>Sabtu, 25 November 2000

TNI AD Tak Akan Tolerir Upaya Disintegrasi Bangsa

Jakarta, Kompas

Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) tidak akan menolerir segala upaya sekelompok masyarakat yang ingin memisahkan diri dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Apalagi bila ide atau keinginan memisahkan diri itu hanya karena berakar pada masalah ketidakpuasan menyangkut kurangnya perhatian pemerintah pusat atau kesejahteraan masyarakat setempat yang terabaikan.

"Kalau (masalah-masalah itu) tidak terselesaikan secara damai, apa sih yang sebenarnya menjadi tuntutan mereka hingga sampai (muncul keinginan) untuk melepaskan diri dari RI? Kalau karena masalah kurang perhatian dari pusat dan kesejahteraan yang terabaikan, kembali pertanyaannya, apa mesti dengan cara itu," ungkap Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Endriartono Sutarto menjawab pertanyaan pers usai melantik Letjen Kiki Syahnakri sebagai Wakil KSAD di Markas Besar TNI AD, Jakarta, Jumat (24/11).

Guna mengantisipasi berbagai kemungkinan buruk yang bisa terjadi di kedua wilayah yang kini memanas itu, lanjut Endriartono, pihaknya telah menyiapkan pasukan yang sewaktu-waktu bisa diterjunkan ke sana bila situasi menuntut demikian.

"Kita telah melakukan pembinaan dan menyiapkan prajurit sebaik-baiknya dan sebanyak-banyaknya bila suatu saat bangsa ini membutuhkannya melalui Panglima TNI atau Presiden yang punya mandat mengeluarkan keputusan politik," tandas KSAD.

Dia juga menandaskan, bila bangsa ini tetap menginginkan agar baik Irian Jaya dan Aceh jangan sampai melepaskan dari wilayah NKRI, sekalipun misalnya harus dengan memberlakukan UU keadaan darurat, maka tekanan politik dari luar negeri tidak perlu dicemaskan.

"Kalau akhirnya pemberlakuan undang-undang (UU) keadaan darurat itulah yang harus dipilih, kita sebagai bangsa harus siap pula menanggung segala konsekuensinya," katanya.

Menyangkut kemungkinan terjadi aksi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) oleh para prajurit TNI AD bila UU keadaan darurat itu sampai diberlakukan, Endriartono dengan tegas mengatakan, pada prinsipnya HAM harus selalu ditegakkan. Bila akhirnya terjadi pelanggaran HAM oleh para prajurit TNI AD, maka yang harus dipersalahkan dan harus berani memikul tanggung jawab atas peristiwa itu adalah mereka yang memegang tongkat komando perintah terhadap prajurit itu.

Pendapat pribadi

Sementara itu, Wakil Ketua DPR AM Fatwa di Medan mengatakan, apa yang dikemukakan oleh Ketua Komisi I dan II DPR baru-baru ini merupakan pendapat pribadi, dan bukan pendapat DPR. "Kami berpendapat bahwa di Aceh tetap tidak relevan untuk diberlakukan darurat sipil," kata Fatwa didampingi anggota DPR lainnya asal pemilihan Aceh, Mawardi Abdullah (Fraksi Partai Bulan Bintang), Ir Teungku Syaiful Ahmad (Fraksi Reformasi), dan TM Nurlif (Fraksi Partai Golkar), Jumat petang.

Mereka memberi keterangan pers di Medan setelah gagal berkunjung ke Banda Aceh untuk menghadiri pelantikan Gubernur Aceh Abdullah Puteh, Sabtu, karena Bandara Iskandar Muda di Banda Aceh tergenang banjir.

Menurut Fatwa, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk segera memberlakukan darurat sipil di Aceh, karena pemerintah belum melaksanakan hasil keputusan paripurna Panitia Khusus tentang Aceh, 7 Desember 1999. Tak satu pun dari sepuluh poin yang direkomendasikan dilaksanakan pemerintah secara konkret.

Andaikata pun mau diberlakukan darurat sipil, kata Fatwa, misalnya, harusnya dievaluasi dulu bagaimana hasil kerja pemerintah dalam melaksanakan keputusan DPR. Lalu, ditanya kembali bagaimana cara penyelesaiannya.

Menurut Fatwa, sebaiknya dialog dengan rakyat Aceh inilah yang segera dilakukan pemerintah. "Caranya, Presiden harus datang berkunjung ke Aceh untuk melihat bagaimana sesungguhnya yang terjadi," katanya.

Untuk mempermudah

Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Marsekal Muda Graito Usudo ketika dihubungi terpisah, Jumat, mengemukakan, pemberlakuan darurat sipil di Aceh akan mempermudah TNI melaksanakan tugas-tugas keamanan.

Dengan memberlakukan darurat sipil, kata Graito, TNI akan lebih mudah menggunakan dan melibatkan pasukan untuk membantu Polri dalam penumpasan kelompok-kelompok bersenjata di Aceh. Mereka saat ini telah melakukan operasi mirip gerilya. Oleh karena itu, akan sulit bila masalah keamanan itu ditanggulangi dengan cara-cara kepolisian biasa.

Ketika ditanya lebih lanjut apakah ada jaminan bahwa pemberlakuan sipil tidak akan mengulang terjadinya pelanggaran-pelanggaran HAM sebagaimana yang terjadi di Aceh selama pemberlakuan DOM, Graito mengatakan jaminan itu tidak ada. Akan tetapi, untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM, kata Graito, pasukan-pasukan yang akan dikirim telah dibekali dengan pengetahuan tentang hak-hak asasi manusia dan menyertakan perwira-perwira hukum.

Bukan pemecahan

Menanggapi usulan Komisi I dan II DPR, Jaksa Agung Marzuki Darusman mengatakan, penerapan darurat sipil bukan merupakan pemecahan masalah untuk mengatasi kemelut keamanan yang terjadi di Aceh saat ini. Penggunaan pendekatan keamanan seperti penerapan darurat militer di Aceh pada masa Orde Baru justru menjadikan masalah Aceh semakin rumit.

Karena itu, terutama yang harus dilakukan adalah melakukan pendekatan persuasif maupun pendekatan hukum untuk mengatasi konflik di Aceh. Pendekatan kedaulatan dan keamanan diperlukan dalam situasi yang mendesak. Penerapan darurat sipil, jika terpaksa dilakukan, akan merupakan alternatif terakhir untuk mengatasi konflik yang berkepanjangan di Aceh. (bur/ryi/wis/arb/smn/ika)