Di Bawah Gunung Kekayaan, Mengalir Sungai Limbah

Oleh Jane Perlez dan Raymond Bonner

New York Times Diterbitkan tanggal 27 Desember 2005

Jakarta, Indonesia - Cara yang bisa dilakukan oleh banyak orang untuk mengunjungi Papua yang terpencil, atau daerah operasi Freeport-McMoRan, adalah menjelajah dunia maya dengan menggunakan program "Google Earth" untuk menuruni rimba raya hutan hujan tropis dan puncak-puncak gunung diselubungi salju di mana perusahaan Amerika menambang deposit emas terbesar di dunia.

Freeport-McMoRan Copper and Gold, sebuah perusahaan Amerika, mengoperasikan tambang ini, yang terletak di provinsi Indonesia paling timur, di pulau New Guinea.

Dengan hanya menekan beberapa tombol keyboard komputer, gambar-gambar satelit dengan cepat menampang di layar dan menunjukkan lubang dalam raksasa serupa spiral, tempat di mana Freeport telah menambang tuntas Grasberg, sementara perusahaan ini terus berusaha mendapatkan emas yang seperti tak pernah habis tersembunyi di dalam perut bumi. Gambar-gambar satelit itu juga menunjukkan luka memar berwarna jelaga yang terus menyebar, karena hampir satu milyar ton limbah tambang telah dibuang oleh perusahaan yang berkantor pusat di New Orleans ini ke dalam sungai rimba dari salah satu

lanskap terakhir dunia yang belum tersentuh.

Hal yang lebih sulit dicerna adalah keterkaitan yang begitu erat antara jalinan politik dan militer yang telah menjadi perisai Freeport menghadapi berbagai tekanan. Padahal, tekanan yang sama ini telah ! membuat perusahaan-perusahaan tambang emas lainnya terpaksa memperbaiki praktek-praktek kotor mereka selama ini. Karena hanya bisa disentuh sedikit

saja oleh reji yang hanya punya kemampuan mengatur yang sedikit pula, dan aman karena di bawah perlindungan militer, Freeport berhasil untuk bertahan dan tidak bisa ditembusi begitu banyak kritik, sementara ia terus memanen aset yang paling kaya di Papua.

Hasil investigasi berbulan-bulan yang dilakukan oleh The New York Times (disingkat dengan The Times, penerjemah) menunjukkan bahwa Freeport tidak menyampaikan secara lengka! p dan transparan tentang tingkatan tertentu dukungan kontak dan finansial yang diberikannya kepada militer, walaupun selama bertahun-tahun para pemegang sahamnya telah meminta hal itu dilakukan karena mereka kuatir tentang adanya potensi pelanggaran hukum Amerika, dan hubungan perusahaan itu dengan militer yang catatan pelanggaran HAM-nya begitu cacat sehingga Amerika Serikat harus memutuskan hubungan kerjasama

sampai November lalu.

Dokumen-dokumen Freeport sebagaimana yang diperoleh oleh The Times menunjukkan bahwa dari tahun 1998 sampai 2004 Freeport memberikan hampir 20 juta dolar kepada para jenderal, kolonel, mayor dan kapten militer dan polisi, dan unit-unit militer. Komandan-komandan secara perorangan menerima puluhan ribu dolar, bahkan dalam satu kasus sampai mencapai 150.000 dolar, sebagaimana tertera dalam dokumen itu. Dokumen-dokumen itu diberikan kepada The Times oleh seseorang yang dekat dengan Freeport, dan menurut mantan karyawan maupun karyawan Freeport sendiri, dokumen-dokumen itu asli alias otentik.

Dalam respon tertulisnya kepada The Times, Freeport menyatakan bahwa perusahaan itu telah "mengambil langkah-langkah yang perlu" sesuai dengan undang-undang Amerika Serikat dan Indonesia untuk memberikan lingkungan kerja ya! ng aman bagi lebih dari 18.000 karyawannya maupun karyawan perusahaan-perusahaan kontraktornya.

"Tentang soal ini kami tidak punya alternatif lain kecuali tergantung sepenuhnya kepada militer dan polisi Indonesia," demikian kata perusahaan. "Kebutuhan akan keamanan seperti ini, dukungan yang diberikan kepada keamanan seperti ini, dan prosedur yang mengatur pemberian dukungan tersebut, serta keputusan-keputusan yang diambil dalam kaitannya dengan hubungan kami dengan pemerintah Indonesia dan lembaga-lembaga keam! anannya, adalah kegiatan bisnis biasa."

Menurut sejumlah sumber yang diwawancarai The Times, walaupun perusahaan-perusahaan pertambangan dan ekstraksi sumberdaya alam sering memberikan kontribusi bagi pemerintah negara-negara asing agar mereka dapat berusaha dengan aman, pembayaran kepada para perwira secara perorangan harus dipertanyakan karena bisa berarti penyogokan. Mereka yang diwawancarai ini termasuk mantan Jaksa Agung Indonesia yang mengatakan bahwa pembayaran secara langsung kepada pejabat adalah melanggar hukum Indonesia.

Investigasi yang dilakukan oleh The Times juga menemukan bahwa menurut seorang pejabat dan dua mantan pejabat perusahaan yang terlibat dalam mengembangkan suatu program rahasia, Freeport selama ini menyadap e-mail para aktivis lingkungan yang melawan perusahaan ini untuk memata-matai apa yang mereka lakukan. Freeport menolak mengomentari hal ini.

Lebih dari 30 mantan karyawan dan karyawan Freeport serta para konsultannya diwawancarai selama beberapa bulan untuk menyusun tulisan ini. Hanya sedikit yang bersedia berbicara terbuka - mereka kuatir akan pembalasan perusahaan.

Adanya dukungan Freeport bagi militer adalah salah satu ukuran mengenai lingkungan kerja mereka yang luar biasa. Pada tahun 1960an, waktu Freeport masuk ke Papua, para penjelajah perusahaan ini adalah orang-orang luar pertama yang berjumpa dengan masyarakat suku-suku setempat, yang tubuhnya hanya ditutupi dengan selubung zakar dan bersenjatakan busur dan anak-anak panah.

Sejak saat itu, Freeport telah membangun suatu masyarakat dan ekonomi baru - semuanya adalah hasil karya Freeport. Di kawasan yang tidak ada jalan ini, Freeport, dengan bantuan perusahaan Bechtel dari San Fransisco, membangun setiap ruas infrastruktur di lereng-lere! ng curam yang seperti tidak mungkin disentuh oleh rekayasa teknik - membuat Freeport dengan bangga menyatakan bahwa kemajuan yang mereka capai itu tidak ada duanya di dunia.

Sejarah itu, keterisolasian Papua yang ekstrim, dan hubungan yang lama antara Freeport dengan pemerintah Indonesia telah memberikan perusahaan ini kekuasaan yang luar biasa dalam bentuk kota tambang versi abad ke-21, dibangun dalam skala yang unik bahkan terhadap standar suatu pertambangan raksasa dan modern sekali pun.

"Kalau permohonan operasi seperti ini diajukan sekarang, pasti tidak akan diizinkan," kata Witoro Soelarno, seorang penyelidik senior di Departemen Sumberdaya Energi dan Mineral. Ia sudah sering kali mengunjungi pertambangan Freeport. "Tetapi, perusahaan ini sudah terlanjut eksis, dan ada banyak orang yang tergantung padanya."

Menurut karyawan dan mantan karyawan Freeport, selama bertahun-tahun James R. Moffett, seorang ahli geologi kelahiran Louisiana, yang juga adalah pimpinan perusahaan ini, dengan tekun membina persahabatan dengan dictator Indonesia, Presiden Suharto, dan kroni-kroninya. Ini dilakukannya untuk mengamankan usaha Freeport. Freeport membayar ongkos-ongkos mereka berlibur, bahkan biaya kuliah anak-anak mereka, termasuk membuat kesepakatan-kesepakatan yang membuat orang-orang itu menjadi kaya raya.

Perkawinan seperti itu memberikan manfaat bagi kedua belah pihak. Freeport berkembang menjadi perusahaan dengan penghasilan 2.3 milyar dolar. Perusahaan ini juga menjadi salah satu di antara perusahaan pembayar pajak terbesar bagi pemerintah - bahkan pernah menjadi yang terbesar dalam beberapa tahun. Sampai sekarang Freeport masih berada pada posisi itu.

Menurut Freeport, keberadaannya memberikan manfaat langsung dan tidak langsung kepada Indonesia sebesar 33 milyar dolar dari tahun 1992 - 2004. Angka ini hampir sama besar dengan 2 persen GDP Indonesia. Dengan harga emas mencapai nilai tertinggi dalam 25 tahun terakhir, yaitu 540 dolar per ons bulan ini, Freeport memperkirakan bahwa ia akan mengisi kocek pemerintah sebesar 1 milyar dolar tahun ini.

Dengan tumbangnya Suharto di tahun 1998, sesudah 30 tahun berkuasa tanpa ada yang berani melawan, posisi khusus Freeport itu terancam. Tetapi begitu pentingnya perusahaan ini bagi pundi-pundi Indonesia, dan adanya benteng perlindungan yang sudah dibangun secara seksama selama ini, tela! h membuat Freeport aman terhadap kritik dan tantangan yang diajukan oleh masyarakat setempat, kelompok-kelompok pecinta lingkungan, dan bahkan Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia.

Surat-surat dan dokumen-dokumen lain yang diberikan kepada The Times oleh para pejabat pemerintah menunjukkan bahwa Kementerian Lingkungan Hidup telah berkali-kali memperingatkan perusahaan ini sejak tahun 1997 bahwa Freeport melanggar peraturan perundang-undangan tentang lingkungan hidup. Para pejabat itu juga mengeluhkan frustasi Kementerian Lingkungan Hidup berhadapan dengan perusahaan ini.

Pada satu ketika di tahun lalu, seorang ahli di kementerian itu menulis bahwa produksi tambang Freeport sebegitu besarnya, sementara perangkat peraturan sebegitu lemahnya, sehingga menekan Freeport untuk mematuhi permintaan Kementerian Lingkungan Hidup untuk mengurangi kerusakan lingkungan sama sana dengan upaya "mengecat awan."

Frustasi itu diakibatkan oleh suatu operasi yang, at! as perhitungan Freeport sendiri, dapat menghasilkan limbah/bahan buangan sebesar kira-kira 6 milyar ton - lebih dari dua kali bahan-bahan bumi yang digali untuk membuat Terusan Panama.

Kebanyakan dari limbah itu dibuang di pegunungan di sekitar lokasi pertambangan, atau ke sistem sungai-sungai yang mengalir turun ke dataran rendah basah, yang dekat dengan Taman Nasional Lorentz, sebuah hutan hujan tropis perawan dan telah diberikan status khusus oleh PBB.

Sebuah studi bernilai jutaan dolar pada tahun 2002 bernilai jutaan dolar yang dilakukan oleh Parametrix, sebuah perusahaan konsultan Amerika, dibayar oleh Freeport dan Rio Tinto mitra bisnisnya, yang hasilnya tidak pernah diumumkan (bukan laporan yang baru-baru ini diumumkan kepada publik), mencatat bahwa bagian hulu sungai dan daerah dataran rendah basah yang dibanjiri dengan limbah tambang itu sekarang "tidak cocok untuk kehidupan makhluk hidup akuatik." Laporan itu diserahkan ke The Times oleh

Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia.

Freeport menyatakan bahwa ia berusaha meminimalkan dampak lingkungan yang diakibatkan oleh usaha pertambangannya, sementara berusaha memaksimalkan keuntungan bagi para pemegang sahamnya. The Times berkali-kali meminta izin kepada Freeport dan pemerintah Indonesia untuk mengunjungi tambang dan daerah di sekitarnya karena untuk itu diperlukan izin khusus bagi wartawan. Semua permintaan itu ditolak.

Freeport menolak untuk menugaskan para pejabatnya diwawancarai. Freeport hanya memberikan respon secara tertulis. Sebuah surat yang ditandatangani oleh Stanley S. Arkin, penasihat hukum perusahaan ini, menyatakan bahwa Grasberg adalah tambang tembaga, dengan emas sebagai produk sampingan, dan bahwa banyak wartawan telah mengunjungi pertambangan itu sebelum pemerintah Indonesia memperketat aturan pada tahun 1990-an.&n! bsp; "Tidak ada yang disembunyikan oleh Freeport," demikian tulis Arkin.

Adalah benar, bahwa di Grasberg, Freeport-MacMoRan Copper & Gold menambang deposit tembaga terbesar ketiga di dunia. Tambang itu juga telah terbukti memiliki cadangan emas sebanyak 46 juta ons, sebagaimana yang dilaporkan oleh laporan tahunan perusahaan itu pada tahun 2004. Tahun ini, Mining International, sebuah majalah perdagangan, menyebut tambang emas Freeport sebagai yang terbesar di dunia.

Ketegangan Sosial Meledak

Menurut para karyawan Freeport, sejak tumbangnya Suharto motto Moffett berubah menjadi, "jangan lagi ada pohon tinggi yang melambai-lambai." Ini seruan Mofett agar Freeport jangan menonjol, padahal perusahaannya ini beroperasi dalam skala yang hampir tidak bisa dibayangkan.

Tetapi bahkan sebelum seruan Mofett itu, dunia baru yang diciptakan oleh Freeport telah menjadi kecil. Pada pertengahan 1990-an, sementara perusahaan ini berproduksi maksimal, dan dampak ekspansi operasi Grasberg menjadi lebih nyata, Freeport diserang dari semua pihak.

Kelompok-kelompok pecinta lingkungan, yang kini mampu berkoordinasi secara efektif dengan menggunakan int! ernet, menjadikan Freeport sebagai sasaran. Suku-suku setempat menjadi semakin tidak puas dari waktu ke waktu karena hanya memperoleh begitu sedikit sementara kekayaan luar biasa dikeruk dari tanah milik mereka. Dan, sejumlah komandan militer di Papua melihat Grasberg yang semakin tinggi nilainya itu seperti ayam yang sudah siap untuk disembelih dan dibului.

Untuk melindungi dirinya, Freeport, bergandengan tangan dengan perwira-perwira intelijen militer Indonesia, mulai menyadap korespondensi e-mail dan percakapan telepon lawan-lawan aktivis lingkungannya. Hal ini dikatakan oleh seorang karyawan Freeport yang terlibat dalam kegiatan ini dan bertugas membaca e-mail-e-mail tersebut.

Menurut mantan karyawan dan karyawan Freeport, perusahaan ini juga membuat sistemnya sendiri untuk mencuri berita-berita melalui e-mail. Caranya adalah dengan membentuk sebuah kelomp! ok pecinta lingkungan gadungan, yang meminta mereka yang berminat untuk mendaftar secara on-line dengan menggunakan kode rahasia (password) tertentu. Banyak di antara mereka yang mendaftar itu menggunakan password yang sama seperti yang mereka gunakan untuk e-mail-e-mail mereka. Dengan cara ini, Freeport dengan gampang mencuri berita.

Menurut seseorang yang waktu itu bekerja bagi perusahaan ini, pada awalnya para pengacara Freeport kuatir dengan pencurian ini. Tetapi, mereka kemudian memutuskan bahwa secara legal perusahaan itu tidak dilarang untuk membaca e-mail pihak-pihak di luar negeri.

Sementara itu, ketegangan sosial di sekitar daerah pertambangan dengan cepat meningkat, sebagaimana halnya jumlah penduduk di Papua. Papua, yang umumnya dihuni oleh penduduk beragama lokal dan Kristen, akibat dari kerja para misionaris selama bertahun-tahun, memiliki perbedaan yang tajam dalam banyak hal dibandingkan Indonesia, Negara berpenduduk muslim terbesar di dunia.

Hampir sejak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, provinsi Papua telah dibuat gaduh oleh gerakan separatis. Militer di seluruh Indonesia, sebagai suatu institusi nasionalis yang paling kental, membiayai dirinya dengan usaha-usaha bisnis yang sah seperti pusat-pusat perbelanjaan dan hotel, atau juga yang ilegal seperti pembalakan hutan. Di Papua, tambang Grasberg menjadi salah satu peluang bagi militer untuk tidak saja mengeruk keuntungan, tetapi juga untuk memperluas kehadirannya di provinsi ini - padahal sebelum kedatangan Freeport kehadirannya hampir tidak ada.

Selama bertahun-tahun, Freeport memiliki unit pengamanannya sendiri, sementara militer Indonesia memerangi perlawanan separatis yang lemah dan rendah tingkatannya. Tetapi, tidak lama kemudian kebutuhan keamanan ini mulai saling terkait.

"Para militer yang datang tidak memiliki kendaraan, dan mereka kemudian menggunakan bis Freeport menggunakan supir Freeport," kata David B. Lowry, seorang pendeta gereja Episkopal yang direkrut Mofett untuk mengelola program-program sosial. "Kami belum punya kebijakan tertentu waktu itu."

Tidak ada investigasi yang menemukan keterkaitan Freeport secara langsung dengan pelanggaran HAM, tetapi semakin banyak orang-orang Papua yang menghubungkan Freeport dengan tindak kekerasan yang dilakukan oleh unit-unit militer Indonesia, dan pada sejumlah kasus kekerasan itu dilakukan dengan menggunakan fasilitas Freeport.

Seorang ahli antropologi Australia, Chris Ballard, yang pernah bekerja untuk Freeport, dan Abigail Abrash, seorang juru kampanye HAM dari Amerika Serikat, memperkirakan bahwa sebanyak 160 orang telah dibunuh oleh militer antara tahun 1975 - 1997 di daerah tambang dan sekitarnya.

Akhirnya, pada bulan Maret 1996, kemarahan terhadap perusahaan yang sudah terpendam begitu lama pecah dalam bentuk kerusuhan ketika sentiment anti-perusahaan dari beberapa kelompok yang berbeda bergabung dengan menjadi ancaman yang mungkin paling besar dalam sejarah perusahaan itu sampai hari ini.

Tambang dan pabriknya ditutup selama tiga hari. Para perusuh menghancurkan peralatan senilai 3 juta dolar, dan mengobrak-abrik kantor-kantor Freeport.

Freeport menyadap berita-berita dalam e-mail. Menurut dua orang yang membaca e-mail-e-mail itu pada saat itu, bahwa ada unit-unit militer tertentu, masyarakat setempat, dan kelompok-kelompok lingkungan hidup yang bekerjasama.

Sebuah pertukaran informasi dengan menggunakan e-mail antara seorang tokoh masyarakat dengan pimpinan sebuah organisasi lingkungan hidup penuh dengan taktik intelijen militer. Dalam e-mail yang lain, seorang pimpinan organisasi lingkungan meminta para anggotanya untuk mundur karena demonstrasi telah berubah menjadi kerusuhan.

Freeport menyampaikan kepada The Times bahwa para tokoh masyarakat setempat kemudian menemui para pejabat perusahaan dan mengatakan bahwa, "mereka memprovokasi kerusuhan itu sebagai cara untuk menyampaikan aspirasi mereka untuk memper! oleh manfaat yang lebih besar dari operasi pertambangan yang kami lakukan."

Dari wawancara yang dilakukan baru-baru ini, mantan pejabat dan pejabat Freeport menyatakan bahwa mereka sangat terkejut ketika melihat sejumlah orang dengan potongan rambut militer, mengenakan sepatu tempur dan menggenggam radio walkie-talkie di antara para perusuh itu. Orang-orang itu terlihat mengarahkan kerusuhan itu, dan pada satu ketika, mengarahkan massa menuju ke laboratorium Freeport yang ke! mudian mereka obrak-abrik.

Tidak berapa lama kemudian, Moffett yang kuatir terbang ke Indonesia dengan menggunakan pesawat jet perusahaan.

Freeport menolak untuk mengomentari pertemuan yang dilakukan Moffett setibanya di Timika. Tetapi seorang pejabat perusahaan yang hadir dalam pertemuan itu menuturkan bahwa Mofett bertemu dengan satu kelompok perwira tinggi militer Indonesia di Hotel Sheraton Timika, yang berlokasi tidak jauh dari daerah tambang. Jenderal Prabowo Subianto yang sangat berkuasa, yang adalah menantu Presiden Suharto dan Komandan Pasukan Khusus Indonesia, memimpin pertemuan itu.

"Mr. Moffett, untuk melindungi Anda, untuk melindungi perusahaan Anda, Anda harus membantu militer di sini," Prabowo membuka pembicaraannya, de! Mikian menurut seorang karyawan perusahaan yang hadir dalam pertemuan itu.

Moffett dilaporkan menjawab seperti ini: "Beritahukan saja apa yang harus saya buat."

Biaya Keamanan

Menurut mantan karyawan dan karyawan Freeport, setiap angkatan di militer Indonesia membuat daftar keinginan mereka.

Dalam waktu singkat, Freeport menghabiskan 35 juta dolar untuk membangun infrastruktur militer - barak-barak, kantor-kantor pusat, ruang-ruang makan, jalan - dan perusahaan juga memberikan para komandan 70 buah mobil jenis Land Rover dan Land Cruiser, yang diganti setiap beberapa tahun. Semua memperoleh sesuatu, bahkan juga angkatan laut dan angkatan udara.

Menurut mantan karyawan dan karyawan Freeport, ketika itu perusahaan ini sudah merekrut seorang mantan agen lapangan C.I.A, dan atas rekomendasinya, perusahaan kemudian mendekati seorang atase militer di Kedubes Amerika Serikat di Jakarta dan memintanya untuk bergabung. Kemudian dua orang mantan perwira militer Amerika Serikat direkrut, dan sebuah departemen khusus, yang diberi nama Perencanaan Operasi Darurat (Emergency Planning Operation) didirikan untuk menangani hubungan baru Freeport dengan militer Indonesia.

Departemen yang baru ini mulai melakukan pembayaran bulanan kepada para komandan militer Indonesia, sementara kantor Pengelolaan Resiko Keamanan (Security Risk Management office) mengatur pembayaran kepada polisi. Informasi ini diperoleh dari dokumen-dokumen perusahaan dan keterangan mantan karyawan dan karyawan Freeport.

Freeport membayar paling sedikit 20 juta dolar kepada militer dan polisi di Papua dari tahun 1998 sampai bulan Mei 2004, menurut dokumen perusahaan. Dalam wawancara yang kami lakukan, mantan karyawan dan karyawan Freeport menyatakan bahwa paling tidak ada tambahan sebesar 10 juta dolar yang juga dibayarkan kepada militer dan polisi pada jangka waktu itu.

The Times menerima dokumen keuangan Freeport selama 7 tahun dari seorang yang dekat dengan perusahaan itu. Tambahan dokumen selama 3 tahun diberikan oleh Global Witness, sebuah organisasi non-pemerintah, yang mengeluarkan laporan pada bulan Juli lalu, yang berjudul "Paying for Protection" (Membayar untuk Dilindungi) tentang hubungan Freeport dengan militer Indonesia.

Diamird O'Sullivan, yang bekerja untuk Global Witness di London, mengeritik pembayaran yang dilakukan oleh Freeport itu. Mungkin penting bagi perusahaan untuk membantu pemerintah dalam hal keamanan, kata O'Sullivan, tetapi "perusahaan harus memberikan dana itu melalui saluran yang benar, dan secara transparan."

Freeport menyampaikan kepada The Times, "Buku-buku dan catatan-catatan kami transparan dan mencerminkan secara akurat dukungan yang kami berikan."

Dukungan-dukungan yang diberikan, sebagaimana yang disampaikan oleh perusahaan dalam jawabannya kepada The Times, termasuk "mengurangi biaya hidup," dan "infrastruktur, biaya katering makanan dan makan! di ruang makan, perumahan, BBM, perjalanan, perbaikan kendaraan, uang saku untuk menutupi hal yang tiba-tiba dan biaya administrasi, dan dukungan bagi program untuk menolong masyarakat yang dilakukan oleh militer dan polisi."

Menurut perusahaan, semua pengeluaran yang dilakukannya itu harus melalui proses pemeriksaan anggaran.

Catatan ya! ng diterima oleh The Times menunjukkan adanya pembayaran kepada perwira-perwira militer secara perseorangan yang didaftarkan di bawah topik-topik seperti "biaya makanan," "jasa administrasi" dan "tambahan bulanan."

Mantan karyawan dan karyawan Freeport mengatakan bahwa kategori-kategori akuntansi keuangan itu tidak mencerminkan untuk apa sebenarnya dana-dana itu digunakan, dan bahwa mungkin saja sebagian besar dari dana-dana itu masuk ke kantong para perwira militer. Para komandan yang menerima dana tersebut tidak diharuskan menandatangani tanda terima, demikian seperti yang dituturkan mantan karyawan dan kary! awan Freeport itu.

Ketika ditanya apakah ada alasan yang cukup bagi Freeport untuk memberikan dana secara langsung kepada para perwira militer itu, Pendeta Lowry, yang pensiun dari Freeport pada bulan Maret 2004 tetapi tetap menjadi konsultan sampai bulan Juni, mengatakan, "Tidak ada alasan, sebetulnya."

Catatan menunjukkan bahwa pen! erima terbesar adalah komandan pasukan di daerah Freeport, Letnan Kolonel Togap F. Gultom.

Selama enam bulan tahun 2001, ia diberikan hanya kurang sedikit dari 100.000 dolar untuk "biaya makanan," sebagaimana catatan perusahaan, dan lebih dari 150.000 dolar di tahun berikutnya. Di tahun 2002, Freeport juga memberikan uang kepada paling tidak 10 komandan lainnya mencapai lebih dari 350.000 dolar untuk "biaya makan", sebagaimana yang tertera pada catatan itu.

Kolonel Gultom menolak untuk diwawancarai.

Menurut para mantan karyawan dan karyawan Freeport, pembayaran-pembayaran tersebut dilakukan kepada para perwira itu, kepada istri-istri dan anak-anak mereka, secara perorangan. Yang berpangkat jenderal terbang di kelas satu atau kelas bisnis, dan para perwira yang lebih rendah pada kelas ekonomi, demikian kata Brigadir Jenderal Ramizan Tarigan yang menerima tiket senilai 14.000 dolar pada tahun 20! 02 untuk dirinya dan anggota keluarganya.

Jenderal Tarigan yang menduduki posisi senior di kepolisian mengatakan bahwa para perwira polisi dibolehkan untuk menerima tiket pesawat udara karena gaji mereka sangat rendah - sebagai seorang jenderal gaji pokoknya adalah sebesar 400 dolar per bulan - tetapi adalah melanggar peraturan kepolisian untuk menerima pembayaran uang tunai.

Pada bulan April 2002, Freeport membayar perwira senior militer di Papua, Mayor Jenderal Mahidin Simbolon, lebih dari 64.000 dolar untuk yang disebut dalam buku keuangan Freeport sebagai "dana untuk rencana proyek militer tahun 2002." Delapan bulan kemudian, di bulan Desember, Jenderal Simbolon menerima lebih dari 67.000 dolar untuk "proyek aksi sipil kemanusiaan." Pembayaran-pembayaran ini pertama kali dilaporkan oleh Global Witness.

Jenderal Simbolon, yang kini menjadi Inspektur Jenderal Angkatan Darat Indonesia, menolak perm! ohonan untuk diwawancarai.

Seorang mantan karyawan Freeport yang terlibat dalam melakukan pembayaran ini mengatakan bahwa perusahaan tidak akan pernah tahu berapa banyak dari dana itu yang benar-benar digunakan oleh Jenderal Simbolon untuk membiayai proyek-proyek tersebut.

Pembunuhan Yang Tidak Terungkap

Pada tahun 2003, sesudah terjadinya skandal Enron dan disahkannya Undang-undang Sarbanes-Oxley, yang mengharuskan praktek-praktek akuntansi keuangan yang lebih ketat pada perusahaan-perusahaan, Freeport mulai melakukan pembayaran kepada unit-unit militer ketimbang kepada para perwira secara individual. Demikian menurut catatan yang tersedia dan seperti yang dituturkan oleh mantan karyawan dan karyawan perusahaan ini.

Menurut catatan, p! erusahaan membayar unit-unit polisi di Papua sedikit di bawah angka 1 juta dolar di tahun 2003, didaftarkan di bawah topik-topik seperti "tambahan pembayaran bulanan," "biaya administrasi" dan "dukungan administratif."

Freeport menyatakan kepada The Times bahwa "di dalam menentukan macam dukungan yang dapat diberikan, adalah merupakan kebijakan perusahaan untuk memperhitungkan kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM."

Menurut catatan yang diterima oleh The Times, pasukan paramiliter polisi, yaitu Brigade Mobil (Brimob), yang sering dikutip oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat karena kekejamannya, menerima lebih dari 200.000 dolar di tahun 2003.

Dalam laporan tahunannya pada tahun 2003 mengenai Situasi HAM, Deparlu Amerika Serikat mengatakan bahwa para prajurit Brimob "terus melakukan berbagai pelanggaran HAM serius, termasuk di dalamnya pembunuhan kilat, penyiksaan, pemerkosaan, dan penahanan tanpa proses hukum." Laporan itu tidak secara khusus mengutip kejadian-kejadian di Papua.

Ada alasan lain mengapa Freeport harus memberikan perhatian ekstra.

Pada bulan Agustus 2002, tiga orang guru yang dipekerjakan oleh Freeport, termasuk di dalamnya dua orang Amerika, dibunuh dalam suatu serangan pada jalan milik perusahaa! n yang dipatroli oleh militer yang dibayar Freeport untuk melindungi para karyawannya. Tiga tahun kemudian, F.B.I. masih melakukan penyelidikan, dan alasan-alasan pembunuhan itu belum terungkap. Freeport menyatakan bahwa perusahaan itu tidak bisa memberikan komentar atas investigasi yang dilakukan.

Amerika Serikat resmi menuduh seorang Papua, Anthonius Wamang, pada tahun 2004, sebagai yang bertanggung jawab. Tetapi masih diperlukan kerjasama penuh dari militer, demikian komentar beberapa pejabat Amerika.

Karyawan Freeport dan para pejabat Amerika mengatakan bahwa pembunuhan ini mungkin saja bagian dari perang `wilayah' antara polisi dan tentara, masing-masing berjuang untuk memperoleh akses ke pembayaran Freeport.

Laporan awal yang! dibuat oleh polisi Indonesia mengarah pada keterlibatan militer Indonesia, dan beberapa pejabat Freeport dan pemerintah Bush pernah mengatakan bahwa mereka mencurigai tingkatan tertentu keterlibatan militer.

Laporan polisi menunjukkan bahwa motivasi yang melatarbelakangi pembunuhan ini adalah bahwa Freeport telah mengancam untuk memotong dukungannya kepada para prajurit. Para prajurit yang ditugaskan di Papua memiliki "harapan-harapan yang tinggi", demikian laporan itu, tetapi belakangan, "dukungan yang mereka terima seperti kendaraan, telepon, dan sebagainya, dikurangi."

Masalah Akuntabilitas

Freeport menolak hampir semua permintaan untuk membuka pembayaran-pembayaran yang telah dilakukannya kepada militer. Alasan yang dikemukakan perusahaan ini adalah bahwa pembayaran-pembayaran tersebut legal, bahkan merupakan kewajiban menurut hukum Indonesia.

Marsillam Simanjuntak, yang adalah Menteri Kehakiman dan kemudian diangkat menjadi Jaksa Agung pada salah satu pemerintahan pertama sesudah jatuhnya Suharto, mengatakan bahwa adalah melanggar hukum Indonesia bagi prajurit dan anggota kepolisian untuk menerima pembayaran dari suatu perusahaan. "Tentu saja itu melanggar hukum," katanya.

Tetapi banyak peru! sahaan yang melakukan hal itu, menurut Simanjuntak. Dengan demikian, pertanyaan yang lebih tepat adalah, "Apakah hal tersebut dibolehkan oleh hukum di Amerika Serikat?"

Tahun ini, dana pensiun Kota New York memasukkan resolusi kepada para pemegang saham untuk meminta Freeport meninjau kembali kebijakannya membayar polisi dan militer. Menurut pemilik dana ini, kebijakan Freeport itu bias melanggar Undang-undang Praktek Korupsi di Luar Negeri (Foreign Corrupt Practices Act), yang melarang perusahaan-perusahaan Amerika untuk menyogok para pejabat asing. Freeport menolak resolusi itu.

Pada tahun 2002, dana pensiun tersebut memasukkan resolusi yang mirip yang menuntut Freeport melaporkan berapa banyak yang telah dibayarkannya kepada militer. Freeport membuat masalah itu tidak masuk dalam pemungutan suara.

Dalam laporan yang dibuat kemudian kepada Securities and Exchange Commission, Freeport melaporkan bahwa ia telah membayar kepada militer Indonesia sejumlah 4.7 juta dolar di tahun 2001, dan 5.6 juta dolar di tahun 2002. Perusahaan itu tidak menunjukkan apakah dana sebesar itu dibayar langsung ke rekening pribadi para komandan, atau untuk apa dana itu digunakan.

Dalam tanggapan yang diberikannya, Freeport menyatakan bahwa ia patuh pada Prinsip-prinsip Kesukarelaan tentang Keamanan dan Hak Asasi Manusia (Voluntary Principles on Security and Human Rights), yang adalah seperangkat pedoman yang disusun oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. Mereka menyadari bahwa perusahaan-perusahaan yang berkecimpung dalam ekstraksi sumber daya alam "bisa saja diharuskan atau diharapkan memberikan kontribusi, atau paling tidak mengganti, biaya yang dikeluarkan untuk melindungi fasilitas perusahaan."

Prinsip-prinsip tersebut tidak menyebut-nyebut masalah pembayaran langsung kepada para pejabat secara individual. Prinsip-prinsip itu juga tidak mensyaratkan perusahaan agar bertanggung jawab atas pembayaran-pembayaran tersebut.

Freeport juga telah menyatakan bahwa pembayaran tersebut harus dilakukan karena disyaratkan oleh Kontrak Karyanya - yaitu perjanjian dasar yang dibuatnya dengan pemerintah Indonesia, pertama kali ditandantangani pada tahun 1967 dan diperbaharui pada tahun 1991.

Freeport menolak untuk memberikan salinan kontrak karya itu kepada The Times. Satu copy dokumen kontrak karya itu justru diperoleh dari Denise Leith, pengarang buku "The Politics of Power: Freeport in Suharto's Indonesia." Kontrak karya dimaksud sama sekali tidak mengandung kata-kata yang mengharuskan Freeport melakukan pembayaran kepada militer.

S. Prakash Sethi, pimpinan International Center for Corporate Accountability, yang baru- baru ini merampungkan sebuah laporan tentang kebijakan pembangunan Freeport di Papua, mengatakan bahwa perusahaan itu telah memberitahukan padanya tentang bantuan dalam bentuk non-uang (in-kind) yang diberikan kepada militer, yaitu untuk keperluan perumahan dan makanan. Sethi tidak diberikan akses terhadap catatan akuntansi keuangan.

Bentuk pembayaran langsung apa saja kep! ada militer adalah melanggar hukum, kata Sethi, yang adalah seorang ahli dalam tanggung jawab sosial perusahaan serta profesor di Baruch College. "Itu jelas korupsi," katanya. "Itu namanya menyogok."

Limbah Tambang di Sungai-sungai

Sementara Freeport terus memeteraikan hubungannya dengan militer, Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia yang kurang berpengalaman itu tidak bisa berbuat banyak dan hanya bisa menonton limbah dari tambang itu menumpuk semakin tinggi.

Tahun ini Freeport memberitahu pemerintah Indonesia bahwa limbah batuan di daerah pegunungan, sedalam 900 kaki, ini telah mencakup wilayah seluas tiga mil persegi.

Jauh di bawah, terletak dataran rendah basah yang luasnya kurang lebih 90 mil persegi. Daerah itu sebelumnya adalah habitat air tawar yang paling kaya di dunia. Sekarang, kawasan ini terkubur di bawah limbah tambang, yang disebut tailings, dengan kandungan tembaga yang begitu tinggi yang mengakibatkan hampir semua jenis ikan menghilang. Hal ini sebagaimana dilaporkan dalam dokumen-dokumen Kementerian Lingkungan Hidup.

Menurut Russell Dodt, seorang ahli teknik sipil Australia yang bertanggung jawab utnuk mengelola limbah tersebut di dataran rendah basah selama 10 tahun sampai tahun 2004, limbah i! tu, yang bentuk dan warnanya seperti semen basah, masuk ke dalam sungai, dan menggenangi dan mengubur semua lintasan yang dilaluinya.

Kurang lebih sepertiga dari limbah itu sudah pindah ke muara pantai, suatu tempat sangat penting bagi pemijahan ikan, dan banyak yang kemudian "tersapu ke laut oleh ombak yang bergerak seperti pengisap raksasa," katanya.

Tetapi tidak ada pemerintah, termasuk di era demokrasi di Indonesia sekarang ini, yang punya cukup keberanian untuk mengganggu prerogatif Freeport ini. Tantangan terbesar terjadi pada tahun 2000, ketika Sonny Keraf, seorang politisi agresif, yang bersimpati kepada orang-orang Papua, diangkat sebagai Menteri Lingkungan Hidup.

Sekali lagi, Moffett terbang ke Jakarta.

Keraf pada awalnya menolak untuk bertemu bos Freeport ini, tetapi akhirnya setuju, dan pada hari itu Moffett harus menunggu selama satu setengah jam. "Dia begitu angkuh," demikian Keraf mengomentari pertemuan itu dalam salah satu wawancara baru-baru ini. "Ia duduk berpangku kaki di hadapan saya."

Freeport menolak mengomentari pertemuan itu. Robert Gelb! ard, Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia pada saat itu, mengatakan berikut ini dalam suatu wawancara: "Itu pertemuan yang buruk sekali."

Keraf mengatakan bahwa Moffett menyatakan perusahaannya tidak pernah melakukan polusi. "Saya katakan padanya, bahwa sebaiknya uang untuk menyogok orang-orang agar tidak mempersoalkan tambang itu digunakan untuk mengelola limbah secara benar," demikian kata Keraf.

Di belakang layar, Keraf meningkatkan tekanannya. Ia marah karena Freeport menggunakan sungai-sungai, hutan dan daerah basah sebagai tempat untuk menumpuk limbahnya, suatu proses yang diizinkan selama masa pemerintahan Suharto.

Sebuah memo internal Kementerian Lingkungan Hidup pada tahun 2000 mengatakan bahwa limbah tambang itu telah membunuh semua kehidupan di dalam sungai, dan oleh karena itu melanggar pa! sal-pasal tentang kejahatan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Lingkungan Hidup tahun 1997.

Pada bulan Januari 2001, Keraf menulis kepada Menteri Koordinator bidang Ekonomi bahwa Freeport harus dipaksa untuk membayar ganti rugi atas kehancuran sungai, hutan dan ikan yang diakibatkan oleh operasi perusahaan itu.

Enam bulan kemudian, seorang deputi Keraf, yaitu Masnellyarti Hilman, menulis surat ke Freeport, menyatakan bahwa komisi khusus lingkungan hidup telah merekomendasikan agar perusahaan itu berhenti menggunakan sungai sebagai tempat pembuangan limbah, dan sebaliknya harus membangun suatu sistem perpipaan.

Ia juga menyatakan bahwa Freeport harus membangun tanggul serupa bendungan yang kukuh untuk menggantikan tanggul lemah yang digunakan perusahaan ini untuk menahan aliran limbah di dataran rendah yang basah. Cara pengelolaan limbah ini tetap dilanjutkan oleh Freeport.

Freeport menyatakan bahwa pemerintah setempat dan pemerintah provinsi telah menyetujui rencana pengelolaan limbah yang dibuatnya, dan bahwa pemerintah pusat telah menyetujui pernyataan dampak lingkungan dan rencana-rencana pemantauan lingkungan lainnya.

Tetapi dalam suatu surat yang keras pada bulan Juli 2001, Keraf mempersoalkan Gubernur Papua yang memberikan! izin pada tahun 1996 kepada Freeport untuk menggunakan sungai-sungai sebagai tempat pembuangan limbahnya. Gubernur, menurut Keraf, tidak memiliki kewenangan untuk memberikan izin yang lebih lunak dari yang diatur dalam undang-undang nasional.

 

Walaupun upaya-upaya ini dilakukan, tidak ada perubahan yang terjadi. Keraf tidak berhasil memperoleh dukungan dari badan-badan pemerintah yang lain, atau juga dari atasannya di kabinet.

Pada bulan Agustus 2001, pemerintahan baru berkuasa, dan Nabiel Makarim, seorang menteri yang kurang agresif, menggantikan Keraf. Pada awalnya, ia juga berbicara terbuka tentang rencananya untuk menerapkan aturan yang lebih ketat pada Freeport. Tetapi, tidak lama kemudian upaya-upaya yang dilakukannya melemah.

Kementerian Lingkungan Hidup telah memulai untuk mencoba memasang taring pada peraturan-peraturan yang dibuatnya. Kementerian ini membawa perusahaan emas terbesar dunia, Newmont Mining Corporation, ke pengadilan, atas tuduhan polusi, termasuk di dalamnya karena tidak memiliki izin untuk membuang limbah tambah ke laut. Newmont melawan tuduhan itu dengan luar biasa.

Tetapi untuk kasus Freeport, Kementerian Lingkungan Hidup tidak berdaya. Freeport tetap masih belum mengantongi izin pemerintah pusat untuk membuang limbah tambang, seperti yang diharuskan oleh ! peraturan tentang bahan-bahan berbahaya tahun 1999. Hal ini dikemukakan oleh Rasio Ridho Sani, asisten deputi menteri untuk urusan pengelolaan limbah berbahaya. Arkin, penasehat hukum Freeport, mengatakan bahwa Freeport memiliki hubungan kerjasama yang baik dengan Kementerian Lingkungan Hidup, dan bahwa oleh karena itu Freeport tidak memiliki komentar apa-apa.

"Freeport menyatakan bahwa limbahnya tidak berbahaya," kata Rasio. "Kami tidak bisa mengatakan bahwa limbah itu tidak berbahaya." Ia mengatakan bahwa kantornya dan Freeport sementara berunding tentang bagaimana mencari jalan keluar atas persoalan izin tersebut.

`Kematian Dalam Skala Raksasa'

Kementerian Lingkungan Hidup bukanlah lembaga yang pertama mempersoalkan Freeport dalam hal caranya membuang limbah di Papua.

The Overseas Private Investment Corporation, sebuah badan milik pemerintah Amerika Serikat yang memberikan asuransi bagi perusahaan-perusahaan Amerika terhadap resiko politik di bagian-bagian dunia yang tidak pasti, membatalkan polis asuransi Freeport pada bulan Oktober 1995.

Itu keputusan penting. Itu adalah kali pertama di mana perusahaan asuransi itu menghentikan asuransi sebuah perusahaan Amerika atas dasar persoalan lingkungan hidup dan HAM.

Dua orang ahli lingkungan, Harvey Himberg, yang adalah seorang pejabat pada perusahaan itu, dan David Nelson, seorang konsultan, sesudah mengunjungi pertambangan Freeport selama beberapa hari, mengeluarkan laporan yang mengeritik operasi Freeport, terutama limbah yang jumlahnya sangat besar itu yang dibuangnya ke dalam sungai - hal yang tidak akan pernah diizinkan di Amerika Serikat.

Freeport maju ke pengadilan untuk menghalangi l! aporan itu tersedia bagi publik, dan hanya sebuah versi yang sudah disensor yang kemudian dilepaskan. Seseorang yang berpendapat bahwa laporan itu seharusnya tersedia bagi public yang menyerahkan sebuah kopi laporan yang belum disensor itu kepada The Times.

Menurut Freeport, laporan itu membuat "kesimpulan yang keliru." Perusahaan telah mempertimbangkan semua alternatif untuk mengelola dan membuang limbah, selain dengan menggunakan sungai, dan akhirnya memilih alternatif terbaik, demikian alasan Freeport

Menurut Freeport, tidak ada daerah yang cukup luas untuk menampung limbah, dan kalaupun ada, diperlukan suatu bendungan tinggi di daerah yang memiliki curah hujan tinggi pula dan beresiko gempa. Pembangunan pipa untuk menyalurkan limbah itu terlalu mahal harganya, dan beresiko karena ancaman tanah longsor dan banjir.

Bagi auditor Amerika, alasan-alasan itu tidak cukup meyakinkan.

Menurut catatan audit, "Freeport mengatakan rekayasa alternatif itu memiliki tingkat kegagalan yang sangat tinggi dan karenanya bisa mengakibatkan bencana yang dahsyat - padahal perusahaan ini selalu membanggakan diri dengan prestasi legendaris yang dibuatnya," seperti jalur-jalur pipa yang panjangnya lebih dari 60 mil yang mengikuti lereng-lereng gunung untuk mengalirkan bahan bakar serta lumpur emas dan tembaga.

Pada waktu itu, limbah menerjang pinggiran sungai, "dan berakibat pada matinya! vegetasi dalam kawasan yang sangat luas," demikian tertulis dalam laporan itu.

Freeport mengancam akan membawa perusahaan asuransi itu ke pengadilan karena pembatalan yang dilakukannya. Sesudah negosiasi yang berlangsung lama, polis asuransi itu diberlakukan kembali untuk beberapa bulan. Ini untuk menyelamatkan muka Moffett, demikian menurut Ruth Harkin yang mengepalai badan asuransi tersebut pada saat itu. Asuransi itu tidak pernah diperbaharui lagi.

Dewasa ini, banyak dari masalah itu masih ada - tetapi dalam skala yang jauh lebih luas. Kekuatiran yang terus ada sampai sekarang adalah di mana semua limbah tambang itu akan dibuang - yang berjumlah sekitar 700.000 ton per hari.

Seperti yang dikatakan oleh ahli-ahli lingkungan yang pernah bekerja di tambang Freeport, bahaya yang dihadapi adalah batuan limbah di puncak gunung ya! ng menghasilkan asam dan mengalir ke gua-gua di bawah tambang itu. Daerah itu berada pada iklim basah yang bisa memperoleh curah hujan sampai sejumlah 12 kaki setahun.

Stuart Miller, seorang ahli geo-kimia berkebangsaan Australia yang menangani batuan limbah Freeport, menyatakan dalam sebuah konferensi pertambangan pada tahun 2003 bahwa aliran asam yang pertama terjadi di tahun 1993.

Freeport dapat menangani kebanyakan aliran asam itu sekarang, begitu katanya, yaitu dengan mencampur batuan kapur yang tersedia berlimpah di pegunungan itu dengan batuan yang berpotensi menghasilkan asam, yang juga banyak tersedia. Freeport juga mengatakan bahwa perusahaan itu mengumpulkan aliran asam dan menetralkannya.

Tetapi sebelum 2004, seperti yang tertera dalam sebuah laporan yang diterima oleh The Times (laporan itu disusun oleh Parametrix, sebuah peru! Sahaan konsultan yang melakukan studi untuk Freeport), tambang Freeport itu "memiliki material penghasil asam yang jumlahnya berlebihan."

Seorang ahli geologi yang bekerja di tambang, yang menolak untuk dikutip identitasnya karena kuatir akan masa depan status kekaryawanannya, mengatakan bahwa asam-asam itu sebenarnya sudah mengalir dan bercampur dengan air bawah tanah. Menurutnya, mata-mata air berwarna hijau terang dapat ditemukan di lokasi yang letaknya beberapa mil jauhnya dari tambang. Itu adalah tanda bahwa asam sudah melepaskan tembaga. "Itu berarti, bahwa air asam sebenarnya sudah sangat jauh mengalir," begitu katanya.

Menurut Freeport, mata-mata air itu "terletak beberapa mil jauhnya dari wilayah operasi kami, yaitu di dalam warisan dunia Lorentz, dan tidak ada hubungannya dengan operasi kami."

Ahli geologi itu setuju bahwa mata-mata air it! u bisa saja terletak di dalam taman Lorentz, dan mengatakan bahwa hal ini menunjukkan bahwa asam dan tembaga dari tambang telah memberikan dampak terhadap taman itu, yang adalah kekayaan dunia karena keanekaragaman hayati yang dikandungnya.

Menurut Freeport, di dataran rendah, tanggul-tanggul yang menahan limbah itu pada akhirnya akan mencapai tinggi 70 kaki pada lokasi-lokasi tertentu.

Freeport mengatakan bahwa tailing tidak beracun dan bahwa sungai yang digunakannya untuk mengalirkan limbah memenuhi standar air minum Indonesia dan Amerika dalam hal logam-logam yang terkandung di dalamnya. Muara pantai, menurut Freeport, adalah "suatu ekosistem yang berfungsi."

Laporan yang diterbitkan oleh Parametrix menunjukkan bahwa tingkat kandungan tembaga dalam air permukaan cukup tinggi untuk membunuh mahluk hidup yang sensitif di perairan dalam waktu singkat, demikian menurut Ann Maest, seorang ahli geologi ya! ng memberikan konsultasi untuk masalah-masalah pertambangan. Menurutnya, laporan Parametrix itu menunjukkan bahwa hamper setengah dari contoh-contoh sedimen yang diambil dari bagian-bagian muara pantai adalah beracun bagi organisme-organisme sensitif di perairan yang berada pada posisi terakhir dari rantai makanan.

Jumlah sedimen juga menciptakan masalah lain. Bahan padat di dalam air yang terlalu banyak jumlahnya itu dapat membunuh kehidupan di perairan. Menurut hukum Indonesia, bahan padat itu tidak boleh melebihi 400 miligram per liter.

Menurut laporan Kementerian Lingkungan Hidup pada tahun 2004, limbah Freeport mengandung 37.500 miligram bahan padat per liter ketika aliran sungai itu sampai di dataran rendah, dan mencapai 7.500 miligram ketika aliran yang sama masuk di Laut Arafura.

Freeport tidak mau berkomentar atas ukuran-ukuran ini. Menurutnya, perusahaan telah menghabiskan 30 juta dolar untuk program-program lingkungan di tahun 2004, dan menanam 50.000 anakan mangrove tahun lalu sebagai bagian dari upaya reklamasi yang dilakukannya. Freeport mengatakan bahwa tanaman-tanaman komersial dapat tumbuh di limbah ini dengan tambahan pupuk, dan bahwa Freeport sudah memulai proyek-proyek percontohannya.

Koeksistensi yang Tidak Gampang

Apabila akumulasi limbah merupakan sumber kritik, bagi Freeport hal itu justru adalah tanda-tanda peningkatan produksi. Agar tambangnya terus beroperasi, perusahaan ini semakin memainkan peranannya sebagai pengasuh dunia yang diciptakannya sendiri.

Sesudah kerusuhan tahun 1996, Freeport mulai menyediakan 1 persen dari pendapatannya setiap tahun sebagai dana pembangunan bagi Papua yang digunakan untuk se! kolah, jasa kesehatan, pembangunan jalan - apa saja yang diinginkan oleh masyarakat.

Freeport membangun klinik-klinik dan dua rumah sakit. Jasa-jasa lain yang diberikannya termasuk program-program pengontrolan malaria dan AIDS, dan suatu dana "rekognisi" bagi suku-suku Amungme dan Kamoro yang berjumlah beberapa juta dollar, yang mana, di samping sejumlah hal lain, memungkinkan masyarakat suku-suku ini memiliki saham di dalam perusahaan sebagai bagian dari suatu paket kompensasi bagi tanah yang digunakannya.

Pada akhir tahun 2004, Freeport telah menghabiskan 152 juta dolar dalam bentuk dana pembangunan masyarakat, demikian pernyataan perusahaan.

S. Prakash Sethi dari Center for Corporate Accountability (ICCA) memuji Freeport yang menugaskan disusunnya laporan tentang program-progr! Am pembangunan masyarakat yang dibuat oleh perusahaan. Menurut Sethi, Freeport adalah perusahaan pertambangan pertama yang melakukan hal itu.

Laporan audit ICCA yang dilepas pada bulan Oktober menyimpulkan bahwa Freeport telah berhasil mengintroduksi program-program pelatihan HAM bagi para karyawannya dan telah menggandakan jumlah karyawan Papua pada tahun 2001. Perusahaan ini akan menggandakan lagi jumlah karyawan Papuanya pada tahun 2006, demikian laporan audit tersebut.

Walaupun begitu, Thom Beanal, pimpinan suku Amungme, mengatakan bahwa pemerintah Indonesia bersama-sama dengan Freeport telah membuat masyarakatnya menderita. Benar, katanya, Freeport telah menyediakan listrik, sekolah dan rumah sakit, tetapi infrastruktur itu dibangun umumnya bagi keuntungan Freeport.

Beanal, 57 tahun, adalah pendukung vokal kemerdekaan Papua, telah berjuang melawan Freeport baik dari dalam maupun dari luar. Pada tahun 2000 ia memutuskan bahwa bekerja bersama adalah jalan yang lebih baik, dan ia kemudian bergabung sebagai anggota dewan penasihat perusahaan.

Pada bulan November, Beanal dan tokoh-tokoh masyarakat Amungme dan Kamoro, bertemu dengan Moffett di Hotel Sheraton, Timika. Dalam suatu wawancara di Jakarta tidak lama sesudah itu, Beanal mengatakan ! bahwa ia memberitahu Moffett bahwa banjir uang dari dana masyarakat itu telah merusak hidup masyarakatnya.

Menurut catatan Beanal, ketika Freeport tiba, ada beberapa ratus orang yang hidup di kampung dataran rendah di Timika. Sekarang Timika telah menjadi rumah untuk 100.000 orang lebih, dengan suasana hidup Barat yang liar (Wild West), karena terlalu banyak alkohol, tentara dan polisi yang saling tembak menembak, AIDS, dan pelacuran yang dilindungi oleh militer.

Masih banyak tentara yang sementara menuju ke daerah ini. Sesudah menegosiasikan pengakhiran perlawanan separatis di Aceh tahun ini, pemerintah Indonesia mengirimkan tentara-tentaranya ke Papua. Ini adalah upaya untuk membungkam semangat menuntut kemerdekaan yang semakin bertumbuh di sana, sekali untuk selamanya, dan untuk menjaga provinsi yang memiliki tambang emas terbesar di dunia. Menurut Freeport, penambangan cadangan emasnya masih membutuhkan 35 tahun.

Beanal mengatakan bahwa ia semakin tidak sabar dengan kehadiran tentara dan tambang itu. "Kami tidak pernah merasa aman di sini," katanya. "Mereka mengawal apa? Kami tidak tahu. Tanya pada Moffett. Ini perusahaannya."

-- Evelyn Rusli memberikan kontribusi pelaporan bagi artikel ini.