[Up]|[Back]|[Next]

0. Kata Pengantar Tim Penulis

(Sambutan Jen. TPN PB Mathias Wenda)
Membangun sebuah negara sudah menjadi cita-cita berbagai suku-bangsa di bumi sejak muncul berbagai gelombang pembaruan dalam perikehidupan manusia muncul, berawal dengan Revolusi Terbesar dalam sejarah manusia yang dipimpin Tuhan Yesus sendiri. Tuhan Yesus nyata-nyata menantang tatakerja pemimpin dalam pemerintahan agama dan pemerintahan dunia waktu itu, yaitu pemerintahan Romawi dan Kaum Farisi. Selanjutnya revolusi itu dijalankan oleh berbagai tokoh yang pernah muncul di dunia ini, termasuk nabi Muhammad, Tokoh Utama Agama Islam, dan nabi-nabi lain Pendiri Agama dan Aliran Agama lain di dunia.

Inti pemberitaan mereka adalah pembebasan masyarakat tertindas untuk hidup, penyamarataan staus dan hak dalam hidup bermasyarakat, beragama dan bernegara.
Pesan inilah yang membakar semangat banyak tokoh yang menentang penindasan. Contoh zaman perubahan dalam sejarah kehidupan manusia membela yang tertindas dapat dilihat dengan jelas dalam era Renaissance, pemberontakan kaum buruh di Eropa (terutama Inggris) dan pemberontakan-pemberotakan lain di seluruh dunia.
Revolusi, reformasi, dan transformasi mulai dijalankan, dan kebanyakan pegangan mereka adalah ajaran agama yang menekankan kemanusiaan (humanisme), yaitu perikehidupan manusia dalam keadilan dan kebenaran.

Kalau kita melihat Pancasila, dengan jelas tergambar semangat revolusi demi kemanusiaan, khususnya dengan Sila Ketuhanan Yang Mahasa Esa menggambarkan revolusi yang dilakukan berdasarkan kuasa dan ridoh dari Tuhan sebagai Maha Pengasih dan Maha Penyanyang. Kemudian semangat itu mewarnai Sila Kedua, yaitu Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Dengan kata lain bisa dikatakan begini: Manusia yang hidup secara adil dan beradab itu bisa terwujud kalau dilandasi dengan perikehidupan yang tunduk dan taat kepada Tuhan dalam wujud kehidupan beragama. Atau tanpa agama, manusia tidak bisa mewujudkan kehidupan yang adil dan beradab. Sila terakhir dari Pancasila itu juga menyangkut kemanusiaan, yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, yang intinya masih sama, yaitu manusia harus hidup berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Ini kemungkinan latarbelakang yang mewarnai pikiran para pendiri negara Indonesia yang punya semangat dan jiwa pembebasan dari kaum kolonial.

Kalau kita menengok sejenak kepada semua pergerakan kemerdekaan di seluruh dunia, termasuk di Papua yang dipimpin oleh Operasi Papua Merdeka atau Organisasi Papua Merdeka (OPM) secara khusus, jelas terlihat bahwa di sini ada usaha pembebasan orang kaum tertindas (OPM berjuang untuk orang Papua yang tertindas) dari kolonialisme dan neo-kolonialisme atau imperialisme modern. Semboyan mereka sama dan satu: Bebas dari Kolonialisme atau Imperialisme (Barat).

Demikianlah kira-kira kebanyakan negara di zaman modern ini didirikan. Tetapi sangat ironis kalau kita melihat sejarah kehidupan berbagai negara di dunia itu setelah beberapa tahun mencapai kemerdekaannya. Contoh paling banyak dan jelas ada pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (N.K.R.I.)

Konon simbol dan semboyan Pembebasan Irian Barat, yang dikumandangkan secara resmi dalam Trikora (Tiga Komando Rakyat) itu adalah simbol perlawanan rakyat Indonesia terhadap kolonialisme Belanda di Papua dengan semboyan membebaskan Papua dari penjajahan kolonial. Banyak kali Soekarno menggunakan kata “Pembebasan Irian Barat”, bukan “Perebutan” atau “Penguasaan” atau “Aneksasi” Irian Barat. Inilah “jiwa” dari apa yang orang Papua sebut “rekonolisasi” Papua Barat oleh Indonesia.

Yang mengherankan, semua usaha pembebasan di seluruh dunia dilandasi dengan paham sosialisme atau liberalisme. Sosialisme artinya, hidup berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah, seperti yang sudah banyak kali dikumandangkan Guruh Sukarnoputra, Guntur Sukarnoputra dan Megawati Sukarnoputri di Tanah Papua waktu kampanye-kampanye Pemilu. Rupanya hanya merekalah yang tersisah di Indonesia, berbicara mengenai paham sosialisme itu.

TETAPI apa yang lebih mengherankan lagi adalah hasil dari yang mengherankan itu, yaitu kehidupan sosial dalam alam kemerdekaan, kebijakan yang diambil dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Orang-orang penganut paham sosialis itu tidak bisa sama sekali bertingkah sebagai manusia sosialis lagi kalau mereka sudah menduduki jabatan kekuasaan. Sudah jarang lagi kedengaran di mulut mereka “duduk sama tinggi, berdiri sama rendah itu.”

Ada yang bisa menjawab, barangkali karena mereka sudah tidak bisa berdiri sama tinggi lagi karena mereka sudah duduk dalam posisi pemimpinpun masih lebih tinggi daripada masyarakat yang berdiri, dan kita dudukpun mereka tidak bisa sama rendah karena mereka duduk di atas kursi jabatan mereka, sedangkan masyarakat duduk di lantai.

Pertanyaan inti tulisan ini adalah: “Mengapa para penganut paham sosialisme seperti Ir. Soekarno dan Dr. Mohammad Hatta kokh mendirikan negara Indonesia yang totaliter dan kapitalis, yang menindas dan memeras orang Papua sampai babak-belur dan habis-habisan?” Atau lebih luas lagi, “Mengapa para pemimpin revolusi seperti Soekarno, atau Lennin di Rusia dan sekarang di Timor Timur Xannana Gusmao dan Ramos Horta gagal membentuk negara yang berperikemanusiaan dan keadilan? Lebih khusus lagi, kita bertanya diri sendiri: “Apakah orang Papua mau mendirikan negara Papua, lalu menggantikan Soeharto-Indonesia dengan Soeharto-Papua?” Yang lebih khusus lagi, “Bagaimana rakyat Papua harus berjuang dan bebas dari penindasan Indonesia dan setelah itu benar-benar merdeka, bebas dari penindasan?”

Menurut hemat kami, inti persoalan dari paham dan tutur-kata yang tidak bisa terwujud dalam praktek kepemerintahan dan kehidupan berbangsa serta bernegara di Indonesia, termasuk Lennin sendiri, adalah mereka secara prinsipil gagal meletakkan Dasar-Dasar Negara secara prinsipil yang selanjutnya menentukan arah pemerintahan negara yang mereka dirikan. Tokoh-tokoh di Eropa sudah gagal, karena setelah mereka naik tahta dan mereka balik menindas rakyat yang katanya mereka bebaskan. Bahkan konon penindasan mereka lebih kejam lagi daripada penguasa yang mereka singkirkan.

Tokoh Hatta dan Soekarno membebaskan Papua dari penjajahan kolonial Belanda tetapi menggantikan dengan neo-kolonialisme Indonesia. Apakah ini memang tujuan mereka? Apakah memang benar karena mereka mau mengeruk hasil-bumi Papua dan memusnahkan manusia Papua lalu membawanya ke Jawa lalu memenuhi tanah Papua dengan orang Indonesia? Atau siapakah yang punya agenda untuk mengeksploitasi dan menguasai alam dan manusia Papua: Soekarno atau Hatta? Atau barangkali ada pihak ketiga yang ikut bermain dalam Pembebasan Irian Barat waktu itu?

Atau lebih khusus, “Mengapa Pembebasan Irian Barat justru menjadi Penindasan lebih keji?” Mengapa orang Papua merasa bahwa kolonialisme Belanda lebih baik daripada neo-kolonialisme Indonesia? Apakah karena tingkah-laku Belanda di Indonesia lain daripada tingkah-laku mereka di Papua? Kalau begitu apakah di Papua bukan kolonialisme dan di Indonesia adalah kolonialisme, padahal pada zaman yang sama, dan oleh penguasa kolonial yang sama?

Inti persoalan khususnya dalam usaha pembentukan N.K.R.I. adalah pada waktu Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (B.P.U.P.K.I.) yang merancang konsep bentuk pemerintahan Indonesia waktu itu. Kesalahan khusus Bung Karno adalah karena beliau sebagai Bapak Revolusi Indonesia tidak menghargai dan malahan sudah nyata-nyata menginjak dan lebih jahat lagi mematikan revolusi-revolusi lain yang ada di kepulauan Indonesia sekarang dan menjajah mereka. Dari segi hukum peta kolonial Belanda yang dipakai Indonesia untuk membentuk sebuah negara baru Indonesia sebagai tindakan yang salah, karena jelas merupakan kebangkitan neo-kolonialisme atas dasar peta kolonialisme Belanda. Secara politis N.K.R.I. sebenarnya sama dengan nama “neo-kolonialisme Indonesia.”

Kita kembali kepada pertanyaan inti tadi: : “Mengapa para sosialis seperti Ir. Soekarno dan Dr. Mohammad Hatta kokh mendirikan negara Indonesia yang totaliter dan kapitalis, yang menindas dan memeras orang Papua sampai babak-belur dan habis-habisan?” Lebih khusus lagi, kita bertanya diri sendiri: “Apakah orang Papua mau mendirikan negara Papua, lalu menggantikan Soeharto-Indonesia dengan Soeharto-Papua?” Yang lebih khusus lagi, “Bagaimana rakyat Papua harus berjuang dan bebas dari penindasan Indonesia dan setelah itu benar-benar merdeka, bebas dari penindasan?”

Tulisan ini barangkali merupakan jawaban untuk bangsa Papua agar hidup dalam kerangka kemasyarakatan dan adat Papua, baik sebelum dan terutama sesudah merdeka. Tulisan ini menjawab pertanyaan “Mengapa para sosialis membentuk negara yang menindas rakyat yang mereka sendiri bebaskan?

Tulisan ini merupakah kerangka dasar Bentuk dan Sistem Pemerintahan Bangsa Papua agar orang Papua merdeka dalam arti politik, ekonomi, sosial, dan kultural, jangan seperti bangsa Indonesia dan bangsa lain yang merdeka abad lalu, yang sudah merdeka secara politik tetapi belum pernah merdeka sama sekali secara ekonomi, sosial, dan kultural sampai hari ini.
Walaupun ditulis secara khusus untuk Papua, dalam konteks perjuangan Bangsa Papua, tulisan ini adalah kerangka acuan yang meletakkan dasar bagi pembentukan negara-negara baru di seluruh dunia, agar tidak memilih The First Way (Sosialisme ala Barat), The Second Way (Kapitalisme), The Third-Way (Sosialisme memerangi perbedaan kelas masyarakat seperti tokoh Tonny Blair, PM Inggris sekarang) atau The Fourth Way (Sosialisme Religious) yang diimpikan sebagian orang Indonesia saat ini. Kalau The Fourth Way ini memang mendunia, maka bisa dikatan tulisan ini merupakan The Fifth Way, tetapi barangkali ini terlalu dini. Karena itu tulisan ini lebih memilih paham Tribalism as Nationalism dan Tribalism in Nationalism, yang dunia Barat tentu melihatnya sebagai sesuatu yang bertentangan satu sama lain dan tidak akan pernah bisa hidup bersama-sama, tetapi yang kami orang Papua menganggap memang itu yang sudah pernah ada, yang masih ada, dan yang pasti akan ada di tanah Papua di tengah-tengah orang Papua.

Dengan kata lain, kalau ada elit politik Papua yang mengatakan: “Kita harus membangun nasionalisme Papua sebelum bicara merdeka”, maka itu sama dengan menghapuskan Sukuisme di Papua. Itu berarti sama persis dengan menghapuskan jatidiri orang Papua. Menghapuskan jatidiri orang Papua lebih jahat lagi daripada kekerasan TNI dan Polri di tanah Papua, karena nyatanya TNI dan Polri justru membangkitkan rasa kesatuan dan kebangsaan rakyat Papua sebagai orang Papua, dan Nasionalisme justru akan mematikan dan memusnahkan jatidiri orang Papua sebagai orang Papua, dan akan menjadi negara penindas rakyat yang dibebaskannya sendiri. Nasionalisme ala modern di Papua sama dengan kita memaksa seseorang bernama Papua dipanggil dengan nama lain, karena dalam konteks Nasionalisme Papua itu, orang Papua tidak bisa sama sekali dipanggil Papua lagi, karena ciri ke-Papua-an tidak ada. Bangsa yang tidak ada ciri Papua tidak bisa lagi disebut Papua, karena Papua memiliki jatidiri.

Tulisan ini menyatakan: Kita bisa membangun negara dan bangsa Papua dengan ciri ke-Papua-an. Dan kerangka acuan kehidupan berbagsa dan bernegara Papua itu kami beri nama: Demokrasi Kesukuan. Kesalahan Sukarno dan Hatta serta pemimpin dunia era modern adalah karena mereka menaruh negara yang mereka merdekakan dan bebaskan dengan harga yang mahal (harta, tenaga dan nyawa) itu dalam kerangka pemerintahan yang keliru, yang justru akan balik menindas rakyat yang mereka bebaskan.

Sama dengan seorang ayah Lennin yang melahirkan anak “sosialisme” tetapi malahan membunuhnya dengan praktek kediktatorannya sendiri, Sukarno dan Hatta mengulangi kesalahan klasik ini. Apakah orang Papua mau mengikuti jejak mereka?
Silahkan Anda simak dan menilai sendiri, hanya waktu membenarkan kami, bukan argumentasi saat ini sebelum melihat bukti sejarah.

Go to Top
SAMBUTAN: JEND. TPN PB MATHIAS WENDA
Perjuangan Kemerdekaan Papua Barat telah tiba pada tahapan akhir, sudah saatnya kita mempersiapkan diri untuk mengurusi rumah tangga kita. Untuk itu kita perlu mengantisipasinya dengan mempersiapkan segala-sesuatunya, antara lain perangkat kepemerintahan kita sejak dini sehingga kita tidak perlu lagi bekerja setelah pengakuan kedaulatan kita oleh masyarakat internasional jatuh.

Tulisan sederhana ini disumbangkan oleh Dewan Musyawarah Masyarakat Koteka (Demmak) bekerjasama dengan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Internasional. Saya selaku Panglima Tertinggi OPM Komando Tentara Pembebasan Nasional (TPN) Papua Barat menyambut baik hasil kerja keras yang sudah ada di tangan kita semua pada saat ini.
Tulisan ini bukan Alkitab yang harus ditaati, tetapi adalah sebuah buah pikiran ana-anak koteka berdasarkan pelajaran manis dan pahit yang dialami selama berada dalam cengkeraman penjajahan neo-kolonialisme Indonesia.

Negara bukan hanya semata-mata didirikan untuk mellindungi rakyat dari rongrongan musuh. Juga bukan sekedar untuk dijadikan sebagai alat bagi pemerintah yang berkuasa untuk menegakkan law and order. Juga bukan supaya dijadikan sebagai kendaraan raksasa oleh para kapitalis untuk kepentingan bisnis mereka yang tidak mengenal peri-kemanusiaan. Sama halnya pula kemerdekaan kita bukan hanya dalam aspek politik, tetapi juga perlu dalam aspek sosial-budaya, ekonomi dan kemasyarakatan. Kita sudah cukup mengalami efek-efek dari sistem kepemerintahan yang tidak berpihak kepada rakyat dan kemanusiaan serta penghargaan kepada tradisi rakyat Pribumi dan kekayaan alam. Maka itu pemerintah Papua Barat perlu berpikir dua kali agar tidak mengulangi kesalahan abad XX ke belakang. Yang harus terjadi adalah bahwa Papua Barat perlu muncul sebagai negara yang ideal, dengan sistem kepemerintahan yang memantulkan kehidupan yang sebenarnya dari rakyatnya, yang nantinya akan dijadikan pelajaran bagi negara-negara industri sekalipun. 

Negara kita perlu menjadi negara dengan sistem kepemerintahan yang memberikan tempat istimewa kepada masyarakat Pribumi dan mengutamakan pelestarian budaya dan adat masyarakat Pribumi serta kepada perlindungan dan pelestarian alam semesta secara bertanggungjawab, sesuai dengan kaidah dan praktek-praktek perlindungan alam yang sudah berurat-akar di dalam kehidupan rakyat Papua Barat.

Semoga kita semua belajar dari tulisan kecil yang tidak lengkap tetapi cukup membuka wawasan kita ini.


Vanimo, PNG, Awal Agustus 2000
Panglima Tertinggi OPM Komando
Tentara Pembebasan Nasional (TPN) Papua Barat.
 
Jend. TPN PB Mathias Wenda
NBP: C. 001076


Go to Top