MENGAPA PROSES PERJUANGAN PAPUA BARAT AKAN MACET TOTAL? (Komentar Anak Koteka)

 

Pengantar

Semangat perjuangan Papua Barat menuju pengakuan hak budaya, hak sosial dan hak politik sudah bergulir sejak 1960-an tetapi secara jantan dihidupkan kembali dengan Tim 100 yang menghadap Pak Habibie tanggal 26 February 1998. Setelah itu, perjuangan ini masih bergulir hingga terjadi event-event bersejarah seperti Pengibaran Bendera 1 Desember 1999, Mubes Papua 2000 dan Kongress Papua II 2000 baru lalu.

 

Khususnya dalam Kongress Papua II 2000, kita telah melihat seolah-olah bangsa Papua sudah merdeka dan berdaulat secara de facto, tetapi de facto yang sebenarnya kita hanya baku tipu belaka.

 

Analisis ini tidak mewakili suara organisasi, hanya sekedar analisis pribadi yang kebenarannya tidak mutlak, tetapi perlu direnungkan bersama. Kita akan lihat beberapa dari alasan mengapa proses perjuangan Papua Barat akan macet total. Hal-hal ini bisa juga merupakan ulangan, bisa juga hal baru, kalau kita baca surat-surat sebelumnya. Satu hal perlu diingat, jangan melihat kritik ini dalma kacamata negatif, tetapi pakailah kacamata Papua asli, dan bacalah.

 

Pertama, kita tidak merangkul semua komponen perjuangan secara proporsional

Pada kongress barusan ini, ada Komisi yang disebut Komisi Konsolidasi Komponen, tetapi hasil kerja komisi ini saya secara pribadi menilai belum begitu mantap. Lihat saja, organisasi perjuangan Papua Barat yang sudah ada di tanah ini tidak dilibatkan semuanya.

 

Hal kedua yang perlu orang Papua perhatikan adalah pernyataan Presidium Dewan Papua (PDP) bahwa PDP memegang kekuasaan tertinggi, diberi daulat penuh dari rakyat, dll. secara nyata mengatakan, “Organisasi lain dinyatakan gugur dan tidak berhak mengurus Papua Merdeka.” Ini jelas omong kosong dan tidak mencerminkan jiwa perjuangan Papua Barat. Dalam pada itu, kita telah dibilang oleh beberapa orang Papua bahwa perjuangan Papua Barat harus dalam bentuk kepemimpinan Piramidal, bukan kolektif, suatu hal yang salah secara hakiki dan fatal. Jelas kesalahan ini kita buat karena mau kebarat-baratan, tetapi kita sudah menyangkan ke-Papua-an perjuangan ini. Dengan bentuk piramidal sekarang, secara jelas Thomas Beanal dibilang sama Pak Eluway, you nomor dua, saya lebih mampu dari Anda, you harus ikut saya, you tidak mampu, dll. dll. Secara jelas, itu arti dari kalimat ini: “Sekarang saya nyatakan diri sebagai Ketua Presidium, dan saya angkat Tom sebagai wakil saya, kalau tidak mau terima, kita akan cari orang lain.”

 

Bukan soal ketua dan wakil saja, persoalan status Satgas Papua, Laskar Papua dan TPN-pun sampai hari ini belum jelas. Sudah jelas, Satgas Papua adalah Kepolisian Papua, tetapi sudah diusahakan secara mati-matian untuk dijadikan sebagai Laskar Papua. Sudah dibentuk pasukan TPN tandingan oleh orang Papua sendiri. Ada markas mereka di Bonggo dan lain-lain.

 

Selain itu, sudah ada isyu ada pemasokan senjata 12,000 pucuk dari Jakarta. Siapa orangnya di Jakarta yang begitu baik hati mau tolong orang Papua yang bukan nenek-moyangnya? Aneh sekali kalau Jakarta mau tolong Papua? Selanjutnya, siapa di Papua ini yang bodoh amat mau terima bantuan Jakarta? Kalau bukan mau matikan perjuangan Papua Merdeka, untuk apa lagi senjata dari Jakarta itu? Kalau kita terima senjata dari Jakarta, apakah itu artinya mau mendukung perjuangan Papua Merdeka? Kalau kita mau melawan Jakarta, untuk apa kita minta bantuan dari situ lagi? Yang “B” saja.

 

Hal aneh seperti ini banyak sekali terjadi. Mengapa Panitia Kongres terima uang dari Jakarta? Kokh, orang mau merdeka, dikasih dana bantuan dari penjajahnya? Ada pesan sponsor apa yang perlu rakyat Papua gali di dalamnya? Apakah Pak Wahid bisa bantuk tanpa pesan begitu saja?

 

Kedua, hasil dari hal pertama, kita sudah menciptakan Suharto-Papua. Kalau begini untuk apa kita angkat Suharto-Papua dan mengusir Suharto-Jawa? Bodoh amat!

Terus kita ngeri melihat sudah jelas-jelas Papua Barat sudah punya Suharto-Papua (SUPA). Si Supa ini ada di tanah Papua melalui berbagai jalur kerjanya. Pertama dia sedang menggunakan jalur Pemuda Pancasila. Saya secara pribadi yakin seyakin-yakinnya bahwa ada hubungan personal antara perjuangan Papua dengan Pemuda Pancasila dengan Suharto. Kalau kita menganggap seolah-olah tidak ada, itu kebodohan kita orang Papua sendiri.

 

Selain itu, dari cara kerja PDP yang ada sekarang, kita tidak keliru akan melihat Suharto sudah pasang orangnya di tanah Papua. Ciri pertama adalah cara kerja dengan menggunakan tangan militer dan kepolisian secara dengan tidak ada perbedaannya. Kita lihat Satgas Papua sudah sulit dibedakan dengan Laskar Papua atau TPN. Itu yang terjadi di dalam kepempimpinan Suharto. ABRI adalah Polri dan TNI, ini yang salah total dalam kepemerintahan Indonesia. Kesalahan itu yang sedang ditiru di Papua Barat. Kalau kesalahan ini dipertahankan, kita lebih baik berhenti.

 

Kemudian, cara kedua adalah bahwa PDP menurunkan perintah dan mengangkat diripun sudah jelas tidak demokratis. Bagaimana seseorang dapat dengan mudah ke panggung dan bilang, “Saya ketua!” dan semua orang Papua diam seribu basa? Bukankah ini ala Suharto di tahun 1960-an dengan deklarasi Supersemar, dll.? Suharto mengangkat dirinya sendir, tanpa Sukarno mempercayakannya suatu jabatan penting seperti yang dikleim Suharto. Ini hal yang sama terjadi di Papua Barat, tetapi kita biarkan begitu saja. Lalu saya mau bertanya, “Apa bedanya Suharto-Jawa dengan Suharto-Papua?” Mengapa kita lebih senang dengan Supa daripada Suharto-Jawa (Suja)? Apa untung-ruginya.

 

Sekarang kita sudah lihat bagaimana Supa mulai beraksi. Kalau Anda bodoh-bodoh, lebih baik Anda tidak usah bicara merdeka. Ngat sejak Supa sudah berdiri dan beraksi, kita akan lupakan perjuangan melawan Suja, tetapi kita akan lebih pusing lagi berperang melawan Supa. Akhirnya kita akan dibilang sama Bill Clinton, “It is a tribal war!” (Ini hanya sekedar perang suku moh!)

 

Ketiga, ada orang Papua yang belum mengerti: Siapa atau Apa yang kita Lawan di tanah ini?

Dalam tulisan sebelumnya, kita sudah lihat betapa kita keliru. Ada pihak, negara atau pribadi yang kita menaruh harapan secara keliru. Misalnya, selama ini kita menganggap bahwa kita bisa naikkan bendera Kejora dan menuntut PBB turun segera. Ini hal yang keliru dan salah.

 

Kita sudah lihat Suja dan Supa. Sekarang ada pertanyaan, “Apa yang ditentang orang Papua?” Barangkali banyak orang akan jawab: “Kita ini berperang dengan salib, jadi kita lawan orang Islam!” Eh, bodoh! Jangan pake alasan agama, karena agama-agama luar ini bukan agama asli Papua. Jangan bikin diri kebarat-baratan dan lupa Adat. Ada yang akan bilang, “Kita lawan orang rambut lurus!”  Ini juga salah, karena Tuhan menciptakan berbagai macam ras di dunia ini sama-sama sebagai manusia. Yang kita lawan bukan karena rambut atau warna kulit.

 

Bill Clinton dan Tony Blari akan bilang, “Ini peperangan melawan proses demokrasi di Indonesia.” Karena alasan inilah Wahid sering ke luar negeri dan menjajikan, “Kalau mau bilang demokrasi di Asia Tenggara, saya inilah orangnya. Beri saya waktu untuk membuktikannya.” Akhirnya dunia bilang, “Kita tunggu saja!” Ini juga salah karena kata dan makna “demokrasi” itu sendiri sudah salah di dalam benak mereka. Masalah Papua Barat bukan masalah demokrasi, jadi pemecahan lewat demokratisasi adalah jawaban GILA.

 

Persoalannya bukan juga karena ketidakpuasan hasil pembangunan seperti yang disuaran Nathaniel Kaiway, Karel Gobay, dkk. Di sana-sini. Ini bukan akumulasi persoalan ketidak-puasan melulu. Kalau ini salahnya berarti jawabannya adalah otonomi seluas-luasnya atau selebar-lebarnya atau sedalam-dalamnya. Inipun sudah salah besar. Kita menyesal miliki politisi Papua yang selalu salah menerjemahkan suara rakyat. Tetapi itu kenyataan yang harus dihadapi oleh Anda sebagai orang Papua di tanah Papua

Barat.

 

Yang salah dengan orang Indonesia adalah SISTEM KEPEMERINTAHANNYA, yaitu sistem yang sudah tidak kenal adat lagi. Saya tidak heran lagi setelah membaca artikel Sekjen Gerakan Aceh Merdeka di Bagian II nanti. Kalau begitu yang harus kita ganti di Papua adalah SISTEM KEPEMERINTAHANNYA dong, bukan? Tapi apa yang ktia buat? Kita sudah punya bayang-bayang Pemerintah dengan Presidennya, yaitu Presidium Dewan Papua dan sudah punya bayang-bayang legislatif, yaitu Panel Papua. Dengan kata lain, kita sendiri sudah membentuak SEBUAH EMBRYO

 

Keempat, konspirasi politik Papua sudah jauh dari seharusnya

Sekarang orang Papua harus buka mata dan lihat baik-baik. Ada orang Papua yang muncul tiba-tiba seperti dari dalam kuburan dan bicara “Papua Merdeka!” padahal kita sudah tidak pernah lihat batang hidung mereka selama 39 tahun ini. Masuk akal kalau waktu 39 tahun lalu mereka belum lahir. Tapi ada yang sudah lahir dan sudah memilih “MALAS TAHU!” dengan penderitaan Anda, tetapi kini tiba-tiba khotbah kiri-kanan untuk membuat Anda bertobat dan berlutuh di kaki mereka.

 

Sudah jelas ada konspirasi internal di dalam Tubuh Pejuang Papua Barat sendiri. Ada oknum-oknum yang bersekongkol untuk menjual Papua dengan jabatan, dengan wanita dan dengan uang. Ini bukan hal baru lagi. Dulu waktu Pepera sudah ada persekongkolan Papua-Jawa-Amerika, yang sampai hari ini orang Papua tidak pernah meminta pertanggungjawaban. Kita belum menghadirkan Nicolas Jouwe atau orang sejawatnya untuk menjelaskna MENGAPA sebenarnya kita terjual ke poros Amerika-Indonesia. Kita sudah memulai proses PENGULANGAN KEGALALAN PEPERA KEDUA, yaitu Kongress Papua II 2000. Jangan pernah menyangka bahwa Kongress Papua II 2000 merupakan langkah mendekatkan kepada perjuangan. Ini akan dapat terbalik menjadi langkah mundur, lebih mundur lagi daripada PEPERA I, yaitu tahun 1969.

 

Tidak usah kita heran orang Papua ramai-ramia calonkan diri. Jangan heran orang Papua merasa lebih aman hidup di Jawa daripada hidup di Papua, tanah air sendiri. Jangan heran kalau Wahid mau kasih Rp 1 milyar untuk Kongress Papua II 2000. Jangan heran kalau orang Papua masih mau diterima Wahid, kalaupun sudah ketahuan mereka bicara merdeka. Apa di balik ini semua? Kalau bukan konspirasi Numbay-Jakarta-PNG-Belanda, apa lagi? Kalau bukan pengulangan penggagalan PEPERA Papua, apa lagi?

 

Alasan Kuncil, PDP tidak berani ambil resiko untuk Sebuah Dialogue Internasional dalam waktu dekat

Di atas semua ini, kalau Anda orang Papua sungguh-sungguh mau merdeka, tidak usah lihat tulisan seperti ini, tidak usah dengan komentara mereka di Cepos, PaPos, Jubi, Tifa Papua, dll. Tidak usah datang ke pidato-pidato terbuka mereka. Jangan sujud menyembah mereka percuma. HANYA ADA SATU KUNCI SAYA YANG PERLU ANDA PERHATIKAN UNTUK ANDA MENYATAKAN: Presidium Dewan Papua memang ada untuk Kemerdekaan Kita. Satu hal ini ini: PDP HARUS MEMPERJUANGAN SEGERA SEBUAH DIALOG INTERNASIONAL TENTANG STATUS PAPUA BARAT DI DALAM WILAYAH REPUBLIK INDONESIA.

 

Laporkan hasil ke Presiden RI? Laporkan ke DPR dan MPR? Laporkan ke Dewan Gereja Sedunia? Laporkan ke ECOSOC PBB? Semuanya percuma. Lebih baik tidak usah lapor-laporan-lah. Naikkan bendera 1 July 2000? Naikkan bendera 14 July 2000? Naikkan bendera 1 Desember 2000? Ingat: BENDERA ITU BUKAN MAINAN untuk dinaikkan dan diturunkan. Di bendera itu ada jatidiri dan hargadiri Anda.

 

Sebelum ada sebuah Dialogue Internasional, lebih baik tak usah bicara MERDEKA. Percuma dan hanya buang tenaga dana, dan waktu sekaligus memalukan.

 

Penutup

Kita kembali kepada peringatan yang berulang-ulang oleh Mr. Thomas Beanal: Perjuangan ini akan gagal atau berhasil, keduanya ada di tangan kita orang Papua sendiri. Tidak ada di tangan orang Barat, orang Indonesia, orang Afrika, manapun tidak. Sesungguhnya dan seutuhnya ada di tangan orang Papua.

 

Pertama, pernyataan-pernyataan politik yang kita buat perlu murni, jujur dan polos, yaitu langsung mewakili rakyat Papua. Tidak boleh kita polesi pernyataan rakyat dengan bunga-bunga ideologi Barat atau tekanan Indonesia.

 

Kedua, langkah-langkah dan pendekatan yang diambil PDP perlu cepat, terbuka dan aspiratif. Tidak perlu PDP bersifat birokratis dan diktarotship.

 

Terakhir, dalam waktu bulan Juni dan Juli 2000 harus sudah ada langkah jelas untuk memulai sebuah proses DIALOGUE INTERNASIONAL. 

 

Kalau tidak perjuangan ini akan macet total. Generasi ini akan menjadi gerenasi terkutuk dalam sejarah Papua. (WT)