VARIOUS STATEMENTS ON WAR IN WAMENA (Berbagai pernyataan ttg Perang in Wamena), collected by the CEB.
Menu of contents (Menu Isi):
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
Dewan Musyawarah Mayarakat Koteka & Aliansi Mahasiswa
Papua – Internasional
Perihal: SURAT DUKA DAN DESAKAN KEPADA PRESIDIUM DEWAN PAPUA UNTUK MENYIKAPI KASUS PEMBANTAIAN MANUSIA KOTEKA DI WAMENA, TGL. 6 OKTOBER 2000
Dengan hormat,
PERTAMA-AMA DENGAN SANGAT MENYESAL ATAS PERILAKU APARAT POLRI YANG
BIADAB, KAMI MENYAMPAIKAN RASA DUKA SEDALAM-DALAMNYA ATAS MENINGGALNYA ELIEZER
ALUA, AGUS MURIB, EREMES TABUNI, DAN TEMAN-EMAN PADA PEMBANTAIAN WAMENA BERDARAH
TANGGAL 6 OKTOBER 2000 ATAS KEBIADABAN DAN KEKACAUAN YANG DISEBABKAN APARAT
KEAMANAN POLISI INDONESIA
KAMI
MENGUTUK KEBIADABAN PEMERINTAH INDONESIA EDNGAN APAPARAT KEPOLISIANNYA.
MENGINGAT:
1.
Kematian di pihak rakyat Papua terus berjatuhan sejak Presidium Dewan Papua
menginstruksikan untuk mengibarkan Bendera Bintang Kejora, mulai dari Nabire,
Timika, Maroke, Manokwari, Sorong, Port Numbay, dan kini Wamena. Ini sisah dari
200.000 yang sudah mati di tanah Papua sejak Indonesia aneksasi Papua Barat
secara invasi militer.
2.
Kongress Nasional Papua II, 2000 telah mengamanatkan suara bulat atas nama
demokrasi dan HAM mengukuhkan deklarasi kemerdekaan Papua Barat yang sudah
dimaklumkan tanggal 1 Desember 1961.
3.
Presidium Dewan Papua (PDP) adalah wadah tunggal yang pertama dan
satu-satunya yang dibentuk oleh seluruh rakyat Papua yang bertanggungjawab bukan
hanya melobi ke luar negeri tetapi juga untuk mengamankan kekacauan yang terjadi
di tanah Papua.
MEMPERHATIKAN:
1.
Bahwa perang yang pecah di Wamena dipicu oleh Aparat Keamanan yang justru
mengacaukan. Polisi Indonesia bukan petugas keamanan, tetapi adalah petugas
pengacau keamanan dan provokator.
2.
Bahwa tekad masyarakat Papua Barat untuk merdeka sudah bulat, tak dapat
diganggu-gugat oleh alasan apapun juga, apalagi oleh Indonesia yang menjajah
Papua Barat secara illegal.
3.
Walaupun tidak legal, kebiadaban aparat pemerintah, TNI dan Polri di tanah
Papua sudah tidak dapat ditolerir lagi.
4.
Presidium Dewan Papua seolah-olah cuci tangan, tidak mau tahu-menahu dan
tidak bertanggungjawab secara manusia Papua dalam prinsip cinta kasih dan damai.
Karena banyak korban kekerasan TNI dan Polri tidak disikapi secara jelas dan
tuntas oleh PDP.
5.
Seharusnya Polri justru melarang menaikkan Bendera Bintang Kejora tahun lalu,
tetapi dibiarkan begitu saja. Tetapi sekarang Polri secara sepihak memberi
perintah untuk menurunkan Bintang Kejora secara paks. Seolah-olah ada kerjasama
PDP, TNI, Polri.
MEMPROTES DAN MENDESAK PRESIDIUM DEWAN PAPUA (PDP):
1.
AGAR PDP MENYAMPAIKAN KEPADA SELURUH RAKYAT PAPUA, KHUSUSNYA MASYARAKAT
KOTEKA YANG SELAMA INI TERUS MENJADI KORBAN DARI PERMAINAN ELIT POLITIK DI TANAH
INI UNTUK SECARA TEGAS MEMBERITAHU KAMI APAKAH PDP MEMPERJUANGKAN “M”,
“O” atau “F”. DAN APAKAH TANGGAL 1 DESEMBER 2000 ADALAH TANGGAL
KEPUTUSAN “M”, “O” ATAU “F” JATUH.
2.
AGAR SELURUH ANGGOTA PRESIDIUM DEWAN PAPUA TIDAK DIPERBOLEHKAN UNTUK PERGI
KE JAKARTA SEBELUM MENYIKAPI DAN MENYELESAIKAN SECARA LANGSUNG KASUS WAMENA
BERDARAH TANGGAL 6 OKTOBER 2000. PDP TIDAK BOLEH MENGULANG KESALAHAN MENGATASI
KASUS SANGKUR MISTERIUS, SORONG BERDARAH, DAN PEMBANTAIAN WAMENA.
3.
KAMI MENDESAK PRESIDIUM DEWAN PAPUA UNTUK SEGERA MENGUNDANG PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA, K.H. ABDURRAHMAN WAHID UNTUK LANGSUNG TURUN KE PAPUA DAN
MENGINSTRUKSIKAN SECARA LANGSUNG DARI BIBIR BELIAU UNTUK MENURUNKAN BENDERA
BINTANG KEJORA SEKALIGUS ALASAN-ALASAN HUKUM DAN POLITISNYA.
4.
KAMI MENDESAK AGAR JANJI PADA WAKTU DIALOG ANTARA DPR PAPUA DENGAN PDP DALAM
DEMO TANGGAL 15 AGUSTUS 2000 DALAM HAL NAMA PAPUA ATAU IRIAN JAYA DAN PENURUNAN
BENDERA BINTANG KEJORA. DALAM PERNYATAAN POLITIK KETUA PDP SECARA JELAS
MENNYATAKAN BAHWA BENDERA BINTANG KEJORA TIDAK AKAN PERNAH DITURUNKAN DI TANAH
PAPUA KARENA INI TANAH AIRNYA SAMPAI SELAMA-LAMANYA. PIDATO INI MENDAPATKAN
TEPUK-TANGAN MERIAH. HAL INI SUPAYA DIPERJELAS DAN DIPERTEGAS BUKAN DENGAN
KATA-KATA DI PANGGUNG UNTUK MENGHIBUR SAJA, TETAPI DINYATAKAN DENGAN PERBUATAN
YANG KONKRIT DALAM SAAT-SAAT SEPERTI INI JUGA.
5.
MENDESAK PANGLIMA TNI DAN POLRI MELALUI PDP UNTUK MELUCUTI SENJATA APARAT
TNI, KEPOLISIAN DAN MILISI BUATAN INDONESIA (SATGAS MERAH-PUTIH) DI SELURUH
PAPUA. MASYARAKAT KOTEKA MELARANG SEGALA BENTUK SHOW DAN DEMONSTRASI KEKUATAN
MILITER DALAM BENTUK MENERBANGKAN PESAWAT TEMPUR HAWKS, HELIKOPTER PUMA,
TANKER-TANKER PERANG DI TIMIKA, SENJATA-SENJATA PERANG BAHKAN SERAGAM TEMPUR DI
TEMPAT-TEMPAT UMUM DALAM KEADAAN AMAN ATAU BUKAN DALAM KEADAAN PERANG.
PEMERINTAH INDONESIA DENGAN TNI DAN POLRI HARUS MENGENAL ATURAN KAPAN HARUS
MENGGUNAKAN ALAT NEGARA DAN KAPAN TIDAK PANTAS MEMBAWA SENJATA TAJAM DEMI HUKUM.
KAMI MELARANG SENJATA TAJAM DIBAWA TANPA ALASAN. KAMI AKAN MENYITA KALAU
MEMASUKI WILAYAH KAMI.
Kalau tuntutan kami ini tidak dipenuhi oleh Presidium Dewan Papua, maka kami tidak akan meninggalkan tempat kediaman Ketua PDP di Jalan Bestuur, Sentani sampai ada tindakan-tindakan yang tegas dan konkrit, tidak kaku, tidak ragu dan tidak bimbang karena rakyat sudah bulat untuk mati atau merdeka.
Demikian SURAT DUKA DAN DESAKAN ini kami buat untuk diketahui dan didukung seluruh rakyat Papua.
Hormat kami,
Benny
Wenda, S.Sos
Pdt. Timothius Wanimbo
Sekretaris Jenderal
Penasehat dari Gereja
====================================================================
KOMPAS Online
Rabu, 11 Oktober 2000
Theys Imbau Warga Pendatang Tetap Tenang English version of the appeal
Jayapura, Kompas
Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) Theys Hiyo Eluai mengimbau segenap warga
pendatang di Irian Jaya (Irja) agar tetap tenang, tidak panik, dan resah atas
kejadian di Wamena. Kasus Wamena adalah kesalahan polisi yang tidak mau
menghargai kesepakatan bersama dengan PDP. Masyarakat Irja tidak mempunyai musuh,
termasuk masyarakat pendatang di Irja.
Kepada wartawan di Hotel Matoa di Jayapura, Selasa (10/10), Theys menegaskan,
warga pendatang yang tersebar di seluruh daratan Irja tidak boleh takut.
Kejadian di Wamena sangat situasional. Kehadiran pendatang sejak puluhan tahun
silam telah memberi sumbangan besar bagi kemajuan pembangunan daerah Irja.
Mereka bukan pendatang, tetapi warga Irja. Mereka telah lahir dan dibesarkan di
tanah Irja serta membangun bersama masyarakat Irja.
Masyarakat diminta tetap menjalankan aktivitas seperti biasa. Tanah Irja
diciptakan Tuhan untuk semua orang agar bisa mencari makan guna mempertahankan
hidup.
Menurut Theys, perjuangan masyarakat Irja menuju kemerdekaan tidak menggunakan
kekerasan, teror dan intimidasi serta menjadikan warga pendatang sebagai sasaran.
Perjuangan kemerdekaan selalu berpedoman pada
kasih dan damai.
Ini sudah menjadi komitmen seluruh lapisan masyarakat dalam Kongres II Papua.
Masyarakat Irja tidak mempunyai musuh, termasuk warga pendatang. Musuh orang
Irja adalah kesombongan, rekayasa politik, arogansi, ketidakadilan, pelanggaran
hukum, dan penindasan.
Bekas anggota DPRD Irja ini menilai, kasus Wamena terjadi oleh sikap arogansi
polisi. Polisi merasa paling mampu menjaga keamanan dan ketertiban sehingga
tidak melibatkan tokoh masyarakat dan tokoh pemuda setempat.
"Dalam kesepakatan antara presidium dengan Kepala Polda, Panglima Kodam dan
Sekretaris Wilayah Daerah Irja tanggal 3 Oktober 2000, presidium minta agar
penurunan dan pelarangan pengibaran bendera di seluruh tanah ini
ditunda sampai tanggal 19 Oktober 2000. Permintaan itu dengan pertimbangan
presidium akan menghadap Presiden menanyakan kebijakan tersebut. Jika Presiden
mengatakan benar demikian, maka presidium akan menyosialisasikan
kepada masyarakat sebelum polisi turun," tutur Theys.
Apabila pihak kepolisian menghargai hasil kesepakatan bersama 3 Oktober 2000,
menurut Theys, kasus Wamena tidak akan terjadi. Sebab, PDP pun mempunyai
komitmen membantu polisi merealisasikan perintah atasan di lapangan. PDP tidak
menginginkan adanya korban jiwa saat penurunan bendera.
Namun, secara terpisah, Kepala Polda Irja Brigjen (Pol) SY Wenas mengatakan,
pihaknya telah melakukan berbagai pendekatan, termasuk dengan PDP, untuk
menurunkan bendera bintang kejora. Akan tetapi, PDP tetap tidak memperhatikan
imbauan dari kepolisian.
"Secara lisan kami sudah sampaikan, tetapi presidium tidak mau ikut.
Kemudian kami bikin surat imbauan agar bendera-bendera segera diturunkan, tetapi
tetap tidak ditaati juga. Presidium seakan-akan tetap mempertahankan bendera itu,"
kata Wenas.
Tetap berjuang
Theys menegaskan, ia tetap berjuang merealisasikan kemerdekaan Irja sebagai hak
asasi orang Irja. Namun, perjuangan itu tetap pada prinsip kasih dan damai.
Menanggapi pernyataan Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan (Menko
Polsoskam) Susilo Bambang Yudhoyono agar PDP segera dibubarkan dan menurunkan
bendera bintang kejora di Irja, Theys mengatakan, PDP hadir hanya untuk membawa
aspirasi masyarakat Irja yang sudah mengkristal. Walaupun PDP dibubarkan,
aspirasi kemerdekaan masyarakat tidak akan pudar.
Menanggapi pernyataan Theys tersebut, Ketua Legium Veteran Irja Arief Pamungkas
(76) mengatakan, sampai kapan pun Indonesia tidak akan mundur satu langkah pun
dari bumi Irja. Irja bergabung dengan Indonesia sesuai
prosedur hukum internasional. Semua negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa
mengakui bahwa Irja adalah bagian yang utuh dari RI.
Sementara itu, mantan Panglima Kodam Trikora Letjen Amir Sembiring yang kini
Komandan Kodiklat TNI AD menilai, aksi massa di Wamena merupakan bias dari
persoalan politik di negeri ini. Rakyat Wamena sengaja dieksploitasi untuk
kepentingan kelompok tertentu. Ia mengimbau rakyat tenang dan tidak terprovokasi
oleh hasutan murahan.
Selama dua tahun bertugas di Irian Jaya, Amir menilai rakyat Wamena hidup dalam
kedamaian dan sangat menghargai warga pendatang. "Jika tiba-tiba mereka
mengamuk, tentu ada yang kompori. Karena itu, saya imbau rakyat Wamena tetap
mempertahankan kehidupan damai, seperti yang telah ditunjukkan selama ini,"
katanya di Bandung, Selasa kemarin.
Gereja-gereja di Irian Jaya dalam pernyataan sikapnya mendesak Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) atau tim independen lainnya menyelidiki kasus
Wamena. Gereja juga minta semua pihak agar menghentikan
kekerasan dalam bentuk apa pun yang mengorbankan warga sipil dan aparat keamanan.
Pernyataan sikap itu disampaikan di Jayapura, Selasa. (kor/zal)
Kompas Online
Wednesday, 11 October 2000
Theys Appeals To Settlers To Keep Calm
Jayapura, Kompas Online
Pacific Islands Report
JAKARTA, Indonesia (October 10, 2000 - Radio Australia's Pacific Beat)
Human rights and church groups have urged the government to act immediately to
stop further bloodshed in West Papua following weekend fighting that killed 28
people or more. (Independence groups say at least 58 people have died.)
The violence started when police tore down separatist flags and shot dead two
pro-independence supporters on Friday.
The deaths sparked two days of violence in which police say separatists killed
at least 28 people, most of whom had settled in West Papua from other Indonesian
provinces.
West Papuan human rights leader John Rumbiak blames the incident on a power play
within the Indonesian leadership.
"This president is trying to promote democracy," Rumbiak said.
"But it's difficult going from a military system to democracy. The military
wants to maintain the status quo to control the country. This problem is causing
confusion within the people.
Rumbiak said Jakarta needs to have the political will to peacefully resolve the
West Papuan situation. He said it can't be done without negotiations and
dialogue.
============================================================
NASIONAL
- --------------------------------------------------------------------------
KASUS WAMENA BERDARAH BUKAN SALAH PRESIDEN
===========================================================
WAMENA INCIDENT DEVELOPMENTAL SETBACK, SAYS LOCAL LEADER
(ant.10/10/00)
PAPUA COUNCIL PRESIDIUM CALLS FOR LOWERING OF MORNING STAR FLAG (Date: Tue, 17 Oct 2000 18:34:35)
Jayapura, Irian Jaya, - The Papua
Council Presidium has called on all indigenous people in the Indonesian province
of Irian Jaya to lower the Papuan "Morning Star" flag.
Presidium moderator, Rev Herman Awom, issued the call here on
Monday, following a meeting with the governor of Irian Jaya. "It
was the Presidium which asked the people to fly the flag (in December 1999).
So, it is with a heavy heart that the Presidium serves the call. But it
must be done, because the Presidium is being sandwiched," Rev Awom said.
He admitted that the Presidium was being squashed between the
desire of the indigenous people to continue flying the flag, and the
government's ultimatum to lower it by Oct 19.
Meanwhile, Irian Jaya Police chief, Brig Gen SY Wenas,
disclosed that the police have given the people until Oct 19 to lower the
Morning Star flag.
"Let the Papua Council Presidium socialize the decision
(on the deadline for the lowering of the flag)," Wenas said.
The Morning Star flag is still flown almost in all districts
of the province, except in Jayawijaya, Sorong, Merauke and Mimika.
Originally, the flag was to be lowered by Oct 16. But
the Papua Council Presidium approached
the provincial government to postpone the deadline to Oct 19.
No compromise
Wenas asserted that Oct 19 would be the ultimate deadline for
the Papua Council Presidium to lower the flag in Jayapura. "Other
districts should follow suit, until the Morning Star flag is banished from Irian
Jaya soil," Wenas said.
He made it clear that there would be no more compromise after
Oct 19. The police chief pointed out that there would be a final meeting with
the Presidium on Tuesday evening to seek the best mode of carrying out the
decision.
"But the flag must be lowered and the Papua Council
Presidium has been reminded about it," Wenas reasserted. (ant.17/10/2000)