|
|
POKOK-POKOK PIKIRAN YANG MELATARBELAKANGI PENYUSUNAN RANCANGAN
UNDANG-UNDANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROPINSI PAPUA DALAM BENTUK
WILAYAH BERPEMERINTAHAN SENDIRI
Baca Format Word
Oleh
Tim
Bentukan Gubernur Propinsi Papua
JAYAPURA
2001
1
Pendahuluan
1.1
Situasi Sosial Politik Papua Keputusan politik penggabungan Tanah
Papua (waktu itu dikenal dengan Nederlands Nieuw Guinea)
menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak tahun
1963 ternyata masih belum menghasilkan kesejahteraan,
kemakmuran dan pengakuan negara terhadap hak-hak dasar rakyat Papua.
Kondisi masyarakat Papua dalam bidang-bidang pendidikan, ekonomi,
kebudayaan dan sosial-politik masih sangat
memprihatinkan dibandingkan dengan kesejahteraan yang dinikmati oleh
sebagian besar saudara-saudaranya di propinsi-propinsi tertentu di
Indonesia. Selain itu, persoalan-persoalan mendasar
seperti pelanggaran hak-hak azasi manusia (HAM) dan indikasi
pengingkaran hak kesejarahan rakyat Papua masih belum juga
diselesaikan secara adil dan bermartabat ( misalnya lihat Kareth,
1999, yang membahas tentang hak suatu bangsa untuk menentukan
nasib sendiri).
Hal-hal tersebut di atas sesungguhnya merupakan suatu ironi, karena
di dalam Alinea ke-4 Pembukaan Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan dengan tegas mengenai
tujuan Pemerintah Negara Indonesia yang di antaranya adalah
"… melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia, dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa …" -- di mana termasuk di dalamnya adalah
rakyat Tanah Papua.
Keadaan ini mengakibatkan munculnya berbagai ketidakpuasan yang
tersebar di seluruh Tanah Papua dan diekspresikan dalam berbagai
bentuk. Banyak di antara ekspresi-ekspresi tersebut dihadapi
dengan cara-cara kekerasan dengan menggunakan kekuatan militer
secara berlebihan. Pelanggaran HAM tidak jarang menjadi warna
penyelenggaraan pembangunan di Papua. Puncaknya adalah semakin
banyaknya rakyat Papua yang ingin melepaskan diri dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagai suatu alternatif untuk
memperbaiki Kesejahteraan diri sendiri.
1.2
Reformasi Menciptakan Peluang Perubahan di Papua
Bergulirnya reformasi di Indonesia membuka pintu bagi timbulnya
berbagai pemikiran baru untuk menyelesaikan
permasalahan-permasalahan besar bangsa Indonesia.
Untuk kasus Papua, Wakil-wakil rakyat di Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) menetapkan
perlunya memberikan status Otonomi Khusus kepada Propinsi
Irian Jaya (Tanah Papua) sebagaimana yang diamanatkan dalam
Garis-garis Besar Haluan Negara 1999 Bab IV huruf (g) point 2.
Apabila semua pihak mendukung pelaksanaan Otonomi Khusus ini, yaitu
dengan memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada rakyat Papua
untuk menentukan isi Otonomi Khusus ini dalam kerangka hukum
dan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka sesungguhnya
akan banyak masalah yang dapat diselesaikan. Pemberian
kepercayaan kepada rakyat Papua seperti yang dimaksudkan tersebut
adalah suatu langkah awal yang positif dan signifikan dalam rangka
membangun kepercayaan rakyat kepada pemerintah pusat, sekaligus
merupakan langkah strategis untuk meletakkan kerangka dasar yang
kokoh bagi dialog-dialog yang masih perlu dibangun di masa
depan bagi penyelesaian tuntas masalah-masalah Papua.
1.3
Pengertian Otonomi Khusus
Otonomi Khusus bagi Papua harus diartikan secara jelas dan tegas
sejak awal, karena telah terbentuk berbagai pemahaman
yang negatif mengenai Otonomi di kalangan rakyat Papua.
Pengalaman jelek yang dialami oleh rakyat Papua dalam masa
pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru, yang juga memperlakukan daerah
Papua sebagai suatu daerah otonomi, merupakan alasan penting
dimilikinya sikap negatif ini Istilah "otonomi"
dalam Otonomi Khusus haruslah diartikan sebagai kebebasan bagi
rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri, sekaligus
pula berarti kebebasan untuk berpemerintahan sendiri dan mengatur
pemanfaatan kekayaan alam Papua untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat Papua dengan tidak meninggalkan tanggung jawab untuk ikut
serta mendukung penyelenggaraan pemerintahan pusat dan daerah-daerah
lain di Indonesia yang memang berkekurangan. Hal lain yang
tidak kalah penting adalah kebebasan untuk menentukan strategi
pembangunan sosial, budaya, ekonomi dan politik yang sesuai dengan
karakteristik dan kekhasan sumberdaya manusia serta kondisi alam dan
kebudayaan orang Papua. Hal ini penting sebagai bagian dari
pengembangan jati diri orang Papua yang seutuhnya yang ditunjukkan
dengan penegasan identitas dan harga dirinya -- termasuk dengan
dimiliknya simbol-simbol daerah seperti lagu, bendera dan
lambang.
Istilah "khusus" hendaknya diartikan sebagai perlakuan
berbeda yang diberikan kepada Papua karena khususan yang
dimilikinya. Kekhususan tersebut mencakup hal-hal seperti
tingkat sosial ekonomi masyarakat, kebudayaan dan sejarah politik.
Dalam pengertian praktisnya, kekhususan otonomi Papua berarti bahwa
ada hal-hal mendasar yang hanya berlaku di Papua dan mungkin
tidak berlaku di daerah lain di Indonesia, dan ada hal-hal yang
berlaku di daerah lain di Indonesia yang tidak diterapkan di Papua.
1.4
Tujuan Penulisan Buku
Buku ini memuat uraian dasar mengenai pokok-pokok pikiran yang
melatarbelakangi penyusunan Rancangan ndang-undang (RUU)
Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua sebagai Wilayah Berpemerintahan
Sendiri yang diajukan oleh rakyat Papua melalui DPRD dan Pemerintah
Propinsi Papua kepada pemerintah pusat dan DPR RI.
Dengan demikian, tujuan penulisan Buku ini adalah untuk
memberikan gambaran kepada pihak-pihak yang membahas RUU ini
lebih lanjut mengenai alasan-alasan mengapa pokok-pokok yang termuat
dalam RUU itu penting bagi rakyat Papua, dan karenanya perlu
dipertahankan sebagai isi RUU.
1.5
Sumber-sumber Informasi yang Digunakan
Informasi yang digunakan dalam penyusunan Buku ini berasal
dari berbagai sumber di kalangan rakyat Papua. Informasi
dimaksud adalah pemikiran-pemikiran mengenai hal-hal yang harus
dikerjakan di dalam kerangka otonomi khusus Papua untuk
mewujudkan secara bertanggung jawab dan berhasil guna hak-hak dan
kewajiban dasar rakyat Papua.
Berbagai diskusi telah dilakukan dengan individu dan kelompok
masyarakat Papua di semua Kabupaten dan Kota pada bulan Februari dan
Maret 2001. Selain itu, diterima pula sejumlah saran
yang dimasukkan secara tertulis oleh berbagai lapisan masyarakat.
Sumber penting lainnya adalah gagasan-gagasan yang disampaikan oleh
delegasi rakyat Papua dari semua Kabupaten dan Kota dalam Forum
Kajian Otonomi Khusus Papua yang diselenggarakan pada tanggal 28 dan
29 Maret 2001 di Jayapura.
Referensi yang tidak kalah pentingnya, yang juga digunakan di dalam
penyusunan Buku ini, adalah hasil-hasil Kongres II Papua yang
dilaksanakan pada tanggal 29 Mei sampai 3 Juni 2000 di
Jayapura. Hasil-hasil yang dimaksud adalah laporan
Komisi-komisi Pelurusan Sejarah, Agenda Politik, Konsolidasi
Organisasi dan Hak-hak Dasar Rakyat papua, serta Resolusi Kongres.
2
Nilai-nilai Dasar
2.1
Pengertian dan Fungsi Nilai-nilai Dasar
Dalam rangka mewujudkan terpenuhinya hak dan kewajiban dasar rakyat
Papua, maka Rancangan Undang- undang Otonomi Khusus Propinsi Papua
dikembangkan dan dilaksanakan dengan berpedoman pada sejumlah
nilai-nilai dasar.
Nilai-nilai dasar ini bersumber dari adat istiadat rakyat Papua,
nasionalisme yang bertumpu pada prinsip-prinsip kemanusiaan
universal, dan penghormatan akan demokrasi dan hak-hak azasi manusia.
Karena itulah, nilai-nilai dasar yang dimaksudkan merupakan
prinsip-prinsip pokok dan suasana kebatinan yang melatarbelakangi
penyusunan kerangka dasar Rancangan Undang-undang Otonomi Khusus
Propinsi Papua yang selanjutnya diharapkan akan berfungsi sebagai
pedoman dasar bagi pelaksanaan berbagai aspek Otonomi Khusus
Papua di masa mendatang.
Ada tujuh butir nilai dasar Otonomi Khusus Papua. Nilai-nilai
dasar dimaksud adalah: (1) perlindungan terhadap hak-hak dasar
penduduk asli Papua; (2) demokrasi dan kedewasaan berdemokrasi; (3)
penghargaan terhadap etika dan moral; (4) penghormatan
terhadap hak-hak azasi manusia; (5) supremasi hukum; (6)
penghargaan terhadap pluralisme; dan (7) persamaan kedudukan, hak
dan kewajiban sebagai warga negara .
2.2
Nilai-nilai Dasar
2.2.1
Perlindungan ter-hadap Hak-hak Dasar Penduduk Asli Papua
Penduduk asli Papua memiliki identitas dan jati diri yang khas di
dalam kebhinekaan penduduk dan kebudayaan Indonesia.
Identitas dan jati diri ini harus diposisikan sebagai bagian dari
keragaman manusia yang mendiami bumi ciptaan Tuhan Yang Maha Esa --
dan karena itu harus dilindungi.
Perlindungan terhadap hak-hak dasar penduduk asli Papua itu
dimaksudkan untuk memungkinkan masyarakat Papua dapat
mengembangkan kemampuan diri yang dikaruniakan Tuhan kepadanya
secara baik dan bermartabat, sehingga dalam waktu
secepat-cepatnya rakyat Papua dapat menjadi warga negara Indonesia
dan anggota masyarakat dunia yang modern dan sejajar dengan
bangsa-bangsa maju manapun dengan tidak meninggalkan identitas
dan jati dirinya. Pada saat yang sama, perlindungan akan
hak-hak dasar dimaksud tidak dapat dipisahkan dari
kewajiban-kewajiban yang melekat pada orang-orang asli Papua,
bahkan seluruh penduduk Papua, sebagai mahkluk ciptaan Tuhan,
warga masyarakat dan warga negara
Untuk itu, perlindungan terhadap hak-hak dasar orang Papua mencakup
enam dimensi pokok kehidupannya:
(1) Perlindungan hak hidup orang Papua di Tanah Papua -- yaitu suatu
kualitas kehidupan yang bebas dari rasa takut serta terpenuhi
seluruh kebutuhan jasmani dan rohaninya secara baik dan proporsional;
(2) Perlindungan hak-hak orang Papua atas tanah dan air dalam
batas-batas tertentu dengan sumberdaya alam yang terkandung di
dalamnya;
(3) Perlindungan hak-hak orang Papua untuk berkumpul dan
mengeluarkan pendapat dan aspirasinya;
(4) Perlindungan hak-hak orang Papua untuk terlibat secara nyata
dalam kelembagaan politik dan pemerintahan melalui penerapan
kehidupan berdemokrasi yang sehat;
(5) Perlindungan kebebasan orang Papua untuk memilih dan menjalankan
ajaran agama yang diyakininya, tanpa ada penekanan dari pihak mana
pun; dan
(6) Perlindungan kebudayaan dan adat-istiadat orang Papua.
Dalam pada itu, adalah suatu kenyataan bahwa tingkat perkembangan
kebudayaan di berbagai suku di tanah Papua tidaklah sama. Ada
suku-suku yang sebagian besar penduduknya telah relatif lebih maju,
tetapi terdapat lebih banyak suku yang hingga kini masih hidup
terbelakang. Dengan demikian perlakuan perlindungan harus
diterapkan secara bijaksana agar kemajuan yang dicita-dicitakan oleh
seluruh rakyat Papua dapat secara bertahap dinikmati secara
bersama-sama dan merata.
2.2.2
Demokrasi dan kedewasaan berdemokrasi
Bermusyawarah untuk mencapai kata sepakat dalam memutuskan suatu
permasalahan merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Papua sejak
dahulu. Sistem kepemimpinan di hampir semua suku Papua adalah
kepemimpinan kolektif yang menunjukkan tentang perlunya dicapai
konsensus-konsensus yang memberikan manfaat bagi semua pihak.
Selain itu, kesempatan untuk mencapai posisi pemimpin terbuka bagi
setiap anggota masyarakat sepanjang ia memenuhi syarat-syarat
tertentu -- terutama kemampuan untuk memberikan pengayoman
kepada anggota masyarakat yang dipimpinnya.
Sebagai rakyat dari suatu daerah yang terus memberdayakan diri
mengikuti prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan modern,
kebudayaan demokrasi orang Papua yang telah ada sejak dahulu
tersebut di atas perlu terus dilestarikan dan diberdayakan.
Hal ini merupakan modal dasar dan kekuatan yang ampuh untuk
memastikan bahwa setiap keputusan penting yang menyangkut orang
Papua tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut dan tidak
mengurangi, bahkan mampu mengembangkan, harkat hidup orang Papua.
Dalam kaitan itu, rakyat Papua perlu terus mengembangkan
kemampuannya untuk berdemokrasi secara dewasa yang ditunjukkan
dengan kemampuan untuk menghargai pluralisme atas dasar suku, agama,
dan perbedaan-perbedaan sosial lainnya.
Rakyat Papua juga perlu secara optimal memanfaatkan berbagai
perangkat demokrasi yang tersedia dalam suatu negara modern seperti
partai politik, pemilihan umum dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat
agar berbagai aspirasi yang dimiliki dapat disalurkan secara baik
dan memiliki legalitas yang kuat dan efektif demi tercapainya
kehidupan berdemokrasi secara dewasa dan bertanggungjawab.
2.2.3
Penghargaan terhadap etika dan moral
Etika dan moral merupakan tuntunan hidup orang Papua sejak dahulu
yang telah dikembangkan oleh nenek moyang dan merupakan bagian dari
adat-istiadat.
Etika dan moral ini kemudian diperkaya oleh ajaran-ajaran agama
Kristen Protestan, Katolik, Islam dan agama-agama lain yang
dipeluk oleh orang Papua sejak kurang lebih 200 tahun lalu .
Penghargaan etika dan moral inilah yang memungkinkan tanah Papua
hingga kini masih jauh lebih aman dibandingkan beberapa daerah
tertentu di Indonesia -- walaupun ada pihak-pihak yang terus menerus
menyebarluaskan kesan bahwa Papua adalah daerah yang rawan keamanan.
Hubungan sosial yang erat dan saling menghormati antarsesama warga
tanah Papua yang terus dipertahankan bahkan dikembangkan
hingga saat ini adalah akibat adanya penghargaan terhadap etika dan
moral yang telah ada sejak dahulu.
Dalam pada itu, salah satu konsekuensi logis dari Papua yang terbuka
terhadap dunia luar adalah masuknya nilai-nilai negatif yang
berpotensi merusak tatanan kehidupan rakyat Papua. Salah satu contoh
penting adalah korupsi, kolusi dan nepotisme yang sarat mewarnai
pemerintahan Orde Baru kini dengan mudah dapat pula dijumpai di
Tanah Papua.
Dengan demikian, pelaksanaan pembangunan dalam era Otonomi Khusus
Papua perlu dilakukan sedemikian rupa sehingga memberikan
penekanan dan penghargaan yang memadai atas etika dan moral, yaitu
dengan secara proporsional mendorong aparat pemerintah dan seluruh
rakyat Tanah Papua mempraktekkan ajaran agama masing-masing dalam
kehidupan sehari-hari. Hanya dengan cara inilah seluruh rakyat
Papua dapat menikmati kesejahteraan yang sesungguhnya – baik
kesejahteraan jasmani maupun rohani.
2.2.4
Penghormatan terhadap Hak-hak Asasi Manusia
Rakyat Papua mengetahui dengan baik apa artinya penderitaan akibat
dilanggarnya HAM . Rakyat Papua merasakan dengan jelas trauma
pelanggaran hak-hak azasi manusia di masa lalu yang terus menghantui
banyak Masyarakat Papua hingga saat ini .
Karena itu, sementara rakyat Papua terus berusaha menuntut
pertanggungjawaban pelanggaran-pelanggaran HAM tersebut melalui
jalur hukum dan politik, pada saat yang sama rakyat Papua juga
bertekad untuk tidak akan melanggar HAM orang lain. Rakyat
Papua juga bertekad untuk menempuh semua cara yang legal untuk
memastikan bahwa HAM rakyat Papua ke depan tidak akan diinjak-injak
dan dilanggar oleh pihak-pihak manapun .
Pelaksanaan pembangunan melalui Otonomi Khusus di Tanah Papua harus
dapat dilakukan dengan mengubah total semua praktek-praktek
pembangunan di masa lalu -- baik yang dilakukan oleh
pemerintah maupun swasta -- yang mengabaikan bahkan melanggar
HAM rakyat Papua. Penggunaan kekuatan keamanan dan militer
yang berlebihan dan melanggar HAM di waktu lalu, yang mengakibatkan
banyak rakyat Papua hidup dalam rasa takut, harus dihilangkan di
dalam era Otonomi Khusus ini.
Terkait dengan masalah ini adalah pentingnya terus membuka pintu
bagi pelaksanaan dialog-dialog yang bertujuan untuk meluruskan
sejarah politik Papua di masa lalu. Pelurusan sejarah ini
perlu dilakukan dalam rangka mencari kebenaran yang hakiki yang
hingga kini terus dipertanyakan oleh banyak pihak di Tanah
Papua (Kareth, 1999a dan b). Pelaksanaan Otonomi Khusus
harus mampu mewadahi proses ini secara damai dan bermartabat dan
sekaligus membangun kerangka-kerangka dasar penyelesaian
tuntas masalah-masalah yang terkait dengan pelurusan sejarah
ini.
2.2.5
Penegakan supremasi hukum
Untuk menjadi bagian dari warga dunia yang dihormati dan disegani,
supremasi hukum harus ditegakkan secara benar dan adil serta
mewarnai penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Papua
sehari-hari . Rakyat Papua pada dasarnya patuh pada hukum,
sepanjang hukum itu memang berpihak kepada kepentingan orang banyak,
diwadahi dalam suatu sistem yang profesional dan bebas dari
intervensi pihak mana pun, dan para penegaknya dapat menjadi
suri teladan bagi masyarakat.
Keadaan yang disebutkan di atas ini merupakan salah satu modal dasar
yang ampuh dalam rangka mencapai kesejahteraaan rakyat di Tanah
Papua. Di dalam Otonomi Khusus Papua supremasi hukum harus
dapat ditegakkan dan terlihat secara nyata dalam penyelenggaraan
pemerintahan, proses peradilan dan penegakan HAM.
2.2.6
Penghargaan terhadap pluralisme
Walaupun merupakan suatu kesatuan kebudayaan Melanesia, penduduk
asli Papua pada dasarnya terbagi ke dalam lebih dari 250 suku
yang memiliki kekhususan-kekhususan tertentu . Selain itu,
keragaman penduduk Papua juga diperkaya oleh berbagai
etnis non-Melanesia yang telah lama menjadi penduduk di tanah
ini -- ada yang bahkan telah berada di Papua lebih dari tiga
generasi. Yang tidak kalah pentingnya adalah kemajemukan
agama bahkan denominasi gereja yang dianut oleh masyarakat Papua.
Penghargaan akan pluralisme yang telah dianut sejak dahulu harus
terus dapat dipelihara dan dimantapkan di tanah Papua dalam
era Otonomi Khusus.
Penghargaan akan pluralisme yang dimaksud sudah barang tentu harus
diwarnai dengan keberpihakan kepada secara tegas terhadap mereka
yang paling menderita, paling tertinggal, dan berada pada hierarki
paling bawah dalam hal akses terhadap berbagai fasilitas
kesejahteraan sosial, ekonomi dan budaya.
2.2.7
Persamaan kedudukan, hak dan kewajiban sebagai warga negara
Penegakan supremasi hukum berarti perlunya lebih disebarluaskan
pemahaman di seluruh lapisan masyarakat Papua, termasuk di kalangan
aparat pemerintah dan keamanan, tentang persamaan hak dan
kedudukan sebagai warga negara.
Pemahaman tersebut harus ditindaklanjuti dalam langkah-langkah nyata
yang secara transparan menunjukkan kepada rakyat Papua, bahwa
siapa pun warga Papua, ia memiliki hak dan kewajiban yang sama
seperti semua warga tanah Papua yang lain.
Dalam pada itu, pengakuan akan kesamaan hak dan kewajiban sebagai
warga negara ini perlu pula dilaksanakan secara bijaksana
dengan peka terhadap kondisi obyektif sebagian besar penduduk asli
Papua yang kondisi sosial, ekonomi dan politiknya memerlukan
perlindungan-perlindungan tertentu. Dengan perkataan lain,
perlindungan yang diberikan itu harus mampu mengembangkan
kemampuan diri masyarakat Papua untuk dalam waktu yang
secepat-cepatnya dapat terlayani hak-hak dan memenuhi
kewajiban-kewajibannya sama seperti semua warga negara yang lain.
3
Kerangka Dasar
3.1
Pengertian
Yang dimaksud dengan kerangka dasar dalam Buku ini adalah
garis-garis besar pokok-pokok pikiran yang dimasukkan ke dalam
Undang-undang Otonomi Khusus Papua. Pokok-pokok pikiran
tersebut dikembangkan dengan memadukan nilai-nilai dasar pelaksanaan
Otonomi Khusus Papua dengan pendekatan-pendekatan yang perlu
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan riil dan mendasar
rakyat Papua agar terjadi perubahan signifikan dalam kualitas
kehidupan rakyat Papua dalam pengertian yang seutuhnya dan
seluas-luasnya.
Kerangka dasar ini memuat pembahasan aspek-aspek pokok berikut ini:
Pembagian Kewenangan antara Pusat dan Propinsi Papua·
Pembagian Kewenangan di Dalam Propinsi Papua·
Pembagian Sumberdaya·
Perlindungan Hak-hak Adat Penduduk Asli·
Hak-hak Azasi Manusia dan Pelurusan Sejarah Integrasi Papua ke dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia
Bendera, Lambagn dan Lagu·
Ekonomi dan Keuangan·
Pemberdayaan Pemerintah, Dunia Usaha dan Masyarakat·
Kependudukan dan Ketenagakerjaan·
Pembangunan Berkelanjutan dan Lingkungan Hidup·
Pendidikan dan Kebudayaan·
Kesehatan dan Gizi·
Sosial·
Agama·
Pengawasan, Peradilan dan Advokasi·
Kerjasama Antarpropinsi dan Luar Negeri·
3.2
Kerangka Dasar
3.2.1
Pembagian Kewenangan antara Pusat dan Propinsi Papua
Salah satu inti pelaksanaan otonomi khusus di Papua adalah pembagian
kewenangan pemerintahan antara Pusat dan Propinsi Papua.
Pembagian kekuasaan dan kewenangan ini bukan semata-mata sebagai
konsekuensi pemberian status otonomi khusus, tetapi yang tidak kalah
pentingnya adalah pelaksanaan prinsip-prinsip demokratisasi
penyelenggaraan negara dengan memberikan kesempatan sebesar-besarnya
kepada rakyat dan daerah untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri
secara nyata.
Pendekatan seperti ini akan memungkinkan penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan menjadi lebih relevan, efisien,
efektif dan tepat sasaran.
Dalam kaitan itulah perlu ditetapkan dengan jelas hal-hal apa saja
yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah
Propinsi Papua .
Dengan menggunakan semangat seperti yang dikemukakan dalam alinea
terdahulu, maka Pemerintahan Pusat memiliki kewenangan untuk
mengatur hal-hal sebagai berikut:
(1) Politik luar negeri -- yaitu bahwa pemerintah pusat memiliki
kewenangan penuh mengurus politik luar negeri negara, dan Propinsi
Papua termasuk ke dalamnya;
(2) Pertahanan terhadap ancaman eksternal -- yaitu bahwa pemerintah
pusat bertanggung jawab penuh untuk menangkal setiap ancaman
eksternal yang bertujuan untuk menghancurkan integritas Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
(3) Moneter -- yaitu bahwa pada dasarnya pengaturan sistem moneter
di Propinsi Papua diatur oleh pemerintah pusat, namun tidak menutup
kemungkinan bagi Propinsi Papua untuk memiliki sistem mata uang
sendiri, di samping Rupiah, apabila memang lebih memberikan
keuntungan kepada rakyat dan perkembangan perekonomian Papua .
(4) Peradilan Kasasi -- yaitu bahwa proses peradilan tingkat pertama
dan tingkat banding dilakukan di Propinsi Papua, sementara peradilan
tingkat kasasi dilakukan di tingkat nasional. Hal ini
sekaligus menunjukkan system hukum di Propinsi Papua tetap merupakan
bagian dari sistem hukum nasional Indonesia.
Di luar keempat kewenangan pemerintahan pusat seperti yang
dikemukakan tersebut, semua kewenangan bidang pemerintahan lain
menjadi urusan penuh pemerintahan Propinsi Papua. Hal ini
sekaligus pula berarti bahwa semua ketentuan perundang-undangan
Republik Indonesia yang tidak sesuai atau bertentangan dengan
Undang-undang Otonomi Khusus Papua tidak berlaku di Propinsi Papua.
Dalam pada itu, disadari pula bahwa di luar keempat kewenangan
pemerintahan pusat sebagaimana dikemuakakan di atas, masih ada
hal-hal lain yang karena sifatnya memerlukan keterlibatan
pemerintah pusat -- terutama hal-hal yang menyangkut
standarisasi dan kesepakatan-kesepakatan luar negeri dan
kerjasama antarnegara. Untuk hal-hal yang disebutkan ini,
Pemerintah Propinsi Papua melakukan kerjasama dan konsultasi
dengan pemerintah pusat untuk pelaksanaan hal-hal tersebut di
Propinsi Papua.
3.2.2
Pembagian Kewenangan di Dalam Propinsi Papua
3.2.2.1 Otonomi di dalam Propinsi Papua
Pembagian
kekuasaan (sharing of power) dalam konteks Otonomi Khusus
Propinsi Papua tidak saja menyangkut hubungan pusat dan daerah,
tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana kekuasaan
dan kewenangan itu dibagi secara baik di dalam Propinsi Papua
sendiri. Dalam kaitan itu, Otonomi Khusus Papua berarti
bahwa ada hubungan hirarkis antara pemerintah tingkat Propinsi
dan Kabupaten/Kota, namun pada saat yang sama Propinsi, Kabupaten/Kota
dan Kampung masing-masing adalah daerah otonom yang memiliki
kewenangannnya
sendiri-sendiri.
Prinsip yang dianut adalah bahwa kewenangan perlu diberikan secara
proporsional ke bawah -- terutama untuk berbagai hal yang langsung
berkaitan dengan masyarakat. Hal ini konsisten dengan salah
satu prinsip dasar otonomi yaitu menempatkan sedekat-dekatnya
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan ke subjek, yaitu rakyat.
Karena itu, di dalam konteks Otonomi Khusus Propinsi Papua,
fungsi-fungsi pengaturan berada di tingkat
Propinsi
sedangkan fungsi-fungsi dan kewenangan pelayanan masyarakat
diberikan sebesar-besarnya kepada Kabupaten/Kota dan Kampung.
3.2.2.2
Pembagian Kewenangan yang Tegas antara Badan-badan Legislatif,
Eksekutif dan Yudikatif
Untuk
menyelenggarakan pemerintahan yang demokratis, profesional dan
bersih, dan sekaligus memiliki ciri-ciri kebudayaan dan jati diri
rakyat Papua, serta mengakomodasi sebanyak mungkin kepentingan
penduduk asli Papua, perlu dibentuk empat badan/lembaga, yaitu:
(1)
Lembaga Eksekutif. Lembaga ini di tingkat propinsi dipimpin
oleh seorang Gubernur dan di tingkat kabupaten/kota dipimpin
oleh Bupati atau Walikota.
Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih oleh Lembaga Legislatif.
Lembaga eksekutif berfungsi untuk melaksanakan tugas-tugas
pemerintahan.
Gubernur dipilih oleh Lembaga Legislatif.
(2) Lembaga Legislatif. Lembaga legislatif terdiri dari dua
badan yaitu Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Rakyat Papua.
Sistem ini lazim dikenal dengan istilah bikameral .
Keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat adalah wakil-wakil
partai
politik yang dipilih rakyat melalui Pemilihan Umum.
Partai-partai
politik dimaksud terdiri dari partai-partai politik nasional dan
lokal .
Keanggotaaan
Majelis Rakyat Papua terdiri dari wakil-wakil adat, wakil-wakil
agama dan wakil-wakil perempuan yang dipilih oleh rakyat.
Selain bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat bertugas
mengawasi pelaksanaan
Pemerintahan
oleh Lembaga Eksekutif, Majelis rakyat Papua juga berfungsi untuk
mengawasi pelaksanaan tugas Dewan Perwakilan Rakyat.
(3)
Lembaga Adat. Lembaga adat mengatur segala sesuatu yang
terkait dengan hak-hak masyarakat adat di wilayah hukum adat
tertentu.
(4)
Lembaga Peradilan. Lembaga peradilan Propinsi Papua berpedoman
pada sistem hukum nasional Indonesia.
Penyelesaian-penyelasaian
perkara menurut hukum adat juga dilakukan di Papua.
3.2.3
Pembagian Sumberdaya
Dalam kaitannya dengan hubungan pemerintah pusat dan Propinsi Papua
sebagai daerah otonomi khusus, pembagian sumberdaya dititik beratkan
pada alokasi keuangan dan sumberdaya manusia.
Pengalokasian sumberdaya keuangan yang berasal dari berbagai
kegiatan perekonomian Papua, terutama yang berasal dari hasil
eksploitasi sumberdaya alam, harus berangkat dari dua pemahaman yang
paling mendasar, yaitu:
(1) bahwa penduduk Papua, terutama penduduk asli, telah terabaikan
selama ini dalam berbagai kegiatan pembangunan dan karenanya
sebagian besar dari mereka kini berada pada lapisan terbawah dan
terjauh dari berbagai kemajuan dan modernisasi; dan
(2) menyadari keadaan tersebut, wajarlah apabila semua sumberdaya
keuangan yang dihasilkan dari propinsi Papua diarahkan
sepenuh-penuhnya di Tanah Papua agar dalam jangka waktu
sesingkat-singkatnya rakyat Papua, terutama penduduk asli Papua,
dapat menikmati berbagai pelayanan pembangunan yang bermutu demi
peningkatan kualitas dan kemampuan diri mereka.
Hal-hal yang dikemukakan di atas ini pada dasarnya adalah salah satu
esensi dari otonomi khusus yang sesungguhnya, yaitu bahwa tidak saja
sebagian terbesar kewenangan diserahkan kepada Propinsi Papua untuk
menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan, tetapi senafas dengan
itu, semua potensi untuk memperoleh dana di daerah secara
penuh dikelola oleh pemerintah propinsi Papua.
Distribusi dana tersebut kemudian dilakukan oleh pemerintah propinsi
Papua ke pusat untuk membiayai kegiatan-kegiatan tertentu yang
merupakan kewenangan pemerintah Pusat di Propinsi Papua dan tanggung
jawab lain.
Pembagian sumberdaya manusia dari Pusat ke Propinsi Papua dalam
rangka pelaksanaan Otonomi Khusus perlu dilakukan dalam dua
pemahaman dasar, yaitu
(1) bahwa keputusan untuk memanfaatkan tenaga pusat di Propinsi
Papua berada di tangan Pemerintah Propinsi, dan
(2) apabila ada penempatan tenaga maka perlu dilakukan dalam
konteks pemberdayaan tenaga lokal.
Di dalam Propinsi Papua sendiri, akumulasi dan alokasi sumberdaya
keuangan harus dilakukan dengan suatu pemahaman yang komprehensif
bahwa tiap-tiap Kabupaten dan Kota memiliki potensi yang berbeda.
Ada kabupaten-kabupaten yang sumberdaya alamnya telah
dieksploitasi dengan relatif baik, misalnya Sorong, Merauke
dan Mimika -- tetapi tidak sedikit Kabupaten yang tergantung
hampir sepenuhnya pada dukungan keuangan dari luar
kabupaten-kabupaten tersebut, seperti Jayawijaya, Paniai, Puncak
Jaya dan sebagian Nabire.
Karena itu, akumulasi dan alokasi sumberdaya keuangan dalam konteks
Otonomi Khusus Papua perlu berlandaskan pada prinsip-prinsip berikut
ini:
(1) Untuk tahap awal perlu digalang pemahaman dan kesepakatan
bersama antara pemerintah dan wakil-wakil rakyat di Propinsi
dengan pemerintah dan wakil-wakil rakyat di parlemen Kabupaten/Kota
tentang berapa besar dana yang perlu dikelola langsung oleh propinsi
untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan di propinsi dan
kabupaten-kabupaten yang sumber dayanya belum termanfaatkan
secara baik dan berapa yang harus ditinggalkan di
kabupaten-kabupaten tertentu karena memang sumberdaya keuangan itu
berasal dari kabupaten tersebut. Hal ini penting agar Jayapura
tidak menjadi Jakarta -- dalam arti Jayapura menjadi pusat
segala-galanya, yang pada gilirannya akan dengan mudah memunculkan
ketergantungan yang tidak perlu, macetnya inisiatif Kabupaten/Kota,
inefisiensi pembangunan dan pemerintahan propinsi yang korup;
(2) Hal-hal yang dimaksudkan pada butir (1) dilakukan dalam batas
waktu tertentu yang disepakati bersama antara pemerintah dan
parlemen Propinsi dengan pemerintah dan parlemen Kabupaten/Kota
dengan tujuan utama untuk membuka isolasi fisik dan sosial
kabupaten-kabupaten tertentu di Papua dan mengembangkan
kualitas sumberdaya manusianya, sehingga tercapai suatu kondisi
kondusif bagi kabupaten-kabupaten itu untuk mengembangkan potensi
pembangunan yang dimilikinya bagi kesejahteraan rakyat di kabupaten
tersebut;
(3) Sesudah keadaan pada butir (2) di atas tercapai, maka secara
bertahap dan terencana pelaksanaan otonomi di Propinsi Papua dalam
arti yang nyata dan bertanggung jawab bertumpu di tingkat
Kabupaten/Kota.
3.2.4
Perlindungan Hak-hak Adat Penduduk Asli
Salah satu pokok permasalahan yang dihadapi selama ini di Papua
adalah dilanggarnya hak-hak adat penduduk asli . Ada
tiga hal pokok yang terkait dengan hal tersebut, yaitu: (1)
dilanggarnya hak-hak adat penduduk asli dalam kaitannya dengan
eksploitasi sumberdaya alam; (2) diabaikannya hak-hak adat penduduk
asli dalam kaitannya dengan representasi penduduk asli Papua
dalam badan-badan perwakilan rakyat; dan (3) diabaikannya, atau
kurang diperhatikannya, keputusan-keputusan yang diambil oleh
peradilan adat oleh badan-badan yudikatif negara.
Keadaan ini merupakan salah satu faktor utama penyebab
timbulnya berbagai ketimpangan sosial dan bahkan perlawanan social
yang ditunjukkan oleh rakyat Papua yang tidak jarang dihadapi dengan
kekerasan bersenjata oleh aparat negara.
3.2.4.1
Perlindungan hak-hak adat penduduk asli atas sumberdaya alam
Di
dalam Otonomi Khusus Papua, hak-hak adat penduduk asli harus
ditempatkan pada posisi yang wajar dan terhormat. Hak-hak adat
itu mencakup hak milik perorangan dan hak milik bersama (hak ulayat)
atas tanah, air atau laut pada batas-batas tertentu, serta
hutan, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Selain
itu, hak-hak adat mencakup pula hak-hak cipta Masyarakat adat dalam
bidang kesenian yang terdiri dari seni suara, tari, ukir,
pahat,
anyam, tata busana, dan rancangan bangunan tradisional serta
cabang-cabang kesenian lainnya, maupun hak-hak yang terkait dengan
sistem pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan oleh masyarakat
adat/asli Papua, misalnya obat-obatan tradisional dan yang
sejenisnya. Sebagai "the first people" di Propinsi Papua,
maka adalah sangat wajar dan tepat apabila hak-hak penduduk
asli atas wilayah adatnya masing-masing sebagaimana yang dikemukakan
di atas dihargai oleh pihak luar -- termasuk di dalamnya pemerintah
dan swasta. Pemanfaatan hak-hak adat untuk kepentingan
pemerintah dan atau swasta haruslah dilakukan melalui musyawarah
antara masyarakat adat dengan pihak yang membutuhkan, serta harus
disertai dengan pemberian ganti rugi dalam bentuk uang tunai, tanah
pengganti, pemukiman kembali, dana abadi, sebagai pemegang saham,
atau bentuk-bentuk lain yang disepakati bersama.
3.2.4.2
Perlindungan hak-hak adat penduduk asli dalam representasi
politik
Di
dalam Otonomi Khusus Papua, hak-hak politik masyarakat adat dan
penduduk asli Papua dilindungi dengan diciptakannya suatu kamar
tertentu di dalam parlemen Propinsi Papua, disebut Majelis Rakyat
Papua (MRP) yang hanya diisi oleh orang asli Papua yang adalah
wakil-wakil adat, wakil-wakil agama dan wakil-wakil perempuan
-- yang jumlahnya masing-masing sepertiga dari total jumlah anggota
kamar tersebut. Dengan cara seperti ini dapat dipastikan bahwa
keadaan di banyak negara modern di dunia -- di mana keterwakilanan
penduduk asli di dalam pengambilan keputusan politik negara sangat
lemah atau tidak ada sama sekali, tidak akan terjadi di Propinsi
Papua.
Wakil-wakil
adat, bersama-sama dengan wakil-wakil agama dan wakil-wakil
perempuan -- yang kesemuanya adalah orang-orang asli Papua dengan
distribusi jumlah sebesar sepertiga untuk masing-masing kelompok –
di kamar ini
Memiliki
tugas dan kewajiban untuk melindungi hak-hak penduduk asli Papua
dalam hal-hal seperti berikut ini:
Memberikan
pertimbangan-pertimbangan kepada Parlemen Propinsi, Kabupaten/Kota
serta Gubernur, Bupati dan Walikota mengenai hal-hal yang
terkait dengan perlindungan terhadap hak-hak orang-orang Papua asli;
Memperhatikan
dan menyalurkan aspirasi, menerima pengaduan Masyarakat adat dan
masyarakat pada umumnya, serta memfasilitasi tindak lanjut
penyelesaiannya; dan Menolak Peraturan Propinsi dan kebijakan
lain yang dinilai bertentangan dengan perlindungan hak-hak orang
Papua asli.
3.2.4.3
Perlindungan hak-hak penduduk asli dalam peradilan adat
Selama
ini, peradilan adat kurang memperoleh tempat yang layak dalam
upaya-upaya penegakan hukum dan pemuasan rasa keadilan di
tingkat rakyat Papua. Padahal, sebagai suatu kesatuan
hukum yang mandiri -- terutama
Sebelum
masuknya kelembagaan modern yang disebut dengan negara --
masing-masing suku di tanah Papua memiliki sistem hukumnya
sendiri yang mampu menciptakan ketentraman di lingkungan
mereka masing-masing maupun dalam membina hubungan antarsuku.
Dalam
kaitan itulah di dalam status Otonomi Khusus, peradilan adat di
tanah Papua merupakan suatu peradilan yang diakui kedudukannya
sebagaimana pengakuan terhadap Badan Peradilan Negara (yang mencakup
peradilan umum,
Peradilan
agama, peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Hak-hak Asasi
Manusia).
Peradilan
adat memiliki kewenangan untuk memeriksa dan mengadili perkara
dan atau sengketa menurut hukum adat dari pihak yang menjadi korban
dan/atau dirugikan. Untuk menegakkan kewibawaan peradilan adat,
maka perkara
Atau
sengketa yang telah mendapatkan putusan peradilan adat tidak dapat
diajukan untuk diadili oleh Badan Peradilan Negara sepanjang tidak
melanggar Hak-hak Asasi Manusia.
3.2.5
Hak-hak Asasi Manusia dan Pelurusan Sejarah Integrasi Papua ke dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia
Di bagian depan telah diuraikan tentang masalah-masalah yang
dihadapi oleh rakyat Papua yang terkait dengan pelanggaran hak-hak
asasinya selama ini.
Hak-hak Asasi Manusia yang dimaksud adalah hak-hak yang karena
anugerah Tuhan Yang Maha Esa melekat secara universal pada setiap
manusia ciptaan-Nya, dan karenanya wajib dihormati, dijunjung tinggi
dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Penegakan Hak-hak Asasi Manusia di tanah Papua bertujuan untuk
mencapai dua hal pokok, yaitu:
(1) terselesaikannya secara adil dan bermartabat semua pelanggaran
HAM yang terjadi di tanah Papua sebagai bagian dari upaya
bersama untuk mencapai Papua Baru dalam Indonesia Baru; dan
(2) diletakkannya dasar-dasar hukum yang kokoh untuk memastikan
bahwa sejak diberlakukannya Otonomi Khusus di Papua, maka
semua pihak bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya pelanggaran
HAM di Tanah Papua, dan apabila terjadi pelanggaran dimaksud telah
ada mekanisme untuk menyelesaikan pelanggaran HAM tersebut dan
mereka yang bersalah harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di
pengadilan.
Dalam kaitan itu, maka pemerintah Pusat, pemerintah Propinsi dan
penduduk Propinsi Papua wajib menegakkan, memajukan,
melindungi dan menghormati Hak-hak Asasi Manusia di seluruh
Propinsi Papua sebagaimana dituangkan dalam Undang-undang Dasar
1945, Deklarasi Universal Hak-hak asasi Manusia Perserikatan
Bangsa-bangsa, Deklarasi Wina tahun 1993 tentang Hak-hak Asasi
Manusia serta berbagai Konvensi Internasional yang berkaitan dengan
perlindungan Hak-hak Asasi Manusia. Karena itu, maka di
Propinsi Papua perlu dibentuk Komisi Hak-hak Asasi Manusia
yang merupakan badan independen yang berwenang untuk
menyelidik, menyidik dan mengajukan pelanggar HAM ke Badan
Peradilan HAM Propinsi.
Selain itu, untuk menyelesaikan secara tuntas, adil dan bermartabat
semua pelanggaran HAM yang pernah terjadi di waktu lalu, terutama
sejak tanggal 1 Mei 1963, maka Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Propinsi perlu memberikan kompensasi dan rehabilitasi kepada
para korban, keluarga korban atau ahli waris korban
pelanggaran HAM di tanah Papua menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku, termasuk di dalamnya kebiasaan-kebiasaan
yang berlaku dalam adat-istiadat suku-suku di Papua.
Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah penyelesaian secara
tuntas dan menyeluruh perbedaan pendapat mengenai sejarah
integrasi Papua ke dalam Republik Indonesia . Masalah ini
sesungguhnya merupakan masalah paling mendasar yang menjadi penyebab
sejumlah besar rakyat Papua untuk memisahkan diri dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Sejak bergulirnya reformasi,
keinginan ini dinyatakan secara terbuka dan damai, dan karenanya
tidak bisa didiamkan atau ditindas dengan cara-cara kekerasan
seperti selama ini.
Artinya, sepanjang masih terdapat perbedaan yang mendasar dan tajam
antara pemahaman penduduk asli Papua dan pemahaman pemerintah Pusat
tentang apakah penduduk asli Papua telah diberikan kesempatan yang
adil untuk menentukan nasib sendiri sebagaimana yang diatur oleh
berbagai konvensi internasional, maka sepanjang itu pula masalah ini
akan selalu menjadi sumber hubungan antagonistis antara tanah
Papua dan pusat.
Dalam kaitan itulah maka perbedaan pendapat ini harus diselesaikan
melalui dialog yang berlangsung pada platform yang kokoh, jujur,
saling percaya, damai, demokratis dan bertujuan untuk mencari
penyelesaian yang memuaskan bagi semua pihak. Dialog
dimaksud tentu saja tidak dapat dibatasi hanya dengan
pemerintah Indonesia saja, tetapi perlu pula dilakukan dengan
negara-negara yang terkait dengan penyelesaian masalah Papua sejak
tahun 1940-an sampai akhir 1960-an, termasuk di dalamnya
Perserikatan Bangsa-bangsa.
Apabila ternyata bahwa hasil pelurusan sejarah sebagaimana yang
dimaksud terbukti menunjukkan bahwa proses integrasi Papua ke
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia di waktu lalu tidak
sesuai dengan hukum internasional mengenai hak penentuan nasib
sendiri suatu bangsa, maka Pemerintah Pusat dan rakyat Papua,
melalui Parlemen Papua, perlu mengambil langkah-langkah penyelesaian.
3.2.6
Bendera, Lambang dan Lagu
Bendera, lambang dan lagu sebagaimana yang diusulkan oleh Rakyat
Papua untuk dimasukkan ke dalam Rancangan Undang-undang Otonomi
Khusus Papua perlu dilihat dalam konteks kebudayaan dan bukan
sebagai persoalan politik-kenegaraan.
Dalam konteks kebudayaan seperti ini, bendera, lambang dan lagu
merupakan simbol identitas daerah dan simbol kebesaran, keagungan
dan keluhuran jati diri orang Papua. Simbol-simbol itu
diyakini sebagai perekat rakyat Papua dan sekaligus sebagai stimulan
untuk memotivasi rakyat Papua agar terus bahu membahu dan
bekerjasama untuk mencapai cita-cita kesejahteraan bersama. Hingga
saat ini masih belum ditetapkan bendera, lambang dan lagu Propinsi
Papua, karena masih harus melalui proses penjaringan dan perumusan
pendapat oleh Parlemen Papua. Namun, satu hal yang pasti
adalah bahwa bendera, lambing dan lagu Propinsi Papua itu digunakan
bersama-sama dengan Bendera Merah Putih sebagai bendera negara, Lagu
Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan Indonesia, dan Burung Garuda
sebagai lambang negara. Hal ini sekaligus merupakan wujud
penerapan nyata secara bertanggung jawab semangat "Bhinneka
Tunggal Ika", yaitu keragaman dalam persatuan, di tanah Papua.
3.2.7
Ekonomi dan Keuangan
Pelaksanaan Otonomi Khusus di Propinsi Papua akan secara nyata dan
mendasar mengubah berbagai pendekatan pembangunan ekonomi,
bahkan pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan, yang berlaku
selama ini di Tanah Papua.
Fokus pokok yang ingin dicapai melalui pembangunan ekonomi di Tanah
Papua adalah:
(1) memberikan manfaat sebanyak-banyaknya kepada penduduk Papua,
terutama penduduk asli Papua yang selama ini terabaikan atau
terpinggirkan dalam pembangunan ekonomi;
(2) mengembangkan kemampuan diri penduduk Papua, terutama penduduk
asli Papua, untuk terlibat secara nyata dalam semua jenis
kegiatan perekonomian
(3) memastikan bahwa semua kegiatan ekonomi yang dilakukan di masa
sekarang tidak mengakibatkan menurunnya kualitas kehidupan generasi
Papua di masa datang.
Karena itu, pembangunan ekonomi di tanah Papua dilakukan dengan
berpedoman pada hal-hal berikut ini:
Semua usaha perekonomian di Propinsi Papua, termasuk
pemanfaatan sumberdaya alamnya, dilakukan untuk memberikan manfaat
dan kesejahteraan sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat Papua
dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan, pemerataan,
melindungi hak-hak masyarakat adat, memberi kepastian hukum bagi
pengusaha, serta pelestarian lingkungan dan pembangunan yang
berkelanjutan; Pengolahan lanjutan dalam rangka pemanfaatan
sumberdaya alam sebagaimana yang dimaksud pada butir di atas
diupayakan untuk dilakukan sepenuhnya di tanah Papua;
Perizinan dan perjanjian kerjasama yang telah dilakukan oleh
Pemerintah dan Pemerintah Propinsi dengan pihak lain tetap berlaku
dan dihormati sepanjang tidak merugikan masyarakat asli Papua dan
tidak bertentangan dengan jiwa dan semangat Undang-undang Otonomi
Khusus Papua;
Pembangunan perekonomian berbasis kerakyatan dilaksanakan
dengan memberikan keempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat
adat dat/atau masyarakat setempat;
Perundingan yang dilakukan antara Pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota
dan penanam modal harus melibatkan masyarakat adat.
Selain pelaksanaan pembangunan ekonomi seperti yang dilakukan di
atas, hal yang sangat terkait dengan penyelenggaraan
pembangunan di Propinsi Papua adalah ketersediaan dana pembangunan.
Di waktu lalu, kebijakan yang ditempuh adalah pemerintah Pusat
mengumpulkan hampir sebagian terbesar hasil-hasil yang diperoleh
dari Papua (baik dalam bentuk pajak maupun bukan pajak) untuk
kemudian dibagikan ke seluruh Indonesia. Pendekatan seperti
ini, yang mungkin terlihat `adil' di skala nasional, telah
mengakibatkan sangat tertinggalnya Propinsi Papua dalam
berbagai sektor pembangunan. Bahkan, pendekatan pembangunan
yang sentralistis seperti ini juga merupakan salah satu factor
penting terjadinya berbagai bentuk pelanggaran HAM di Tanah Papua.
Hingga saat ini berbagai indikator pembangunan di Propinsi Papua
menunjukkan keadaan yang memprihatinkan (Pusat Studi Kependudukan
Uncen, 2001), misalnya:
74.24 persen penduduk hidup di daerah terisolir karena mereka
tidak memiliki akses ke sarana dan prasana transportasi ke
pusat-pusat pelayanan sosial, ekonomi dan pemerintahan;
80 persen keluarga masih hidup dalam kondisi keterbelakangan
dalam pertanian, ekonomi, pendidikan dan kesehatan serta penguasaan
IPTEK;
Angka kematian bayi (IMR) mencapai 79 kematian per 1000
kelahiran bayi;
Lama rata-rata sekolah penduduk baru mencapai 5,5 tahun;
Jumlah penduduk yang belum pernah sekolah/belum atau tidak
tamat SD sebanyak 49,67%; tamat SD hanya 21,64%, tamat SMU hanya
10,06% dan tamat Universitas hanya 1,91%;
Belum ada jalan raya yang menghubungkan kota-kota kabupaten
dan dapat dimanfaatkan secara operasional untuk menunjang
perdagangan dan perekonomian rakyat pada umumnya;
Harga barang-barang konsumsi di kota Jayapura lebih tinggi 45
persen terhadap Jakarta, dan jauh lebih mahal lagi di daerah-daerah
terpencil;
Selama tahun 1990-1997, elastisitas kesempatan kerja rata-rata
di Papua hanya sebesar 0,40 yang berarti pertumbuhan ekonomi riil
sebesar 1% hanya mengakibatkan kesempatan kerja meningkat sebesar
0,4%;
Dan lain-lain.
Salah satu informasi penting lain adalah hasil analisis Mubyarto
(2000) mengenai tingkat kemiskinan Papua relatif terhadap
propinsi-propinsi lain di Indonesia sebagaimana yang
dikemukakan dalam Tabel 1.
Tabel
1. Tingkat kemiskinan propinsi-propinsi di Indonesia (dalam
persen) pada tahun 1996
Propinsi
|
Persen
|
Propinsi
|
Persen
|
DKI
Jakarta
|
2.5
|
Sumatera
Selatan
|
10.7
|
Bali
|
4.3
|
Lampung
|
10.7
|
Riau
|
7.9
|
DI
Aceh
|
10.8
|
Sulawesi
Selatan
|
8
|
Sumatera
Utara
|
10.9
|
Sulawesi
Tengah
|
8.2
|
Kalimantan
Tengah
|
11.2
|
Sulawesi
Tenggara
|
8.5
|
Jawa
Tengah
|
13.9
|
Sumatera
Barat
|
8.8
|
Kalimantan
Selatan
|
14.3
|
Jambi
|
9.1
|
Nusa
Tenggara Barat
|
17.6
|
Kalimantan
Timur
|
9.2
|
Maluku
|
19.5
|
Bengkulu
|
9.4
|
Nusa
Tenggara Timur
|
20.6
|
Jawa
Barat
|
9.9
|
Irian
Jaya
|
21.2
|
DI
Yogyakarta
|
10.4
|
Kalimantan
Barat
|
22
|
Sulawesi
Utara
|
10.6
|
Timor
Timur
|
31.2
|
Sumber:
Mubyarto (2000, hal. 48)
|
Data-data
yang disajikan di atas menunjukkan bahwa tantangan untuk mempercepat
penyediaan fasilitas pembangunan dasar dan pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan dasar rakyat di Tanah Papua sangat besar.
Diperkirakan bahwa selama lima tahun pelaksanaan pembangunan untuk
menciptakan perubahan mendasar dimaksud diperlukan dana sebesar Rp
172 triliun rupiah . Yang dimaksud dengan perubahan mendasar
di sini adalah tercapainya suatu keadaan di mana semua sarana dan
prasarana dasar pembangunan (sosial, ekonomi, fisik dan politik)
tersedia dalam jumlah dan mutu yang memadai agar kualitas kehidupan
Masyarakat Papua dapat meningkat secara signifikan dan agar mereka
dapat mengembangkan kemampuan dirinya untuk menolong dirinya
sendiri dan orang lain secara berkesinambungan.
Sebagai konsekuensi logis dari diserahkannya sebagian terbesar
kewenangan pemerintahan kepada Propinsi Papua, maka kewenangan
penerimaan dan pengelolaan dana yang diperoleh dari eksploitasi
sumberdaya alam Papua dan sumber-sumber pendapatan lain harus pula
diserahkan kepada pemerintah dan rakyat Propinsi Papua untuk
digunakan dalam kegiatan pembangunan. Dengan demikian,
prinsip-prinsip yang dianut dalam pengelolaan keuangan Propinsi
Papua adalah:
Sumber-sumber penerimaan Propinsi yang berupa penerimaan asli
Propinsi yang terdiri dari pajak yang objeknya berada dalam Propinsi
Papua, retribusi, hasil-hasil sumberdaya alam, bagian laba
perusahaan milik propinsi, penerimaan bukan pajak, dan
lain-lain penerimaan propinsi yang sah disetor ke kas Propinsi dan
seluruhnya menjadi hak pemerintahan Propinsi.
Hasil setoran sebagaimana yang dimaksud pada butir di atas
dapat disetor ke kas Pemerintah Pusat untuk membiayai
kegiatan-kegiatan pemerintah pusat yang besarnya tidak melebihi 20
persen dari setoran tersebut.
Diperkirakan total penerimaan negara dan propinsi Papua dari
berbagai sector ekonomi di Papua, terutama eksploitasi
sumberdaya alam pertambangan umum, kehutanan, perikanan laut dan
minyak dan gas untuk saat ini tidak lebih dari Rp 7triliun per tahun
. Angka ini apabila dibandingkan dengan kebutuhan dana untuk
menciptakan perubahan mendasar selama 5 tahun di atas, yaitu sebesar
Rp 172 triliun selama 5 tahun, atau kurang lebih Rp 34,4 triliun per
tahun, sangat jauh dari memadai. Tetapi angka Rp 7 triliun itu
jelas merupakan suatu peningkatan yang sangat tajam
dibandingkan dengan dana yang tersedia bagi pembangunan Papua
selama ini. Itu sebabnya, maka wajarlah apabila
sebanyak-banyaknya dana yang berasal dari pengolahan potensi ekonomi
Papua disetor ke kas pemerintah Propinsi agar dapat digunakan
sepenuh-penuhnya bagi pembanguan di tanah Papua.
Dengan pendekatan seperti ini diharapkan akan terjadi percepatan
pembangunan secara nyata di tanah Papua dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya, dan dalam pada itu pemerintah dan rakyat
Propinsi Papua tetap memenuhi tanggung jawabnya bagi negara secara
proporsional dan adil.
3.2.8
Pemberdayaan Pemerintah, Dunia Usaha dan Masyarakat
Otonomi Khusus Papua hanya dapat menghasilkan perubahan mendasar dan
kesejahteraan rakyat yang berkeadilan apabila pemerintah,
dunia usaha dan masyarakatnya berdaya. Ketiga pilar ini harus
saling bekerjasama, melengkapi dan mendukung karena apabila salah
satu pilar tersebut itu saja tidak berfungsi, maka cita-cita otonomi
khusus tidak akan pernah tercapai.
Pemberdayaan itu harus merupakan bagian tidak terpisahkan dari semua
upaya yang dilakukan di Propinsi Papua dengan berpedoman pada
peraturan-peraturan yang memang sengaja diciptakan untuk mencapai
hal-hal tersebut.
Berikut ini disampaikan pokok-pokok pikiran pemberdayaan pemerintah,
dunia usaha dan masyarakat sebagaimana yang digariskan dalam
rancangan Undang-undang Otonomi Khusus Papua.
3.2.8.1
Pemberdayaan Pemerintah
Propinsi
Papua harus memiliki pemerintahan yang bersih, baik, berwibawa,
transparan dan bertanggung jawab.
Komitmen
ini dituangkan secara tegas dalam Rancangan Undang-Undang
Otonomi Khusus Papua -- karena pemerintahan yang memiliki kualitas
seperti itulah (baik, bersih, cakap, profesional, bertanggung jawab,
peka terhadap apsirasi rakyat dan berintegritas) yang memungkinkan
cita-cita yang terkandung dalam jiwa dan semangat Rancangan
Undang-Undang
Otonomi Khusus Papua dapat dicapai.
Tidak
dapat dipungkiri bahwa birokrasi di Papua sekarang ini, sama dengan
semua birokrasi yang ada di tanah air, mewarisi banyak segi positif
dari rezim-rezim masa lalu -- tetapi juga tidak bebas dari berbagai
segi negatif rezim-rezim tersebut yang sering dilambangkan dengan
sebutan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Lebih dari pada
itu, birokrasi yang selama ini cenderung `menunggu dari pusat',
alias kurang memiliki prakarsa dan kurang mengembangkan
kapabilitas diri untuk mampu mengelola sendiri urusan-urusannya,
harus diberdayakan agar dapat mencapai kualitas seperti yang
dikemukakan di atas.
Syarat
penting untuk mencapai kualitas pemerintahan seperti yang
dimaksudkan di atas adalah tersedianya mekanisme pengawasan yang
efektif yang didasarkan dan dilakukan menurut kaidah-kaidah hukum,
politik dan sosial. Dalam kaitan itulah Rancangan
Undang-undang Otonomi Khusus Papua memberikan perhatian yang sangat
serius terhadap aspek pengawasan ini.
3.2.8.2
Pemberdayaan Dunia Usaha
Keterlibatan
orang-orang asli Papua dalam dunia usaha selama ini masih sangat
memprihatinkan. Sektor-sektor riil, baik yang masuk kategori
"formal" maupun "non-formal", lebih banyak
dikuasai oleh masyarakat pendatang. Di pasar-pasar, yang menguasai
sektor perdagangan adalah masyarakat pendatang dari suku-suku
Bugis, Makassar dan Buton. Hasil-hasil pertanian yang berkualitas
lebih baik dan dapat diproduksi secara kontinu lebih banyak berasal
dari para petani transmigran/non-transmigran asal luar Papua.
Pengusaha-pengusaha konstruksi dan jenis-jenis usaha lain hampir
semuanya adalah orang-orang pendatang.
Keadaan
seperti ini sudah barang tentu sangat jauh dari harapan semua pihak.
Bahkan, tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa rendahnya
partisipasi orang-orang asli Papua dalam dunia usaha menjadi salah
satu faktor penting
timbulnya
kecemburuan sosial dan sentimen negatif bahwa "… kami
tersingkir di atas tanah kami sendiri …". Itu sebabnya
pemberdayaan penduduk asli agar mereka dapat berpartisipasi secara
signifikan dalam dunia usaha menjadi salah satu fokus penting
Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. Melalui
pemberdayaan seperti ini, selain akan memperkuat perekonomian
masyarakat secara umum, diharapkan akan tercipta suatu kelas
menengah yang mencapai kurang lebih 20 persen penduduk Papua, yang
dicirikan dengan hal-hal seperti berusia relatif muda, beretos kerja
tinggi, pekerja keras, jujur, berjiwa wirausaha yang kuat dan
kreatif-inovatif. Salah satu pendekatan yang akan dilakukan
adalah secara bijaksana menerapkan tindakan-tindakan afirmatif
(affirmative action) yaitu suatu bentuk perlakuan-perlakuan khusus
kepada penduduk Papua asli agar dalam waktu yang
secepat-cepatnya mereka dapat mengembangkan kemampuan diri secara
optimal sehingga mampu bersaing dengan kelompok-kelompok masyarakat
lainnya.
3.2.8.3
Pemberdayaan Masyarakat
Masyarakat
Papua yang berdaya merupakan salah satu tujuan penting pelaksanaan
Otonomi Khusus Propinsi Papua. Keberdayaan itu dicirikan
dengan kemampuan tiap orang Papua untuk menumbuhkembangkan potensi
yang dikaruniakan Tuhan kepadanya untuk dapat hidup secara layak,
sejahtera dan berkeadilan di atas tanahnya sendiri.
Dalam
kaitan itu upaya-upaya pemberdayaan masyarakat Papua menyangkut
aspek-aspek penyelenggaraan pendidikan yang bermutu, kesehatan dan
gizi yang memadai, pelatihan tenaga kerja untuk meningkatkan
ketrampilan – terutama ketrampilan yang dibutuhkan dalam
perekonomian regional dan dunia, pemberdayaan dalam bidang politik
dan penguatan identitas sosial dan kebudayaan. Hal-hal ini
akan dijelaskan lebih lanjut dalam bagian-bagian lain
tulisan
ini.
3.2.9
Kependudukan dan Ketenagakerjaan
Berbagai tantangan pembangunan yang dihadapi di tanah Papua tidak
terlepas dengan permasalahan-permasalahan kependudukan.
Permasalahan-permasalahan itu umumnya berasal suatu kompleks
hubungan masyarakat pendatang (lazim disebut kaum migran) dan
penduduk setempat (orang-orang asli Papua).
Aspek-aspek penting dari kompleks hubungan masyarakat migran dengan
penduduk setempat dimaksud dalam contoh-contoh berikut ini:
Sejak akhir tahun 1960-an, dan meningkat tajam pada
pertengahan 1970-an ke atas, tanah Papua menjadi salah satu sasaran
utama proyek transmigrasi nasional. Hampir semua Kabupaten,
kecuali Biak-Numfor (dahulu disebut Teluk Cenderawasih) dan
Jayawijaya, memiliki kawasan-kawasan yang diperuntukkan bagi kaum
transmigran yang umumnya berasal dari Pulau Jawa. Program
transmigrasi itu menjadi salah satu sumber masalah sosial di Papua
karena hal-hal berikut ini:
1. Kawasan-kawasan transmigrasi di atas lahan-lahan ulayat penduduk
setempat , tetapi tidak disertai dengan proses pembebasan/pelepasan
hak ulayat atas tanah dan kompensasi yang memungkinkan masyarakat
pemilik ulayat tersebut dapat hidup layak dan terpenuhi rasa
keadilannya.
2. Proses transfer teknologi dari transmigran kepada penduduk
setempat tidak banyak menunjukkan hasil. Sebaliknya, tidak
jarang masyarakat transmigran mengusahakan jenis-jenis tanaman dan
ternak yang juga diusahakan oleh penduduk setempat tetapi dengan
tingkat teknologi yang lebih rendah. Akibatnya, hasil produksi
petani setempat lebih sering tersaingi secara tidak sehat oleh
produksi petani transmigran.
3. Kesediaan berbagai fasilitas umum jauh lebih memadai (baik dari
segi mutu, jenis maupun jumlah) di lokasi-lokasi transmigrasi
dibandingkan di desa-desa sekitar. Fasilitas umum dimaksud di
antaranya adalah jalan beraspal, sekolah-sekolah, klinik dan
pusat-pusat penyuluhan pertanian. Bahkan, tidak jarang
dijumpai di tanah Papua kebijakan untuk memberikan penghargaan
kepada pegawai pemerintah yang berprestasi untuk bekerja di daerah
transmigrasi, sementara mereka yang tidak berprestasi dihukum dengan
ditugaskan bekerja di daerah pedalaman/ terpencil (baca:
kampung-kampung penduduk setempat).
4. Semakin bertambahnya jumlah penduduk setempat mengakibatkan
semakin tingginya permintaan terhadap lahan-lahan pertanian
yang relatif subur. Pengalokasian lahan-lahan sebagaimana dimaksud
tersebut bagi keperluan program transmigrasi semakin memperburuk
masalah-masalah sosial yang sudah dihadapi selama ini.
Dalam kaitan itulah di dalam Otonomi Khusus Propinsi Papua,
penempatan penduduk dari luar Papua melalui program transmigrasi
nasional harus dihentikan. Sebaliknya, orientasi penataan
kependudukan harus dialihkan ke meningkatkan kualitas kehidupan
masyarakat setempat melalui program-program resettlement yang
dilakukan secara selektif. Walaupun terkesan bahwa kepadatan
penduduk tanah Papua masih sangat rendah, tetapi sesungguhnya ada
kawasan-kawasan tertentu, misalnya di daerah pegunungan tengah, yang
kepadatan penduduknya sudah relatif tinggi -- terutama apabila
dibandingkan dengan ketersediaan sumberdaya lahan untuk meningkatkan
kehidupan mereka menjadi layak. Artinya, kalaupun `transmigrasi'
ingin dilanjutkan, maka `transmigrasi' yang dimaksud haruslah dalam
rangka penataan kepadatan penduduk di dalam Propinsi Papua sendiri.
Selain transmigrasi yang merupakan program migrasi masuk yang
disponsori oleh pemerintah, migrasi spontan yang berasal dari luar
tanah Papua juga menjadi sumber masalah sosial yang tidak kalah
penting. Contoh yang nyata adalah perkembangan penduduk di
kota Timika. Pada saat PT Freeport mulai beroperasi pada awal
1970-an, diperkirakan penduduk kawasan ini tidak melebihi 1.000
orang yang hampir semuanya adalah penduduk asli. Sekarang ini
diperkirakan penduduk Timika berjumlah lebih dari 100.000 orang --
sebagian besar di antaranya adalah para migran yang berasal dari
berbagai tempat di Indonesia, di samping kaum migran dari
lokasi-lokasi lain di tanah Papua.
Akibatnya adalah penduduk asli kawasan Timika, yaitu orang Amungme
dan Kamoro, termarginalisasi dalam berbagai pembangunan sosial dan
ekonomi. Dalam kaitan itulah maka dalam Otonomi Khusus,
Propinsi Papua memberlakukan secara sistematis dan bermartabat
upaya-upaya pembatasan penduduk yang berasal dari luar tanah Papua.
Pemerintah Propinsi berkewajiban melakukan pembinaan, pengawasan,
dan pengendalian terhadap pertumbuhan penduduk di Propinsi Papua.
Hal ini dilakukan terkait dengan kebijakan tindakan afirmatif, yang
dalam bidang kependudukan dilakukan dalam bentuk pengendalian
migrasi masuk ke propinsi Papua dengan memperhatikan prinsip-prinsip
berikut ini:
(1) diberikan prioritas kepada para pemilik modal yang bermaksud
menanamkan modalnya secara nyata di tanah Papua;
(2) mereka yang memiliki keahlian/ketrampilan khusus yang diperlukan
di Propinsi Papua;
(3) para relawan profesional yang mendukung kegiatan pembangunan;
dan
(4) mereka yang bermigrasi masuk karena alasan-alasan kemanusiaan
yang jelas.
Prinsip-prinsip yang diuraikan di atas akan ikut mewarnai
pembangunan bidang ketenagakerjaan di tanah Papua di dalam era
Otonomi Khusus. Prinsip dasar yang dianut adalah adanya suatu
kehendak politik pemerintah dan rakyat bahwa setiap penduduk tanah
Papua, baik orang-orang asli maupun pendatang, mempunyai hak yang
sama atas pekerjaan yang layak berdasarkan pilihan secara sukarela.
Dalam pada itu, dengan memperhatikan kondisi nyata di masyarakat,
maka orang-orang Papua asli berhak memperoleh kesempatan dan
diutamakan untuk memperoleh pekerjaan dalam semua bidang berdasarkan
pendidikan dan keahliannya. Hal ini penting karena selama ini
(lebih dari 35 tahun) upaya pemberdayaan orang-orang asli Papua
untuk menduduki posisi-posisi pimpinan dan eselon atas dalam
instansi pemerintah maupun swasta masih belum dilakukan secara
serius dan terencana. Di lingkungan Pemerintah Propinsi
Irian Jaya, misalnya, hanya 35 persen orang asli Papua yang
menduduki jabatan Eselon II.
Keadaan pada Eselon III lebih parah lagi, karena hanya 26 persen
orang asli Papua yang menduduki jabatan-jabatan pada eselon tersebut.
Keadaan ini pun dijumpai di semua kabupaten/kota dan
perusahaan-perusahaan swasta.
3.2.10
Pembangunan Berkelanjutan dan Lingkungan Hidup
Salah satu modal dasar penting bagi pelaksanaan pembangunan di tanah
Papua adalah ketersediaan sumberdaya alamnya.
Sumberdaya-sumberdaya alam tersebut (pertambangan umum, minyak dan
gas, kehutanan, dan perikanan laut) bersifat tidak terbaharukan atau
walaupun bersifat terbaharukan namun dalam praktek di banyak negara
berkembang ternyata tidak terbaharukan. Karena Otonomi Khusus
ilakukan bukan hanya untuk generasi Papua masa kini tetapi juga
generasi Papua di masa datang, maka pendekatan pembangunan yang
dilakukan, dan menjadi salah satu tema utama Rancangan Undang-undang
Otonomi Khusus, adalah Pembangunan Berkelanjutan.
Yang dimaksud dengan pembangunan berkelanjutan di tanah Papua adalah
suatu upaya sistematis dan terencana yang dilakukan oleh rakyat dan
pemerintah Propinsi Papua agar di dalam menjalankan usaha-usaha
pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat Papua di masa sekarang
tidak mengkompromikan dan mengurangi hak-hak generasi Papua di
masa datang untuk juga menikmati mutu kehidupan yang baik secara
berkesinambungan. Salah satu pendekatan yang dapat
ditempuh adalah dengan secara tetap menyisihkan sebagian dana yang
diperoleh dari hasil eksploitasi sumberdaya alam dalam bentuk Dana
Abadi yang bunganya dapat digunakan untuk membiayai
kegiatan-kegiatan pembangunan di masa datang -- terutama ketika
sumberdaya alam tersebut sudah tidak dapat dimanfaatkan lagi .
Pembangunan berkelanjutan dan lingkungan hidup yang lestari
merupakan dua sisi dari mata uang yang sama. Kedua hal itu
ingin dicapai dalam era Otonomi Khusus Papua secara bersama-sama
pula.
Pengolahan sumberdaya alam yang dilakukan secara serampangan sangat
berpotensi untuk merusak lingkungan hidup.
Sebaliknya, apabila lingkungan hidup dilestarikan dengan baik
dapat menjadi sumber-sumber ekonomi penting yang sustainable
dibandingkan dengan kegiatan-kegiatan ekonomi ekstraktif. Dalam
kaitan itulah ditetapkan dalam Rancangan Undang-undang Otonomi
Khusus Papua bahwa pembangunan di Propinsi Papua dilakukan dengan
berpedoman pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan,
pelestarian lingkungan hidup, manfaat, dan keadilan dengan
memperhatikan rencana tata ruang.
Pemerintah Propinsi memiliki kewajiban untuk mengelola dan
memanfaatkan lingkungan hidup untuk sebesar-besarnya kesejahteraan
penduduk dengan tetap mengakui hak milik dan hak adat masyarakat
setempat. Lebih daripada itu, Pemerintah Propinsi berkewajiban
untuk melindungi keanekaragaman hayati dan proses-proses ekologi
penting dengan menetapkan dan menjaga kawasan-kawasan lindung.
Keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan
dan upaya-upaya pelestarian lingkungan hidup memperoleh perhatian
yang penting dalam Undang-undang Otonomi Khusus Papua.
Keterlibatan masyarakat tersebut (termasuk dalam bentuk keterlibatan
lembaga-lembaga swadaya masyarakat) bersifat komplementer dan saling
melengkapi dengan usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah.
3.2.11
Pendidikan dan Kebudayaan
Suksesnya pelaksanaan Otonomi Khusus Propinsi Papua sangat
ditentukan oleh mutu sumberdaya manusia (SDM) Papua. Salah
satu faktor penentu terpenting SDM yang bermutu tersebut adalah
tingkat dan kualitas pendidikan penduduknya.
Upaya-upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah selama ini dalam
bidang pendidikan, walaupun telah menunjukkan hasil, masih lebih
menonjol pada hal-hal yang bersifat fisik-kuantitatif.
Bertambahnya jumlah sekolah-sekolah dasar di desa-desa,
sekolah lanjutan tingkat pertama di ibu-ibukota kecamatan, dan
sekolah menengah umum dan kejuruan di ibukota-ibukota kabupaten dan
sebagian kecamatan masih belum secara signifikan meningkatkan mutu
pendidikan itu sendiri. Tabel 2 memberikan gambaran mengenai hal
tersebut.
Tabel
2 Rata-rata dan Jangkauan Nilai Ebtanas Murni (NEM) MIPA, PPKN,
Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris Lulusan SMU Papua yang Memilih
Faperta Uncen sebagai Tempat Melaksanakan Pendidikan Tinggi, tahun
ajaran 1999/2000
Persentase (%) Siswa berdasarkan Perolehan Nilai Ebtanas Murni
Menurut
Mata Ajaran
Selang
NEM
|
Fisika
|
Biologi
|
Kimia
|
Mtmtika
|
PPKN
|
B.Ind
|
B.Ing
|
0.0
– 0.99
|
0.00
|
0.00
|
0.00
|
0.00
|
0.00
|
0.00
|
0.33
|
1.0
– 1.99
|
5.63
|
0.00
|
4.30
|
2.65
|
0.00
|
0.00
|
5.96
|
2.1
– 2.99
|
22.85
|
12.25
|
14.90
|
14.57
|
0.00
|
1.32
|
20.86
|
3.0
– 3.99
|
35.10
|
27.48
|
27.81
|
40.07
|
4.97
|
8.61
|
30.46
|
4.0
– 4.99
|
20.86
|
30.79
|
24.83
|
27.48
|
20.86
|
25.50
|
24.83
|
5.0
– 5.99
|
13.25
|
17.55
|
17.55
|
9.27
|
29.14
|
33.11
|
12.58
|
6.0
– 6.99
|
1.66
|
10.93
|
7.95
|
3.64
|
32.45
|
24.17
|
4.30
|
7.0
– 7.99
|
0.66
|
0.99
|
1.99
|
2.32
|
10.60
|
6.62
|
0.33
|
8.0
– 8.99
|
0.00
|
0.00
|
0.66
|
0.00
|
1.66
|
0.33
|
0.33
|
9.0
– 10.00
|
0.00
|
0.00
|
0.00
|
0.00
|
0.33
|
0.33
|
0.00
|
Terendah
|
1.10
|
2.00
|
1.25
|
3.00
|
2.50
|
2.50
|
0.80
|
Rata-rata
|
3.6
|
4.31
|
4.15
|
3.86
|
5.73
|
5.36
|
3.74
|
Tertinggi
|
7
|
7.67
|
8.75
|
7.75
|
9
|
9
|
8.4
|
Sumber:
Sub. Bag. Pendidikan Faperta Uncen
|
Perlu
dijelaskan bahwa data pada Tabel 2 bukanlah data yang `baik’ –
dalam arti informasi yang disajikan tersebut masih belum
menggambarkan keadaan penguasaan MIPA peserta didik di Papua secara
eseluruhan.
Data tersebut diolah dari hasil NEM 302 siswa lulusan SMU/SMK
Papua yang melewati seleksi untuk menjadi mahasiswa Pertanian (Faperta)
Universitas Cenderawasih (Uncen) Manokwari – satu-satunya fakultas
eksakta yang dimiliki oleh Uncen.
Mereka ini adalah the tip of the iceberg. Mereka yang
tidak berhasil lulus seleksi hampir bisa dipastikan NEM-nya
lebih rendah dari yang dikemukakan dalam Tabel 2 tersebut..
Salah
satu faktor lain timpangnya pelaksanaan pendidikan di tanah
Papua, khususnya bidang pendidikan dasar dan menengah adalah
lemahnya kemampuan yayasan-yayasan penyelenggaraan pendidikan,
terutama sejak dicabutnya kebijakan LOSO dan MOSO pada tahun
1970-an oleh pemerintah. Padahal, yayasan-yayasan tersebut
telah berkarya di tanah Papua sejak tahun 1950-an dan memiliki
dedikasi yang tinggi untuk menyelenggarakan pendidikan sampai ke
daerah-daerah terpencil. Dicabutnya kebijakan LOSO dan MOSO
ini mengakibatkan sumberdaya penyelenggaraan pendidikan hanya
dinikmati oleh sekolah-sekolah negeri. Dalam pada itu,
dedikasi tinggi para tenaga pendidik di sekolah-sekolah milik
yayasan di daerah terpencil Papua, ternyata jarang
dimiliki oleh guru-guru pemerintah.
Itu sebabnya dalam era Otonomi Khusus Propinsi Papua, pendidikan
diletakkan pada posisi yang sangat strategis. Akses ke
pendidikan yang bermutu sampai ke tingkat Sekolah Lanjutan merupakan
hak setiap penduduk Propinsi Papua.
Pemerintah Propinsi Papua bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan
pendidikan pada semua jenjang, jalur dan jenis pendidikan.
Selain itu, dalam mengembangkan pendidikan, pemerintah propinsi
memberikan peranan sebesar-besarnya kepada lembaga keagamaan,
lembaga swadaya masyarakat, dan dunia usaha yang memenuhi
syarat untuk menyelenggarakan pendidikan yang bermutu disertai
dengan dukungan pembiayaan.
Selain pendidikan, perlindungan dan pengembangan kebudayaan asli
Papua pun – termasuk di dalamnya semua cabang kesenian --
memperoleh perhatian penting dalam Rancangan Undang-undang Otonomi
Khusus Papua. Perlindungan kebudayaan ini penting karena
masyarakat Papua yang modern dan maju harus tetap memiliki jati
dirinya sendiri. Dalam kaitan itulah Rancangan Undang-undang
Otonomi Khusus Papua mengatur bahwa pemerintah propinsi wajib
melindungi, membina dan mengembangkan kebudayaan asli Papua.
Tanggung jawab itu perlu dilakukan dengan memberikan peranan
sebesar-besarnya kepada lembaga swadaya Masyarakat yang
memenuhi persyaratan yang disertai dengan pemberikan dukungan
pembiayaan.
Aspek penting kebudayaan Papua adalah kekayaan bahasa-bahasa asli
Papua. Bahasa-bahasa asli di Propinsi Papua, ditambah
dengan bahasa-bahasa asli di Papua New Guinea, menjadikan pulau
raksasa ini (seluruh New Guinea) adalah satu-satunya wilayah
yang memiliki keragaman bahasa terbesar di dunia.
Kekayaan kebudayaan dalam bidang kebahasaan ini harus memperoleh
apresiasi yang layak dalam Rancangan Undang-undang Otonomi Khusus
Papua. Oleh karena itu, di dalam Rancangan Undang-undang
tersebut diatur bahwa Pemerintah Propinsi berkewajiban membina,
mengembangkan, dan melestarikan keragaman bahasa dan
sastra propinsi Papua guna mempertahankan dan memantapkan jatidiri
orang Papua. Selain itu, apresiasi dimaksud juga ditunjukkan
dengan terbukanya kesempatan untuk menggunakan bahasa daerah sebagai
bahasa pengantar di jenjang pendidikan dasar sesuai dengan kebutuhan
setempat.
3.2.12
Kesehatan dan Gizi
Rendahnya mutu indikator-indikator kependudukan orang-orang asli
Papua sesungguhnya merupakan refleksi dari rendahnya mutu
kesehatan dan gizi penduduk Papua, terutama orang-orang asli Papua.
Keadaan ini menentukan mutu SDM Papua pada umumnya. Oleh
karena itu, sebagaimana pendidikan, akses ke pelayanan
kesehatan yang bermutu merupakan hak seluruh penduduk Papua.
Hal tersebut terefleksi secara jelas dalam Rancangan Undang-undang
Otonomi Khusus yang mengatur bahwa pemerintah Propinsi berkewajiban
menetapkan standar mutu dan memberikan pelayanan kesehatan bermutu
bagi penduduk. Pemeritah propinsi juga berkewajiban untuk mencegah
dan menanggulangi penyakit-penyakit endemis dan/atau
penyakit-penyakit yang membahayakan kelangsungan hidup penduduk.
Untuk menjamin bahwa pelayanan kesehatan bermutu itu dapat dinikmati
oleh seluruh penduduk Papua, termasuk mereka yang berada di
daerah-daerah terpencil, ditempuh dua pendekatan: (1) setiap
penduduk Papua berhak memperoleh pelayanan kesehatan bermutu
dengan beban biaya serendah-rendahnya; dan (2) peranan
penyelenggaraan pelayanan kesehatan diberikan sebesar-besarnya
kepada lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat dan dunia usaha
yang memenuhi persyaratan.
Hal yang sama berlaku pula untuk program-program perbaikan dan
peningkatan gizi penduduk Papua. Pelayanan dan peningkatan
gizi ini terutama diarahkan untuk memenuhi kebutuhan gizi
kelompok-kelompok rawan gizi seperti ibu-ibu hamil dan balita --
terutama mereka yang berasal dari golongan kurang mampu/ekonomi
lemah. Pada saat yang sama, program-program pemberian
makanan tambahan bagi anak-anak yang mengikuti pendidikan dasar pun
perlu semakin ditingkatkan.
3.2.13
Sosial
Pembangunan dapat mensejaterahkan rakyat, tetapi juga dapat membawa
dampak yang mengakibatkan penderitaan, kemiskinan dan ketidakadilan
sosial --termasuk mengabaikan pihak-pihak tertentu. Adalah suatu
kenyataan bahwa tidak setiap orang diciptakan sama dalam hal
kemampuan fisik. Selain itu, ada anggota masyarakat yang
beruntung, tetapi ada pula yang tidak beruntung.
Sebagaimana pada semua kelompok masyarakat di dunia, penduduk
propinsi Papua pun terdiri dari sejumlah kecil orang yang tidak/kurang
mampu menolong diri sendiri yaitu anak-anak yatim piatu, orang
lanjut usia yang memerlukan, kaum cacat fisik dan mental yang
membutuhkan pertolongan lain dan para korban bencana alam.
Mereka yang kurang beruntung ini memiliki hak untuk memperoleh
santunan yang memadai sesuai dengan peraturan yang berlaku agar
mereka tetap dapat hidup layak. Dalam pada itu, partisipasi
lembaga-lembaga kemasyarakatan/swasta untuk ikut serta membangun
kesetiakawanan social masyarakat Papua pun diberikan tempat yang
seluas-luasnya dalam Otonomi Khusus Papua.
Salah satu aspek pembangunan sosial yang penting dan khas Papua
adalah terkait dengan pengembangan kesejahteraan masyarakat
suku-suku terasing yang bermukim di daerah-daerah yang terisolasi
dan terpencil. Mereka ini memiliki semua hak, sebagaimana
seluruh penduduk Papua yang lain, untuk menikmati semua bentuk
pelayanan pembangunan. Walaupun begitu, pada saat yang sama
disadari bahwa pembangunan kelompok masyarakat ini harus dilakukan
dengan hati-hati.
Telah banyak contoh di bagian dunia yang lain bahwa penanganan
suku-suku terasing oleh pemerintah secara serampangan dapat
mengakibatkan merosotnya mutu kehidupan mereka.
3.2.14
Keagamaan
Manusia adalah makhluk religius -- artinya sebagai mahluk ciptaan
Tuhan manusia dilengkapi dengan sarana komunikasi dengan penciptanya.
Sarana tersebut adalah hati nurani manusia yang bebas.
Kebebasan itu merupakan hak yang paling asasi karena kebebasan suara
hati nurani itu menuntut agar manusia tidak dipaksa untuk
bertindak melawan suara hati nurani itu sendiri. Salah satu
realisasi terpenting dari kebebasan suara hati nurani adalah
kebebasan beragama. Dalam kebebasan seperti ini – yang harus
dijalankan secara bertanggung jawab – setiap orang berhak untuk
menentukan sendiri bagaimana ia beragama; ia juga berhak untuk hidup
sesuai dengan keyakinan agamanya; ia juga berhak untuk
mengkomunasikan agamanya kepada orang lain sepanjang orang itu
bersedia tanpa paksaan menerima komunikasi itu; ia juga berhak untuk
meninggalkan agamanya dan memeluk agama baru yang diyakininya;
bahkan ia pun berhak untuk tidak didiskriminasi karena agama atau
keyakinannya.
Di dalam Otonomi Khusus Papua, dengan berpedoman pada hak-hak asasi
manusia universal, setiap penduduk Papua dijamin hak dan
kebebasannya untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing.
Hal ini merupakan tindakan sadar yang diambil oleh generasi Papua
masa kini untuk terus melanjutkan dan mempraktekkan nilai-nilai
kerukunan antar umat beragama yang telah dipraktekkan oleh
orang-orang Papua dari generasi ke generasi sejak ratusan tahun lalu.
Agar hak dan kebebasan untuk memeluk agama dan kepercayaan itu dapat
dilaksanakan dengan baik, maka baik masyarakat maupun pemerintah
memiliki seperangkat tanggung jawab. Tanggung jawab masyarakat
diwujudkan dengan memenuhi kewajiban untuk menghormati nilai-nilai
agama, menghormati kerukuran antar umat beragama, serta mencegah
setiap upaya yang dilakukan baik dari dalam masyarakat itu sendiri
maupun dari luar yang bertujuan untuk memecah belah persatuan dan
kesatuan dalam masyarakat di Propinsi Papua.
Dalam pada itu, agar tercipta suasana yang kondusif bagi pembangunan
keagamaan di Papua, pemerintah propinsi berkewajiban untuk:
(1) menjamin kebebasan, membina kerukunan dan melindungi semua umat
beragama di tanah Papua untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama
dan kepercayaan yang dianutnya;
(2) menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh umat beragama;
(3) mengakui otonomi lembaga keagamaan; (4) memberikan dukungan
kepada setiap lembaga keagamaan secara proporsional berdasarkan
jumlah umat dan tidak bersifat mengikat.
3.2.15
Peradilan, Kejaksaan dan Kepolisian
Peradilan, kejaksaan dan kepolisian adalah perangkat penegakan hukum
dalam rangka terpenuhinya rasa keadilan masyarakat Papua, di samping
dimilikinya produk-produk hukum yang berpihak pada rakyat dan
keadilan, berfungsinya badan-badan advokasi yang memberikan
pelayanan hukum, dan adanya komitmen seluruh aparat dan rakyat
untuk patuh pada hukum dan menempatkan hukum pada posisi yang
sebenarnya. Propinsi Papua yang sejahtera di dalam status
Otonomi Khusus hanya dapat dicapai oleh berfungsinya secara baik
semua sarana dan prasarana hukum -- termasuk dengan dimilikinya
semua sistem peradilan, kejaksanaan dan kepolisian.
Ketiga unsur penegakan hukum ini memperoleh perhatian yang penting
dalam Rancangan Undang-undang Otonomi Khusus Propinsi Papua karena
kecuali Peradilan Kasasi, semua aspek penegakan hukum lainnya,
sebagaimana yang dimaksud di atas, menjadi urusan dan kewenangan
Pemerintahan Propinsi Papua dan diatur dalam Peraturan
Propinsi.
3.2.15.1
Peradilan
Peradilan
di wilayah hukum Propinsi Papua adalah peradilan yang bebas dan
merdeka, dan dilaksanakan oleh Badan Peradilan Negara yang terdiri
dari Badan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha
Negara dan
Peradilan
Hak-hak Asasi Manusia, serta Peradilan Adat. Adanya Peradilan
Adat merupakan salah satu kekhususan Propinsi Papua di dalam status
Otonomi Khusus dan sekaligus merupakan pengakuan tentang pentingnya
peradilan adat untuk menyelesaikan berbagai masalah masyarakat hukum
adat yang apabila diselesaikan oleh peradilan negara justru
tidak akan memenuhi rasa keadilan masyarakat .
Dalam kaitan itu, maka selanjutnya sistem peradilan di Propinsi
Papua di dalam status otonomi khusus diatur menurut prinsip-prinsip
sebagai berikut:
-
Peradilan
Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha Negara
memiliki kewenangan memeriksa dan mengadili perkara-perkara
sebagaimana diatur menurut perundang-undangan yang berlaku;
-
Badan
Peradilan Hak-hak Asasi Manusia memiliki kewenangan memeriksa
dan mengadili perkara-perkara pelanggaran hak-hak asasi manusia;
-
Peradilan
Adat memiliki kewenangan memeriksa dan mengadili perkara dan
atau sengketa menurut hukum adat dari pihak yang menjadi korban
dan/atau dirugikan;
-
Perkara
atau sengketa yang telah mendapatkan putusan dari Peradilan Adat
tidak dapat diajukan untuk diadili oleh Badan Peradilan Negara
sepanjang tidak melanggar hak-hak asasi manusia.
3.2.15.2
Kepolisian dan Kejaksaan
Fungsi
kepolisian adalah untuk menciptakan keamanan dan ketertiban di
masyarakat dan bertugas untuk melakukan penyidikan tindak pidana
yang dilakukan seseorang. Selain menguasai dengan baik
berbagai produk hukum, prinsip-prinsi penghormatan hak-hak
asasi manusia dan semua aspek teknis kepolisian, agar dapat
menciptakan keamanan dan ketertiban di tengah-tengah masyarakat
Papua, maka semua unsur kepolisian yang bertugas di Papua haruslah
menguasai dengan baik adat-istiadat dan kebudayaan Papua.
Karena itulah perlu dibentuk Kepolisian Propinsi Papua yang
berada di bawah wewenang dan bertanggung jawab kepada Gubernur
Propinsi Papua. Hubungan Kepolisian Propinsi Papua dengan
Kepolisian Republik Indonesia bersifat koordinatif melalui
Gubernur yang adalah penanggungjawab tunggal keamanan di Propinsi
Papua.
Setelah melakukan tugasnya sebagai penyidik, polisi menyerahkan
berkas perkara seluruhnya kepada kejaksaan untuk dilakukan
penuntutan oleh Jaksa.
Dalam
melakukan tugasnya, Jaksa memeriksa kembali berkas perkara yang
diajukan Polisi, dan apabila berkas perkara dianggap lengkap maka
Jaksa membuat Surat Dakwaan yang selanjutnya perkara dapat
dilimpahkan ke pengadilan untuk disidangkan. Untuk perkara
pidana khusus tertentu, Jaksa dapat juga bertindak sebagai
penyidik.
3.2.16
Pengawasan
Pemerintahan di Propinsi Papua yang baik, bersih, berwibawa,
transparan dan bertanggung jawab hanya dapat diwujudkan dengan
dimilikinya suatu system pengawasan yang operasional.
Pengawasan seperti ini harus melibatkan semua dimensi penting dalam
kehidupan masyarakat, yaitu pengawasan hukum, pengawasan
politik dan pengawasan sosial.
Pengawasan hukum dilakukan oleh badan-badan penegak hukum.
Pengawasan politik dilakukan oleh lembaga-lembga politik,
sementara pengawasan sosial dilakukan oleh masyarakat.
Pengawasan oleh masyarakat termasuk dilakukan oleh lembaga-lembaga
kemasyarakatan.
3.2.17
Kerjasama antar Propinsi dan Luar Negeri
Walaupun memiliki status Otonomi Khusus, untuk meningkatkan
kesejahteraannya Propinsi Papua tetap harus mempertahankan dan
membina hubungannya dengan daerah-daerah lain di Indonesia, bahkan
negara-negara di dunia.
Hubungan dimaksud terutama dalam bidang-bidang perdagangan dan
alih ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang dilakukan dalam suatu
posisi setara, saling menghargai dan tidak saling mengeksploitasi.
Dalam kaitan itulah pemberian status Otonomi Khusus kepada Propinsi
Papua tidak hanya akan memberikan kesejahteraan kepada rakyat Papua,
tetapi juga bagi daerah-daerah lain di sekitarnya, bahkan seluruh
daerah di Indonesia.
Meningkatnya kesejahteraan masyarakat Papua berarti meningkatnya
daya beli mereka. Semakin membaiknya sarana dan prasarana
pembangunan di tanah Papua akan menciptakan suasana yang lebih
kondusif bagi pengusaha-pengusaha dari berbagai daerah di tanah air
untuk menanamkan modalnya di Papua.
Selain itu, dimilikinya fasilitas pelabuhan ekspor di Papua akan
memberikan lebih banyak akses bagi daerah-daerah di Kawasan Timur
Indonesia untuk menjangkau pasar luar negeri dengan biaya yang lebih
murah -- terutama pasar di negara-negara yang terletak di kawasan
Pasifik Barat dan Selatan.
Selain hubungan antar daerah, menurut Rancangan Undang-undang
Otonomi Khusus Propinsi Papua, pemerintah Propinsi memiliki
kewenangan untuk melakukan hubungan-hubungan perekonomian, sosial
dan kebudayaan dengan berbagai negara di dunia dalam rangka
memperkuat kualitas kehidupan rakyat Papua.
Untuk meningkatkan efektivitas kerjasama tersebut, pemerintah
propinsi Papua dapat membuka kantor-kantor penghubung di
negara-negara dimaksud, misalnya dalam bentuk Desk Propinsi Papua
pada Kedutaan Besar Republik Indonesia di manca negara.
Kerjasama dengan negara-negara ini sudah barang tentu harus
dilakukan dengan tidak mengorbankan kepentingan Republik Indonesia.
4
P e n u t u p
Muatan Rancangan Undang-undang Otonomi Khusus Papua pada hakikatnya
merupakan pengejawantahan aspirasi rakyat Papua. Rancangan
Undang-undang ini dimaksudkan untuk memberi landasan yuridis formal
terhadap tata kehidupan rakyat Papua dalam berbangsa dan bernegara
secara berkeadilan dan bermartabat.
Keberadaan Propinsi Papua sebagai bagian dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia harus dapat memberi manfaat yang sebesar-besarnya
bagi kesejahteraan rakyat Papua. Kondisi ini akan
menumbuhkembangkan kepercayaan rakyat Papua kepada pemerintah dan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kepercayaan dimaksud
merupakan prasyarat bagi tumbuh dan berkembangnya dukungan dan
komitmen rakyat Papua akan keutuhan bangsa dan negara. Dalam
konteks itulah maka Rancangan Undang-undang Otonomi Khusus Papua
memiliki nilai strategis, bahkan adalah sarana penting untuk
mengantar rakyat Papua menuju Papua Baru.
Rancangan Undang-undang Otonomi Khusus Propinsi Papua yang terdiri
dari 23 Bab dan 76 Pasal dikembangkan oleh para intelektual Papua
dan disahkan oleh DPR Propinsi Papua setelah melalui suatu proses
panjang penjaringan aspirasi masyarakat di semua kabupaten/kota dan
diakhiri dengan suatu Forum Kajian di ibukota Propinsi (Jayapura)
pada tanggal 28 dan 29 Maret 2001.
Dari segi itu, maka Rancangan Undang-undang tersebut harus memiliki
nilai tersendiri bagi pemerintah pusat dan DPR RI -- karena ini
mungkin pertama kalinya di Republik Indonesia suatu rancangan
undang-undang dibuat sendiri oleh rakyat secara partisipatif
dan demokratis. Selain itu, Rancangan Undang-undang Otonomi
Khusus Propinsi Papua usulan Rakyat Papua seyogyanya diterima
dengan tangan terbuka oleh pemerintah pusat dan DPR RI karena
mengandung aspirasi rakyat Papua untuk mengejar ketertinggalan di
berbagai bidang kehidupan, tekad untuk memperoleh kembali hak-haknya,
komitmen untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya, dan suatu
upaya keras untuk membangun kesetaraan di dalam wadah Republik
Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Direktorat
Organisasi Internasional Departemen Luar Negeri. 1998.
Sejarah Kembalinya Irian Jaya ke Pangkuan Republik Indonesia.
Jakarta.
Hamid,
Z. 1996. Politik di Melanesia. Jakarta: Dunia
Pustaka Jaya
.
Kamma,
F.C. (1994). Ajaib di Mata Kita: Masalah Komunikasi
antara Timur dan Barat Dilihat Dari Sudut Pengalaman Selama
Seabad Pekabaran Injil di Irian Jaya. Volume III.
Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.
Kartika,
S. dan Gautama, C. 1999. Menggugat Posisi Masyarakat
Adat Terhadap Negara. Jakarta: Panitia Bersama Sarasehan
dan Konggres Masyarakat Adat Nusantara dengan Lembaga Studi
Pers dan Pembangunan.
Kareth,
F. 1999a. Perjalanan Integrasi Wilayah Irian Barat ke
Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (Suatu Tinjauan dari
Aspek Yuridis). Makalah Disampaikan pada Seminar Gereja dan
Masyarakat bagi Rekonsiliasi dan Perdamaian di Irian Jaya, Jayapura,
27-29 April 1999.
Kareth,
F. 1999b. Hak Penentuan Nasib Sendiri Suatu Bangsa dalam
Kerangka Fungsi Hukum dalam Hubungan Antar Negara. Bandung:
Program Pasca Sarjana Jurusan Hukum Internasional Universitas
Pajajaran.
Lung-Chu
Chen. 1979. Human Rights and World Order. Resume
des Cours, Dixieme Session d’Enseigment, France.
Manan,
B. 1994. Hubungan antara Pusat dan Daerah menurut
Undang-undang Dasar 1945. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Mansoben,
J.R. 1995. Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya.
Jakarta: LIPI-RUL
Mansoben,
J.R. 1999. Arti Sebuah Nama: Papua, New Guinea, atau
Irian Jaya. Jayapura: Lembaga Penelitian Universitas
Cenderawasih.
Mubyarto.
2000. `Otonomi Daerah dan Ekonomi Kerakyatan’. dalam
Simorangkir et al (editor) Otonomi atau Federalisme: Dampaknya
terhadap Perekonomian. Jakarta: Harian Umum Suara
Pembaruan.
Muladi.
1985. Lembaga Pidana Bersyarat sebagai Faktor Yang
Mempengaruhi Proses Hukum Pidana yang Berperikemanusiaan.
Bandung: Penerbit Alumni.
Pemerintah
Daerah Propinsi Irian Barat. 1972. Penentuan pendapat
Rakyat (PEPERA) di Irian Barat 1969. Jayapura.
Pusat
Studi Kependudukan Uncen. 2001. Indikator-indikator
Kependudukan Propinsi Papua. Mimeograf. Jayapura.
Saltford,
John. 2001. United Nations Involvement with the Act of
Self-Determination in West Irian (Indonesian West New Guinea) 1968
to 1969. Di-download dari http://www.koteka.net/un6869.htm
pada tanggal 15 April
2001.
Sarundajang,
1999. Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Jakarta:
Sinar Harapan.
Saragih,
B. R. 1985. Sistem Pemerintahan dan Lembaga
Perwakilan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Perintis Press.
Solossa,
M. 1995. Ekstensi Hak Ulayat atas Tanah di Irian Jaya
Setelah Berlakunya Undang-undang Pokok Agraria. Tesis Pasca
Sarjana. Ujung Pandang: Universitas Hasanuddin.
Solossa,
M. 2000. Hak Asasi Manusia dan Kebijaksanaan Pertanahan
Nasional. Makalah disajikan dalam Pelatihan untuk Masyarakat
Kamoro dan Amungme di Timika, kerjasama Fakultas Hukum Universitas
Cenderawasih dan PT Freeport Indonesia.
Sumule,
A.I., Sombuk, M., dan Warinussy, Y.C. 2000. `Menggugat
Keabsahan Pepera 1969: Kasus Kab. Manokwari’. dalam
Menggugat Keabsahan Pepera 1969: Kasus Kab. Manokwari (Benarkah
Bangsa Papua telah Diberikan Kesempatan yang Adil Untuk Menentukan
Nasibnya Sendiri?). Manokwari: Panitia Safari Pepera
Kabupaten Manokwari.
Sumule,
A. I. 1994. The Technology Adoption Behaviour of the
Indigenous People of Irian Jaya: A Case of Arfak Tribals.
Disertasi Ph.D. St. Lucia: University of Queensland
Suseno,
F.M. 1991. Etika Politik. Jakarta: Penerbit
Gramedia.
|