Other Updates

 
4

Mendesak, Pembentukan Tim Investigasi Independen

4 Kasus Theys, Dua Jenderal Terlibat 
4 Komando Siluman, Pasukan Siluman
4 Jantung Theys dan Aristoteles
4 Terjepit Bisnis Kayu
4 Antara Jakarta dan Papua
4 Berawal dari Rumor Drakula
4 Kelambanan Pemulangan Pengungsi dan Situasi Politik Lokal
4 KANTOR GUBERNUR MALUKU TERBAKAR HABIS

 

  04 April, 2002 04:05:14 AM

Terjepit Bisnis Kayu

Kompleks bangunan yang terletak di Jalan Hamadi, Jayapura, itu tampak biasa-biasa saja. Di atas tanah seluas lapangan bola itu ada beberapa bangunan: satu rumah tipe 200 meter persegi, dua rumah panggung kayu, satu bangunan kantor, bangunan dapur, dan gazebo. Satu-satunya identitas yang kentara di situ adalah papan kusam bertuliskan PT Hanurata Coy Ltd. Di halaman, ada juga dua tiang bendera Merah Putih yang menuding langit. 

Tanah dan bangunan di Jalan Hamadi itu memang milik PT Hanurata, sebuah perusahaan pengelola hutan (HPH) yang menguasai 150 ribu hektare lahan di Jayapura dan Sorong, Papua. Tapi, bukan rahasia lagi, ada beberapa bangunan di situ yang tak lain adalah "markas" Komando Pasukan Khusus (Kopassus). 

Sejak masa Orde Baru, militer memang memperoleh banyak konsesi pengelolaan hutan, khususnya di Kalimantan dan Papua. Bukan rahasia pula, banyak oknum militer menjadi "satpam" bagi perusahaan hutan yang dimiliki oleh para konglomerat Tionghoa dan kroni Soeharto. 

Saham Hanurata dikuasai antara lain oleh tiga yayasan: Yayasan Trikora dan Harapan Kita (milik Soeharto), dan sebuah yayasan milik Kopassus. 

Koran The Australian, melalui investigasinya Januari lalu, mengaitkan kematian Theys Hiyo Eluay, Ketua Presidium Dewan Papua, dengan bisnis kayu yang berlimpah uang di Papua. Koran itu menulis bahwa ada dugaan kuat Theys telah "dihukum" oleh sebuah perusahaan pengelola hutan yang berhubungan erat dengan Kopassus dan dimiliki orang-orang penting di Jakarta. Theys memang ditemukan tewas terbunuh setelah makan malam bersama Komandan Satgas Tribuana Kopassus, Letkol Hartomo. 

Kenapa Theys? Belakangan ini posisi Theys kian penting dalam bisnis perkayuan. Sejak diterapkannya Undang-Undang Otonomi Daerah awal Januari lalu, izin pengelolaan hutan diserahkan kepada pemerintah daerah masing-masing. Nah, sebelum izin keluar, ketua adat juga harus memberi restu atas nama rakyat agar sebuah perusahaan bisa beroperasi di kawasan itu. Theys adalah salah satu ketua adat yang paling menonjol. 

Undang-Undang Otonomi Daerah juga mengharuskan 80 persen pendapatan diserahkan kepada daerah. Dampaknya jelas: pengusaha hutan akan memperoleh porsi jauh lebih kecil daripada porsi di masa lalu. Itu sebabnya, persaingan antarpengusaha juga kian keras. Hal ini membuat kedudukan kepala adat di Papua makin signifikan. 

Perebutan untuk memengaruhi ketua adat, jika perlu dengan memberikan banyak hadiah, juga kian keras. Menurut Jhon Rumbiak dari Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia, Theys tak hanya dekat dengan banyak pengusaha kayu, tapi juga memperoleh banyak uang dari mereka. 

Selain Kopassus dan Hanurata, ada sejumlah perusahaan yang bersaing ketat di sana: Sumalindo Lestari Jaya III, Yuo Liem Saru, Wapoga Mutiara Timber. Persaingan ketat juga memperparah pelanggaran dalam pengelolaan hutan untuk memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan ongkos operasi. Beberapa perusahaan menyewa kontraktor kecil untuk menjalankan operasi penebangan kayu seraya menutup mata pada penggagahan semena-mena terhadap hutan. Beberapa perusahaan itu terancam dicabut izinnya. 

Setelah hutan Kalimantan cukup rusak sesudah terlalu lama digagahi, perhatian perusahaan-perusahaan pengelola hutan juga berpindah ke Papua. Di sana kini ada tak kurang dari 50 perusahaan yang secara kolektif menguasai 11,8 juta hektare hutan (di Kalimantan sekitar 10 juta hektare). 

Dan suasana persaingan itu terasa sekali. Hotel-hotel di Sorong, misalnya, selalu penuh belakangan ini. Penyewanya adalah para pengusaha kayu, termasuk dari mancanegara seperti Cina, Korea, dan Malaysia. Mereka langsung mendatangi penguasa setempat untuk berburu izin tebang hutan. 

Itu membuat "harga" Theys kian mahal. Boy Eluay, anak Theys, tak menutupi kenyataan bahwa ayahnya dekat dengan beberapa pengusaha pengelola hutan. Sering para pengusaha itu datang ke rumah Theys dan memberikan hadiah-hadiah. Kijang baru yang dikendarai Theys untuk perjalanan terakhir, misalnya, adalah hadiah dari PT Djayanti, penguasa hutan terbesar di Papua (1,9 juta hektare) dan pesaing Hanurata. 

Theys telah telanjur dianggap martir bagi kemerdekaan Papua. Tapi, sangat boleh jadi, alasan dia dibunuh jauh lebih sederhana dari itu: uang. Dan korban yang tidak kalah tragis dalam kasus ini tentu saja ekosistem hutan Papua sendiri. 

Bina Bektiati, Prasidono L. (Jakarta), Cunding Levi (Jayapura)

Sumber : Tempo

   

1999 | 2000 | 2001 | 2002 | 2003 | 2004