2. Tribal Democracy dalam Perspektif Perpolitkan Dunia
2.1 Pengantar
Sistem pemerintahan dan politik abad 20 merupakan kelanjutan dari sistem di
abad sebelumnya yang diwarisi khususnya oleh negara-negara dunia Barat. Pada
prinsipnya, semua bentuk pemerintahan dan politik yang dimainkan manusia di
masa silam berpulang pada satu tujuan: untuk mengatur tata-kehidupan dalam
kelompok masyarakat (yang besar). Selanjutnya tujuan itu berubah menjadi
mencari uang untuk memberi makan rakyatnya. Sama dengan kepala keluarga
mencari pendapatan untuk keluarga, demikianlah negara untuk rakyatnya. Akan
tetapi, pendekatan dan wujud daripada kegiatan mengatur tata-kehidupan dan
mencarikan makan dan minum bagi rakyat itulah yang tidak sama antara satu
suku, bangsa, negara, ras yang satu dengan yang lainnya.
2.2 Dua Kutub Sistem Pemerintahan
Perubahan sistem pemerintahan secara garis besar pada abad-abad belakangan
ini menarik untuk diperhatikan. Hal pertama adalah bahwa sejauh ini sudah
tumbuh sistem pemerintahan dalam dua kutub: Kutub pertama dikenal dengan
istilah sistem "democratic" Kutub lainnya adalah sistem "totalitarian."
Pemerintahan yang demokratis berarti suara rakyat diperhatikan. Entah
ditindaklanjuti atau tidak merupakan persoalan lain. Sedangkan totaliter
berarti suara rakyat tidak didengar sama sekali. Tetapi pada prinsipnya
keduanya sama saja, cuma yang demokrastis lebih politis dan lebih menipu
rakyat. Pada prinsipnya keduanya bertujuan untuk mengotrol rakyat agar
rakyat tetap ada di bawah pemerintahan mereka alias tidak membikin negara
sendiri.
Hal kedua, kita juga sudah mengenal kutub kapitalis dan kutub sosialis pada
abad-abad ini. Letak perbedaan itu adalah bahwa kaum kapitalis percaya bahwa
manusia itu pada intinya makhluk individu, orang per orang, bukan
orang-orang. Sedangkan sosialis katakan manusia itu orang-orang, dan manusia
itu makhluk sosial. Kapitalis akan mengambil keputusan berdasarkan suara
satu orang per satu orang, sosialis akan mengambil keputusan berdasarkan
keputusan atau mufakat bersama, bisa kelompok kecil, bisa kelompok besar,
bisa juga individu-individu. Anehnya, kaum kapitalis sudah menganggap sistem
sosialis sebagai "berbahaya" dan "kotor" atau juga "dosa." Sedangkan sistem
kapitalis, yang sebenarnya adalah penjelmaan dari sistem totaliter yang
dibungkus dengan nama "demokrasi" kini menjadi sama halnya dengan "Injil."
Hal yang mengherankan adalah bahwa sampai saat ini, umat manusia belum
menemukan apa sebenarnya yang mereka maksud dengan "demokrasi." Secara kasar
kita tahu artinya pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Tetapi "siapakah" yang dimaksud dengan rakyat dalam konsep ini? Siapakah yang
berhak mengatakan seseorang sebagai anggota "rakyat" ataupun "tidak"?
Misalkan saja, "Apakah Kelly Kwalik merupakan anggota dari "rakyat
Indonesia"? Kalau "Ya!" mengapa ia tidak pernah diberi waktu sedikit-pun
untuk menyatakan pendapatnya kepada pemerintah yang ditetapkan di Papua?
Mengapa pendukung Kwalik tidak diberi waktu untuk berbicara? Hal-hal seperti
ini akhirnya menjadi tanda-tanya buat "kita" sebagai yang menjadi rakyat
dalam sistem pemerintahan Indonesia: "Apa yang Indonesia maksudkan dengan
Demokrasi Pancasila di Indonesia?"
Kalau kita lirik sedikit
sistem sosialis, kita bisa katakan secara terori bahwa inilah sistem yang
ideal dan terbaik bagi masyarakat dunia atau umat manusia. Tetapi sial sekali
karena masa depannya dirusakkan oleh pencetus ideologi sosialisme sendiri.
Hal ini terjadi bukan karena salahnya paham mereka, tetapi karena ambisi
mereka yang salah untuk menguasai orang lain sehingga mereka malah menjadi
diktator dan bukan demokrat. Juga cara mereka mempromosikan ideologi mereka
sudah tidak benar dan tidak demokratis lagi. Dampaknya sulit sekali kita
mengangkat nama dan prinsip sosialisme di dalam berpemerintah. Amerika
Serikat yang senang demokrasipun sudah menolak sosialisme, bukan karena
prinsipnya tetapi karena penganutnya telah salah menggunakannya dan karena
pencetusnya sendiri adalah totaliter.
Sedangkan buah pahit dari kapitalisme adalah adanya kelas-kelas dalam
masyarakat. Umpamanya ada kelas ningrat, ada kelas kaum pekerja, ada kelas
rakyat biasa dan ada kelas rakyat melata. Di Indonesia kita kenal kelas
birokrat, kelas konglomerat, kelas pegawai negeri, kelas pegawai swasta,
kelas petani, dan kelas penganggur. Di dalam masyarakat yang berkelas-kelas
seperti ini terdapat pengemis di jalan, perampok dengan gang-gangnya dan ada
juga pencuri kelas kakap yang kaya-raya. Ada majikan dan ada anak-buah.
Secara singkat, rakyat hidup dalam ketidak-setaraan dan ketidak-seimbangan.
Ujung-ujungnya dari kelas-kelas itu pada tingkat antarbangsa adalah PBB,
World Trade Organisation (WTO), International Monetary Fund (IMF), the World
Bank, APEC, dll. yang tujuannya mengikat tangan dan kaki rakyat sehingga
tidak bergerak semaunya. Pada tingkat antarabangsa juga ada kelas-kelas First
World,Second World, Third World and Fourth World. Dengan demikian memberikan
peluang seluas-luasnya kepada kaum kapitalis untuk berbuat apa saja untuk
diri mereka sendiri.
Di Indonesia sudah ada proses "privatisation" berbagai badan usaha milik
negara (BUMN dan BUMD). Semua yang tidak beres dianggap salah karena negara
menguasainya dan kini mau diserahkan kepada pihak swasta. Swastanisasi ini
gejala kita menuju kapitalisme murni dan itu berarti kita akan temukan justru
lebih banyak rakyat yang menderita daripada sebelumnya. Kita akan tiba pada
kondisi di mana rakyat TIDAK MEMILIKI KUASA SAMA SEKALI untuk merubah apa
yang dibuat pemerintah yang didukung oleh konglomerat. Ini berarti bukan
pemerintah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Bukanlah demikian?
Jadi, dua kutub itu terus berperang dan tidak akan pernah ada perdamaian
antara keduanya. ???????????????????????????
2.3 Perubahan Peranan Pemerintah
Selain kutub-kutub ini, pemerintahan abad-abad belakangan ini juga mengalami
perubahan peranannya yang cukup berarti. Pertama, sejak pemerintah mulai
didirikan dalam sejarah kehidupan manusia, negara dan pemerintah dianggap
sebagai pembela dan pelindung rakyat dari serangan musuh. Kita lihat contoh
dalam Kitab Suci Islam dan Kristen di mana Raja Saul, Raja Daud, Raja
Solaiman, dan raja lainnya diangkat mengingat kebutuhan mendesak bahwa rakyat
Israel harus dilindungi secara militer yang terorganisasi dari serangan para
musuh di sekeliling mereka.
Kemudian, dalam sejarah yang dicatat Kitab Suci juga kita lihat permainan
inteligen, diplomasi dan politik sudah muncul, walaupun dalam bentuk sangat
sederhana. Contoh kerja inteligen kita tahu apa yang terjadi dengan utusan
Joshua yang mengintai Kota Jericho sebelum Allah menghancurkannya.
Di abad-abad setelah Masehi dan setelah kebanyakan negara memperoleh
kemerdekaan dan umat manusia mulai belajar berdamai dan bekerjasama antar
pulau, antar benua, antar etnis, antar ras, dan antar negara, tugas
pemerintah lebih terfokus kepada "law and order," yaitu mempertahankan
keutuhan yang sudah dicapai, yaitu, negara yang sudah dimerdekakan agar tetap
bebas dari serangan luar, tapi juga bebas dari serangan dari dalam. Law and
order ditegakkan untuk mengawasi jalannya pemerintahan dan rakyat agar hak
dan kewajiban masing-masing pihak terjamin dan terpelihara, ditegakkan secara
adil dan konsekwen. Supaya kehidupan berbangsa dan bernegara diatur dalam
aturan main yang disetujui bersama.
Khususnya kehadiran Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjukkan gejala ini
dengan jelas. PBB memberi jaminan yang baik bagi negara yang sudah merdeka
agar tidak diganggu-gugat oleh negara lain. Sedangkan negara yang baru mau
merdeka justeru dipersulit, kecuali harus dibayar dengan sangat mahal.
Sehabis masa Kristus, kalau kita ikuti catatan Kitab Suci orang Kristen, kita
tiba pada prinsip kolonialisme: Gospel, Gold, and Glory, yaitu politik
akhirnya kembali kepada soal ekonomi, soal perut. Negara sekarang berfungsi
sebagai sebuah badan ekonomi yang berusaha melobi dan membentuk
kekuatan-kekuatan ekonomi untuk menghidupi rakyatnya. Ini yang disebut
"economy oriented-politics" dan bukan "politics for politics". Inilah politik
abad-abad terakhir dan ke depan. Itu sebabnya para kepala negara zaman ini
haruslah tahu-menahu tentang perekonomian negara mereka, negara tetangga dan
dunia. Itulah pula sebabnya Bill Clinton mati-matian menghidupkan World Trade
Organisation (WTO), Internatinal Monetary Fund (IMF), The World Bank,
Asia-Pacific Economic Committee (APEC) serta badan dunia lainnya yang
berkaitan dengan ekonomi dunia. Itu pula sebabnya Pak Wahid banyak keluar
negeri untuk meminta investor asing masuk ke Indonesia dan malahan meminta
Presidium Dewan Papua untuk ikut membantu melobi buat ekonomi Indonesia.
Peranan pemerintah terus berubah. Pada pertengahan abad ini ataupun abad
mendatang, setelah peradaban manusia menjadi lebih beradab, khususnya dalam
cara memperlakukan alam dan bumi di mana kita hidup, maka semua politisi
dunia akhirnya tidak harus mahir bidang ekonomi saja, tetapi juga terutama
mahir bidang pengelolaan lingkungan hidup, ahli lingkungan hidup, dan
tahu-menahu tentang adat-istiadat masyarakat pribumi yang secara nyata telah
memelihara bumi ini lebih lama daripada industrialisasi dan modernisasi yang
konon merusak bumi rumah kita ini dengan begitu cepatnya. Ini gejala yang
sudah jelas dan perlu diantisipiasi oleh Papua sebagai negara yang akan
diakui kemerdekaannya di permulaan abad ke 21 ini.
Dari contoh-contoh yang ada jelas bahwa belum tentu semua negara memimpin
bangsanya dengan fokus dan format politik yang sama. Indonesia sampai hari
ini masih menganut paham kuno karena memiliki konsep dan peta politik yang
abstrak. Dalam konteks fokus tugas pemerintahan ini, pemerintah Indonesia
memiliki fokus yang aneh tapi nyata di dunia. Kesatu, negara Indonesia adalah
negara buatan belaka, artinya tidak pernah ada satu tanah, pulau, suku, ras
atau bangsapun di dunia ini yang disebut Indonesia. Yang ada hanya Jawa,
Batak, Bali, Papua, dll. Ini mirip dengan Amerika Serikat. Karena itu, kalau
kita buat satu bangsa baru namanya Indonesia, maka kita harus memakai upaya
keras, yaitu dengan pemerintahan yang otoriter seperti Suharto. Tanpa Suharto
dan "security approach"-nya, Indonesia tidak bakal betah seperti sedia kala.
Kedua, negara Indonesia tidak mempan dipertahankan dengan "law and order"
saja, tetapi harus dengan "security approach." Pendek kata, pemerintah
Indonesia adalah musuh rakyat Indonesia yang kini menganggap dirinya sedang
dijajah, dari Sabang sampai Maroke. Maksudnya, mulai dari Presiden sampai
Babinsa dan Kepala Desa, juga Ketua Klasis dan Gembala Jemaat di Indonesia
adalah alat dan kaki-tangan pemerintah yang selalu dipakai untuk
mengeksploitasi dan memeras hak-hak dasar rakyat seperti hak untuk bebas
bernafas, bebas hidup, bebas makan, bebas minum, bebas tidur, bebas berbicara,
bebas berkembang-biak, dll. Untuk Papua, semua hak-hak ini diambil alih oleh
hukum Indonesia dan hukum imporan lain sehingga orang Papua hidup terpenjara
di tanah sendiri. Kalau merontakpun dibunuh, dikejar-kejar, dicap teroris,
dicap GPK, dianggap makar, dll. Makanya ABRI (TNI dan Polri) di Indonesia
serta segala alat perlengkapannya yang dibeli di AS dan Inggris bukan untuk
lain maksud, tetapi untuk membunuh rakyat Indonesia sendiri. Ini fokus
pemerintahan Indonesia, dan fokus seperti ini bakal mandul dan mandeg.
Fokus pemerintahan Indonesia sungguh aneh. Fungsi ABRI, Polri dan komponen
pemerintahan lainnya ada bukan untuk MELAYANI hak-hak kewajiban warganya,
tetapi justru untuk memaksakan kehendak negara buatan yang bernama Indonesia
kepada rakyatnya. Ini suatu peranan pemerintahan yang aneh tapi nyata, dan
ini pasti akan buyar. Negara ini didirikan bukan untuk melindungi rakyat,
tetapi untuk berperang melawan rakyatnya. Negara ini didirikan bukan untuk
menegakkan law and order, tetapi justru untuk menggunakan hukum-hukum itu
untuk membela ABRI, Polri dan Pemerintahnya dan terus-menerus menyalahkan
rakyat biasa yang tak berdaya. Negara ini tidak didirikan dengan maksud
melindungi semua kekayaan alam dan manusia yang tersedia, tetapi untuk
merampas, merampok, dan menggadaikannya kepada pelacur politik dunia.
2.4 Sejarah singkat komponen penentu dalam Perubahan Peranan Pemerintah
Selain itu, kita perlu melihat bagaimana berbagai komponen masyarakat silih
berganti memainkan peranan dalam usaha mengontrol masyarakat, manusia warga
dunia ini. Pada mulanya, seperti dicatat dalam Kitab Suci Islam dan Kristen,
kita melihat betapa pemimpin agama memainkan peranan utama dan tunggal dalam
hidup bermasyarakat dan berbangsa. Setelah bangsa Israel tiba di padang
belantara, baru tugas Kenabian dan tugas Ke-imam-an dibagi. Setelah itu Musa
memberikan perwakilan rakyat dengan imam-imam sampai ke tingkat kelompok
masyarakat terkecil.
Setelah bangsa Israel tiba di Kanaan,
mereka meminta agar monopoli tokoh agama dalam memerintah rakyat dibagi
kepada pimpinan pemerintah. Pemerintah dijalankan oleh raja dan agama
dijalankan oleh Nabi. Agama yang dulu memegang semua sumber kekayaan dan
semua kekuasaan diambil sebagiannya oleh pemerintah.
Beberapa abad Setelah Masehi, peranan agama malahan tenggelam dalam mengatur
masyarakat dan bangsa-bangsa. Peranan pemerintah justru memegang peranan
penting. Dalam pada itu, gereja juga masih menunjukkan kekuataannya, tetapi
masih dianggap di dalam kekuasaan pemerintah. Karena itu kita jangan heran
melihat ada Partai Kristen, Partai Katolik, Partai Kristen Sosialis, Partai
Islam Fundamentalis, dll. yang dipimpin oleh pihak gereja tetapi untuk
bermain politik di dalam pemerintah. Di Indonesia peranan pemerintah masih
kuat di dalam organisasi agama. Contoh termudah adalah bahwa Naik Haji dan
Pengadilan Agama diatur oleh negara, bukan organisasi agama yang bersangkutan.
Hampir semua Parpol adalah milik organisasi keagamaan, bukan milik organisasi
politik. Bahkan ada isu bahwa semua Pendeta dan Pimpinan Gereja akan digaji
oleh pemerintah. Ini monopoli pemerintah di dalam gereja, sebagai balasan
dari monopoli organisasi agama ke dalam pemerintah di masa sebelumnya.
Setelah berakhirnya abad 18, 19, dan lebih-lebih abad 20, peranan pemerintah
sudah mulai tenggelam. Melemahnya peranan dan kekuasaan pemerintah dalam
menjalankan pemerintahannya terutama disebabkan oleh suburnya pertumbuhan
kapitalisme Barat atau Dunia Pertama. Yang muncul sebagai kekuatan baru
sekarang adalah multinationals. Mereka inilah yang sebenarnya memegang kunci
dari roda pemerintahan. Mereka-lah yang menjadi "raja di balik tirai." Tirai
yang paling mantap adalah tirai "demokrasi." Sampai hari ini, semua pemimpin
di seluruh dunia, termasuk Bill Clionton, Tony Blair, dan Suharto memerintah
dan berbicara atas komando para pemilik multinationals. Para konglomenratlah
yang kini mengontrol bumi serta isinya. Mereka inilah Bank Dunia, IMF, WTO,
PBB, dll. PBB itu dulunya adalah badan sosial kemanusiaan dan hankam, tetapi
sekarang sudah menjadi badan bisnis para konglomerat kawakan dunia.
Akan tetapi perlu diingat bahwa kalau para konglomerat pemilik multinationals
seperti James Moffet, Bill Gates, Aburizal Bakri, Yusup Kalla, dll. bekerja
seperti saat ini juga, maka itu akan menjadi bumerrang bagi mereka sendiri.
Para multinationals akan mati dan hilang kekuasaannya seperti yang sudah
sedang terjadi dengan kekuatan dan pengaruh peranan agama dan pemerintah.
2.5 Proyeksi Peranan Pemerintah ke depan: New World Order
Kekuatan baru yang akan muncul di abad ini ataupun abad depan adalah kekuatan
rakyat yang pada awalnya dipimpin oleh para aktivis dan lembaga non
pemerintah (NGO/LSM) yang bertumbuh dan berakar di dalam dan mengemban amanat
penderitaan rakyat sekaligus menyuarakan amanat alam semesta dan planet bumi.
Pergerakan ini akhirnya terbentuk dalam format yang kita kenal saat ini
dengan green movement dengan partai politiknya yang disebut Green Party, yang
dulunya hanya merupakan NGO dan rakyat biasa, tetapi sekarang sudah memainkan
peranan dalam perpolitikan dunia.
Kalau kekuatan ini menjadi kekuatan baru dan menentukan dalam perpolitikan
dunia, maka kebanyakan manusia yang ada di dunia ini yang masih memiliki
nilai-nilai kemanusiaan yang manusiawi dan penghargaan kepada alam-semesta
akan berpihak padanya. Tekanan kepada ketaqwaan telah berubah kepada tekanan
pada pengabdian, loyalitas dan ketaatan kepada pemerintah. Tekanan tunduk
membabi-buta kepada pemerintah ini sudah dibeli oleh mereka yang punya uang,
yaitu konglomerat. Justru karena ketidakpuasan manusia dan pengalaman pahit
atas perlakuan konglomerat dan multinationals inilah yang akan melahirkan
sikap dan politik manusia di abad depan secara berbeda. Dalam perkembangan
seperti inilah, maka kita butuh sebuah bentuk dan sistem pemerintahan di
dunia ini yang tidak bersandarkan kepada apapun, tetapi kepada rakyat itu
sendiri.
Perkembangan green movement ini sudah jelas dipimpin oleh Lembaga non
pemerintah atau NGO. Di Papua kita kenal ELSHAM, YPMD, dan WALHI. Masyarakat
sekarang justru lebih mempercayai LSM daripada pemerintah ataupun lembaga
agama. Dengan kata lain harapan umat manusia kepada lembaga agama dan
pemerintah sudah semakin sirna. Sementara itu kepercayaan kepada NGO mulai
muncul. Apalagi sekarang pemerintah dan badan-badan pemerintah seperti PBB
dan cabang-cabangnya sudah mulai mendengarkan NGO. Ini pertanda bahwa NGO
bakal memenangkan hati rakyat, dan kemudian mengambil alih segala kunci untuk
mengatur dunia ini.
Kalau kita melirik kepada proyeksi sistem
pemerintahan abad 21 ke depan, maka jelas bahwa semua sistem akan bertumpu
pada konsiderasi yang mendasar dan komprehensif atas sumberdaya alam,
lingkungan hidup dan planet bumi. Dan Indonesia sudah tidak mungkin melakukan
misi ini, karena sudah terlanjur tenggelam ke dalam utang yang terlalu besar
baginya untuk menutupi dengan jaminan para investor boleh menghancurkan dan
mengobrak-abrik hutan, hasil hutan, budaya asli, dan kandungan alam
Indonesia. Dengan kata lain, kandungan alam Indonesia sudah digadaikan kepada
dunia Barat. Kita sudah terpaksa dilelang di pasar global gara-gara tidak
sanggup bayar hutang and kini kita tunggu siapa yang akan melelang dan siapa
yang akan membelinya. Nah, kalau bangsa Papua mau kena getah segala dosa
Indonesia, maka kita terus tinggal dengan Indonesia. Kalau tidak, kita harus
atur langkah sekarang juga. Dan langkah-langkah itupun haruslah ditimbang
baik-baik, masuk akal, dapat diterima di Papua sendiri, tetapi juga tidak
menyulitkan bangsa-bangsa lain sesama manusia untuk memahaminya dan
menyalurkan tangan bantuan bagi kita.
Dalam konteks ini diperlukan pola dan bentuk pemerintahan yang memihak kepada
rakyat semata-mata, dan bukan kepada gereja, bukan kepada pemerintah ataupun
kepada NGOs. Karena pada prinsipnya tujuan semuanya adalah untuk mengatur
rakyat. Makanya, bentuk pemerintahan Papua tidak perlu mengulangi kesalahan
lama dan tidak perlu sengaja menutup mata terhadap pertumbuhan gejala
perpolitikan dan pola pemerintahan yang sudah sedang tumbuh. Demokrasi
Kesukuan diajukan dalam rangka menjawab segala perkembangan dulu, kini dan
perkembangan yang sudah diantisipasi.
Demokrasi kesukuan mencoba untuk mengajukan pola menejemen pemerintahan yang
secara langsung mewakili suara rakyat, yaitu grassroots, tetapi juga tidak
hilang jalan dalam perpolitikan dunia secara global, khususnya dalam era
globalisasi.