[Up] | [Back] | [Next]
3. Tribal Democracy dalam Perspektif Model Menejemen
Dalam ilmu menejemen organisasi, secara garis besar dikenal ada lima pola:
Formal Models, Collegial Models, Political Models, Subjective Models, dan
Cultural Models. Masing-masing model memiliki kekurangan dan kelebihan,
tetapi kombinasi dari beberapa model dapat membangun sebuah pola menejemen
yang baik untuk mengelola perjuangan aspirasi rakyat Papua dan juga
pengelolaan negara Papua Barat yang merdeka dan berdaulat penuh secara
sosial-politik, ekonomi, dan budaya. Model yang kami tambahkan di sini adalah
traditional models, yaitu model seperti yang ada di dalam masyarakat Papua
Barat.
3.1 Formal Models
Model formal ini memiliki banyak aliran, tetapi pada prinsipnya adalah
model yang banyak diterapkan dalam kepemerintahan dan menejemen di dunia.
Formal models pada prinsipnya menaruh perhatian pada struktur, sistem,
birokrasi atau hierarki dalam organisasi. Dengan kata lain, yang diutamakan
adalah mekanisme pengelolaan organisasi dan dalam sistem. Sistem yang terbuka,
pengaruh lingkungan dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan, tetapi dalam
sistem tertutup yang diperhatikan hanyalah tujuan yang telah diputuskan oleh
birokrat atau mereka yang memegang tampuk kepemimpinan dengan mengabaikan
sama sekali kondisi lingkungan (perkembangan politik, suara rakyat dan
tekanan luar).
Formal models mengutamakan sasaran organisasi sebagai patokan dalam
pengelolaan organisasi. Dengan kata lain, kepentingan individu dan golongan
dikorbankan untuk kepentingan umum. Walaupun kenyataan di Indonesia di
Indonesia mengajar kita hal yang berbeda, yang perlu diingat adalah bahwa
Indonesia merupakan negara yang aneh tapi nyata, artinya menerapkan sistem
yang gado-gado antara traditional models dan formal models, sehingga sudah
menimbulkan kelemahan sana-sini yang sampai hari ini sulit dibenahi.
3.2 Collegial Models
Collegial models lebih nampak di Perguruan Tinggi, yaitu keputusan ada di
tangan seseorang atau sekelompok orang berdasarkan bidang ilmu, fakultas,
jurusan, program studi dan keahlian. Keputusan seseorang atau sekelompok
orang dalam kesatuan inilah yang dianggap sebagai kebijakan organisasi. Garis
komando atau birokrasi dibatasi oleh hak-hak dari fakultas, jurusan, program
studi, guru besar, dosen senior, rapat dosen serta dosen masing-masing.
Keputusan bersama dalam kelompok seringkali merupakan keputusan tertinggi.
Pimpinan yang di atasnya hanya menerima laporan kebijakan yang sudah diambil
dan yang akan atau sedang dijalankan.
Model ini sangat ramah dengan lingkungan sekeliling. Dengan kata lain,
perkembangan yang terjadi di lingkungan sosial budaya setempat dengan mudah
mempengaruhi kebijakan yang diambil sehingga dengan model ini konflik antara
masyarakat sekeliling dengan institusi jarang terjadi.
3.3 Political Models
Ciri utama political models adalah kepentingan dan micropolitics, yaitu
pengaruh kelompok kepentingan dan pressure groups. Yang mempengaruhi
kebijakan kebanyakan berdasarkan kepentingan dan atas desakan dari pressure
groups, bukan hanya berdasarkan tujuan organisasi dan prosedur kebijakan
organisasi.
Political models sangat responsive terhadap pengaruh lingkungan, tetapi
lingkungan yang dimaksud hanyalah pressure groups yang ada. Dalam hal ini
kelompok kepentingan yang kuatlah yang menang, sedangkan kelompok yang lemah
sering diabaikan dan diinjak-injak. Contoh yang mudah dapat kita ungkap dari
kasus keterbelakangan masyarakat dan daerah Papua dari wilayah Indonesia
lainnya. Keterbelakangan dalam berbagai aspek pembangunan yang ada bukan
hanya karena Jakarta meremehkan manusia dan tanah Papua, tetapi juga karena
Papua tidak memiliki kelompok kepentingan yang kuat untuk menekan Jakarta
agar Jakarta membuka mata dan hati serta tangan untuk membangun Papua.
Makanya, perkembangan politik di Papua Barat saat ini justeru dianggap
Jakarta sebagai munculnya pressure groups dari Papua daripada suatu gerakan
kemerdeakaan secara politik.
Micropolitics berpengaruh di dalam pengambilan keputusan. Misalnya politik di
dalam tubuh Golkar sudah menyebabkan banyak keputusan diambil secara nasional
di Indonesia di Era Orde Baru demi kepentingan Golkar semata-mata dan
mengesampingkan kepentingan golongan dan partai lain. Politik di dalam
grup-grup kecil dapat mempengaruhi politik secara nasional ataupun global.
Inti Political models adalah bahwa kebijakan yang diambil bukan berdasarkan
teori kepemerintahan melulu, tetapi lebih condong untuk memenuhi hasrat
kelompok penekan yang sudah dibangun di dalam suatu bangsa atau kelompok
masyarakat.
3.4 Subjective Models
Subjective models merupakan kebalikan dari formal models, yaitu menejemen
organisasi lebih mengutamakan kepentingan individu di dalam organisasi. Dalam
sistem formal, staf organisasi yang ada dianggap tidak ada, kepentingan
mereka diabaikan dan yang menjadi fokus adalah pencapaian target yang telah
ditetapkan melalui karya staf yang ditugaskan dalam organisasi. Formal models
sering membawa kerugian yang sangat besar kepada pribadi-pribadi yang ada di
dalamnya. Ambisi-ambisi pribadi dan kelompok kecil dalam sistem formal
diminimalkan sehingga ambisi organisasilah yang dicapai. Subjective models
merupakan kebalikan dari formal models. Justru minat, cita-cita dan pelbagai
persoalan pribadi lepas pribadi di dalam organisasilah yang diangkat ke
permukaan dan organisasi hanya berfungsi untuk membantu dalam pencapaiannya.
Organisasi berdiri sebagai pembina dan pendorong semangat masing-masing staf
untuk bertumbuh secara optimal.
Walaupun model ini nampak baik, sayang sekali hanya cocok dan berjalan baik
kalau diterapkan dalam menejemen organisasi yang kecil saja, sedangkan
organisasi yang besar tidak mungkin memperhatikan semua-semua yang dimiliki
ratusan atau ribuan stafnya atau rakyatnya.
3.5 Cultural Models
Dari kata culture, pengelolaan organisasi berdasarkan teori ini menekankan
pada budaya dari institusi tingkat pusat maupun pada unit-unit bawahnya.
Setiap organisasi bahkan setiap pribadi memiliki budaya. Misalnya, budaya
pegawai negeri sekarang adalah seperti ini: masuk pagi, tandatangan daftar
hadir, duduk main kartu, isap rokok, makan-makan di kantin, jemput anak,
pulang, habis bulan tandatangan daftar gaji, selesai perkara. Ini budaya
pegawai negeri Indonesia. Berdasarkan budaya pegawai dan organisasi seperti
ini dapat dirancang program kegiatan organisasi agar menyesuaikan diri dengan
budaya yang ada. Contoh kedua, budaya kelas di Indonesia adalah bahwa murid
jarang sekali memprotes gurunya. Apalagi di pedalaman Papua, murid jarang
sekali bertanya di dalam proses belajar-mengajar. Mengingat budaya ini, dapat
dirancang Satuan Pelajaran yang sesuai dengan culture yang ada pada siswa
setempat. Kita tidak dapat memaksakan Satuan Pelajaran yang dipakai di
Inggris untuk harus diterapkan secara 60% di Papua. Semuanya disesuaikan
dengan budaya setempat sehingga menejemen kelas-kelas dapat dikelola sesuai
dengan culture pihak-pihak yang terkait dalam proses belajar-mengajar (murid,
guru) dan juga pihak-pihak yang lebih luas (orang tua, pemerintah, pemilik
atau sekolah).
Cultural models begitu ramah dengan lingkungan sehingga pengelolaan
organisasi yang terjadi bukan lagi mengikuti perintah, surat keputusan, dan
instruksi dari atas, tetapi justru ditentukan berdasarkan proses interaksi
dan assessment terhadap nilai-nilai dan kecenderungan-kecenderungan dan
budaya yang ada di sekeliling organisasi.
3.6 Model Tradisional
Model tradisional lebih nampak pada diri Thomas Beanal dan Theys H. Eluway,
yaitu bahwa pemerintahan dijakanlan berdasarkan kemenangan atas permainan
antara kepentingan micropolitics yang satu dengan yang lainnya. Juga model
tradisional sering bersifat misterius, alias menggunakan metode yang disebut
pakar Amerika buat Pak Abdulrahman Wahid dengan nama confuse and rule.
Kebanyakan keputusan yang diambil bersifat kontroversial tanpa
mempertimbangkan suara rakyat. Selain misterius, juga sering bergantung
kepada kuasa di luar kemampuan manusia, seperti kuasa adat dan kuasa Allah.
Dengan kata lain, kharisma pemimpinlah yang merupakan ciri khas menejemen
model tradisional.
Model tradisional juga lebih banyak menggunakan suara hati daripada rasio
sehingga sering melanggar rasio hukum dan perundangan serta perpolitikan yang
ada tetapi lebih mengena pada hati nurani dan amanat penderitaan rakyat.
Itulah sebabnya rakyat jelata Indonesia lebih senang Abdulrahman Wahid
daripada pendahulunya yang lebih tidak perduli tentang kemanusiaan tetapi
kepada kepentingan golongan dan pribadi.
Bahayanya adalah dalam perjuangan Papua Barat bahwa dengan hilangnya para
pemimpin yang kharismatik itu, akan hilang juga derasnya arus perjuangan
aspirasi rakyat. Bisa juga terjadi rakyat Papua merdeka tiba-tiba karena
kehilangan pemimpin yang mengemudikan nakhoda perjuangan Papua Merdeka.
Model tradisional lebih bersifat diktatorial dan sistem, birokrasi, atau
struktur dalam organisasipun tidak jelas. Kepemimpinan Abdulrahman Wahid dan
Theys H. Eluway secara jelas menjadi contoh model ini.
3.7 Model yang perlu dipakai dalam Tribal Democracy
Model yang perlu dipakai dalam Tribal Democracy adalah dengan ciri umum
sebagai berikut:
1. Perlu menerapkan model tradisional yang dimodifikasi dengan cultural
models Pertama, pemimpin adat (kepala suku dan ondoafi) yang ada perlu
dipertahankan karena itu merupakan pola yang sudah diterima dan sudah berlaku
dalam adat masyarakat Papua. Ini merupakan identitas bangsa Papua yang tidak
dapat dirubah dengan alasan apapun juga. Sementara itu, perlu diperhatikan
agar kepentingan lingkungan di mana dan kapan para pimpinan adat memimpin
juga perlu diperhatikan. Untuk ini perlu disediakan sistem atau wahana agar
kepentingan-kepentingan lingkungan terakomodasi oleh pola menejemen
tradisional yang dimiliki.
2. Perlu menerapkan modifikasi collegial models dengan political models
Dalam tribal democracy perlu menggunakan collegial models di mana keputusan
pada tingkat setiap suku, setiap kelompok keahlian dan setiap komisi dianggap
sudah selesai dan hanya dikonsultasikan kepada pihak lembaga yang di atasnya,
bukan untuk memberikan komando, tetapi untuk memberikan arahan saja.
Sedangkan political models perlu diterapkan dengan cara membentuk
kelompok-kelompok suku sebagai pressure-groups dengan Kepala Suku sebagai
pimpinan pressure groups sehingga pengaruh kepentingan setiap suku
berpengaruh di dalam menjalankan kepemerintahan Papua Barat.
Dalam kepemimpinan tingkat nasional dan regional perlu diperhatikan agar
kepentingan setiap suku merupakan kepentingan bangsa. Sedangkan kepentingan
setiap individu diakomodasi oleh setiap suku dan kepentingan setiap suku
diakomodasi oleh negara
3. Formal models hanya perlu diterapkan untuk menfasilitasi pengelolaan
organisasi pemerintah
Tribal democracy perlu memiliki formal models untuk kepentingan
mendeskripsikan perubahan dan perkembangan yang terjadi secara organik dalam
kehidupan setiap suku. Artinya, Undang-Undang Dasar dan Peraturan lainnya
dikeluarkan untuk meresmikan dan mengakui keberadaan setiap suku dengan
segala kelebihan dan kekurangannya sehingga tidak mudah diganggu secara
ekonomi, hukum, politik dan sosial oleh suku-suku lain di sekelilingnya
maupun oleh bangsa lain di dunia ini dan juga agar terhindar dari manipulasi
dan intervensi pihak luar dalam bentuk investasi dan pembangunan.
Formal models diterapkan untuk menolong grassroots mendeskripsikan diri akan
hak, kewajiban dan keinginan mereka sehingga tidak dianggap liar, tidak
diabaikan dan tidak diremehkan oleh pihak luar yang selalu berusaha
menghalalkan segala cara dan selalu menggunakan hukum-hukum mereka untuk
mengekspose kepentingan mereka.
. |