sedang miskin"?!
Salah satu halangan yang sangat besar guna mengembangkan suatu kebijaksanaan yang kreatif dan tepat adalah bahwa para pegawai sangat kurang diseleksi atau dipromosikan karena keahliannya. Mereka diangkat, dipromosikan karena setia pada . instruksi. . Mental yang diciptakan demikian sangat menghambat pengembangan rasa tanggungjawab pada banyak orang. Apalagi sikap berdialog sangat kurang dikembangkan dalam arti suatu dialog yang terbuka guna mendengar betul-betul dan menghargai secara nyata aspirasi-aspirasi masyarakat. . Gaya bicara pejabat. adalah "memberikan briefing", memberikan instruksi, seakan-akan sudah tahu persis . apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. , malahan seakan-akan tahu lebih baik daripada masyarakat sendiri. Kenyataan demikian akan lebih menghambat lagi sesaat suatu kebijaksanaan ditentukan secara otonom. Justru perwujudan program otonomisasi daerah mengandaikan bahwa aparat sudah siap untuk mengambil tanggungjawab dan bersikap kreatif untuk mengembangkan suatu program setempat. Aparat kita tidak pernah dibiasakan dengan suatu tanggungjawab tersendiri.
Catatan-catatan diatas ini dapat menyadarkan kami bahwa tidak gampang untuk mengembangkan suatu "mental demokrasi" yang betul berdasarkan suatu kepentingan masyarakat dalam pelayanan terhadap sesama warga, maupun untuk menyumbangkan pada pengembangan suatu . dunia baru. yang betul berpegang pada nilai-nilai dasar hidup kita sebagaimana misalnya diungkapkan dalam Piagam Hak-Hak Asasi Manusia international maupun nasional dan dalam Pancasila dan UUD1945.
[4] Konflik-konflik serta kekerasan di pelbagai wilayah
Bukan rahasia lagi bahwa Republik Indonesia sangat dilanda kekerasan dewasa ini. Awalnya kekerasan dalam era post-Suharto dimulai di wilayah Ambon pada akhir tahun 1998 (didahului oleh bentuk kekerasan seperti dalam kerusuhan bulan Mei di Jakarta dan pembunuhan . dukun-dukun. di wilayah Jawa Timur sekitar bulan November 1998). Kami semua dikagetkan dengan timbulnya kekerasan yang berskala luas dan yang tidak dapat dikendalikan lagi hingga menjadi suatu perkelahian membabi-buta. Dalam uraian-uraian semula akar permasalahan ditemui dalam suasana ekonomis yang makin menguntungkan "kaum pendatang" yang makin menguasai segala segi kehidupan kemasyarakatan.
Dalam sejumlah uraian mulai disebutkan pun suatu unsur baru ialah, adanya provokasi, seakan-akan timbulnya kekerasan adalah hasil suatu perencanaan dengan kepala dingin. Indikasi-indikasi a.l. terdapat dalam sikap yang ditunjukkan sejumlah unit keamanan yang lebih meningkatkan kekerasan daripada mengendalikannya. Sekali perhatian ditarik pada unsur ini ternyata dalam sejumlah peristiwa lain pula unsur ini dapat ditemukan. Puncaknya adalah berita mengenai adanya dokumen-dokumen rahasia yang dibocorkan menyangkut suatu scenario penghancuran Timor Timur seandainya hasil penjajak pendapat akan menunjukkan bahwa masyarakat Timor Timur ingin memisahkan diri dari Republik Indonesia. Walau eksistensi skenario demikian langsung dibantah oleh instansi-instansi yang berkuasa, kenyataan yang kita saksikan setelah tanggal 1 September 1999 cukup membuktikan bahwa memang suatu perencanaan penghancuran terdapat dan diselenggarakan jauh sebelumnya, terutama melalui penyelenggaraan kelompok-kelompok milisi yang sangat dekat dengan pihak yang berkuasa. Kenyataan demikian membuat masyarakat Indonesia merasa sangat malu di mata para pengamat dari luar, dan membuat banyak warga Indonesia sangat gelisah karena sulit untuk menjawab pertanyaan: bagaimana mungkin sampai kita berminat dan mampu merencanakan dengan kepala dingin suatu pembunuhan serta penghancuran total? Apalagi hasil penelitian KPP-HAM mengenai keterlibatan pemimpin-pemimpin TNI dalam seluruh perencanaan destruktif ini membulatkan kehilangan kepercayaan masyarakat pada aparat keamanan di negara ini.
Bagi barangsiapa yang berharap bahwa dengan mengekspos perencanaan kekerasan tadi mungkin kita sudah mulai bertobat dan pulih kembali dari suatu kehilangan kebijaksanaan yang layak dan manusiawi, perkembangan-perkembangan selanjutnya hanya dapat menambah rasa kecewa dan putus asa. Pokoknya, banyak kehilangan harapan. Alih-alih menyaksikan suatu pengurangan kekerasan, kita hanya mengalami suatu perluasan skala kekerasan, malahan boleh jadi bahwa tidak akan ada satu wilayah pun yang luput dari kenyataan demikian (Ambon lagi, Lombok, Sulawesi, Aceh, Yogyakarta, Kalimantan). Akhir-akhir ini makin terbuka pemberitaan mengenai segala macam usaha provokasi, dan tujuan provokasi-provokasi itu sering dikaitkan dengan "menciptakan suatu suasana" yang memungkinkan suatu coup militer (hingga TNI akan berhasil merebut kembali kekuasaannya). Apalagi makin terbuka kemungkinan pula bahwa segala provokasi makin diarahkan pada unsur keagamaan, sampai ribuan orang mulai menuntut (dan menjalankan) suatu . perang suci. (jihad).
[5] Pemulihan kembali harga diri sebagai bangsa dan penegakan hukum.
Citra bangsa Indonesia sangat dirugikan oleh sejumlah peristiwa yang sangat menyakitkan hati banyak warga. Peristiwa-peritiwa yang dimaksudkan adalah sejumlah peristiwa yang dapat digolongkan sebagai "drama kemanusiaan". Perlu disebutkan peristiwa G30S, peristiwa pembantaian serta kehacuran di Timor Timur, pelanggaran besar-besaran di Aceh, peristiwa Tanjung Priok, peristiwa Mei 1998 di Jakarta, pembunuhan masal di Ambon dan Kalimantan, dan sejumlah peristiwa sejenis. Masyarakat biasa sudah tidak mengerti lagi apa yang terjadi di negaranya, dan merasa takut sekaligus malu. Ada kesan bahwa sejumlah peristiwa diatur "dengan kepala dingin" saja. Bagaimana mungkin? adalah pertanyaan yang paling terdengar. Siapa saja yang masih punya hati nurani hanya bisa bungkam seribu bahasa sambil bertanya dalam hati bagaimana suatu bangsa dapat kehilangan pegangannya sampai tingkat sedemikian?
Tidak lepas dari gejala yang dimaksudkan diatas ada gejala bahwa tidak ada pegangan lagi pada suatu sistem hukum yang mau diterapkan secara benar. Terlalu banyak kasus telah luput dari suatu pengadilan yang wajar, sampai orang merasa sudah tidak ada hukum lagi yang berlaku secara benar dan merata.
Kedua unsur kenyataan tersebut di atas merupakan suatu tantangan yang luar biasa bagi pimpinan negara dewasa ini, dan kita semua sadar betapa sulit mengatasinya. Disamping suatu penegakan hukum, hal yang nyata-nyata sangat dibutuhkan adalah suatu mekanisme untuk mengobati segala luka serta perasaan trauma yang sudah terdapat di seluruh wilayah Republik Indonesia ini. Dalam kerangka ini pun sekarang terdapat usaha untuk menyelenggarakan suatu Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (pada tingkat nasional) untuk menjawab kebutuhan untuk meresapi segala pengalaman yang pahit yang telah menjadi "suatu ingatan kolektif bangsa Indonesia". Syukurlah bahwa sekarang makin banyak orang terbuka untuk melihat bahwa suatu usaha yang serius ke arah itu perlu diprakarsai. Suatu proses penemuan kebenaran sangat dibutuhkan dan selanjutnya dapat dijadikan dasar untuk mencari jalan menuju suatu perbaikan struktur keadilan sosial (maupun pribadi) dan akhirnya dapat memungkinkan bahwa bangsa ini dapat menemui damai batin. Proses ini akhirnya merupakan suatu proses pemulihan rasa harga diri.
Khusus berhubungan dengan penegakan hukum sejumlah proses pengadilan yang sedang diusahakan akan menjadi sangat penting. Misalkan proses terhadap para pelaku kejahatan dalam kasus Timor Timur. Sekali lagi (setelah sekian proses yang ternyata gagal memulihkan kembali kepercayaan masyarakat: a.l. proses Suharto) terdapat kesempatan bagi aparat kehakiman untuk membuktikan bahwa hukum masih berlaku di Indonesia ini. Tantangan ini sangat luar biasa mengingat segala macam kepentingan yang terkait, dan bermacam-macam usaha untuk menggagalkan penerapan hukum secara benar. Hanya suatu penanganan yang cepat dan tepat dapat menghindari pula bahwa desakan dari luar negeri akan bertambah menuju suatu pengadilan di tingkat internasional para pelaku dalam kasus Timor Timur (dan kasus-kasus lain). Seandainya kasus ini hanya dapat diselesaikan di tingkat internasional, sekali lagi bangsa Indonesia akan mengalami rasa malu berat, karena dipertontonkan sebagai bangsa yang kehilangan pegangan hukum.
[6] Gerakan-gerakan Kemerdekaan
Di tengah-tengah segala bentuk perobahan/reformasi/kekerasan muncul suatu gejala yang relatif baru, ialah: menuntut kemerdekaan. Isyu demikian sudah agak lama kami tahu berhubungan dengan status Timor Timur; dalam hal itu tuntutan itu cukup jelas dan terbuka, karena diperjuangkan melalui jalur PBB. Bagi suatu kalangan terbatas juga jelas bahwa tuntutan yang sama tidak pernah jauh dari hati banyak orang Papua dan orang Aceh, namun selama pemerintahan Suharto keinginan demikian tidak pernah dapat diungkapkan secara terbuka. Sambil memanfaatkan keterbukaan yang terdapat selama era post-Suharto masyarakat Papua dan masyarakat Aceh makin menonjolkan tuntutannya, dan tidak mengherankan bahwa tuntutan yang sama bergema di beberapa daerah lain pula, termasuk Sulawesi, Ambon dan Riau.
Setelah drama kemanusiaan yang disaksikan kita bersama di Timor Timur, Pemerintah nekad untuk tidak memberikan peluang lagi pada daerah manapun untuk memisahkan diri dari kesatuan Republik. Sikap tegas pihak pemerintah ternyata tidak dapat menghindari bahwa tuntutan ke arah kemerdekaan makin kuat disuarakan, lebih-lebih di Tanah Papua. Sebagaimana juga berlaku untuk Tanah Papua segala bentuk aspirasi kemerdekaan pertama-tama (bukan melulu!) dapat dipahami sebagai suatu ungkapan yang sangat kuat dari segala frustrasi dan pengalaman pahit yang orang alami selama sekian tahun; dari suatu perasan yang tidak pernah dapat diungkapkan atau disalurkan melalui jalur-jalur yang resmi (DPR dll.). Dengan adanya "gaya reformasi" akhirnya terdapat ruangan untuk melampiaskan frustrasi serta kemarahan hati ini, maka keterbukaan itu dipakai semaksimal mungkin. Orang meminta untuk didengar dan diakui sebagai mitra dalam segala proses pengambilan keputusan sosio-politik.
Menanggapi suasana ini Pemerintah menunjukkan bahwa tidak pernah dikembangkan suatu cara untuk mengelola suatu . suasana konflik. kecuali dengan memakai kekerasan. Menangani suatu konflik melalui suatu dialog dan negosiasi yang terbuka adalah suatu tuntutan baru era ini; tidak ada yang siap untuk itu, karena tidak pernah ada kesempatan untuk "melatih diri" ke arah ini selama 50 tahun kemerdekaan. Tidak pernah diciptakan suatu "kebudayaan penanangan konflik" secara demokratis dan secara damai. Kekurangan dalam hal ini membuat seluruh suasana politik ini sangat berbahaya dan mudah dipakai oleh siapa saja demi kepentingan tertentu. Tambah lagi bahwa dalam gerakan kemerdekaan politik sering kurang kelihatan suatu kesiapan untuk memperjuangkan cita-citanya secara terkoordinir dan bersatu; juga pada tingkat itu tidak pernah ada kesempatan terbuka untuk . melatih diri. dalam suatu strategi perjuangan, sehingga banyak bentuk perjuangan tinggal didominasi oleh suatu luapan emosi.
BAGIAN II
ASPIRASI "MERDEKA" MASYARAKAT TANAH PAPUA
[1] Beberapa peristiwa kunci (Juni 1998 - Januari 2000)
Pada bulan Mei dan Juni 1998 kita telah menyaksikan sejumlah kegiatan . demo. . Lazimnya kegiatan ini dijalakan oleh para mahasiswa/i dan tertuju kepada instansi pemerintahan serta keamanan guna pada umunya menuntut perhatian mengenai [a] penyelesaian soal-soal pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), [b] hak atas partisipasi kedalam jenjangan kepegawaian, [c] pengendalian perampasan kekayaan sumber-sumber alam, [d] persoalan transmigrasi dan [e] persoalan hak ulayat atas tanah, dst.
Pada bulan Juli (setelah peristiwa penaikan bendera di a.l. Sorong dan Biak) nada tuntutan mulai berbelok, didorong oleh rasa kemarahan karena pemakaian kekerasan oleh TNI sewaktu mengakhiri berjalannya demo di Biak (tgl. 6 Juli 1998). Pemakaian kekerasan dinilai tidak sejalan lagi dengan "era reformasi" apalagi berhadapan dengan suatu aksi damai. Dalam suasana itu Foreri didirkan sebagai . tempat pertemuan serta tempat untuk mengakomodir segala aspirasi masyarakat Papua. . Ketidakpuasan akhirnya juga mendorong sampai dibuka kesempatan untuk berdialog langsung dengan Presiden Habibi. Pada kesempatan itu (tgl. 26 Februari 1999) menjadi jelas bahwa tuntutan masyarakat Papua (yang diwakili oleh Tim 100) sudah berubah nadanya, menjadi . politik murni. : tuntut kemerdekaan. Maka, dapat dikatakan bahwa pertemuan dengan Presiden menjadi titik pengalihan perhatian dari suatu kompleks permasalahan di pelbagai bidang (seperti disebut di atas) kepada suatu perhatian pada perjuangan politik. Dalam konteks yang sama dapat dimengerti bahwa kelompok pejuang kemerdekaan ini menolak segala dialog mengenai "soal pembangunan" karena menurut perasaan mereka permasalahan-permasalahan di tingkat itu tidak sama dengan permasalahan yang sebenarnya. Dengan demikian dialog dengan pihak Pemerintah (yang menekankan permasalahan pembangunan sebagai sumber utama segala kesulitan) makin kurang dicari.
Melihat reaksi masyarakat Papua seusai pertemuan dengan Presiden Habibi membantu untuk menyadari bahwa ada suatu perobahan dasar lain lagi, ialah bahwa ternyata apa yang terungkap di depan Presiden betul mengena di hati masyarakat luas Papua. Hanya dengan alasan itulah, dapat mengerti sambutan yang begitu hangat yang diberikan secara masal kepada para anggota Tim 100 sepulang dari Jakarta. Maka dengan demikian bukan lagi segelintir orang menjadi "mitra dialog" namun suatu masyarakat yang luas yang sampai pada saat itu masih kurang terorganisir. Setelah pernyataan di depan Presiden suatu ungkapan pengorganisasian awal terlihat dalam pendirian pos-pos komando (Posko) di seluruh wilayah Tanah Papua. Pos-pos itu menjadi semacam tempat pertemuan masyarakat Papua setempat "sambil menunggu pengakuan kemerdekaannya"; tempat-tempat pula dimana harapan akan kemerdekaan makin bertumbuh.
Pihak keamanan (seperti juga Pemerintah pada umumnya) cukup terkejut dengan apa yang terjadi, maka pada awalnya mereka kurang tahu bagaimana mesti bertindak; suatu "kebijakan membiarkan" sementara waktu diterapkan, sampai Kapolda mengeluarkan suatu maklumat yang berisikan instruksi untuk membubar segala posko dalam jangka waktu beberapa hari saja. Terbitnya maklumat ini membuat masyarakat Papua sangat marah sampai mereka menolak mentah pembubaran posko-posko, dan di beberapa tempat posko-posko dibaptis menjadi . pos doa. hingga luput dari penilaian oleh Kapolda. Terbitnya maklumat ini menjadi titik awal bagi pihak keamanan untuk berusaha mengendalikan kembali proses perjuangan masyarakat Papua. Suatu usaha khusus dijalankan oleh pihak keamanan. Sewaktu terjadi kenaikan bendera di Sorong pada tanggal 5 Juli 1999 dipergunakan untuk mematahkan kekuatan "masyarakat Posko" di Sorong. Walaupun "masyarakat Posko" tidak langsung (malahan sama sekali tidak?) terlibat dalam kegiatan kenaikan bendera itu, justru merekalah menjadi sasaran utama pihak keamanan pada saat itu.
Usaha-usaha di tingkat pihak keamanan ini dilengkapi dengan usaha pihak pemerintah untuk menggolkan saran mereka -yang disetir oleh orang penting di kalangan pemerintah pusat- supaya wilayah Tanah Papua menjadi tiga propinsi. Usaha pemerintah inipun disambut oleh masyarakat dengan suatu sikap yang sangat kritis serta sikap penolakan secara sangat umum. Seluruh proses pemekaran ini sampai dengan melantik dua gubernur baru (tgl. 11 Oktober 1999) dijalankan secara sepihak saja tanpa betul mendengarkan masyarakat. Hal itu disadari oleh pemerintah baru maka segala tindakan menuju perwujudan rencana pemekaran itu akhirnya dilemari-eskan kembali.
Peristiwa yang berikut yang sangat menentukan suasana di Tanah Papua adalah pertemuan ahkbar di Sentani pada tgl. 12 November 1999 disusuli dengan rencana serta pelaksanaan kenaikan bendera pada tangal 1 Desember 1999. Secara agak mengejutkan suatu pertemuan khusus diselenggarakan oleh Theys Eluay dkk (a.l. Yorris Raweyai, pimpinan Pemuda Pancasila) di Sentani untuk merayakan HUT ke-62 pribadi Theys Eluay. Pada kesempatan itu kepemimpinannya diberikan . bobot. yang baru dengan mengangkatnya (oleh siapa?) sebagai Pemimpin Besar Rakyat Papua, sedangkan Yorris diangkat (oleh siapa?) sebagai pemimpin masyarkat Papua di luar Tanah Papua. Hal ini cukup mengherankan mengingat isyu kuat (terbuka) bahwa Theys Eluay justru sedang mencari jalan untuk menyerahkan kedudukan kepemimpinannya kepada orang "yang lebih muda". Mengherankan pula karena reputasi Yorris lebih dikaitkan dengan "kalangan provokator dan kriminal" daripada pada kalangan pejuang yang murni.
Terlepas dari makna pertemuan tgl. 12 November 1999 berkaitan dengan kepemimpinan di tingkat rakyat Papua, pertemuan ini lebih mengejutkan lagi karena pengumuman supaya bendera Kejora dinaikan di seluruh wilayah Tanah Papua mulai tanggal 1 Desember 1999 sampai tanggal 1 Mei 2000 (saat kemerdekaan sudah mesti tercapai). Pengumuman ini mengundang pelbagai tanggapan: pada umumnya disambut baik oleh terutama masyarakat luas Papua, namun pada awalnya juga oleh pihak keamanan, sedangkan beberapa kalangan LSM dan Gereja merasa prihatin berhubungan dengan perkembangan yang baru ini. Pihak pemerintah melalui suara Gubernurnya jelas menolak rencana tersebut. Yang paling menonjol adalah bahwa masyarakat (terutama di daerah) langsung mulai mempersiapkan diri untuk melaksanakan rencana yang disodorkan tanpa pikir panjang lebar. Ternyata ajakan oleh Theys Eluay dkk. menjawab suatu kebutuhan dasar banyak orang yang sudah lama menunggu suatu kelanjutan dari pernyataan di depan Presiden pada tanggal 26 Februari 1999, dan yang sudah merasa makin kecewa karena ternyata sampai saat itu tidak ada suatu langkah maju yang nyata. Persiapan oleh masyarakat biasa berjalan terus di tengah segala kebingungan yang pelan-pelan diciptakan karena tidak jelas sama sekali bagaimana akhirnya pihak keamanan akan bersikap. Pernyataan-pernyataan dari pimpinan keamanan makin hari makin sulit ditafisrkan karena dalam jangka waktu dua minggu berubah dari "baik saja; boleh saja" menjadi "kami membiarkan, namun tidak menyetujui" sampai "melarang karena melanggar hukum".Sikap pihak keamanan menjadi suatu teka-teki, yang masih ditambah dengan penggantian Kapolda (6 November) dan Panglima Kodam (27 November). Selama itu pemimpin-pemimpin masyarakat Papua (Theys Eluay dkk. ditambah Tom Beanal dan beberapa nama yang agak baru seperti: Herman Awom . wakil ketua Sinode GKI- dan Willy Mandowen . sekretaris eksekutif Foreri-) terus mengungkapkan tekadnya supaya rencana itu tetap berjalan dengan suatu perobahan ialah bahwa bendera akan dinaikan untuk satu hari saja (tgl. 1 Desember). Para pemimpin itu bersedia untuk bertanggungjawab secara penuh atas pelaksanaan programnya.
Berkat suatu lobbying yang kuat suatu . kesepakatan bersama. di tingkat pemerintahan/ keamanan tercapai dan akhirnya "perayaan tanggal 1 Desember" dapat dijalankan dengan sangat tertib sehingga tidak mengajak pihak keamanan untuk bertindak secara tidak dikehendaki. Dengan demikian banyak masyarakat merasa puas dan diperkuat dalam pengharapan akan kemerdekaannya. Perayaan ini disusul dengan sejumlah langkah yang diambil oleh "elit perjuangan aspirasi M" dengan menuntut pada DPRD Tk.I supaya aspirasi M diperjuangkan olehnya sampai di pusat. Disamping beberapa tuntututan yang langsung ada kaitan dengan pengakuan kemerdekaan Bangsa Papua juga dituntut supaya nama Irian Jaya diubah menjadi Papua Barat dan nama ibukota Jayapura diubah nama menjadi Port Numbay. Kemudian tidak begitu mudah lagi untuk turut mengikuti perkembangan selanjutnya, kecuali kenyataan bahwa sejumlah tim pergi-pulang Jakarta, sebagian untuk . memantau. kegiatan delegasi dari DPRD, sebagian untuk mengadakan lobbiing lainnya. Terdengar mengenai eksistensinya suatu "tim 24" yang kemudian lagi menjadi "tim 10", namun kurang jelas bagaimana programnya selanjutnya.
Akhirnya seluruh perkembangan selama tahun 1999 dikunci dengan kunjungan Presiden Gus Dur ke Merauke dan Jayapura pada tanggal 31 Desember 1999. Rencana kunjungan ini sekali lagi meningkatkan harapan masyarakat Papua sampai pada tingkat yang sulit dapat dijawab oleh Presiden secara memuaskan. Kenyataan demikian menjadi jelas selama dan seusai kunjungannya. Sebagaimana bisa dinantikan Presiden menyatakan dengan tegas bahwa dia tidak akan memberikan angin kepada kemungkinan bahwa Tanah Papua dapat memisahkan diri dari kesatuan negara Indonesia. Disamping itu Presiden memanfaatkan pertemuan dengan masyarakat Papua untuk meminta maaf atas segala pelanggaran HAM selama ini, dan menghiburkan para pendengarnya dengan menyatakan bahwa dia setuju nama Irian diganti menjadi Papua. Saat pertemuan ini juga dimanfaatkan kelompok pejuang Papua untuk mengumumkan rencananya supaya sebelum tanggal 1 Mei 2000 suatu kesepakatan perlu tercapai berisikan bahwa Tanah Papua akan ada dibawah suatu pemerintahan internasional mulai pada tangal itu, dan supaya proses pemerdekaan dibulatkan selesai sebelum tanggal 1 Desember 2000. Dalam kerangka perencanaan itu pun akan diselenggarakan suatu Kongres Papua guna menetapkan suatu kepemimpinan yang jelas dan suatu strategi lanjut yang lebih terinci.
[2] Kepemimpinan masyarakat Papua
Sambil mengikuti perkembangan di Tanah Papua selama tahun 1999, perlu disimpulkan bahwa soal kepemimpinan di kalangan masyarakat Papua makin menuntut perhatian. Pada awal perjuangan . aspirasi M. hanya dua nama pemimpin yang terus bergema, ialah nama Theys Eluay dan nama Tom Beanal. Terlepas dari kenyataan bahwa pelahan-lahan beberapa nama lain mulai muncul di permukaan, tidak pernah menjadi betul jelas sejauh mana terdapat suatu kesepakatan antara kedua pemimpin utama tadi. Jelaslah gayanya berbeda, dan sekali-kali juga pendapatnya cukup berbeda. Disamping itu sekali-kali dipertanyakan: apakah mereka bertindak dan berbicara atas . initiatif sendiri. atau mereka turut diarahkan oleh pihak-pihak lain. Terutama juga keterlibatan Yorris dalam perencanaan akhir tahun 1999 menimbulkan cukup banyak pertanyaan. Kebingungan terhadap para pemimpin juga dengan jelas terungkap sesaat tiga pribadi pemimpin (Theys Eluay, Tom Beanal dan Willy Mandowen) bersama-sama berangkat ke Jakarta pada tanggal 6 Januari 2000. Ternyata sejumlah orang mulai bertanya: mereka ada rencana apa? untuk apa ke sana? dan kenapa tidak ada perundingan sebelumnya? Reaksi yang berbentuk suatu pernyataan publik menunjukkan bahwa semakin terdapat suatu kesenjangan antara "elit pejuang Papua" dengan "masyarakat luas" (kesenjangan ini mulai terungkap di pusat kotawi; apalagi kesenjangan dengan masyarakt biasa di daerah yang sering hanya bergantung pada informasi sepotong-potong). Disini letaknya suatu masalah besar yang sangat membahayakan seluruh perjuangan.
Setahu kami perencanaan yang diumumkan oleh Theys Eluay pada tanggal 12 November 1999 tidak pernah menjadi bahan perundingan dalam kalangan luas (sekurang-kurangnya tidak secara terbuka); sama halnya mengenai tindakan "tim manapun" seusai perayaan pada tanggal 1 Desember 1999, hingga banyak orang bertanya: kenapa tidak diadakan suatu perundingan terbuka mengenai "isi strategi perjuangan"? Keadaan demikian tidak akan membantu masyarakat Papua dalam perjuangannya yang bertujuan untuk "membebaskan diri dari segala bentuk penindasan". Malahan keadaan sedemikian dapat menghasilkan suatu perpecahan yang sangat merugikan. Tanda-tanda demikian mulai menjadi kentara dengan munculnya suatu organisasi baru "Perhimpunan para mantan-Tapol" yang makin bersuara dan tidak selalu sejalan dengan "kubu Theys Eluay dkk". Kata "adanya kubu. sudah mulai beredar. Kekaburan dalam pola kepemimpinan makin membuka lebar pintunya bagi segala pihak yang ingin memanfaatkan suasana demi kepentingannya sendiri.
Persoalan kepemimpinan masyarakat di Papua mungkin berakar pada pola kepemimpinan yang dipakai. Dalam dunia yang semakin bersifat jaringan antarbangsa dan antar sistem (bisnis, militer, informasi, dan keuangan) ini, sistem kepemimpinan yang dijalankan oleh tokoh-tokoh elit Papua terlihat . ketinggalan zaman. . Mereka mengandalkan kepemimpinan tradisional yang berkaitan dengan dunia pemahaman tertentu yang terbatas (secara geografis, migrasi penduduk, perputaran modal, perimbangan kekuatan politik, dsb). Padahal perjuangan Papua senyatanya berada dalam dunia yang sudah berada dalam sistem yang jauh lebih kompleks. Dalam dunia dewasa ini, sistem kepemimpinan tradisional (yang bersandar pada tokoh dan kharisma) harus beralih kepada sistem kepemimpinan modern yang bersandar pada kerja tim yang profesional dan terorganisir serta diatur oleh tatanan legal-rasional. Tanpa kemampuan semacam ini, perjuangan Papua kiranya akan selalu kewalahan menanggapi dunia yang semakin rumit.
[3] Tanggapan masyarakat Papua biasa dan "efek-Obano"
Dari sejumlah uraian di atas telah boleh disimpulkan bahwa tanggapan masyarakat Papua terhadap gerakan perjuangan "M" sangat entusias. Hal demikian terungkap sewaktu masyarakat menyambut Tim 100 sepulang dari pertemuan dengan Presiden (Febr. 1999); terungkap pada saat perayaan 1 Desember 1999, dan terungkap dalam segala macam kegiatan spontan seperti pembentukan posko-posko sampai di pelosok-pelosok pedalaman Tanah Papua. Walaupun reaksi-reaksi ini cukup membuktikan dukungan luas buat relevansinya "aspirasi M", kami tetap bergumul dengan satu dua pertanyaan yang penting juga: masyarakat Papua biasa sebenarnya menantikan apa? Dan bagaimana mereka dibantu untuk menempatkan diri didalam suasana yang penuh ketegangan/kekaburan dewasa ini?
Sambil merenungkan isi pertanyaan-pertanyaan tadi kami teringat kembali akan suatu pengalaman sewaktu kami untuk pertama kalinya berjalan kaki dari Maonemani ke Obano (di pinggir danau Paniai). Jarak itu dapat ditempuh dalam kurang lebih 8 jam (pada saat itu); bagian pertama lewat suatu medan yang relatif rata sedangkan bagian terakhir lewat sebuah gunung yang lumayanlah. Setelah berjalan kaki lebih kurang 7 jam kami sampai di puncak gunung itu, dan melihat ke arah danau Paniai telah kelihatan letaknya desa Obano sudah dekat. Senang melihat itu kami berpikir bahwa dalam paling lambat setengah jam sudah akan berada di Obano. Namun sampai di kaki gunung ternyata jalan ke Obano masih panjang dan akan menuntut setengah jam lagi. Pada saat itu kami mengalami bahwa secara mental ternyata kami sudah tidak sanggup lagi untuk menjembatani jarak itu dengan mudah, walau jalannya sangat rata dan mudah dilalui. Secara mental kami tanpa sadar . sudah disetel. , sudah tidak menantikan lagi bahwa masih perlu memperpanjang perjalanan yang mencapaikan itu. Betul menjadi suatu "jalan sengsara" sampai malahan tidak mau menjawab ajakan orang dekat danau untuk minum dulu sebelum naik perahu menuju Enarotali, tujuan akhir perjalan kami. Capai setengah mati, jengkel dan kecewa, itulah perasaan kami pada saat itu. Sewaktu kami mengadakan perjalanan yang sama beberapa bulan kemudian ternyata bagian terakhir itu sangat ringan saja dan ditempuh dengan ringan hati tanpa merasa lelah. Pada saat itu kami tahu apa yang dapat dinantikan, dan pengetahuan itu ternyata membuat kami secara mental siap sampai tidak merasa kesulitan apapun. Berdasarkan pengalaman demikian kami hanya dapat menyimpulkan bahwa kekurangpengetahuan pada saat perjalanan perdana tadi mempunyai suatu efek mental yang sangat mematikan. Karena dari puncak gunung ternyata tidak bisa melihat seluruh jalan yang masih perlu ditempuh, malahan diberikan kesan bahwa sudah hampir sampai. Sesaat menjadi jelas bahwa observasi awal dari puncak gunung ternyata tidak tepat, suatu efek negatif tiba-tiba melumpuhkan sampai membuat kami tidak berdaya lagi; ternyata penantian sudah dibentuk sesaat berada di puncak gunung dan berdasarkan . informasi. yang terjangkau dari tempat berdiri itu. Pembentukan penantian pada saat itu begitu kuat sehingga tidak mengizinkan suatu penyesuaian sesaat menjadi jelas bahwa . informasi. yang diterima pada puncak itu ternyata tidak benar. Efek itu kami mau sebutkan: efek-Obano.
Kadang-kadang kami berpikir bahwa masyarakat biasa Papua sedang menderita . efek-Obano. semacam itu. Mereka sejak lama memiliki suatu harapan, ialah mencapai tujuan yang begitu dicita-citakan, yaitu: bebas dari segala penindasan dan diakui martabatnya sebagai umat manusia. Setelah menyaksikan sejumlah peristiwa (peristiwa tanggal 26 Februari 1999; peristiwa tanggal 1 Desember 1999) mereka seakan-akan berada di . puncak gunung. dan melihat tujuannya sudah dekat. Namun kurang disadari bahwa informasi yang pada saat itu tersedia masih sangat terbatas sampai ternyata mengalami dari belakang bahwa . jalannya masih panjang. . Waktu mulai menyadari hal itu, mereka sangat kecewa dan merasa tidak berdaya untuk masih menempuh jalan yang panjang itu. Cara bicara banyak masyarakat Papua biasa menunjukkan bahwa mereka diberikan kesan bahwa "merdeka sudah di ambang pintu", dan tidak ada yang membantu mereka untuk melihat bahwa proses atau perjalanan sampai di tujuan masih sangat panjang dan berliku-liku. Penantian mereka sudah dibentuk dan tidak mengizinkan suatu perobahan lagi. Boleh jadi saja bahwa dalam hal ini suatu latarbelakang budaya yang terkait dengan "pengharapan gaya cargocult" sangat memperkuat pembentukan harapan mereka, hingga masih lebih sulit lagi untuk mengatasi tidak riilnya pengharapan mereka. Unsur "gaya cargo-cult" ternyata mulai muncul akhir-akhir ini di pelbagai tempat: Timika, Timeepa, Okbibab, Asmat (setahu kami). Hal yang sama terungkap dalam pernyataan: "kami nanti pada tanggal 1 Desember menaikkan bendera dan dengan demikian selesai; sudah merdeka kita!". Pengalaman yang sama kami catat sewaktu berdiskusi dengan sejumlah pejuang aspirasi M di bagian selatan Tanah Papua. Ternyata segala pembicaraan yang bermaksud untuk memperjelaskan bahwa proses perjuangan masih panjang, secara spontan dan dengan sangat nekad ditolak. Tidak ada ruang mental lagi untuk menyesuaikan diri dengan kenyataan de facto.
Kami menilai bahwa suasana kemasyarakatan sebagaimana digambarkan di atas sangat memprihatinkan dan tidak boleh diabaikan kalau para pejuang Papua menghendaki supaya seluruh perjuangan mereka dapat dijalankan dengan damai dan secara demokratis. Guna menjawab kesulitan ini sangat pentinglah bahwa informasi yang ditujukan kepada masyarakat biasa perlu dijaga dengan sangat baik supaya lengkap dan benar. Kekurangtahuan sangat memungkinkan bahwa orang "cepat percaya pada isyu-isyu" dan makin menjauhkan diri dari apa yang dapat diharapkan sebenarnya, atau menjauhkan diri dari kesadaran akan kemutlakan suatu perjalanan panjang yang sangat menuntut. Kesan kami bahwa para pemimpin perjuangan masih kurang memberikan perhatian pada masalah ini.
[4] Suasana berdialog
Berkaitan dengan kenyataan sebagaimana digambarkan di atas perlu menarik perhatian pada suatu gejala lainnya, ialah kurang dialog, baik kedalam maupun keluar. Membaca segala ungkapan para pemimpin kami diberikan kesan bahwa banyak hal terulang terus tanpa memperlihatkan suatu perkembangan dalam perincian visi dan strategi. Entah kenapa? Hal ini memprihatinkan mengingat bahwa dalam waktu dekat perlu menyelenggarakan suatu Musyawarah Besar (26 Februari 2000) mendahului Kongres Papua yang mau diselenggarakan pada bulan Juni. Keberhasilan Musyawarah maupun Kongres akan sangat bergantung pada suatu persiapan yang matang. Apalagi kedua pertemuan itu amat sangat penting untuk menjembatani sejumlah perbedaan persepsi secara intern dan untuk menghindari bahwa segala rencana masa depan dapat disalahgunakan oleh pihak-pihak yang mempunyai niat yang kurang bertanggungjawab.
Dalam kerangka inipun perlu kami mencatat suatu gejala lain lagi, ialah kecenderungan pada sejumlah pribadi pejuang untuk tidak membuka diri bagi sesama Papua yang berbeda pendapat. Akhir-akhir ini berulang kali terdengar bahwa seorang Papua yang mau mempertimbangkan mendukung "otonomisasi" langsung dicap sebagai "musuh". Ternyata belum dikembangkan suatu mekanisme untuk membuka suatu dialog yang terbuka dimana pihak-pihak yang berbeda pendapat diajak untuk (1) memperjelaskan pendapatnya, dan (2) mencari suatu jalan bersama, atau menyatukan perjuangannya. Boleh jadi bahwa gejala ini juga melatarbelakangi kenyataan bahwa sampai saat ini suara dari banyak tokoh Papua kurang terdengar; lebih-lebih tokoh-tokoh yang sehari-hari bertugas dalam . kalangan pemerintahan" (namun bukan mereka saja). Boleh jadi bahwa kami keliru, namun perasaan kami ialah bahwa ketidakterlibatan kalangan tokoh yang luas dalam proses dialog ini sangat merugikan bobot perjuangan Papua dewasa ini. Kalau suatu kalangan luas tokoh Papua tetap absen dalam . dialog-perjuangan. kami kawatirkan bahwa pelahan-lahan akan terbentuk suatu kelompok tokoh masyarakat Papua yang makin kecewa dan yang akan menjadi suatu bahaya yang laten buat kelanjutan serta kelancaran perjuangan Papua secara damai. Dapat sangat disesalkan juga bahwa "Forum Rekonsiliasi Masyarakat Irian Jaya" (Foreri) yang pernah didirikan untuk menjaga kelancaran suatu dialog terbuka sudah tidak berfungsi lagi semestinya, karena de facto pengurusnya sudah memilih menjadi bagian aktif dari salah satu arah politik tertentu.
Suatu kelompok lain yang masih kurang diberikan tempat dalam dialog perjuangan adalah kelompok pendatang. Sudah tentu bahwa kenyataan kependudukan di Tanah Papua menuntut supaya posisi serta sikap para pendatang perlu diberikan perhatian secara serius dan terbuka. Sejauh dapat dilihat pada saat ini banyak orang yang berasal dari luar Tanah Papua merasa makin bingung (kalau tidak mau dikatakan: takut), karena mereka kurang diberikan pegangan mengenai "nasibnya nanti". Sejauh ini baru kelompok mahasiwa "Amber" yang mulai ambil bagian dalam perjuangan Papua. Kami setuju bahwa tidak semua isu perlu dipercaya, namun sejumlah fakta perlu diterima sebagai tanda yang patut mengajak para pejuang aspirasi M untuk membuka diri. Ternyata secara resmi 600 tenaga guru tingkat SLTA sedang dalam proses pemindahan keluar dari Tanah Papua. Informasi semacam itu patut dijadikan tanda tanya bagi barangsiapa yang bermaksud untuk mengembangkan Tanah Papua di masa mendatang. Apalagi kami menilai bahwa penciptaan secara tidak sadar suatu suasana "bermusuhan dengan para pendatang" tidak akan membantu dalam proses yang sedang dilalui oleh masyarakat Papua, tapi sebaliknya. Suatu dialog terbuka dengan kelompok pendatang makin hari makin dibutuhkan, kesimpulan kami.
[5] Sikap pihak yang berkuasa
Pada bagian umum mengenai sejumlah masalah di Indonesia kami telah menyinggung kurang sikap dialog di tingkat pemerintahan dan pihak berkuasa pada umumnya. Kenyataan demikian juga cukup diperlihatkan oleh unsur-unsur penguasa di wilayah Tanah Papua. Sikap itu menjadi jelas dalam segala presentasi "konsep otonomi", dalam perjuangan pemerintah untuk membagikan wilayah Tanah Papua menjadi tiga propinsi, dalam menanggapi aspirasi M, dalam menanggapi keluhan mengenai pelanggaran HAM dst. Sikapnya sering sangat arogan, berarti meremehkan pendapat orang lain, apalagi pendapat dari masyarakat biasa. Suatu sikap yang menyakitkan hati banyak orang. Dalam reaksinya unsur-unsur pihak berkuasa di Tanah Papua tidak berbeda dengan gaya bereaksi yang ditunjukkan pada tingkat nasional pun, maka sejumlah catatan kami dalam bagian pertama makalah ini berlaku pula bagi penguasa-penguasa di Tanah Papua. Ditambah lagi bahwa pemerintahan di wilayah ini menunjukkan suatu "vakuum kepemimpinan" (kekosongan kepemimpinan) yang sangat menonjol. Gubernur sedang . merangkap dari Jakarta. , hingga de fakto kursinya kosong; sejumlah . kursi Bupati. sedang kosong; Kapolda dan Pangdam baru; kalangan DPRD (Tk. I maupun Tk. II) sedang . dalam keadaan rehab. . Sedangkan dalam kalangan pimpinan institusi-institusi swasta (a.l. Gereja-Gereja) terdapat suatu kebingungan yang cukup besar, sehinga juga kurang tahu bagaimana membantu dalam mengarahkan perjuangan masyarakat luas.
Keadaan demikian sangat kurang membantu untuk mengantar seluruh gerakan masyarakat Papua secara konstruktif dan responsif. Mau berdialog dengan siapa? Dan apa kedudukannya? Kebanyakan pejabat tinggi di Tanah Papua sudah terlalu biasa dengan jawaban: "maaf, saya mengerti aspirasi Saudara namun saya tidak dalam kedudukan untuk memutuskan apa-apa; saya akan meneruskan aspirasi Saudara kepada instansi-instansi yang berwewenang". Boleh jadi saja bahwa pejabat-pejabat tinggi kita tidak mempunyai kuasa apapun (walaupun mereka terus membicarakan otonomi daerah secara ramai-ramai!), namun bagaimana mau berdialog kalau sikap demikian menjadi . strategi biasa. . Tidak mengherankan juga kalau . kekosongan itu. sangat memungkinkan munculnya "permainan politik bermacam-macam", tercampur dengan usaha-usaha untuk memperebutkan "kursi-kursi kosong" (alias: kepentingan pribadi orang!).
Kami sudah menyinggung . sikap penuh teka-teki. yang ditunjuk oleh pihak keamanan menjelang perayaan 1 Desember 1999 dan seusai perayaan itu (juga bertalian dengan meminta . keterangan. dari para penanggungjawab atas terselenggaranya perayaan 1 Desember itu). Sebenanrya lucu juga bahwa unsur pimpinan rakyat Papua dari satu segi diundang bertemu dengan segala macam unsur pimpinan negera (termasuk Presiden) dan sekaligus dipanggil untuk diadili karena "kegiatan subversif". Siapa masih dapat mengerti kekacau-balauan ini? Siapa masih dapat mengerti bahwa Kapolda dan Pangdam dapat menyambut baik rencana kenaikan bendera pada tanggal 1 Desember, sedangkan pada saat yang sama sejumlah orang diadili di Sorong karena mereka menaikkan bendera tiga bulan sebelumnya?
Pihak keamanan mau apa sebenarnya?, pertanyaan demikian kurang terjawab. Apalagi kalau ketidakjelasan ini masih digabung lagi dengan sejumlah berita bahwa terdapat usaha dari pihak keamanan (khususnya dari pihak Kopasus) untuk mengandalkan sejumlah "tokoh OPM" (atau: . mantan. ) demi tujuan mereka. Tujuan apa, tidak terlalu jelas. Kenyataan adalah bahwa sejumlah . tokoh OPM. diterbangkan oleh TNI ke Jayapura dan dijamu baik-baik di Jayapura, dan mereka ternyata diminta untuk mengadakan lobbiing dengan . masyarakatnya. di Jayapura dan sekitarnya. Apa artinya semuanya ini; kami hanya tinggal tebak saja. Namun jelas bahwa usaha-usaha semacam itu cukup menggelisahkan banyak orang, bukan saja di daerah kota melainkan pula di daerah pedalaman. Tidak bisa dihindari pula bahwa berita-berita mengenai usaha-usaha tadi mudah dikaitkan dengan segala pemberitaan mengenai penyusupan provokator di kalangan mana saja dan dengan peranan TNI di pelbagai wilayah lain seperti Ambon dan Timtim. Pada dasarnya masyarakat menjadi takut dan sangat prihatin, dan jelas bahwa suatu masyarakat yang takut dan prihatin akan keamanannya sulit dapat diajak untuk berdialog secara terbuka.
[6] Sejumlah gejala khusus
Masih berkaitan dengan beberapa unsur keprihatinan yang kami sebutkan tadi adalah penampilan yang kurang simpatik yang dipamerkan sejumlah anggota masyarakat Papua. Terutama di wilayah kotawi keluhan akan sejumlah tindakan semena-mena ramai diceriterakan dan turut membuat banyak orang takut atau sekurang-kurangnya gelisah. Pada saat ini hampir tidak terdapat seorang sopir taksi yang masih berani untuk membawa penumpang dari Abepura ke Sentani setelah jam enam sore. Soal-soal tanah makin hari makin ramai dihidupkan oleh pribadi orang maupun secara berkelompok.
Penampilan serta kelakuan yang dimaksudkan memang tidak boleh dinilai sebagai suatu penampilan yang diterima para pejuang aspirasi M, namun tidak dapat disangkal pula bahwa ternyata perjuangan aspirasi M ini memberikan angin kepada sekelompok orang untuk merasa diri "mahakuasa" (. saya ada hak tunggal untuk menentukan. ) sampai memamerkan . kekuasaannya. . Gejala ini diperlihatkan oleh segelintir pribadi orang dan sering bertujuan untuk mendapat keuntungan materiil sejenak (demi tujuan atau kebutuhan pribadi sesaat). Namun juga mulai ditunjukkan oleh kelompok-kelompok sebagaimana diperlihatkan oleh Satgas Papua di Sentani (penghancuran tempat ojek), di Merauke (Satgas Papua terlibat dalam pembunuhan dan ancaman), di Manokwari, Fakfak dan Sorong berhubungan dengan masuknya pengungsi-pengungsi dengan mengadakan razia KTP di atas kapal.
Penampilan Satgas Papua selama beberapa kesempatan resmi (misalkan pada perayaan 1 Desember) sebenarnya sangat bagus dan menyakinkan. Apakah pelahan-lahan satuan itu mulai kehilangan pegangan mengenai batas penugasannya? Jelas bahwa persoalan pengungsi dapat mengajak para . penjaga keamanan. untuk mengambil peranan, karena soal pengungsi sangat terkait dengan ketakutan akan masuknya sejumlah provokator atau milisi dari pulau-pulau lain (terutama dari Timor dan Ambon). Namun sulit dapat diterima kalau Satgas Papua mulai bertindak atas inisiatif sendiri sehingga menimbulkan kerusuhan seperti di Manokwari dan Fakfak, sedangkan, setahu kami, mereka dibentuk untuk mendampingi Polri dalam penugasannya pada kesempatan-kesempatan tertentu. Apalagi kami merasa makin bingung sewaktu mendengar bahwa ada Satgas Papua yang dibentuk dan dilatih sampai di pelosok Pirimapun (bagian selatan wilayah Asmat). Siapa sebenarnya mengontrol Satgas Papua dan tugasnya persis bagaimana? Hal-hal demikian perlu diperjelaskan dengan tegas kalau mau dihindarkan bahwa terbentuk suatu kelompok yang pelahan-lahan akan "main hakim sendiri". Sudah tentu bahwa demi kemurnian perjuangan Papua gejala-gejala sebagaimana disebut di atas ini perlu diatasi dengan segera supaya perjuangan itu tetap dapat dijalankan dengan terbuka hati secara damai dan secara tertib.
KATA PENUTUP
Suasana kemasyarakatan baik di tingkat nasional (Indonesia) maupun di tingkat regional (Tanah Papua) ditandai suatu kompleksitas yang luar biasa. Suasana di Tanah Papua jelaslah tidak dapat dinilai terlepas dari apa yang sedang diperjuangkan di tingkat Bangsa Indonesia yang menyeluruh. Suasana di tingkat nasional baik memungkinkan suatu perjuangan di tingkat regional (karena . era reformasi dan demokrasi. ) maupun memberikan batas-batas kepada kelonggaran yang mau diberikan untuk perjuangan itu. Keterbatasan serta peluang ini dengan sangat jelas dikemukakan oleh Presiden Gus Dur sewaktu berhadapan dengan masyarakat Papua pada tanggal 31 Desember 1999. Disamping sejumlah "unsur keterbatasan serta unsur peluang" yang dihasilkan oleh posisi Tanah Papua didalam Republik Indonesia, sejumlah "unsur keterbatasan serta unsur peluang" lainnya dihasilkan oleh suatu dinamika intern masyarakat Papua sendiri. Mengatasi "unsur keterbatasan" di tingkat nasional, rasanya diluar jangkauan kuasa para pejuang aspirasi M, sedangkan . unsur keterbatasan. regional Tanah Papua ada dalam tangan sendiri. Sudah tiba saatnya para pejuang aspirasi M pertama-tama mulai memusat-kan perhatiannya pada "unsur keterbatasan serta unsur peluang" tingkat masyarakatnya sendiri, karena disitulah mereka mempunyai hak penuh untuk bersuara dan untuk mencari jalan hingga akhirnya "membebaskan diri dari segala bentuk penindasan".
Jayapura, 6 Februari 2000
Sdr. Theo van den Broek ofm
Kepala Sekr. Keadilan & Perdamaian