[Up] | [Back]| [Next]

Menu Halaman Ini

3.1 Perjuangan Bangsa Indonesia Pra-Kemerdekaan

3.2 Perjuangan Bangsa Indonesia Era Orde Lama

3.3 Perjuangan Bangsa Indonesia Era Orde Baru

3.4 Perjuangan Bangsa Indonesia Era Gus Dur dan ke depan

3.5 Kesalahan-Kesalahan Fatal Bangsa Indonesia

Catatan Penutup bagian ini


III. PERJUANGAN RAKYAT INDONESIA DALAM BABAK-BABAK YANG MENENTUKAN

 
Sebenarnya bagian ini patut dimasukkan dalam Bagian II di atas, tetapi mengingat perjuangan rakyat Papua adalah dalam konteks melawan N.K.R.I. dan dalam konteks reformasi total di Indonesia, maka dipisahkan untuk menolong seluruh rakyat Indonesia memahami pandangan orang Papua terhadap perjuangan Papua Merdeka: tentang apa yang diperjuangkan, mengapa, dan bagaimana kalau nantinya Papua Merdeka.
Perlu dicatat bahwa bagian ini ditulis tidak dengan rasa sentimen kepada bangsa Indonesia karena saya tahu persis apa yang terjadi di Papua bukan melulu karena kesalahn Indonesia, dan kesalahan itupun kalau ada, maka tidak disengaja dan lebih parah lagi tidak disadari.
Rakyat Indonesia sekarang sudah tiba pada tahap yang menentukan apakah N.K.R.I. patut dipertahankan atau sudah tidak cocok lagi. Inilah inti persoalan di Indonesia. Masalahnya bukan pada pemimpin bangsa Indonesia, bukan pada peranan militer di Indonesia, bukan juga pada masalah ekonomi. Itulah hemat saya pribadi. Ada beberapa hal yang pokok dalam era reformasi ini dalam pemahaman orang Papua yang ingin merdeka.
Kami rakyat Papua bertanya, “Apakah rakyat Indonesia bisa menghitung untung-ruginya secara ekonomis dan politis kalau Papua Merdeka?” Dengan kata lain: “Apakah orang Indonesia bisa menghitung untung-ruginya secara ekonomis dan politis kalau tetap mempertahankan Papua dalam wilayah N.K.R.I.? Jangan sampai elit politik Indonesia justru dibutakan dan disogok oleh dunia luar, khususnya Barat untuk terus menutup mata atas kenyataan mutlak untung-rugi bagi orang Indonesia kalau Papua Merdeka.
Kami rakyat Papua mengira, “Bahwa rakyat Indonesia hanya mempertahankan Papua dengan dasar ‘harga diri bangsa Indonesia’ dan bukan dengan perhitungan untung-rugi bagi rakyat Indonesia semesta. Dan kami mengira bahwa perhitungan ‘harga diri’ itu hanya dilakukan oleh sekelompok kecil elit politik Indonesia yang masih punya jiwa neo-kolonialis dan masih memiliki mental nasionalisme-ala-abad 2000 ke bawah. Bahwa perhitungan itu telah banyak merugikan rakyat jelata Indonesia, tetapi hal itu bukan yang dicari para elit politik Indonesia. Dengan kata lain, amanat penderitaan rakyat Indonesia bukan lagi beban dari elit politik Indonesia, tetapi justru kepentingan pribadi dan kelompok mereka. Dan malahan lebih jahat lagi: justru kepentingan pihak kedua, bukan kepentingan Indonesia semata. Hasilnya sudah jelas: Suara rakyat diabaikan, penderitaan rakyat terus berlanjut dan perbudakan di alam kemerdekaan Indonesia justru lebih buruk dan lebih parah daripada perbudakan ala penguasa kolonial. Contohnya? Berapa pendapatan sebulan seorang Kepala Kantor Swasta dan Pegawai Negeri? Berapa pendapatan sebulan seorang kepala kantor BUMN? Berapa pendapatan rerata abang Becak sebulan? Berapa pendapatan rerata supir taksi sebulan, dll.? Lebih parah daripada di era kolonialisme, bukan? Ya, perbudakan sekarang lebih keji, dan lebih tidak manusiawi, perbudakan yang terselubung tapi lebih jahat daripada sebelumnya. Inilah yang kita boleh sebut perbudakan di alam kemerdekaan, yaitu perbudakan yang tidak kentara walaupun lebih jahat.
Kami rakyat Papua tahu, “Bahwa banyak anggota masyarakat Indonesia belum tahu mengapa orang Papua mau merdeka. Mengapa ada pemberontakan? Atau Mengapa orang Papua merasa bukan orang Indonesia? Kebanyakan anggota masyarakat Indonesia disuguhi dengan berita TVRI, RCTI, Kompas, Suara Pembaruan, dll. yang berkesimpulan bahwa rakyat Papua MEMOHON KEADILAN. Dan permohonan itu diberi nama “Papua Merdeka.” Karena itu orang Indonesia mengira bahwa keadilan itu pasti terwujud dalam paket Otonomi Khusus bagi Papua.
Tetapi kami rakyat Papua juga tahu, “Bahwa rakyat jelata Indonesia sebenarnya setuju kalau Papua Merdeka. Bahwa Rakyat Indonesia pasti mendukung kemerdekaan bangsa Papua. Bahwa dukungan itu sudah ada, tetapi ditutupi dengan isu yang tidak benar oleh elit politik Indonesia, yang konon kaki-tangan dan mata-mata dunia Barat yang kapitalis dan punya mental imperialis-kolonialis.” Kami tahu bahwa pada titik di mana rakyat Indoneisa memahami apa inti perjuangan rakyat Papua, pada titik itu orang Indonesia akan merubah sikap dan mendukung kami. Apakah titik itu? Jawabannya ada dalam buku kecil ini.
Kami rakyat Papua tahu, “Bahwa kunci kemerdekaan bangsa Papua ada di tangan bangsa Indonesia, tetapi kunci itu sebentar lagi akan dirampas oleh pihak ketiga, yang konon adalah musuh Indonesia. Dan akibatnya kami tahu, bahwa impian rakyat Indonesia melakukan reformasi total tidak bakal tercapai, tetapi malahan akan jatuh ke dalam tahap perjuangan yang tidak pernah Anda duga, yaitu justru perjuangan bukan melawan militer Indonesia dan pemerintahan otoriter Indonesia, tetapi kepada pihak kedua dan pihak ketiga. Walaupun pihak kedua dan ketiga ini tidak turut mati demi kemerdekaan Indonesia, mereka-lah yang akan memengang kunci peti-mayat Indonesia, dan menentukan apakah nasib Indonesia harus berakhir atau terus bertahan walaupun dengan napas-napas terakhir. Pada tahap itu, Indonesia akan lebih terpuruk lagi, dan sudah tidak ada kata untuk menjelaskannya nasib itu dalam bahasa apapun juga.
Kami rakyat Papua mendesak, “Agar masyarakat Indonesia bersatu dengan barisan masyarakat Papua dalam rangka memajukan Indonesia ke tahap budaya politik yang beradab, maju dan sesuai dengan denyut jantung era globalisasi, yaitu ke arah reformasi total.
Berikut ini saya mengajak sekalian bangsa Indonesia untuk secara jeli melihat perjuangan bangsa dan rakyat Indonesia untuk bebas atau merdeka dari apa atau siapa dan untuk apa?
3.1 Perjuangan Bangsa Indonesia Pra-Kemerdekaan
Kami tidak bermaksud mengajar, tetapi belajar dari pengalaman bangsa Indonesia, untuk melihat “Bangsa Indonesia merdeka dari apa, atau siapa? Dan Untuk apa?” Dari peperangan yang terjadi secara fisik dan diplomasi, sudah tidak sulit kita identifikasi musuh bangsa Indonesia waktu itu:
Pertama, musuh kolonialisme Belanda; tetapi Belanda merupakan simbol kolonialisme di seluruh dunia. Maka perlawanan ini menentang semua kuasa koloni di seluruh dunia.
Kedua, yang dilawan waktu itu bukan sekedar kolonialisme, tetapi penjajahan oleh bangsa lain atas sebuah bangsa yang lain, dalam hal ini Belanda terhadap Indonesia. Ini hal yang beda, karena bisa terjadi sebuah bangsa bebas dari penjajahan tetapi masih di bawah kolonialisme. Contoh yang mudah adalah Papua New Guiena dan sayangnya Indonesia mulai menjurus ke sana, atau maaf, sudah berada di bawah kolonialisme modern, yang disebut neo-kolonialisme. Anda pasti dengan mudah menerka siapa sebenarnya penguasa baru itu. Tetapi jangan Anda salah tunjuk jari kepada orang atau bangsa, karena wujud daripada neo-kolonialisme di Indonesia tidak bisa dipegang atau ditunjuk dengan jari. Yang bisa hanya Anda bisa merasakan akibat dari penguasa itu. Penguasa itu punya jaringan multinasional dan punya dimensi kompleks. Karena itu perjuangan melawannya juga harus bersama-sama dengan bangsa lain dalam hal ini bangsa Papua, bangsa Acheh, bangsa Borneo, Bangsa Maluku, dll. dan juga multidimensional, jadi bukan hanya sekedar militer dan kekuasaannya di Indonesia.
Kedua musuh inilah yang pernah dikalahkan oleh bangsa Indonesia. Tetapi sayang, saya mau terus-terang, bahwa musuh yang lebih parah, atau lebih bengis lagi tidak pernah dimusnahkan waktu itu. Musuh itu sebenarnya sudah dikenal Soekarno, tetapi tidak berhasil dikalahkannya, malahan Soekarno dikalahkan oleh musuh itu. Tetapi rakyat Indonesia waktu itu juga salah, karena turut menjadi bodoh dan akhirnya hidup dalam kebodohan politik. Nasib bangsa Israel saat memasuki tanah Kanaan tertimpa kepada bangsa Indonesia. Waktu itu bangsa Israel tidak memusnahkan semua musuh mereka seperti pesan Allah, malahan mereka menahan hidup-hidup sebagian musuh dengan tujuan untuk dijadikan budak. Tetapi logikanya, budak tak mungkin terus menjadi budak dalam waktu 50-100 tahun selanjutnya. Secara social pasti harus ada perubahan. Dan itulah yang terjadi. Bangsa Israel kembali sakit kepala seperti sediakala di Mesir, karena musuh yang mereka piara itu bangkit melawan mereka. Persis sama dengan nasib Indonesia sekarang.
Sekarang musuh itulah yang sedang dilawan oleh orang Papua, tetapi sayang bangsa Indonesia justru membela musuh itu dan menindas orang Papua bersama-sama musuh itu. Bangsa Indonesia lebih tidah paham lagi, walaupun banyak perguruan tingginya, banyak profesornya, banyak ahlinya, tetapi barangkali mereka juga sudah disuap sama musuh. Barangkali rakyat jelata abang becak, supir taksi, penjual kaki lima yang bisa memihak orang Papua, karena perjuangan orang Papua bukan sekedar melawan TNI atau Polri, tetapi melawan musuh sesungguhnya dari bangsa Indonesia. Dan justru kemerdekaan bangsa Papua lebih memerdekakan Indonesia, daripada menahannya dan terus menjadi budah penguasa dan tidak merdeka, dan terus memperbudak rakyatnya sendiri di alam kemerdekaan ini. Hanya sewaktu bangsa Indonesia paham hal ini, waktu itu bangsa Indonesia tidak akan perlu di minta-minta lagi, tetapi justru Jakarta akan mempersiapkan kemerdekaan bangsa Papua. Waktu itulah musuh bangsa Indonesia sebenarnya akan dikalahkan total. Di situlah cita-cita Soekarno akan tergenapi.
Jadi Mbak Mega dan anggota keluarganya barangkali perlu baca isi hati orang Papua secara jernih. Nasionalisme perlu, tetapi ada yang lebih penting daripada sekedar nasionalisme, yaitu harga diri bangsa Indonesia di hadapan bangsa lain termasuk bangsa Papua. Jangan sampai kita menjual harga diri demi kepentingan politik pihak kedua atau ketiga.
3.2 Perjuangan Bangsa Indonesia Era Orde Lama
Soekarno dalam berbagai pidatonya selalu katakan begini: “Revolusi kita bukan revolusi politik saja, tetapi revolusi total, revolusi simultan, revolusi multidimensional. Pesannya jelas sekali, waktu itu tidak diperlukan reformasi, tetapi revolusi.
Revolusi harus bermodalkan keberanian, tekad bulat dan pengorbanan yang tidak sedikit. Dan Soekarno jelas-jelas sudah nekad untuk mengorbankan apa saja, termasuk nyawa bangsanya sendiri.
Tetapi Anda harus ingat, kata “revolusi” itu sendiri tidak enak di telinga dunia Barat khususnya. Mereka mengidentikkan kata ini dengan komunisme atau sosialisme, yaitu musuh bebuyutan mereka sampai detik ini. Memang tidak salah, karena Soekarno rupanya berpaham sosialis. Memang tidak heran karena kebanyakan tokoh revolusi dunia adalah orang sosialis. Karena itu barangkali Soekarno dipandang dunia Barat tidak pantas memimpin bangsa Indonesia dalam jangka waktu yang lama seperti yang diinginkannya, yaitu sampai revolusi itu terjadi secara total dan tuntas.
Apa yang harus kita pertanyakan sekarang adalah: “Apa yang dimaksudnya?” Yang dimaksudnya barangkali bukan sekedar mengusir penjajah, bukan sekedar mengenyahkan kolonialisme. Dari kelanjutan usaha revolusioner Soekarno terlihat bayangan samar-samar tetang apa yang diidamkankanya dengan diealismenya yang berapi-api waktu itu. Saya mengira anak-anaknya termasuk Wapres R.I. sekarang juga tidak menunjukkan kepribadian dan ideaologi ayah mereka, yang patut kita sayangkan.
Memang Soekarno waktu itu seorang nasionalis, tetapi sekaligus sosialis. Anak-anaknya sekarang mewarisi nasionalisme itu, tetapi tanpa sosialisme. Barangkali mereka takut, mungkin juga mereka anggap sudah tidak pas di abad ini, atau juga memang mereka belum bisa menebak isi hati almarhum ayah mereka. Lain orang, lain pahamnya.
Kita masih kembali kepada pertanyaan inti tulisan ini: “Revolusi yang dimaksud Soekarno itu revolusi untuk apa?” “Apa yang mau dirubah dan untuk apa?”
3.3 Perjuangan Bangsa Indonesia Era Orde Baru
Orde Baru adalah orde Pembangunan. Tetapi kita semua jangan salah mengerti arti kata “pembangunan” atau dalam bahasa Inggris “development.” Sebenarnya arti kata “development” diterjemahkan menjadi “pembangunan” memang salah, karena konotasinya waktu kita membaca kedua kata ini dalam kedua bahasa sangat berbeda. Jadi bayangkan kalau Orde Baru merupakan Orde Pembangunan, dan hal itu dipahami dunia sebagai Orde Development, maka kesalahpahaman itu sangat berarti. Kalau saya membaca tulisan dalam bahasa Indonesia yang berisi kata “Pembangunan”, makan kata lain yang akan muncul dalam benak saya adalah membangun jalan raya, membangun gedung, membangun rumah sakit dan sejenisnya. Kalau saya membaca tulisan dalam Bahasa Inggris dengan kata “development”, pemahaman yang akan muncul di benak seperti ini: Memang di Indonesia sudah ada sesuatu, manusia dan alam sekitarnya. Yang diperlukan adalah “pengembangan” atau “development” dari yang sudah ada. Apa yang sudah ada dikembangkan, ditumbuhkembangkan, atau ditingkatkan. Jadi, fokus pembangunan dan fokus pengembangan secara prinsipil sudah berbeda. Makanya apa yang dijalankan Orde Baru waktu itu adalah pembangunan, tetapi apa yang dimengerti dunia luar waktu itu adalah pengembangan.
Dampak dari pemahaman Soekarto sebagai pemegang kunci “pembangunan” dan para donaturnya sebagai pihak yang memahaminya sebagai “pengembangan” adalah seperti yang kita alami sekarang. Lantaran keamanan yang terjamin dengan baik, banyak negara menanamkan modal kemari.
Tetapi ada satu hal pokok yang menjadi tuntutan para investor: AMAN. Keamanan negara harus dijamin. Dengan kata kasarnya seperti ini: Orang mau cari makan di sini, tetapi mereka tidak mau ada yang mengganggu waktu mereka cari makan. Mereka mau makan dan hidup dalam keadaan aman. Itu sebabnya Soeharto tidak pernah lupa kata “AMAN.” Itu sebabnya “security approach” merupakan pendekatan utama regim Orde Baru.
Kunci pertanyaan bagi bangsa Indonesia sekarang adalah: Apakah memang security-approach itu pilihan Soeharto, ataukan beliau dipaksakan untuk begitu? Lalu “Siapa sebenarnya yang diuntungkan oleh pendekatan itu?” Kita jangan melulu menyalahkan Soeharto, karena kita juga sudah tahu tidak pernah menegur beliau sebagai anak bangsa ini. Sudah banyak profesornya tidak satupun yang pernah angkat suara dan menegurnya. Kecuali Dr. Sri Bintang Pamungkas dan belakangan sekali Dr. Amin Rais, siapa lagi yang pernah berani. Selain Dr. Arief Budiman dan Dr. George Aditjondro, siapa lagi yang pernah menegurnya? Partai mana yang pernah berani? Kalau kita memakai patokan adat Papua, maka orang Papua akan katakan, “Orang Indonesia semua salah, jadi kalau Soeharto dihukum, semua bangsa ini harus dihukum!” Karena apa yang dilakukan Soeharto bukan sebelum Anda lahir, bukan sewaktu Anda di bulan atau bintang, bukan sewaktu Anda masih di SD, tetapi waktu Anda masih punya mata hati, mata tubuh dan mata pikiran. Sewaktu itu Anda sudah tahu kesalahan. Lebih jahat orang tidak menegur kesalahan daripada orang yang menegur, walaupun dengan cara yang sekasar apapun. “Hiduplah dengan orang yang suka marah dan menegur, jangan bergaul dengan orang yang suka senjum dan tidak pernah marah sedikitpun,” demikian orang tua Papua selalu menasehati kami anak muda. Nah, itulah nasib Soeharto.
Jadi, dalam rangka menghukum Soeharto, secara hukum silahkan lanjut, tetap secara politis, barisan Megawati dan Gus Dur harus melihat “ada apa di balik batu?” Apakah udang? Ataukah ular? Atau jangan-jangan putri duyun?
3.4 Perjuangan Bangsa Indonesia Era Gus Dur dan ke depan
Gus Dur cocok dijuluki Bapak Reformasi Indonesia. Beberapa kebijakan kontroversial tetapi sangat mendasar telah diambil, dengan tekad yang sama dengan Soekarno, yaitu berani untuk kepentingan bangsa. Yang menjadi persoalan bagi Gus Dur adalah musuh bangsa Indonesia sudah kembali menjajah bangsa Indonesia selama masa Orde Baru. Saya yakin, bangsa Indonesia sudah sanggup mengusir penjajah yang sudah berkuasa selama 3 setengah abad, maka itu kekuasaan selama 32 tahun ini tidak begitu berarti. Tetapi saya prihatin bahwa Soekarno dan generasinya justru lebih pandai daripada generasi bangsa Indonesia sekarang. Dalam pidato-pidatonya waktu mempersiapkan Tiga Komando Rakyat (TRIKORA) sudah jelas terlihat mengapa Soekarno nekad mengambil Irian Barat (Papua) dan memasukkan ke dalam wilayah N.K.R.I. Terlepas dari akibat daripada pencaplokan Papua ke dalam wilayah N.K.R.I., dari ucapan pidatonya, Soekarno punya visi yang jelas, membasmi kuasa kolonial di Tanah Papua dan wilayah bekas Hindia Belanda.
Tetapi yang terjadi justru kebalikan, begitu kolonialisme dibasmi, neo-kolonialisme sudah berakar-urat di Indonesia, dan Indonesia dipaksa untuk menjadi penguasa neo-kolonial di Papua. Jadi, pengertian Pembebasan Irian Barat yang digaungkan Soekarno waktu itu lebih cocok diartikan sebagai invasi militer dan rekolonisasi Papua oleh Indonesia. Dengan kata lain, dalam lapangan diplomasinya, Indonesia kecolongan oleh musuh. Kemenangan yang disangka Indonesia justru sebaliknya, kekalahan yang tidak pernah disadari Indonesia bahkan sampai saat ini.
Jadi, apa yang harus dibuat oleh Indonesia saat ini, yaitu:
Reformasi total, yaitu istilah yang saya pinjam walaupun tidak cocok dalam pemahaman saya. Reformasi total ini sebenarnya sama saja dengan revolusi minus. Terjadi revolusi tetapi sebatas revolusi di dalam N.K.R.I. dan tidak lebih jauh dari itu. Yang mengherankan dengan istilah ini adalah bahwa Revolusi Total yang digaungkan oleh Soekarno belum berakhir setelah setengah abad lebih Indonesia merdeka, tetapi mau ditambah lagi dengan beban negara ini dengan reformasi total, lalu bangsa ini mau dibawa ke mana?
Mulai mengerahkan ahli ekonomi dan ahli politik Indonesia yang ada untuk berhitung secara matematis tentang APA UNTUNGYA dan APA RUGINYA kalau Papua merdeka? Untung-rugi inipun harus dihitung secara ekonomis, politis, sosial dan budaya. Karena orang pintar berpolitik dan menang politik tapi di rumah tidak ada nasi sepiring, ya, namanya bukan tolol lagi, tapi lebih dari itu.
3.5 Kesalahan-Kesalahan Fatal Bangsa Indonesia
Kesalahan pertama dari pendiri negara ini adalah bahwa paham yang mereka anut bertolak belakang dengan bentuk negara yang mereka bentuk. Mereka tidak melihat betapa pencetus paham yang mereka anut itu gagal karena bentuk negara yang mereka gunakan sudah salah untuk menjalankan paham mereka. Kalau Soekarno penganut sosialisme, maka beliau sepantasnya belajar dari Hitler, Lenin dan Marxis yang pada hakekatnya memiliki paham yang terlihat benar, tetapi akhirnya mereka salah gunakan dan akhirnya mereka disalahkan sampai hari ini. Akibatnya juga Seokarno selalu disalahkan.
Bentuk negara kesatuan Republik Indonesia tidak cocok dengan pahamnya yang sosialis, karena bentuk N.K.R.I. itu justru tidak akan pernah memberi peluang sedikitpun kepada pahamnya untuk berkembang. Malahan apa yang beliau perjuangkan dengan mempertahankan nyawa bangsanya dan nyawanya sendiri itu diberikan dengan begitu murah dan mudah kepada pihak penganut paham lawannya, yaitu yang dia juluki para kapitalis.
Negara yang berbentuk kesatuan itu otomatis negara yang kapitalis, negara yang harus menindas suku dan bangsa yang dikuasainya. Kesalahan ini saya namakan dengan meminjam perumpamaan dalam Alkitab sebagai “menyiram anggur baru ke dalam tempayan yang lama.” Tidak pantas bukan? Tetapi itu telah terjadi.
Dalam UUD 1945, walaupun Pasal 33 misalnya bercirikan paham sosialis, tetapi satu pasal ini dimasukkan ke dalam kerangka N.K.R.I. yaitu pro-kapitalis, sehingga yang terjadi bukan Pasal ini bermanfaat, tetapi justru menjadi bumerang untuk mengalahkannya. Bukan kepentingan umum bangsa yang diperhatikan, tetapi selama 32 tahun untuk kepentingan regim Orde Baru dan kroni-kroninya.
Kesalahan kedua merupakan kesalahan Orde Baru. Laporan Tempo belum lama ini menyatakan bahwa Soeharto nyata-nyata bekerjasama dengan CIA (badan inteligen Amerika Serikat) untuk mengambil-alih kekuasaan dari Soekarno. Tetapi Soeharto tidak sadar bahwa apa yang terjadi waktu itu sebenarnya adalah beliau sedang dengan teganya menyerahkan kembali bangsa yang sudah merdeka itu kepada penguasa neo-kolonialisme atau imperialisme modern.
Buntutnya Soeharto sendiri harus jatuh (menuai hasil) dari apa yang ditanamnya sendiri. Pada tingkat tertentu, kalau Soeharto tidak bisa menguntungkan pihak kedua dan pihak ketiga yang pernah ia berkolusi lagi, yang sedia kala justru memback-up dia, maka memang secara logika beliau harus lengser. Kenyataan yang terjadi memang begitu. Pendekatan security-approach yang diajarkan kepada beliau tidak sama sekali menguntungkan Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara. Justeru kini telah menjadi bumerang bagi negara terbesar keempat dan negara Muslim nomor satu ini. Suplai senjata dan pendidikan militer yang diberikan kepada regim Orde Baru bukan demi kepentingan Indonesia, sama sekali tidak. Kalau memang begitu, mengapa Indonesia sampai hari ini tidak pernah untuk dari permainannya itu? Mengapa justru kini terpuruk hampir ke titik nihil?
Orde Reformasi sebenarnya orde pengharapan bagi Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara. Tetapi hal yang mengkhawatirkan saya adalah ucapan Gus Dur dan Menlu Alwi Shihab seperti ini: “Dunia Internasional mendukung pendudukan Indonesia di tanah Papua!” Apakah memang dunia Internasional yang punya nekad untuk merebut Papua dari tangan penjajah? Kalau masih mau melibatkan pihak lain dari Indonesia dalam kasus Papua Barat, maka ada apa nih? Hanya sekedar karena Indonesia anggota PBB dan anggota masyarakat global village?
Hal yang mengkhawatirkan saya adalah kebiasaan Gus Dur yang cenderung ke luar negeri. Ada apa di sana? Apakah masalah di negaranya merupakan masalah luar negeri? Apakah Indonesia tidak sanggup menyelesaikannya? Apa gerangan keuntungan kalau kebiasaan ini berlanjut terus? Apa keuntungan ekonomis dan politisnya? Keuntungan politis barangkali mendapat dukungan bahwa Papua bagian dari Indonesia, tetapi apa keuntungan ekonomis? Apa artinya politik kalau tidak berorientasi papua ekonomi di era ini? Apa artinya memiliki politisi untuk politik melulu tanpa memikirkan dampak ekonomisnya?
Agar IMF tetap kuncurkan bantuannya? Agar ADB tetap membiayai Indonesia? Apakah memang ada sejarah di seluruh muka bumi bahwa negara yang pernah dibantu IMF dan Bank Dunia pernah pulih 100% dan menjadi sama dengan dunia Barat? Manakah negara itu? Kalau begitu, betapa baiknya Bank Dunia dan IMF itu? Kalau begitu betapa bodohnya mereka karena pada waktu semua negara di dunia semakin kaya sama dengan dunia Barat, maka semuanya akan hidup “malas tahu” dengan dunia Barat. Kalau ini yang terjadi yang akan bangkrut bukan kita di belahan bumi Timur, tetapi justru di dunia Barat sana. Kalau ini tujuannya maka IMF dan Bank Dunia adalah bumerang bagi dunia Barat.
Tetapi bukan demikian, Saudara. IMF atau Bank Dunia tidak pernah punya niat baik sedikitpun untuk seutuhnya membantu negara yang terpuruk secara ekonomi dan pulih kembali menjadi negara yang sama dengan dunia Barat. Itu bohong belaka! Lupakan saja mimpi siang bolong ini!
Janganlah pemerintahan Orde Reformasi ini mengulangi kesalahan klasik Orde Lama dan Orde Baru. Kita sudah punya cukup orang yang berilmu, pakar politik dan ekonomi. Kita sudah cukup punya guru terbaik, yaitu pengalaman. Apa yang kurang sehingga kita terus-menerus dibohongi dan dibodohi?
Catatan Penutup bagian ini
Apa yang saya dapat lihat dari babak yang satu ke babak yang lain dari perjuangan bangsa Indonesia untuk kemerdekaan dan kebebasan adalah bahwa bangsa ini selalu bernasib malang. Dalam setiap babak, pengorbanan nyawa yang tidak sedikit dari pihak Indonesia tidak jarang sekali dinikmati sepenuhnya oleh bangsa dan masyarakat Indonesia sendiri. Yang menjengkelkan saya adalah justru selalu diambil alih oleh musuh-musuh kita bersama. Lebih menjengkelkan lagi setelah setengah abad lebih Indonesia merdeka dan sarat dengan pakar dan ahli, toh masih juga kecolongan dikalahka, masih saja belum memahami suara rakyat Papua dan masih juga tidak mau merealisir revolusi total dan merdeka secara mutlak.
Musuh bangsa Papua dan musuh bangsa Indonesia saat ini sebenarnya satu dan sama saja. Orang Papua tidak melawan kolonialisme lagi, tetapi neo-kolonialisme. Indonesia juga masih harus melawan kuasa neo-kolonialisme yang sama dan yang satu. Tetapi kesalahan kita adalah kita tidak bersatu dan memerangi musuh itu. Yang lucu adalah justru kita lah yang saling membunuh dan saling memusnahkan. Justru musuh itu menggonggong dan mengarahkan perhatian kita ke tempat lain, sehingga kita tidak sadar lagi apa yang sedang kita buat untuk bangsa dan negara kita masing-masing.
Orang Papua harus tahu bahwa musuh Anda bukan TNI, bukan Polri, bukan Pemerintah Indonesia. Musuh Anda adalah juga musuh negara dan bangsa Indonesia. Orang Papua harus berteriak keras dan membisingkan telinga Jakarta. Walaupun sudah berteriak selama 38 tahun tetapi suaranya membisik, ya sama saja bohong. Orang Papua harus berani mengajar orang Indonesia agar Indonesia kembali kepada posisinya yang benar dan Papua dikembalikan kepada posisi yang seharusnya.
Hal ini hanya bisa terjadi kalau para pimpinan Presidium Dewan Papua, pimpinan TPN, pimpinan OPM dan unsur masyarakat lainnya di Papua mau mengatur barisan secara mantap, dengan fokus serangan kepada musuh yang terarah dan dengan pesan kepada Indonesia yang jelas dan terus-terang. Hal ini juga bisa terjadi hanya jikalau INDONESIA BENAR-BENAR DAN MUTLAK MERDEKA: Merdeka secara politik, secara hukum, secara sosio-budaya dan secara ekonomi. Kalau tidak, barangkali PDP dan rekan-rekannya harus menempuh jalan yang beda daripada saran dalam tulisan ini.
Tetapi hal menarik dalam kasus Indonesia-Papua adalah bahwa Indonesia akan dapat merdeka secara politik, lebih-lebih ekonomi, hukum dan sosio-budaya kalau Papua Merdeka. Ini sebuah pandangan yang bernilai tinggi, tetapi harus dipahami baik oleh pengambil kebijakan di Jakarta. Saya tidak usah sebodoh itu berterus-terang di sini, karena memang saya sudah berterus-terang sekarang. Dalam hal ini saya berhak untuk menilai dan berpendapat, Anda berhak untuk menilai, tetapi akhirnya yang kita cari adalah hidup dan kehidupan yang adil dan makmur, bukan politik belaka. Inilah yang tidak terlihat di mata saya dalam perpolitikan Indonesia, dan inilah yang membuat saya kesal.