[Up] | [Back] | [Next]

I. PENDAHULUAN

Menurut catatan sejarah bangsa Papua, bangsa ini pernah menyatakan kebulatan tekad dan suara untuk Merdeka tanggal 1 Juli 1970, dan deklarasi tekad itu dimaklumkan kepada dunia melalui pemerintah Belanda sah secara hokum dan resmi secara administrasi pada tanggal 1 Desember 1961.

Dalam pada itu diumumkan bahwa:
· Nama bangsa itu adalah Bangsa Papua Barat.
· Lagu Kebangsaan: adalah Hai Tanahku Papua.
· Lambang Negara: Burung Mambruk
· Bendera Nasional: Sang Bintang Fajar/ Bintang Kejora atau Bintang Pagi.

Persiapan kemerdekaan bangsa Papua ini rupanya inisiatif Belanda, tetapi atas desakan Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Piagam Umum PBB dengan semua resolusinya yang mengukuhkan, menambah, memperjelas dan memberikan garis kerja, khususnya dalam hal Hak Asasi Manusia (HAM), yang di dalamnya tercantum the rights to self-determination of non-governing territories and peoples (Hak menentukan nasib sendiri bagi wilayah dan masyarakat yang belum punya pemerintah). Sebagai anggota PBB yang mengeluarkan deklarasi-deklarasi menyangkut penentuan nasib sendiri, Belanda berkewajiban untuk melaksanakannya.

Desakan-desakan kepada negara-negara yang masih punya wilayah koloni lebih tegas disampaikan setelah tahun 1945. Jelaslah, bahwa Belanda juga terdesak oleh resolusi yang ditandatanganinya sendiri untuk mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia, sehingga terpaksa harus diakuinnya pada tahun 1949.

Dalam rangka penengakkan HAM inilah, maka bangsa Papua dipersiapkan sejak dini hari untuk mewujudkan Papua Barat yang merdeka dan berdaulat. Dalam rangka itu pula, kita telah membaca buku Dr. Benny Giay (2000) tentang Program Papuanisasi Belanda, Program Persiapan Kemerdekaan tahun 1970, dan program percepatan “pembangunan[1]” di segala bidang. Tetapi kata Dr. Giay bahwa Program itu gagal! Apa yang dimaksudkannya?

Kalau ini terwujud, maka tetangga kita Papua Nugini akan merdeka setelah 5 tahun Papua Barat merdeka, karena Australia mempersiapkannya untuk itu tahun 1975, dan ternyata jadi pada tanggal 15 September. Tetapi jangan kita usik tetangga kita, lebih baik kita teruskan dengan masalah kita.

Setelah tanggal 1 Desember 1961 ada pengumuman orang Papua melalui pemerintah Belanda, ternyata Sukarno dan bangsa Indonesia tidak bisa tidur dengan nyenyak alias mimpi buruk melanda di seluruh Indonesia dari Sabang sampai Moluccas, yaitu mereka yang tanggal 28 Oktober 1928 menyatakan Satu Bangsa, Satu Tanah Air, Satu Bahasa, dll, dan mereka yang ikut berjuang untuk sebuah negara Indonesia merdeka. “Ada apa di balik batu?” begitulah kira-kira pertanyaan kita.

Di balik batu itu ada bermacam-macam, bukan udang saja. Ada Jong Ambon, ada Jong Celebes, Ada Jong Sumatra, Ada Jong Java, dst, dan lebih mengherankan lagi Ada Jong Bule di situ juga. “Eh, dalam rangka apa nih, kokh ada sama-sama Mas-Mas Iki?” Ini pada hakekatnya pertanyaan penting yang akan dijawab.

Lalu kita tiba pada era Pemerintah Transisi PBB yang disebut UNTEA (United Nations Temporary Executive Administration), yang seharusnya berjalan selama tahun 1963-1969, tetapi sudah diambil alih lebih awal oleh Indonesia tahun 1961, tanggal 1 Mei. Ini juga ada ceritanya sendiri.

Lalu kita lihat hal yang menarik terjadi antara tahun 1962-1969, di mana terjadi berbagai peristiwa penting menyangkut nasib bangsa Papua, yaitu antara lain:
Perjanjian Roma (Rome Agreement), yang bisa kita sebut baku akor secara di bawah meja antara Belanda dan Indonesia, sementara Amerika Serikat menjadi sutradara lakon itu. Kalau berbicara masalah Papua Barat, di manakah orang Papua? Kalau Indonesia membela orang Papua, siapakah yang dibawa waktu itu?
Perjanjian New York (New York Agreement) tahun 1962 dengan pemain yang sama dan sutradara juga yang sama. Ada dua pertanyaan di sini: Atas rekayasa siapakah ini? Dan Mengapa fragmen permainan kotor itu terjadi di New York, dan bukan di Den Haag atau Jakarta, atau New Delhi, atau London, atau Canbera? Kalau perjanjian ini menyangkut nasib masa depan orang Papua, orang Papua siapa yang turut menandatangani perjanjian ini?
Waktu administrasi UNTEA diperpendek dari 4 tahun menjadi 8 bulan saja. Siapa punya PBB, dan siapa yang bisa mempengaruhi PBB sehingga badan dunia yang kredibilitasnya tinggi itu bisa ikut terkecoh? Atau sengaja juga bermain?
PT Freeport MacMoRan, Inc. Menandatangani Kontrak Karya (Contract of Work) I pada tahun 1967, yaitu sebelum Papua secara resmi menyatakan sikap bergabung dengan Indonesia atau tidak.

Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) atau Act of Free Choice dijalankan tahun 1969 menerapkan pola Indonesia, yaitu sistem musyawarah, padahal dalam New York Agreement sudah digariskan tatacara penyelenggaraan PEPERA bahwa setiap orang Papua harus memilih secara langsung untuk menentukan sikap. One man – one vote ini artinya waktu itu ada sekitar 800,000 orang, dan PBB New York Agreement berkata bahwa harus ada 800,000 orang yang memilih. Tetapi kenyataannya tidak. Mengapa ini terjadi? Ada apa di benah Indonesia? Ada apa di benak Belanda? Ada apa di benak sutradara Amerika Serikat? Ada apa di benak PBB? Atau secara khusus utusan khusus PBB untuk Papua Barat waktu itu, Dr. Fernando Ortiz Sanz, orang Bolivia itu?

Lalu kita sampai kepada tahun 1970, waktu di mana Belanda telah janjikan memproklamirkan kemerdekaan Papua Barat. Tidak terjadi apa-apa. Malahan Indonesia mulai dengan girang-girangnya merancang segala macam mimpinya sejak ia lahir untuk seoptimal mungkin berbuat semaunya terhadap Papua.

Dan tahun 1972, nama Irian Barat menjadi Irian Jaya. Tahun inilah pertama kali orang Papua ikut Pemilihan Umum dalam wilayah Republik Indonesia.

Tetapi hal yang mengherankan mulia terjadi. Baru sekali Pemilu, tetapi Pemilu kedua sudah tidak bisa berjalan lagi di sebagian tanah Papua. Mengapa? Karena rakyat Papua secara politis memboikot Pemilu tahun 1977. Peperangan besar terjadi di beberapa kecamatan di wilayah Baliem, dan itupun dianggap angin lalu oleh Indonesia. Dan duniapun tidak pernah tahu-menahu tentang apa yang terjadi di lembah-lembah, di kampung-kampung dan di hutan rimba sana. Tak ada orang yang menyampaikannya. Bahkan missionaries yang katanya datang karena mencintai nyawa manusiapun tidka berani kasih tahu sama negaranya. Semuanya bungkam. Mengapa? Oh Mengapa? Apa yang terjadi?
Belum lama kemudian terjadi pemberontakan besar-besaran di Jayapura.
Kemudian tahun 1983/1984 terjadi pelarian besar-besaran orang Papua ke Papua Nugini. Jumlah pengungsi sekarang di PNG sudah ribuan orang. Saat-saat inilah, antropolog Papua terkemuka dan berpengaruh di Asia Pasific, Drs. Arnold Ap dibunuh dan dibuah ke laut Pacific.
Tidak lama kemudian Dr. Thom Wapai Wainggai mendeklarasikan neagara Melanesia Barat Raya, dengan Benderanya berbintang Empatbelas. Kelompoknya sampai hari ini lebih lazim disebut “Kelompok Empatbelas” atau “The Group-Fourteen.” Kematiannya setelah lebih dari dua tahun di LP Cipinang Jakarta membuat rakyat Papua terpukul dan tambah marah.
Hal yang mengoncang dunia dan cukup mewarnai nilai perjuangan bangsa Papua Barat terjadi dengan perjuangan Jenderal TPN PB Kelly Kwalik dengan menyandera 2 orang Belanda, 4 orang Inggris dan 1 orang Jerman bersama orang Papua (termasuk Markus Warib) dan 4 orang Indonesia lainnya. Tetapi sayang, usaha baik Kwalik cs untuk menginternasionalkan isu Papua Merdeka ini banyak dimanfaatkan oleh lintah-lintah darat asal Papua, Indonesia dan juga Barat. Banyak orang angkat jari menyatakan diri atasan Jenderal Kwalik dan muncul di media masa dengan sangat ramai. Ada yang mengaku diri tentara TPN (Tentara Organisasi Papua Merdeka) lalu membunuh dua orang Indonesia, padahal mereka itu bukanlah anggota TPN, tetapi pihak yang menyamar untuk memperburuk citra TPN. Ada yang naik pangkat dua kali lipat secara luar biasa. Ada yang mengaku diri bisa menyampaikan pesan Kwalik cs kepada PBB dan media dunia, sehingga mereka dibebaskan, tapi tidak pernah menggenapi janji mereka. Akhirnya, Kwalik terpaksa tidak membebaskan sandera yang dia janjikan dan harus dibebaskan pada tanggal 8 Mei 1996. Henry Fornier, Kepala Palang Merah Indonesia waktu itu harus pulang dengan kecewa yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Ketua Lembaga Musyawarah Adat Papua (Irian Jaya waktu itu), Bapak Theys Hiyo Eluway tidak ketinggalan. Di tempat terbuka, yaitu Lapangan Sepak Bola Sentani, Jayapura, beliau mengadakan “Upacara Sumpah Kutuk” bagi Kelly Kwalik, mengatakan bahwa perbuatan Kwalik adalah melanggar adat Papua dan maka itu terkutuk.

Akibat semua ini, Kwalik harus lari lagi, tidak bisa keluar ke dunia untuk mengkampanyekan perjuangannya. Akhirnya kampung halamannya harus dibumi-hanguskan dengan brendelan senjata dari darat dan udara. Akhirnya Inggris harus datang lewat Singapura membawa alat-alat surveilance tanpa awak untuk mendeteksi warganya yang masih di hutan. Akibatnya, ratusan orang telah kehilangan nyata, ribuan ternak dibantai, beratus hektar kebun dan rumah dibumi-hanguskan.
Pada waktu bersamaan, Dr. Thom Wainggai meninggal.

Tetapi sayang, kematian Ap dan Wainggai dianggap angin lalu juga. Lantas siapa lagi yang harus mati lalu dunia akan bergeming sedikit saja? Apakah semua orang Papua harus mati lalu dunia atur langkah untuk membagi-bagi tanah itu?

Lalu tibalah saatnya pada Saat Kebangkitan Bangsa Papua, yaitu tahun 1997-2000. Inilah kira-kira ringkasan peristiwa yang menunjukkan kebangkitan itu:

· Menjelang tahun 1998, Kepala Suku Besar Suku Amungme, Bapak Thomas Beanal telah beberapa kali mencoba menggugat PT Freeport MacMoRan Copper and Gold di Pengadilan New Orleans (Kantor Pusat Freeport), tetapi gagal beberapa kali itu juga. Hal yang membanggakan kita adalah orang Pribumi Papua mulia bangkit dan melawan hukum dunia yang sudah diatur sebenarnya untuk mengeksploitasi manusia Pribumi, yaitu Anda dan saya.
· Para Kepala Suku Bangsa Papua melakukan rembuk bersama dan mulai menggariskan langkah untuk menyuarakan Pendapat Rakyat Papua, Menentukan Pendapat, yang sudah dimanipulasi dalam PEPERA tahun 1969.
· Sebelum berlanjut, terjadi juga peristiwa pembentukan Forum Rekonsiliasi Rakyat Irian Jaya (FORERI) dengan Sekretaris Eksekutif Drs. Willy Esau Mandowen dan Ketua Bapak Thom Beanal. Pada saat bersamaan, Bapak Theys Hiyo Eluway mengangkat suara sebagai Ketua LMA Papua dan mulai menunjuk orang di seluruh Papua sebagai Wakil LMA Kabupaten, dan sekaligus mengangkat dan mengukuhkan Yoris Raweyai sebagai Ketua LMA Papua untuk Indonesia di Jakarta. Di sini sudah terbaca ada dua kepala dari satu ekor: perjuagan Papua Merdeka, tetapi rakyat masih bertanya dan menunggu untuk melihat “Kepala yang mana punya ekor yang mana?”
· Lahirnya FORERI dan bangkitnya LMA ini perlu dicermati oleh semua orang Papua: Ada apa di balik ini? Dari mana asal mereka? Untuk apa mereka dibentuk? Satu namanya “rekonsiliasi.” Rekonsiliasi antara siapa dengan siapa untuk apa? Yang lain namanya “lembaga adat.” Adat yang mana yang mau ditegakkan?
· Tepat tanggal 28 Februari 1999, sebanyak 100 orang Papua (75 datang langsung dari Papua dan 25 dari Jakarta) menemui Presiden Republik Indonesia, Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie di Istana Presiden, Jalan Merdeka Selatan, Jakarta. Mereka datang dengan satu tuntuntan yang dibacakan Bapak Thom Beanal: “Kembalikan kedaulatan kami! Rakyat Papua minta kemerdekaan kami dikembalikan!” Lalu apa jawaban Presiden R.I.? Jawabannya ada dua: Pertama, tidak jadi membacakan pandangan Presiden R.I. yang dokumennya sudah disiapkan dan sudah ada di tangan beliau pada detik itu. Kedua, “...Saya bukan boneka..., ...saya tidak bisa menjawabnya sekarang juga..., ...pulanglah dan renungkan kembali... tuntutan kalian.” Bagi orang Papua, jawaban ini cukup memberi peluang bagi banga Papua untuk berbuat apa saja. Pertama yang jelas Presiden R.I. tidak serta-merta menolak tuntutan itu. Kedua, tuntutan itu perlu dikaji dan disampaikan secara lebih masuk akal, artinya dapat diterima secara politis.
· Tindak lanjut dari itu, dibukalah “Pos Papua” dengan maksud sebagai “Tempat merenungkan tuntutan rakyat Papua,” karena yang jelas hal ini tidak bisa direnungkan di rumah, atau di Balai Desa, atau Gedung DPR, atau di Balai Adat. Harus ada tempatnya. Dan untuk menjaga Pos-Pos itu maka Satuan Tugas Papua (Satgas Papua) dibentuk di seluruh Papua.
· Pada saat ini terdapat perbedaan yang tajam antara visi dan pendekatan Bapak Thom Beanal (FORERI) dan Bapak Theys Hiyo Eluway (LMA). Buktinya tanggal 29 Februari 1999 ini Bapak Eluway tidak ikut. Hampir saja terbangun dua kubu orang Papua dengan tujuan yang sama tetapi pendekatan yang berbeda. Tetapi untung, atas kelihaian pemikir politik Papua, perbedaan itu diminimalkan, dan kedua pemimpin menjadi satu. Wujud penyatuan itu muncul dengan pengumuman sebuah Musywarah Besar Rakyat Papua (Mubes Papua) yang membentuk Presidium Dewan Papua (PDP_ dengan ketua bersama oleh Bapak Eluway dan Bapak Beanal, keduanya disebut Pemimpin Besar Bangsa/Rakyat Papua. Dalam pada itu disusun program untuk menyelenggarakan sebuah Kongres Papua II 2000. Tanggal yang ditetapkan adalah secepatnya, tetapi mengalami pengunduran sampai bulan Mei 2000. Peristiwa ini terjadi tepat setahun setelah 26 Februari 1999, yaitu tanggal yang sama tahun 2000.
· Dalam Kongres inilah Presidium Dewan Papua (PDP) yang diformulasikan dalam Musyawarah Besar Rakyat Papua tanggal 26 Februari 2000 disahkan dan Bapak Theys menyatakan dan mengangkat diri sebagai Ketua PDP waktu itu, dan terpaksa tanpa pemilihan Bapak Thom Beanal menerima posisi sebagai Wakil Ketua. Maka sejak ini terhapuslah istilah Pemimpin Besar Bangsa Papua, dan menjadi Ketua dan Wakik Ketua PDP.
· Pesta Demokrasi Rakyat Papua Pertama dengan nama Kongres Papua II 2000, atau dunia luar mengatakan Papua National Congress II 2000 (Kongres Nasional Papua II 2000). Mengapa saya katakan pertama? Karena kongres inilah yang dihadiri oleh seluruh rakyat, bukan wakilnya saja. Kongres Papua I tahun 1961, tanggal 1 Desember adalah Kongres Papua I, dan bukan Kongres Rakyat Papua. Saya boleh katakan inilah Kongres Papua II dan Kongres Rakyat Papua I.
· Kongres ini berhasil mendeklarasikan Enam Deklarasi Kongres Papua II 2000, dengan dua deklarasi inti, yaitu: Pertama: Rakyat Papua Barat secara bulat menyatakan Keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kedua, Presidium Dewan Papua segera melobi dunia Internasional dan Indonesia agar melangsungkan sebuah Dialog Nasional yang ditindaklanjuti dengan Dialog-Dialog Internasional dan hasil lobi dimaksud harus dipertanggungjawabkan pada tanggal 1 Desember 2000.
Sementara itu, ada beberapa peristiwa menarik yang timbul dalam perikehidupan bangsa Papua, yang perlu kita catat seperti:
· Muncul nama yang sudah lama terpendam seperti MAMTA (Mamberamo-Tami), yang mengikat keluarga suku-suku di wilayah Jayapura dan sekitarnya sampai di Mamberamo.
· Lahirlah Dewan Musyawarah Masyarakat Koteka (Demmak) dan Pasukan atau Satgas Koteka, yang secara ketat mengawal dan mengawasi jalannya Kongres Papua II 2000.
· Muncullah keberanian dan kerelaan untuk mati bagi bangsanya, atau jiwa patriotisme yang menyala-nyala. Ada anggota Satgas Papua dan Satgas Koteka yang sudah diambil sumpah untuk ikut sedia mati di bawah tiang Bendera Bintang Kejora jikalau Indonesia menurunkannya secara paksa dengan alat negara Indonesia.
· Muncullah banyak orang yang mengaku diri anggota Tentara OPM (TPN), bahkan mereka hadir dalam Kongres Papua II 2000 dan menyampaikan pidato secara terbuka.
· Lahirlah jiwa persaudaraan di antara orang Papua secara terbuka dan cukup kental.
· Banyak orang pedalaman mengenakan koteka dan tali[2] yang turun ke Jayapura, hal yang tidak seorang Papua-pun pernah bayangkan akan terjadi. Maka Jayapura dipenuhi dengan orang berkoteka dan bertali.
· Secara mengherankan, aliran uang yang terjadi waktu itu sangat luarbiasa. Rupanya ada yang sengaja melepas uang begitu saja untuk membiayai atau secara negatif mempercepat proses pelampiasan amarah orang Papua ini sehingga cepat hilang dan kembali cool-down. Memang orang Papua dikenal dengan cepat marah dan cepat baik kembali, tidak mudah simpan dendam politik.
· Muncul para orator-orator desa dan kampung secara mengherankan. Banyak orang menjadi bisa berorasi di depan ratusan bahkan ribuan masa. Dan arah bicara mereka-pun tidak kalah dengan pidato-pidato tokoh politik dunia Timur dan Barat. Bersamaan dengan itu terjadi banyak peristiwa orasi sana-sini.
Setelah kongres ini, terjadi beberapa peristiwa di tanah Papua yang kita tidak boleh lewatkan begitu saja.
· Terjadi penembakan di Jayapura, Sorong, Nabire, Manokwari, Wamena dan Maroke. Banyak orang mati karena ditembak dalam masa ini, entah alasannya apa saja, pokoknya banyak yang mati karena ditembak.
· Pengejaran pasukan Satgas Koteka sampai ke Asrama Mahasiswa anak Koteka, dan menembak mereka di Asrama mereka sendiri. Ada banyak yang lari ke hutan.
· Peristiwa tarik-menarik antara rakyat Papua, PDP dan Polri untuk waktu, jumlah dan tata-cara penurunan Bendera Bintnga Kejora. Akhirnya Bendera kebanggaan rakyat Papua itu diturunkan Secara Terhormat dengan penghormatan penuh secara militer oleh Polri tanggal 4 Januari 2001.

Selain perubahan dalam masyarakat ini, di kalangan politisi elit Papua juga mengalami beberapa hal yang mengejutkan.
· Pasukan TPN menutup Kantor FORERI dan PDP dan mengambil kunci-kuncil kantor dimaksud sebagai simbol membubarkan FORERI dan PDP.
· PDP menghadiri HUT Kemerdekaan Nauru dan Perdana Menterinya secara resmi menyatakan dukungan kepada bangsa Papua Barat.
· Vanuatu dan Nauru membawa beberapa anggota PDP ke Sidang Umum PBB, The Millennium Summit di Amerika Serikat dan kedua negara secara terbuka menyampaikan masalah Papua Barat dalam pidato KTT Milenium tersebut.
· Pdt. Dr. Benny Giay mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai Moderator PDP.
· Panglima Tertinggi TPN/OPM mencabut Mandat Perjuangan yang diberikan kepada PDP.
· Pasukan TPN masuk ke kota dan mulai beraksi melakukan sosialisasi program dan mobilisasi Dana Revolusi.
· Salah satu Panglima TPN Let. Jend. TPN PB Bernadus Mawen bisa bertemu dengan Wakil Presiden Megawati Sukarnoputri dan menuntut kemerdekaan Papua Barat. Selanjutnya, pada tahun ini 2001 datang juga salah satu bawahannya, yaitu Kolonel TPN PB Willem Onde dan bertemu dengan Ketua MPR RI Amin Rais dan Ketua DPR RI Akbar Tandjung dengan tuntutan yang sama dengan rakyat Papua, yaitu menuntut Papua Merdeka.
· Moderator PDP untuk Luar Negeri, Bapak Fransalbert Joku dan anggotanya untuk Vanuatu, Andy Adjamiseba mulai giat di Pasifik mengkampanyekan Papua Merdeka secara terbuka di mass madia dan seminar-seminar.
· Gus Dur sebagai Presiden R.I. dituduh membantu rakyat Papua untuk merdeka dan didemo habis-habisan dengan tujuh tuduhan gates, salah satunya Papua-gate.
· Panglima Tertinggi TPN ditahan polisi PNG bersama salah satu Perwiranya, Kogoya dan sebelas anggota pasukan TPN.
· Lima orang Kunci di Tanah Papua (Kapolda, Pangdam, Kajati dan Ketua DPR I Papua) jatuh dalam sebuah kecelakaan pesawat TNI di Wamena.
· Theys Eluway jatuh sakit dan diberangkatkan ke Jakarta.
· Lalu, gaung “Papua Merdeka” tenggelam begitu saja, seolah-olah gaung itu hanya sekedar mimpi siang bolong.
Lantas kita kembali duduk dan merenung nasib sebuah bangsa “Papua Barat”:
· Mengapa perjuangan bangsa Papua kokh selalu mengalami bukan jalan buntu, tetapi jalan mengambang? Ada yang bisa katakan karena orang Papua cuman panas-panas tahi ayam. Ada yang bisa bilang karena orang Papua belum dewasa berpolitik, karena itu perlu waktu. Ada yang berkata kita perlu banyak orang yang berpendidikan lalu bisa berjuang, kalau tidak akan seperti ini.
· Mengapa Thom Beanal tidak bisa berfungsi secara optimal pada saat Theys H. Eluway ditahan? Kalau kita mau contohi TPN/OPM, makan sehari setelah penahanan Gen. TPN PB Mathias Wenda, lalu segera diumumkan pucuk pimpinan sementara, yaitu Wakil Panglima Leut. Gen. TPN PB Bernardus Mawen sebagai Panglima Tertinggi TPN/OPM. Mengapa? Oh mengapa Thom kau tidur nyenyak dengan Freeport’mu?
· Mengapa para anggota Panel Papua tidak diaktifkan saja, supaya kalau terjadi permasalahan dalam tubuh PDP maka segera dilakukan perombakan dan perbaikan? Siapa yang suruh mereka pulang dan tidur serta bikin anak dan lupakan perjuangan?

[1] Kata “pembangunan” adalah salah satu kata yang saya secara pribadi alergi bahkan ‘benci’ karena mengandung arti yang rancuh, lagipula, Papua Barat telah menjadi korban dari generasi ke generasi hanya karena, demi dan atas nama ‘pembangunan.’ Lihat uraian khusus mengenai ini dalam tulisan in.
[2] “Tali” dalam Bahasa Lani adalah kata untuk pakaian wanita. Jadi tidak ada kaitan dengan kata “tali” dalam bahasa Indonesia. Dalam Bahasa Lani Lembah disebut “Sali” dan untuk Koteka disebut “holim.”