 |
4 |
Is Papua autonomy a myth ?,
by
Neles Tebay, Pontifical, University of Urbaniana, Rome, The Jakarta Post
August 21, 2003 |
4 |
Indonesian
tribe is still battling rulers after 37 years, THE
ASSOCIATED PRESS,
By DANIEL COONEY, JAYAPURA, Thursday, October 26, 2000 |
4 |
Early Day Motion by Jeremy
Corbyn, British Labour MP on West Papua Political Issue |
4 |
Indonesian
tribe is still battling rulers after 37 years,
26 October 2000 |
4 |
In Focus:
Papua: Another East Timor?, |
4 |
Opinion: A History of Contempt for
Irian Jaya, By John Saltford International Herald Tribune, Tuesday,
July 4, 2000 |
4 |
BolsheviK
Syndrome |
4 |
Editorial and Opinion: The UN's
former role in Irian Jaya, (By John Saltford) Jakarta Post
February 08, 2000 |
4 |
The
Diary of OPM Editorial Notes |
|
|
KCM, Senin, 02 Juni 2003
Mendekonstruksi Makna Merdeka
KATA "merdeka" menjadi seperti kata kunci yang dilontarkan tokoh Papua, Tom
Beanal, ketika mengantar Konferensi Solidaritas Perempuan Papua Region Asia di
Jakarta tanggal 23-15 Mei lalu.
SEPERTI retorika yang selalu dia lontarkan di berbagai kesempatan, tokoh suku
Amungme yang kini menggantikan almarhum Theys Hiyo Eluay sebagai Ketua Lembaga
Musyawarah Adat (LMA) periode 2002-2007 itu kembali memaparkan penindasan dan
pembodohan yang dialami rakyat Papua seiring dengan perampasan sumber daya
alamnya yang begitu kaya.
Ini masih belum cukup. Tom Beanal yang berbicara pernah mewakili korban
pelanggaran HAM dari Papua di Komisi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk
masalah HAM tahun 1999 itu menambahkan, warga yang dicurigai sebagai anggota
Organisasi Papua Merdeka (OPM) bisa ditangkap aparat dan diperlakukan dengan
sangat buruk. Hasil-hasil pembangunan tidak dirasakan secara maksimal oleh
rakyat Papua. "Pendidikan tertinggal. Rakyat tidak diberdayakan."
"Kami dididik oleh orang Indonesia yang tak punya hati," ia melanjutkan dengan
dengan nada tegas. Kehendak masyarakat Papua untuk merdeka kemudian menjadi
tanggapan atas seluruh situasi ini. Ucapan Tom Beanal ini sempat disergah Ita F
Nadia dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)
ketika ia mendapat giliran berbicara.
"Saya kira Pak Tom melakukan generalisasi," ujar Ita dengan suara bergetar. Ita
meminta Tom Beanal mengingat dukungan para aktivis dalam perjuangan untuk
mengungkap berbagai kasus pelanggaran HAM di Papua.
"Para aktivis berjalan dari ujung ke ujung, ke wilayah-wilayah terpencil untuk
mencatat pelanggaran HAM yang terjadi. Kita hadir dalam berbagai kongres di
Papua. Semua kami lakukan atas dasar kemanusiaan. Untuk masalah kemanusiaan dan
keadilan kita harus bergandeng tangan," sambung Ita.
Papua merupakan satu dari tiga provinsi di Indonesia yang pernah menjadi wilayah
DOM (daerah operasi militer) karena di wilayah ini kelompok separatis yang
disebut sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM) beroperasi untuk memisahkan Papua
dari Indonesia. Dua provinsi lain yang pernah menjadi wilayah DOM adalah Aceh
dan Timor Timur (dulu).
Tom Beanal, mantan anggota DPRD Papua itu, pernah mengajukan tuntutan class
action sebesar 6 miliar dollar AS kepada Pengadilan Federal Lousiana, AS,
terhadap Freeport McMoran, perusahaan AS yang berkantor pusat di New Orleans,
atas berbagai pelanggaran HAM dan pencemaran lingkungan yang dilakukan
perusahaan itu sepanjang mereka beroperasi di Timika, Tembaga Pura, di wilayah
tempat bermukimnya suku Amungme.
Kata "merdeka" kemudian juga ditanggapi Willy Mandowen dari Universitas
Cendrawasih. "Yang menjadi persoalan tak cuma soal ketidakadilan, pelanggaran
HAM, dan tidak adanya rasa aman. Juga bukan soal makan. Akan tetapi, seluruh hak
dasar manusia, termasuk hak atas kesehatan reproduksi. Kalau tidak ada ruang
kebebasan, semuanya tidak akan jalan," ujar dia.
Bebas dari ketidakberdayaan karena pembangunan, bebas dari rasa dijajah dan
penindasan, menurut Willy Mandowen, tidak bisa hanya diselesaikan dengan otonomi
khusus. "Itu hanya menjawab 50 persen (persoalan). Namun, persoalan hakiki bahwa
kita punya hak untuk masa depan, tak bisa dihambat," sambung dia.
Masa depan berkaitan dengan hal yang paling krusial: pendidikan masyarakat.
Menurut Mandowen, saat ini 70 persen rakyat Papua tidak menamatkan pendidikan
dasarnya. Lebih separuh dari jumlah itu adalah perempuan. "Apa arti kemerdekaan
dan kebebasan tanpa kemampuan membaca dan menulis. Apa arti kebebasan kalau
rakyat tetap saja bodoh??" tanya Mandowen.
Mandowen mengungkapkan bagaimana modernisasi menggerus otoritas manusia. "Kita
tak sempat merefleksikannya sehingga pikiran kita makin dalam terjajah," sambung
dia.
"Ada sembilan butir Hak-hak Dasar Rakyat Papua," lanjut Mandowen. Di antaranya,
tanah, laut, udara tidak diperjual belikan; seluruh pelaku pembangunan wajib
mengakui, menghargai, dan menjamin hak-hak adat masyarakat Papua, terutama hak
hidup, hak kepemilikan, dan hak kesejahteraan adat Papua tanpa membedakan agama
dan ras.
Namun, di tengah kesibukan membakukan berbagai pranata sosial dalam bentuk
manifesto atau apa pun namanya, pertanyaannya adalah, "Siapa perempuan Papua?"
PEREMPUAN di mana pun akan mempertaruhkan identitasnya ketika terjadi
pertarungan politik di kalangan elite. "Kemerdekaan", "nasionalisme" dan segala
jargon besar dari suatu ideologi yang sering digunakan untuk mempertahankan
keutuhan suatu wilayah atau untuk tujuan sebaliknya, memperoleh maknanya yang
baru bila diteropong dari pengalaman otentik perempuan.
Pengalaman perempuan Papua adalah pengalaman yang penuh ketertindasan dari
berbagai pihak. Dengan demikian, soal-soal yang diperdebatkan di kalangan para
elite politik seperti isu merdeka menjadi tidak terlalu relevan ketika
dihadapkan pada pengalaman perempuan.
Ita yang melakukan perjalanan sekitar sebulan ke berbagai tempat di kawasan
Papua baru-baru ini melihat persoalan besar yang dihadapi perempuan Papua saat
ini adalah masalah HIV/AIDS. "HIV/AIDS merupakan pembunuh tak bersuara di
kawasan Papua," tandas Ita. Sekitar 90 persen korbannya adalah perempuan, ibu
rumah tangga. Mereka mendapat virus itu dari suaminya.
"Saya pergi ke Agats," lanjut Ita. Di tempat itu ia menyaksikan transaksi
seksual yang dilakukan para suami setelah mereka berhasil menjual kayu gaharu.
Di tempat transaksi seksual itu ia juga menyaksikan aparat. "Satu kilogram kayu
gaharu harganya Rp 1 juta. Mereka biasanya menjual tiga kilogram. Tetapi,
kemudian mereka ditawari perempuan, satu malam Rp 1 juta, dan mereka pun
menghabiskan uangnya untuk tiga malam," papar Ita lebih lanjut.
Ketika uang habis, laki-laki itu pulang. Ia tidak membawa apa-apa lagi yang
tersisa dari kayu gaharu yang dicari para perempuan di hutan. Sebaliknya, ia
membawa virus penyakit seksual menular, termasuk HIV/AIDS, untuk istrinya .
Margaretha Otaturu dari Timika yang kebetulan sedang berada di Jakarta untuk
mengikuti pelatihan masalah HIV/AIDS di lembaga swadaya masyarakat Spiritia
membenarkan penuturan Ita. "Di Timika keadaannya juga sangat memprihatinkan.
Dengan perilaku seksual seperti itu, saya khawatir HIV/AIDS akan menelan korban
sebagian penduduk Papua," ujarnya.
Di Wamena, Ita mengunjungi honai, rumah adat Papua, yang dihuni seorang suami
dengan 10 istri. "Semua perempuan itu bekerja keras. Ini tidak hanya terjadi di
satu honai, tetapi di beberapa honai," lanjut Ita. Kerasnya hidup dan kekerasan
yang dialami perempuan di wilayah ini membuat angka kematian ibu melahirkan di
wilayah ini adalah satu dari tiga yang tertinggi di Indonesia, bahkan di Asia.
Ita juga memaparkan terjadinya kekerasan berupa perkosaan dan serangan seksual
terhadap perempuan dengan adanya pos-pos militer di sepanjang Agats. "DOM memang
sudah dicabut, tetapi ada pasukan khusus yang ditempatkan di berbagai tempat,"
ujar Ita. Di Mindiptana dan Waropka, Merauke, ia melihat pos militer yang
dindingnya dihiasi foto-foto telanjang.
Di tempat-tempat seperti itu perempuan berada di posisi yang sangat buruk. "Mereka
harus melayani nafsu para serdadu itu. Kalau tidak mau mereka diancam rumahnya
akan dirusak. Tak jarang mereka juga dipukuli. Tetapi, kalau mereka terpaksa
harus mau, mereka dibuang oleh komunitasnya, juga suaminya, karena dianggap
merusak harga diri keluarga," sambung Ita. Perempuan yang hamil dari hubungan
seperti itu, anaknya tidak diakui laki-laki yang memperkosanya. Masyarakat tidak
merangkul dan meringankan penderitaannya. Sebaliknya, ia dianggap tak lebih
berharga dari sampah.
EMMY Sahertian dari Solidaritas Nasional untuk Papua (SNUB) dan Yosina Wosparik
menjelaskan prinsip patriarki yang sangat kuat dianut masyarakat Papua. "Prinsip
patriarki ini melemahkan posisi perempuan dalam keluarga dan masyarakat," ujar
Yosina. HIV/AIDS, menurut Yosina, menjadi momok yang ditakuti perempuan Papua
saat ini. Budaya patriarki menghadapkan para perempuan di baris terdepan untuk
ditulari virus itu dari para suami mereka.
"Istilah B3, bir, bar, bor, yang dimunculkan para ibu dalam pertemuan
pembentukan Solidaritas Perempuan Papua pada tahun 2000 memperlihatkan
kekhawatiran, kemarahan, dan ketakutan para istri terhadap suami yang mempunyai
kecenderungan mencari tambahan kesenangan di luar rumah. Nilai-nilai adat yang
mengatur hubungan suami-istri telah dilecehkan," sambung dia.
"Pernahkan hal serius seperti ini dibicarakan dalam suatu pertemuan politik?"
sergah Ita. Secara implisit, Ita mempertanyakan politik formal yang menegasikan
relasi kuasa dalam hubungan sehari-hari, yang sebenarnya merupakan persoalan
politik dalam konteks lebih luas.
Posisi subordinasi dari perempuan ini juga yang menyebabkan di dalam masyarakat
adat perempuan Papua tidak punya suara. "Coba kita lihat, apakah dalam
Konferensi Besar Masyarakat Adat Papua perempuan mempunyai peran? Apakah
konferensi itu memunculkan persoalan yang dialami perempuan?" tanya Ita.
Padahal, dalam berbagai persoalan konflik yang berkaitan dengan politik,
perempuan harus bersiap melindungi tubuhnya. Konflik atau kontak senjata akan
selalu menggunakan tubuh perempuan sebagai sandera, sebagai medan pertarungan
untuk melemahkan apa yang dinamakan sebagai "musuh". Dalam situasi "normal" pun,
perempuan bukan tidak terancam. Berbagai dampak kebijakan politik dan ekonomi
pertama-tama akan berimbas pada perempuan. Sampai hari ini sebagian besar
perempuan Papua tidak memperoleh akses yang cukup pada pendidikan dan pelayanan
kesehatan dasar.
"Dalam Kongres Perempuan Papua mereka minta agar ikut ambil bagian dalam
merumuskan masa depan Papua. Mereka mempunyai perspektif sendiri yang didasari
pengalaman otentik mereka sebagai perempuan," tegas Ita.
Suara perempuan Papua yang terbisukan membuat mereka tidak mempunyai akses untuk
ikut menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi. "Di Papua sebenarnya kita
mengenal beberapa perempuan tokoh yang berjuang untuk komunitasnya. Di tingkat
akar rumput ada seorang tokoh yang membantu mama-mama bersuara. Ia memfasilitasi
organisasi-organisasi di tingkat komunitas," lanjut dia.
Sosok perempuan seperti Mama Yosefa adalah contoh bagaimana perempuan harus
bergumul melawan modernisasi untuk mempertahankan hak warga atas tanah. Tanah
bagi Mama Yosefa adalah kehidupannya.
Ketika PT Freeport atas desakan masyarakat setempat "terpaksa" menyisihkan
sedikit keuntungannya sebagai bukti solidaritas dan keprihatinan terhadap
kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat Amungme dan sekitarnya, ternyata dana
itu tidak menyelesaikan persoalan yang dihadapi perempuan Amungme.
"Uang itu diberikan kepada laki-laki yang dianggap sebagai kepala keluarga,
kepala suku, atau kepala adat. Akibatnya perempuan Amungme harus mencari
alternatif pemecahan atas masalahnya sendiri," sambung Yosina Wosparik.
Yang menyedihkan, sebagian besar dari uang itu tidak digunakan untuk membangun
kembali mata pencaharian yang sudah hilang, tetapi untuk minum dan kegiatan
pelesiran lainnya yang tidak menghasilkan apa pun, kecuali penyakit, yang
kemudian ditularkan kepada istri.
MESKIPUN demikian, modernisasi juga mengubah perilaku dan pemahaman perempuan
terhadap berbagai persoalan. Konsep kebebasan dan HAM memberi inspirasi dan
dinamika baru kepada perempuan Papua untuk menggugat budaya patriarki yang
menindas.
Dari sisi teologi, Emmy Sahertian mengingatkan, pembebasan penindasan dalam
bentuk apa pun harus dimulai dari titik berangkat teologi yang benar, dan
perempuan menempati posisi kunci dalam perjuangan masyarakat Papua. Selama
laki-laki Papua masih menganggap perempuan sebagai subordinasi, maka penindasan
yang mereka lakukan terhadap perempuan akan menjadi kendala besar bagi
perjuangan untuk pembebasan itu.
Jadi, apa makna merdeka bagi perempuan Papua?
"Saya tidak tahu apa artinya merdeka," demikian rangkuman pembicaraan Ita dengan
banyak perempuan di tingkat akar rumput. Penindasan berlapis-lapis oleh negara,
adat, dan keluarga yang dialami perempuan Papua menyebabkan mereka hanya mampu
mengatakan, "Saya bahkan tidak tahu siapa saya. Saya hanya tahu bahwa saya
adalah perempuan yang menjadi korban kekerasan aparat, adat dan keluarga." (nmp/mh) |