Aids in Papua | Wars in Papua | Human Rights | Terror in Papua | Our Democracy | Autonomy in Papua | Environmental Issues

 

 
 Editorial Notes:
 
News and informatian around the murder of Aceh independence movement. Theys Eluay, Papuan independence movement leader was killed on 11 November 2001, now Tengku Abdullah's turn to be killed by state-terrorist: Indonesia
 
 
 Menu of the Page:
 
* Tokoh PDP Dituntut 2,6 Tahun Penjara,  22/01/02, 13:40 WIT; Jayapura, Tiga tokoh pro-Papua Merdeka, Senin [21/01/02], dituntut 2,6 tahun penjara potong masa tahanan oleh jaksa penuntut umum (JPU) pada Pengadilan Negeri Abepura, Kodya Jayapura.
* Gubernur Kutuk Pelaku Pembunuh Ketua PDP Theys Eluay, 2/01/02, 13:35 WIT

Jayapura, Gubernur Papua, Jaap P. Solossa, menyesalkan dan mengutuk pelaku pembunuhan terhadap Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) Theys Hiyo Eluay (64) pada 11 Nopember 2001, serta meminta aparat untuk terus mengusut dan mengungkap pelakunya.
* Delegasi Amnesti Internasional Memulai Tugasnya, 22/01/02, 13:30 WIT

Jayapura, Delegasi Amnesti Internasional (AI), masing-masing Lucia Withers dan Signe Poulsen, Senin (21/1), memulai tugasnya di Papua. Mereka akan menyelidiki kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di daerah itu.
* >Sabtu, 19 Januari 2002, Tim Amnesti Internasional Tiba di Papua Sabtu Ini * Selidiki Pelanggaran HAM

Jayapura, Kompas
Sebuah tim Amnesti Internasional direncanakan Sabtu ini tiba di Jayapura, Papua. Tim ini akan bertugas selama 15 hari untuk >>> 

* TUNTUTAN JAKSA ‘MEMBINGUNGKAN‘ PDP 

Jayapura-Tuntutan jaksa 2,6 tahun dengan potongan masa tahanan dengan dugaan makar yang dilakukan beberapa pentolan PDP membingungkan 

* Surat Kabar Harian Cenderawasih Pos 22- 1 2002 

TIGA PENTOLAN DITUNTUT 2,5 Tahun : Dinyakan terbukti melakukan tindakan makar 

* The Jakarta Post
January 22, 2002 - 30-month jail term sought for three Papuan rebels, RK Nugroho, The Jakarta Post, Jayapura

 

 

Tokoh PDP Dituntut 2,6 Tahun Penjara

22/01/02, 13:40 WIT

Jayapura, Tiga tokoh pro-Papua Merdeka, Senin [21/01/02], dituntut 2,6 tahun penjara potong masa tahanan oleh jaksa penuntut umum (JPU) pada Pengadilan Negeri Abepura, Kodya Jayapura.

Ketiga tokoh yang juga pengurus Presidium Dewan Papua (PDP) masing- masing Drs AL Flassy, Thaha Al Hamid dan Pdt Herman Awom yang berkas acara pemeriksaannya (BAP) dipisah dengan BAP Drs AL Flassy.

Jaksa Penuntut Umum pada PN Abepura, Bambang Hadisubroto SH, dalam amar putusannya setebal 54 halaman dengan terdakwa Drs AL Flassy menegaskan, terdakwa terbukti bersalah melanggar pasal 106 KUHP jo pasal 155 ayat 1 KUHP jo pasal 64 ayat 1 KUHP.

Selain menuntut 2,6 tahun penjara potong masa tahanan, jaksa juga membebankan biaya perkara sebesar Rp 2.500 kepada terdakwa.

Adapun yang memberatkan, kata JPU Bambang SH, selaku pegawai negeri sipil (PNS) dilingkungan Pemda Papua, terdakwa seharusnya menjadi panutan, namun sebaliknya apa yang dilakukan tersangka menimbulkan keresahan.

Sedangkan yang meringankan adalah terdakwa belum pernah dihukum serta berkelakuan sopan selama persidangan berlangsung.

Seusai mendengarkan tuntutan, penasehat hukum terdakwa, Rachman Upara yang termasuk dalam tim pembela kebenaran dan ham menyatakan minta waktu untuk mempersiapkan pembelaan.

Majelis hakim yang diketuai EH Sinaga SH dan didampingi hakim anggota IW Sosiawan SH dan JF Rahantoknan SH seusai mendengar permintaan penasehat hukum kemudian menunda sidang hingga tgl 4 Februari 2002 mendatang. 

Sementara itu, dalam sidang lanjutan kasus yang sama dengan terdakwa Thaha Al Hamid dan Pdt. Herman Awom juga dituntut hukuman seperti halnya yang ditujukan ke Drs AL Flassy yakni 2,6 tahun potong masa tahanan. 

Jaksa penuntut umum pada pengadilan negeri Abepura, Samsul Alam, dalam amar putusan setebal 84 halaman itu mengatakan, kedua terdakwa terbukti melanggar pasal 106 KUHP jo pasal 155 ayat 1 jo pasal 64 ayat 1 KUHP.

Seusai pembacaan tuntutan, majelis hakim yang juga diketuai EL Sinaga SH menunda sidang hingga tgl 4 Pebruari 2002. (ant)
http://www.infopapua.com/papua/0102/2201.html


Gubernur Kutuk Pelaku Pembunuh Ketua PDP Theys Eluay

22/01/02, 13:35 WIT

Jayapura, Gubernur Papua, Jaap P. Solossa, menyesalkan dan mengutuk pelaku pembunuhan terhadap Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) Theys Hiyo Eluay (64) pada 11 Nopember 2001, serta meminta aparat untuk terus mengusut dan mengungkap pelakunya.

Ia membantah bahwa pembunuhan Ketua PDP Theys Eluay adalah berkaitan dengan pemberlakuan UU Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang disetujui DPR RI pada 22 Oktober 2001.

Isue itu dikembangkan oleh orang atau kelompok, bahkan institusi tertentu yang tidak menginginkan orang Papua hidup sehat, tentram, sejahtera dan damai di dalam tanah leluhurnya karena puluhan tahun pembangunan tidak menyentuh mereka.

Sebab, dalam UU Otsus itu salah satunya adalah mengatur
perlindungan hak-hak orang Papua dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia (HAM), katanya. Karena itu sangat disesalkan dan mengutuk pelaku pembunuhan terhadap Theys Eluay. Gubernur meminta agar penegak hukum terus mengusut pelaku penculikan dan pembunuhan tersebut.

Rakyat Papua, katanya, sudah cukup menderita selama 40 tahun hidup dalam rezim Orde Baru. Oleh karenanya dengan UU Otsus itu, kesempatan sangat terbuka bagi rakyat Papua untuk membangun diri menuju kehidupan yang lebih layak dan manusiawi, ujar Solossa.

Hal tersebut juga disampaikan gubernur dalam pidato radio dan TV pemberlakuan UU Otonomi Khusus (Otsus) Nomor 21 tahun 2001 pada Sabtu malam (19/1). Pemberlakuan UU Otsus Papua mulai berlaku 1 Januari lalu, namun sampai saat ini sejumlah peraturan daerah khusus (Perdasus) dan peraturan daerah propinsi (Perdasi) belum dirampungkan DPRD dan Majelis Rakyat Papua (MRP).

Sebab anggota MRP terdiri atas tokoh adat, agama, perempuan, LSM dan tokoh pemuda yang pada umumnya asli orang Papua, namun pembentukan lembaga itu akan dibahas dalam kesempatan lain, dalam waktu dekat, tambahnya. (ant)
http://www.infopapua.com/papua/0102/2202.html 


Delegasi Amnesti Internasional Memulai Tugasnya

22/01/02, 13:30 WIT

Jayapura, Delegasi Amnesti Internasional (AI), masing-masing Lucia Withers dan Signe Poulsen, Senin (21/1), memulai tugasnya di Papua. Mereka akan menyelidiki kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di daerah itu. 

Senin kemarin mereka mengikuti sidang tuntutan kasus makar atas Presidium Dewan Papua (PDP), mendengarkan keterangan para aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan pers yang diteror dan diintimidasi selama ini. 

Wakil Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Elsham) Papua, Alo Renwarin, mengatakan, delegasi AI itu sebelum berangkat ke Jakarta akan memberi keterangan pers di Jayapura pada 4 Februari 2002. (kor-kcm)
http://www.infopapua.com/papua/0102/2203.html 


Kasus Theys dan Kendala Hukum 

Oleh Anton Tabah 
18/01/02

Beberapa media massa terbitan 14 Januari 2002 menyajikan berita memilukan: ''Penyidikan Kasus Theys Mentok''. Kapolda Irja (Papua) Ipjen Pol M Mangku Pastika menyatakan bahwa penyidikan kasus Theys menjadi kandas setelah tim yang dibentuk Mabes TNI AD sampai kini tidak memberi masukan perkembangan apa-apa. Harapan satu-satunya tinggal dari tim independen yang akan dibentuk pemerintah. 

Pernyataan Kapolda Irja itu selain memilukan juga kontroversial dengan pernyataan Kapolri (12/12/2001). Kapolri melalui Deops Komjen Pol Zahrudin Pagar Alam menyatakan bahwa penyidikan kasus Theys sudah menemukan titik terang setelah tak kurang dari 40 saksi termasuk 7 oknum Kopassus diinterogasi polisi Irja. Tetapi dalam perkembangannya polisi masih kerepotan mengungkap fakta karena saksi-saksi dari TNI dalam sistem hukum kita harus diperiksa oleh peradilan militer. 

Atas kesulitan itu Kapolri terpaksa minta bantuan polisi militer dari Mabes TNI AD untuk memeriksa saksi-saksi dari TNI AD tersebut. Benarkah polisi sudah menyerah? Pernyataan Kapolda Papua tersebut langsung disanggah oleh Kabahumas Polri Ipjen Pol Saleh Saaf sebagaimana yang dikutip berbagai media tanggal 15 Januari 2002. Saleh Saaf dengan tegas mengatakan, polisi dalam melakukan penyidikan tak pernah mentok. Yang terjadi menyangkut kasus Theys adalah polisi telah berupaya maksimal dan tinggal melakukan koordinasi lebih matang untuk mengungkap keterlibatan pihak-pihak tertentu dalam kasus tersebut. Karena itu, polisi tak akan pernah berhenti apalagi menyerah dalam melakukan penyidikan apalagi terhadap kasus Theys yang menjadi sorotan publik. 

Harus Serius 

Kasus Theys harus ditangani serius apalagi kalau bicara tentang reformasi menyeluruh dalam membangun demokrasi bangsa Indonesia ke depan. Kegagalan masa lalu terletak pada lemahnya supremasi hukum. Hal itu disebabkan tiga hal, yaitu tak ada kesamaan, kepastian dan keadilan hukum yang menjadi roh demokrasi. Kalau kita bicara untuk mewujudkan roh hukum dan demokrasi tersebut maka semua orang bukan hanya sama kedudukanya di mata hukum tetapi juga harus tunduk pada satu hukum yang sama demi terciptanya kesamaan dan kepastian hukum. 

Reformasi kita bukan hanya mengacu pada kultur lokal tetapi juga regional dan global. Jadi sejak awal reformasi bukan hanya ingin membawa Polri tunduk pada peradilan umum tetapi juga TNI karena hukum militer yang disepakati dunia hanya menyangkut empat hal, yaitu melawan atasan, menjadi mata-mata musuh, desersi (lari dari tanggung jawab) dan membocorkan rahasia militer. Selain empat jenis pelanggaran tersebut, seorang tentara harus tunduk pada peradilan umum (sipil) demi mewujudkan kedudukan yang sama di depan hukum (equality before the law) yang menjadi roh demokrasi. 

Bagaimana di Indonesia? Hukum dan peradilan militer menyentuh semua jenis pe- langgaran yang dilakukan oleh oknum tentara bahkan pelanggaran lalu lintas pun harus di mahkamah militer. Dan apa yang kita khawatirkan sistem seperti itu akan sangat menghambat proses equality before the law atau setidaknya prinsip hukum yang mudah, cepat sederhana menjadi sangat sulit, lama dan bertele-tele. Tuntutan reformasi yang dulu keras dan nyaring agar TNI juga tunduk pada peradilan umum, kini entah mengapa mulai redup bahkan stagnan. Masyarakat mulai membiarkan semua berjalan seperti sebelum reformasi. 

Seandainya tuntutan reformasi ini sudah berjalan maka penyidikan kasus Theys tak akan sesulit dan serumit sekarang. Tentunya hal ini patut direnungkan agar reformasi total tidak mandek dan gagal. Konsep hukum global ini juga sama dengan cita-cita kesamaan, kepastian dan keadilan hukum dari nenek moyang yang terkenal dengan ajarannya; ''Datan mawas kadang sentono uger dosa kapidono''. (Hukum tidak membedakan status seseorang dan hukum harus sama bagi siapa saja). 

Konflik dalam Penyidikan 

Secara teori ilmiah penyidikan harus netral tanpa terpengaruh apa pun kecuali demi untuk penyidikan itu sendiri. Hal itu juga pernah dibahas di Adelaide Australia dalam forum ''International Meeting of Fersacic Science'' awal tahun 90-an. Namun pakar dari Inggris Prof Dr Bernard Knight membahas kemungkinan munculnya konflik-konflik hati nurani dalam proses penyidikan. Karena seorang penyidik adalah seorang pejabat penegak hukum yang bukan hanya bertanggung jawab secara ilmiah atas hasil sidikannya tetapi juga bertanggung jawab atas rekan pejabat lain dalam sebuah birokrasi yang luas. 

Di sini seorang penyidik selain harus mampu membangun jembatan penghubung kasus yang ditangani dengan bukti-bukti, saksi-saksi dan lainnya dan harus mampu melewati jembatan tersebut dengan selamat jangan sampai runtuh sebelum dilalui. Hal inilah yang dikawatirkan banyak pihak terhadap kasus Theys yang sudah lebih sebulan di tangan penyidik. Jangan sampai penyidik terbentur pada konflik-konlik kepentingan sehingga meruntuhkan jembatan penyidikan yang telah dibangun. 

Kasus tewasnya Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) Theys Hiyo Eluay (64 tahun) Minggu (11/11/2001) pagi itu sampai kini memang masih menyita perhatian masyarakat luas. Dapat dipahami, selain menyangkut hilangnya nyawa seseorang yang termasuk dalam kategori HAM tertinggi juga perlindungannya sangat diprioritaskan mengingat derajat keseriusannya.

Apalagi jika korbannya seorang tokoh berpengaruh seperti Theys Eluay. 

Presiden Megawati juga menaruh perhatian khusus memerintahakn jajarannya cq Polri agar mengungkap kasus tersbeut secara tuntas. Presiden juga meminta semua pihak membantu penyidikan yang dilakukan Polri dan masyarakat Irian Jaya supaya mampu berpikir jernih tidak emosional menanggapi kasus yang sedang disidik Polri tersebut. Jika masyarakat bersikap emosional justru akan merugikan masyarakat itu sendiri. Biarlah Polri mengungkap kasus itu secara ilmiah dan hasilnya akan dapat untuk mengambil langkah-langkah proporsional dan profesional demi keadilan dan tegaknya hukum. Sedang kalangan pembentuk opini untuk tidak membuat persepsi-persepsi yang tidak valid karena persepsi-persepsi seperti itu hanya akan membingungkan masyarakat yang masih belum pandai yang belum mampu membedakan antara persepsi dengan fakta antara berita dan opini. Dua hal yakni kasus Theys dan penegasan Presiden tersebut, tentunya sangat menarik kita kaji lebih mendalam. 

Semestinya terhadap kasus-kasus berderajat keseriusan tinggi kita semua harus menghindari analisis spekulatif karena cara-cara itu akan sangat membingungkan publik. Analisis seperti itu cepat merangkai pendapat umum yang beraneka ragam. Dampak negatif paling merugikan adalah akan mempengaruhi hasil penyidikan yang susah payah dilakukan. Namun apa dikata, analisis spekulatif tersebut tak dapat dibendung sehingga beragam opini publik telah terangkai. Akan sangat bijak jika semua pihak mengesampingkan dahulu berbagai spekulatif tersebut karena hanya akan membingungkan masyarakat. Kenapa? Karena penyidikan adalah sebuah proses yang sangat rumit. 

Tidak semudah dan sesederhana prediksi-prediksi apalagi spekulasi-spekulasi yang sengaja dibangun selama ini. Kasus yang terjadi belum tentu seperti apa yang dispekulasikan bahkan penyidikan harus tegas membuang jauh-jauh berbagai spekulasi yang berkembang tentang kasus yang ditangani. 

Demikian antara lain salah satu kesimpulan penting dalam International Meeting of Fercasic Sciences yang diikuti para perwira polisi sedunia di Adelaide Australia 24-29 Oktober 1990. Penyidikan sebuah proses rumit yang harus didukung alat bukti yang kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan karena menyangkut nasib seseorang. 

Sebuah Analogi 

Prediksi bisa bersifat spekulatif yang belum pasti kebenarannya. Karena itu, KUHAP tak mengenal prediksi tetapi alat bukti. Tentang lemahnya analisis prediksi dapat dianalogikan sebagai berikut. 

Si Fulan pada tanggal 1 November 2001 sekitar pukul 16.00 sore memasuki hutan sambil membawa sepucuk senapan berburu. Sekitar pukul 17.00 Fulan melihat seekor rusa lalu menembaknya. Namun tidak kena dan rusa lari. Karena hari mulai gelap Fulan pulang. Keesokan harinya masyarakat geger menemukan sesosok mayat X korban penembakan persis di lokasi tempat si Fulan menembak rusa yang kemarin. Dan keterangan saksi-saksi menyatakan, pernah melihat Fulan masuk hutan seperti yang dijelaskan di atas. Tetapi saksi-saksi tak mengetahui sebelumnya bahwa ada korban jiwa di lokasi penembakan yang dilakukan Fulan itu. 

Dari analogi itu dapatkah serta merta si Fulan dituduh sebagai pelaku penembakan? KUHAP menjawab dengan tegas: tidak bisa. Polisi akan memeriksa korban dan senjata si Fulan secara rinci. Apa benar korban mati akibat tertembus peluru senapan berburu? Apa benar jam kematiannya sama dengan saat Fulan melepaskan tembakannya? Apa benar peluru yang mematikan korban sama jenisnya dengan senjata Fulan? Proses penyidikan sangat rumit karena sama seperti sidik jari manusia, setiap senjata juga mempunyai karakter sendiri-sendiri. Kalau semua alat bukti itu cocok, si Fulan tak bisa mengelak dari sangkaan itu. Tetapi sebaliknya jika semua bukti yang ditemukan tak cocok, polisi juga tak bisa memaksakan untuk menjadikan Fulan sebagai tersangkanya. 

Penyidikan adalah rangkaian proses tindakan kepolisian yang sangat rumit. Contoh analogi si Fulan tadi. Seakan kita bisa yakin si Fulan lah yang pantas dijadikan tersangka. Seakan alat-alat bukti yang kita lihat dari analogi itu sudah tepat. Tetapi dalam ilmu kepolisian berbagai kemungkinan bisa terjadi. Misalnya tidak menutup kemungkinan orang lain yang menembak si X kemudian meletakkan mayatnya persis di sasaran tembak si Fulan itu. Sebab itu, satu alat bukti harus diuji dengan berbagai metode yang melibatkan banyak ahli. Misalnya pemeriksaan mayat (visum et repertum), soal senjata api (uji balistik) dan sebagainya. 

Cermat 

Demikian pula kasus kematian Theys Eluay harus diselidiki secara cermat sehingga alat bukti yang ditemukan dan hasil dari penyelidikan laboratorium dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya dihadapan UU maupun di hadapan Tuhan. Penyidikan memang sangat rumit, serumit kasus Theys itu sendiri. 

Menghadapi penyidikan yang rumit itu ada buku bagus berjudul Modern Criminal Investigation yang ditulis John O'Connel, New York, 1991. Secara universal telah disepakati bahwa masyarakat dan pihak mana pun tidak boleh mengganggu proses penyidikan yang sedang dilakukan dengan berbagai analisisnya sendiri tanpa didukung teknologi laboratorium yang pasti. Masyarakat harus percaya kepada hasil penyidikan demi terciptanya kepastian hukum dan keadilan meskipun hasilnya sungguh menyakitkan. 

Efektifkah pernyataan Connel itu jika dikaitkan dengan kasus-kasus penting di Indonesia? Mungkin masih perlu waktu panjang karena menurut penasihat senior negara jiran kita Singapura Lee Kwan Yew, bangsa Indonesia kini sedang dilanda penyakit Trustless Society, yaitu masyarakat yang saling tidak percaya atau saling kehilangan kepercayaan satu sama lain akibat refor- masi salah arah dan tanpa visi. 

Seandainya analisis Lee itu benar, kita bangsa Indonesia kini memang sedang menghadapi pekerjaan yang sangat berat. Tambah lagi, sistem hukum kita rancu. Seperti KUHPM yang tak reformis yang menjadi benang merah tulisan ini. (pembaruan)

Penulis adalah staf pengajar UGM Yogya dan pengamat kepolisian.
http://www.infopapua.com/papua/0102/1807.html 


>Sabtu, 19 Januari 2002

Tim Amnesti Internasional Tiba di Papua Sabtu Ini 

* Selidiki Pelanggaran HAM

Jayapura, Kompas
Sebuah tim Amnesti Internasional direncanakan Sabtu ini tiba di Jayapura, Papua. Tim ini akan bertugas selama 15 hari untuk menyelidiki berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua. Mereka akan bekerja di tiga kabupaten, difasilitasi Lembaga Studi dan Advokasi HAM (Elsham). Kasus penculikan dan pembunuhan Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) Theys Hiyo Eluay tahun lalu, menjadi salah satu agenda pokok.

Demikian Direktur Elhsam Papua Johanes Bonay didampingi konsultan Elsham Papua John Rumbiak dan Wakil Direktur Elsham Alo Renwarin kepada pers, Jumat (19/1). Kedatangan tim itu atas kesepakatan John Rumbiak dengan Amnesti Internasional di London pada 30 September-4 Oktober 2001. Rumbiak pergi ke London atas undangan Amnesti Internasional.

"Mereka berencana datang ke Papua setelah mendengar berbagai laporan mengenai pelanggaran HAM seperti pembunuhan di luar hukum, penyiksaan dan kasus orang hilang secara tidak sah. Ini sangat mengkhawatirkan karena biarpun ada investigasi, tetapi sejauh ini be-lum ada seorang pun diajukan ke pengadilan," kata Bonay.

Delegasi ini akan mengadakan penyelidikan pelanggaran HAM di Papua antara 19 Januari-5 Februari 2002 dengan sasaran Kabupaten Jayapura, Wamena, dan Manokwari. Anggota delegasi terdiri dari peneliti Amnesti Seksi Indonesia yakni Lucia Withers, Ms Signe Poulsen, dan Gerry Fox, Direktur Program Asia Pasifik Amnesti Internasional.

Mereka akan bertemu dengan para aktivis HAM maupun para korban pelanggaran HAM, para wakil pemerintah, militer, dan polisi di tingkat provinsi maupun di daerah yang dikunjungi. Setelah melakukan investigasi dan penyelidikan tentang pelanggaran HAM, tim ini akan memberikan keterangan pers pada 4 Februari 2002. Mereka kemudian ke Jakarta untuk bertemu dengan pemerintah, militer, dan polisi di tingkat nasional.

Bonay menunjukkan salinan surat resmi yang ditandatangani Sekretaris Jenderal Amnesti Internasional Javier Zuniga yang ditujukan kepada Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Menteri Kehakiman, Kejaksaan Agung, Panglima TNI, Kepala Polri, Menteri Dalam Negeri, Kepala Polda Papua, Gubernur Papua, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Pertahanan. Isi surat ini mengenai tujuan kedatangan mereka, yakni melihat situasi HAM secara langsung dan melihat kebijakan para pejabat negara tentang pelaksanaan HAM di Papua. Zuniga berharap agar para pejabat negara itu bersedia menerima dan berdialog dengan delegasi Amnesti Internasional.

Kedatangan delegasi ini ke Papua setelah melalui satu pilihan yang amat ketat, karena di negara-negara lain pun membutuhkan kehadiran tim Amnesti Internasional seperti Kosovo. 

"Lembaga tersebut tidak berusaha mendiskreditkan siapa saja, tetapi untuk memperbaiki perlindungan hukum terhadap warga sipil. Kemudian dari hasil temuan di lapangan, mereka akan mengampanyekan di tingkat internasional untuk memberi perhatian khusus pada kasus pelanggaran HAM di Papua melalui anggota Amnesti Internasional yang tersebar di seluruh dunia," kata Bonay.

Delegasi ini juga akan melakukan penyelidikan atas pelanggaran HAM yang dilakukan Organisasi Papua Merdeka.

Mengenai kasus penculikan dan pembunuhan Theys Eluay, John Rumbiak mengatakan, menjadi salah satu agenda penting Amnesti Internasional karena termasuk pembunuhan di luar hukum. (kor) 
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0201/19/DAERAH/tima19.htm 


TUNTUTAN JAKSA ‘MEMBINGUNGKAN‘ PDP 

Jayapura-Tuntutan jaksa 2,6 tahun dengan potongan masa tahanan dengan dugaan makar yang dilakukan beberapa pentolan PDP membingungkan , sebab jika dilihat dari ancaman pidana atas kasus ini para terdakwa diancam hukuman seumur hidup dan serendah-rendahnya 20 tahun penjara . Tuntutan jaksa tersebut sangat membingungkan pengunjung, majelis hakim dan termasuk terdakwa. Tuntutan yang dibacakan tim jaksa dari kejaksaan Negeri dan kejaksaan tinggi Papua dalam sidang lanjutan kasus dugaan makar senin (21/1) kemarin di Pengadilan Negeri kelas I A Jayapura. Sekjen PDP Thaha Al Hamid menangapi tuntutan itu menyatakan, sebaiknya jaksa tidak usah menyebutkan angka tersebut, karena akan memalukan pemerintah Indonesia dalam proses penegakkan hukum. Mengapa saya katakan seperti itu lanjut Thaha karena dalam ancaman pidana khusus kasus makar, ancaman pidana ini seumur hidup atau ancaman mati. Dan serendah-rendahnya ancaman pidananya selama 20 tahun penjara bagian terkena kasus makar. 

Sementara itu Ketua Tim Advokasi HAM dan Keadilan Rakyat Papua Abdur Rahman Upara SH kepada wartawan usai sidang di kantor Pengadilan Negeri klas I A Jayapura kemarin (21/1) menyatakan dipihaknya tidak mengerti logika hukum apa yang digunakan Jaksa Penuntut Umum dalam pengambilan tuntutan itu. Menurut Upara mestinya jaksa tidak menjadikan pendapat balas dendam menjadi alasan penuntutan karena apa yang dilakukan oleh PDP itu delik politik, bukan masalah kriminal biasa. “Jaksa harus bedakan pendapat hukum dengan pendapat politik, sehingga tidak menyamakan pendapat politik yang selalu kompromi-kompromi politik. “kata mantan Direktur LBH Papua ini. 

Lebih lanjut dirinya menyatakan, pandangan seperti itu tidak bisa digunakan untuk kasus PDP, karena ini proses murni hukum, sehingga harus dilihat dari perspektif hukumnya. Abdur Rahman Upara lebih jauh mengatakan apa yang dijalani oleh PDP saat ini, khususnya masalah makar sudah jelas-jelas mendapat restu dari Goverment, tetapi kemudian dituntut seperti itu oleh jaksa. Masih dengan Upara, soal tuntutan lebih atau kurang itu hak jaksa, tetapi bukan berarti melecehkan produk hukum Indonesia, yang aturan hukumnya khusus untuk kasus-kasus makar seperti ini tuntutannya bukan seperti pelaku pencurian.

Memalukan

Sementara itu salah satu terdakwa kasus dugaan makar lain, Drs.Don Flassy, MA menanggapi tuntutan yang ditujukan kepadanya mengatakan, dengan mendengar tuntutan jaksa seperti itu sangat memalukan pemerintah Indonesia. Menurut Don, rasa malu ini disebabkan karena ancaman pidana dari kasus makar seperti ini 20 tahun atau seumur hidup malah dituntut 2,6 tahun. Dijelaskan apa yang dilakukan jaksa dengan membuat tuntutan semudah itu, sangat memalukan. “Kita sudah ditahan lama-lama padahal proses hukumnya tidak jalan dengan baik, termasuk tuntutan hanya semurah seperti itu,’ jelasnya. Sementara itu pada tuntutan jaksa yang dibacakan pada persidangan kemarin menyebutkan, bahwa keterangan saksi maupun terdakwa membenarkan bahwa perbuatan yang dilakukan, terdakwa Doon Flassy maupun Thaha dan Awom, yaitu percobaan untuk memisahkan salah satu bagian dari Negara Kesatuan RI menjadi sebuah negara tersendiri. 

Unsur makar yang dikenakan kepada para terdakwa diantaranya pasal 106(1) jo 53, secara jelas tidak mengandung unsur makar, tetapi pada pasal 87 KUHP secara jelas disana bahwa perbuatan terdakwa telah melanggar pasal makar yang secara hukum ditafsirkan bahwa apa yang dilakukan para terdakwa adalah perbuatan berlanjut. “Karena itu hakim harus mengadili para terdakwa dengan hukuman yang setimpal dengan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya” Sinaga, SH. Sidang ditunda dua minggu yaitu tanggal 4 Februari 2002, untuk mendengarkan pledoi (pembelaan, red) dari penasehat hukum terdakwa maupun dari para terdakwa. (yoh) 


Surat Kabar Harian Cenderawasih Pos 22- 1 2002 

TIGA PENTOLAN DITUNTUT 2,5 Tahun 

Dinyakan terbukti melakukan tindakan makar 

Dalam persidangan kemarin, terdakwa Don Flassy mendapatkan kesempatan pertama untuk disidang. Dalam kesempatan ini terdakwa yang menggunakan kaca mata putih bening dan menggunakan jas berwarna coklat tampak duduk denggan tenang dan sedikit menunduk dan mendengar tuntutan JPU yang dibacakan secara bergantian oleh jaksa Yulius D Tuef dan R. bambang K hadibroto SH 

JPU menutut agar majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara untuk menyatakan bahwa terdakwa Don Flassy MA dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindakan makar secara bersama-sama dan sebagai perbuatan yang berlanjut sebagaimana diatur dalam pasal 106 KUHP Jo pasal 55 (1) ke 1 jo pasal 64 (!) KUHP, sehingga terdakwa dituntut 2 tahun 6 bulan penjara dikurangi masa tahanan.selain itu juga dibebankan membayar biaya perkara Rp 2.500. 

Sebagai barang buktinya adalah foto copy No:16/P. Doa. N XI/ 1999 tentang sosialisasi, foto copy pernyataan sikap masyaralat adat suku bangsa Papua Potr Numbay 10/ 11 tahun 1999, foto copy deklarasi Papua barat Port Numbay 12/ 11 tahun 1999, foto copy surat hubungan masyarakat adat Papua Barat dengan Odofolo Theys H Eluay. Foto copy seruan No i/ legis 10 tentang pengibaran Bendera Papua Barat 1/ 2 tahun 1999, sambutan pemimpin papua pada HUT kemerdekaan Papua ke 38 1/ 12 tahun 1999, petunjuk pelaksana Mubes Papua 2002 , foto copy komunike politik Papua (hasil Mubes Papua) 23 s/d 23/2 2002, buku panduan kongres Papua 29/5 s/d 4 /6 2002, hasil pelaksanaan kongres berupa resolusi 4/6 tahun 2002 dan 1 buah Bendera Bintang Kejora dengan ukuran panjang 2,80m x lebar 2,7 m. 

Adapun hal-hal yang berat atas tuntutan itu bahwa selama dalam persidangan terdakwa tidak merasa bersalah atau menyesali perbuatanya, terdakwa adalah PNS yang harus taat dan tunduk pada aturan dan hal yang meringankan terdakwa tidak pernah dihukum. Usai persidangan Flassy, dilanjukan dengan tuntutan untuk berkas perkara terdakwa 1 Herman Awom STh dan terdakwa I dan terdakwa II Thaha M Alhamid dibacakan oleh Syamsul Alm SH dan MP Simatupang. 

Tidak beda dengan persidangan sebelumnya, sebelum sampai pada tuntutanya, JPU lebih dulu membacakan fakta-fakta persidangan berupa keterangan para saksi (sekitar 10 orang),keterangan para saksi sendiri yang dihubungkan dengan analisa fakta dan anlisa yuridis berkaitan dengan keterlibatan atau aktivitas mereka dalam kasus makar yang dengan terdakwa Don Flassy atau pengibaran Bintang Kejora dan Kongres Papua 2002) lalu. Tuntutan yang disampaikan kepada kedua terdakwa ini sama dengn Don Falassy yakni JPU menuntut agar majelis hakim memeriksa dan mengadili perkara in menyatakan bahwa kedua terdakwa asing-masing terdakwa I Herman Awom STh dan terdakwa II Thaha M Alhamid dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana makar secara bersama-sama dan sebagai perbuatan yang berlanjut sebagaimana diatur dalam pasal 106 KUHP Jo pasal 55 (I) ke Jo pasal 64 (I0 KHUP” “Melakukan tindakan pidana makar secara bersama-sama.” 

Selanjutnya menjatuhkan pidana kepada kedua terdakwa masing-masing 2 tahun 6 bulan penjara dikurangi masa tahanan sementara. Selanjutnya menyatakan barang bukti berupa foto copy No: 16/ P> Doa.Doa. N. XI/199 tentang sosialisasi, foto copy pernyataan sikap masyarakat adat suku bangsa Papua Barat Port Numbay 12/ 11 tahun 1999, foto copy deklarasi Papua barat Port Numbay 12/11 tahun 1999, foto copy surat hubungan masyarakat adat Papua barat dengan Odofolo Theys H Eluay, foto copy seruan No. I/legis 10 tentang pengibaran Bendera Papua Barat 1/12 1999, sambutan pemimpin Papua pada HUT kemerdekaan papua ke 38 1/12 1999, petunjuk pelaksana Mubes papua 2002, foto copy kominike politik Papua ( hasil Mubes Papua) 23 s/d 23/2 200, buku panduan petunjuk kongres papua 29/5 s/d 4/6 2002, hasil pelaksanaan kongres berupa resolusi 4/6 tahun 2002 dan 1 buah Bendera Bintang Kejora, dengan ukuran panjang 2,80mx lebar 2,7m dengan warna 7 bergaris biru, 6 bergaris warna putih dengan dasar berwarna merah , dinyatakan tetap terlampir didalam berkas untuk perkara yang lain, terdakwa dibebankan membayar biaya perkara 2.500 rupiah. 

Hal memberatkan bahwa terdakwa I Herman STh sebagai tokoh agama tidak memberikan contoh kepada masyarakat untuk persatuan dan kesatuan bangsa, terdakwa II sebagai cendikiawan seharusnya memberikan contoh dan teladan kepada masyarakat tidak dilakukan. Perbuatan kedua terdakwa menimbulkan kekerasan dalam masyarakat dan kedua terdakwa tidak menunjukan rasa penyesalan atas perbuatannya. Adapun hal yang meringankan kedua terdakwa selama ini mereka bertindak sopan, masih punya tanggungan keluarga dan belum pernah dihukum. 

Atas tuntutan ini baik terdakwa Don Flassy maupun rekannya Herman Awom dan Thaha AL hamid kelihatan biasa –biasa saja. Setelah diberikan kesempatan untuk menaggapi atas tuntutan JPU, ketua tim penasehat hukum ketiga terdakwa Abdul Rahman Upara SH mengatakan bahwa ketiga Kleinya masing-masing tedakwa Don Flassy MA, Herman Awom STh dan Thaha AL Hamid akan menyampaikan nota pembelaannya secara pribadi maupun oleh tim PH selama 2 minggu. Majelis hakim, JPU menyetujui sehingga sidang ditunda akan dilanjutkan kamis, (4/2) mendatang dengan materi mendengarkan nota pembelaan terdakwa dan PH-nya. 

Sementara itu menanggapi persidangan tiga pentolan PDP ini, ketua tim PH ketiga tim terdakwa Abdur Rahman Upara mengatakan bahwa dirinya menilai materi persidangan yang disampaikan oleh JPU menyangkut analisa fakta dan analisa yuridisnya tidak bisa diterima oleh dirinya yakni hal-hal yang disampaikan JPU sebelum membacakan tuntutanya sebagai tolak ukur dalam pemerintah pidana berbunyi penegak hukum yang dilaksanakan berdasarkan asas tegak, luwes tetapi manusiawi dan sejalan dengan pertimbangan hukum pidana yang dianut oleh negara kita adalah hukum pidana bukan sebagai sarana yang bersifat pembalasan , tetapi bersifat mendidik dan membina, sehingga diharapkan para terdakwa dapat kembali kepada masyarakat menjadi warga negara yang baik dan berguna. 

Menurutnya, hal ini tidak sesuai dengan materi persidangan. “Kenapa bilang hukum pidana sebagai sarana untuk balas dendam? Tidak masuk akal. Saya juga tidak mengerti dengan tuntutannya 2 tahun 6 bulan, juga analisa fakta dan analisanya yuridisnya belum jelas, “katanya kepada wartawan di halaman gedung PN Jayapura seusai sidang. Dirinya menyatakan bahwa JPU tidak perlu menyampaikan poin yang bersembunyi hukum pidana bukan sarana untuk pembalasan kepada ketiga klienya. Selain itu dirinya juga menilai tuntutan yang disampaikan 2,5 tahun tidak masuk akal, karena sebelumnya ketiga kliennya diancam dengan pidana seumur hidup. Upara juga menilai bahwa dalam mengkaitkan fakta persidangan (keterangan saksi, terdakwa) dengan analisa fakta dan analisa yuridis masih ada hal-hal yang tidak jelas dan harus di pertanggungjawabkan. Untuk menjelaskan secara rinci mengenai tuntutan JPU ini, dirinya bersama rekan-rekan PH lainnya yang tergabung dalam tim LBH Independen akan menyampaikan dalam nota pembelaan (Pledoi ) di sidang Senin (dua Minggu mendatang).”pledoi ini akan disampaikan secara oleh tim PH maupun oleh para terdakwa sendiri, “katanya.(ndy) 


The Jakarta Post
January 22, 2002

30-month jail term sought for three Papuan rebels 

RK Nugroho, The Jakarta Post, Jayapura

Prosecutors demanded on Monday that three rebel leaders in the troubled province of Irian Jaya be sentenced to two years and six months in prison respectively on subversion charges against the state over their campaigns for independence.

The prosecutors at two separate trials argued that secretary-general of the separatist Papuan Presidium Council (PDP) Thaha Al Hamid and two other presidium members Rev. Herman Awom and Don Al Flassy were guilty of betraying the country. 

"The defendants clearly have a similar intention to separate Irian Jaya, currently named as Papua, from the unitary state of the Republic of Indonesia," chief prosecutor Syamsu Alam told the trial at the Jayapura District Court on Monday. 

He said the treason charges against them were proven when the Presidium organized the first pro-independence congress of local people in February 2000 as part of the campaign for independence, which was followed by a second congress on May 29, 2000. 

During the latest congress, for which the then president Abdurrahman "Gus Dur" Wahid provided the organizers with Rp 1 billion in an assistance fund, pro-independence supporters demanded that Indonesia recognize the sovereignty of West Papua that was declared in 1961. 

The natural resource-rich territory of Irian Jaya was formally recognized by the United Nations in 1969. 

Syamsu said there were no deeds of the three defendants that could mitigate the demand for their sentences. "The defendants' actions have even instilled resentment among the local people," he added. 

Under the country's prevailing law, treason carries a maximum penalty of 20 years in jail. 

Local legal experts have said the imprisonment demand for such subversion suspects was too lenient and was "extremely irrational". 

"The prosecutors have made a decision that violates the logical consequences of Indonesia's existing laws," a local senior lawyer, who refused to be named, told The Jakarta Post. 

The trials for the three rebels were opened in December 2000. A similar case against PDP leader Theys Hiyo Eluay was dropped after he was found dead in Irian Jaya last year. 

The court has also suspended the trial of another presidium member Jhon Mambor because he is seriously ill. 

Monday's trial, presided over by judge Edward Sinaga, was adjourned until Feb. 4 to hear defense pleas from the lawyers of the three defendants. 

Two activists from Amnesty International -- Lucia Wither and Signe Poulsine, who arrived in Jayapura last week -- witnessed Monday's trial.