[Up]|[Back]|[Next]

4. Tribal Democracy: Belajar dari Guru Terbaik
Kalau kita mau belajar dari negara lain maka pertama kita belajar dari Indonesia, kemudian dari negara-negara lain di dunia yang diambil sebagai contoh. Kita akan melihat keberhasilan dan kelemahan mereka. Bagian ini berkait erat dengan bagian 2. dan bagian 3. Bagian ini bertolak dari ajaran Tuhan Yesus bahwa “Anggur yang baru tidak pantas disimpan di dalam tempayan yang lama” atau negara yang baru berdiri jangan disetel ke dalam sistem yang lama, yaitu sistem yang sudah nyata-nyata tidak menolong pencapaian cita-cita kemerdekaan
 
4.1 Belajar dari Uni Soviet dan Indonesia

Kita semua masih ingat sejarah perjuangan bangsa Indonesia dengan bambu runcing dan semangat “Merdeka” atau “Mati”-nya. Sebagaimana semua bangsa di dunia, guru-guru sejarah kita selalu mengajar dengan berapi-api dan membakar semangat peserta didiknya. Sejarah mengajarkan bahwa rakyat Indonesia waktu itu mempertaruhkan apa yang dimilikinya, termasuk nyawanya sendiri untuk kepentingan bangsa dan negara. Singkat kata, Indonesia bukan sebuah negara yang dihadiahkan oleh penjajahnya, seperti halnya Papua New Guinea atau Malaysia, tetapi direbut dengan pertumpahan darah, dengan pengorbanan waktu, tenaga dan uang yang tidak sedikit jumlahnya. Itulah apa yang dipersembahkan rakyat Indonesia.
Kemudian yang disumbangkan oleh elit politik Indonesia waktu itu, yaitu terutama Ir. Soekarno dan Dr. Moh. Hatta adalah terutama sekali UUD 1945, Pancasila dan bentuk negara dan pemerintahan Republik Indonesia.
Yang disumbangkan oleh Amerika Serikat terutama adalah tersingkirnya komunisme dari tanah air Indonesia, sebenarnya bukan karena orang Indonesia tidak mau, tetapi karena komunisme mengganggu hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat dan kepentingan perut dan politik Amerika Serikat di Indonesia dan Asia-Pasifik sangat besar.

Sekarang Indonesia sudah merdeka lebih dari setengah abad, tetapi mengapa cita-cita perjuangan kemerdekaan toh masih belum tercapai sampai hari ini? Mengapa Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab pada urutan kedua dihapus begitu saja oleh Sila Ketiga: Persatuan Indonesia? Mengapa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tidak terwujud di Papua, Acheh, Moluccas dan daerah lainnya sama sekali? Kurang uang? Penduduknya berjumlah 260 juta lebih bisa menyumbangkan seorang Rp.1.000,- maka bayangkan berapa?

Apakah ini dosa-dosa pendiri negara ini? Ataukah ini dosa Soeharto? Atau ini dosa TNI dan Polri? Ada beberapa jawaban:
- Nasionalisme Indonesia waktu tahun 1940-an adalah nasionalisme imperialistik dan ekspansionis, sehingga nasionalisme itu tidak membantu pendiri negara RI mengakui dan menghargai keanekaan dan perbedaan suku-bangsa yang ada di Indonesia.
- Pembentukan N.K.R.I. menggantikan R.I.S. adalah langkah politik yang sangat fatal salah dan keliru. Sebenarnya Soeharto tidak salah sedikitpun juga, karena beliau hanya melanjutkan apa yang dirintis Soekarno. Hal yang perlu diingat adalah bahwa apa yang terjadi ini sebenarnya bukan keinginan Indonesia ataupun keinginan Belanda, tetapi kemauan Amerika Serikat. A.S. tidak pernah mau melihat negara lain dibangun seperti dia dan lebih baik dari dia. Hanya itu toh, bukan karena mau menolong Indonesia menjadi lebih baik, memangnya ini negaranya?
- Pembentukan UUD 1945 SANGAT TIDAK SESUAI DENGAN aspirasi dan suara hati Dr. Moh. Hatta dan Ir. Soekarno waktu itu. Dr. Hatta dengan Sosialisme Religious dan Bung Karno dengan NASAKOM (Nasionalisme-Agama-Komunisme) tidak bisa hidup dalam bentuk UUD seperti yang kita kenal dengan UUD 1945. Dengan kata lain, “anggur baru” Indonesia ini dimasukkan ke dalam “tempayan yang lama”, yaitu bentuk dan sistem pemerintahan yang tidak benar sama sekali.

Kesalahan ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Lebih mengguncang dunia adalah apa yang ada di U.S.S.R. dulu. Paham sosialisme yang dianut Uni Sovyet tidak bisa dijalankan dan hidup dalam sistem yang mereka pakai, yaitu totalier. Ini sama dengan menaruh ikan di dalam aquarius, jadi tidak bisa berkembang baik, tidak bisa berkembang biak, dan tidak bisa berfungsi optimal, justeru merugikan. Akhirnya Uni Sovyet hancur luluh, tetapi malahan perubahan ini lebih bagus karena C.I.S. sekarang lebih sosialis daripada dulu.

Kesalahan serupa dilakukan oleh Adolf Hitler dan Lennin. Mereka menaruh paham mereka dalam sistem yang sangat salah. Akhirnya mereka tidak menjadi sesuai paham mereka, malahan menjadi sesuai dengan paham Barat. Kesalahan ini tidak dilihat baik oleh Soekarno dan Hatta yang kebetulan sepaham dengan mereka. Kesalahan Soekarno dan Hatta, yang walaupun sudah punya pendidikan tinggi, adalah melahirkan seorang anak yang bernama “Indonesia” tetapi tidak mau membesarkannya di “Indonesia” tetapi malahan dimasukkan ke dalam panti asuhan “Amerika Serikat.” Ini orang tua pengecut dan tidak bertanggungjawab.
- \Kebenaran Soeharto adalah ia tidak pernah merubah sedikitpun titik dan koma dalam UUD 1945. Ia adalah pelaksana UUD 1945 yang murni dan konsekwen. Apa yang telah dilakukannya selama 32 tahun adalah hasil di atas fondasi rumah yang sudah dibangun Soekarno dan Hatta, bukan di atas fondasi baru. Jadi, kalau rumahnya miring, atau salah, maka itu fondasinya yang salah, demikian kata insinyur bangunan.

Jadi, paham Soekarno NASAKOM dan paham Hatta Sosialisme Religius tidak akan pernah bisa hidup dalam alam N.K.R.I. dengan UUD 1945 seperti yang ada sekarang. Itu sama saja dengan bohong. Pelihara ikan dalam akuarium lalu dipromosikan ke luar bahwa ikan itu akan dijual dalam jumlah ribuan dengan harga murah kan nggak lucu? Demikianlah nasib Indonesia. Menangkap burung Cenderawasih dan membawanya ke Inggris supaya berkembang-biak di sana kan tindakan tolol. Itulah yang dibuat pendiri negara yang namanya N.K.R.I. Ini suatu kekeliruan dan yang mempertahankannya adalah mereka yang lebih keliru dari Soekarno dan Hatta karena seharusnya mereka sudah bisa mengambil hikmah dari apa yang sudah mereka alami selama ini.

Oleh karena itu, rakyat Papua tidak boleh mengulangi kesalahan Indonesia. Paham dan saran seperti “kepemimpinan pyramidal” seperti yang ada dalam PDP, paham seperti PDP mengkleim diri sebagai satu-satunya wadah perjuangan yang sah dan diberi mandat rakyat, dll. adalah anggapan yang lebih tolol dari Soekarno dan Hatta dan bangsa Indonesia pada umumnya. Karena kenyataan lapangan tidak demikian adanya. Kenyataan lapangan Papua adalah bahwa rakyat Papua terdiri dari 245 suku dan bahasa lebih, dan kalau Papua mau merdeka, keanekaan itu harus terwakili di dalam negara Papua, bukan direkayasa sesuai kemauan pihak kedua dan pihak ketiga seperti halnya Indonesia.

4.2 Belajar dari Papua New Guinea

Papua New Guinea “dinyatakan merdeka” pada 15 September 1975 atas dasar hasil Pemilu di PNG yang dimenangkan oleh partai Michael Somare yang menginginkan kemerdekaan Papua New Guinea. Negera itu adalah sebuah persemakmuran dari Inggris, di bawah pengawasan langsung Australia. Jadi PNG tidak langsung berada di bawah Tahta Inggris, tetapi melalui Gubernur Jenderal yang ada di Australia.

Ini berarti ada banyak hal yang masih diatur oleh Inggris dan Australia sebenarnya. Militer dan kebijakan luar negeri terutama sekali ditentukan oleh kedua negara Barat itu, dan PNG hanya harus ikut. Kebijakan ekonomi PNG harus menguntungkan kedua majikannya tadi. Akhirnya bagi PNG maju kena, mundurpun kena. Mau dibilang sudah merdeka juga salah-salah, mau dibilang belum juga tidak benar. PNG tidak hitam dan tidak putih, politik PNG adalah politik abu-abu.

Lebih cocok kalau PNG diberi nama Wilayah Otorita PNG, dengan perdana menteri sebagai Kepala Otorita, daripada sebuah negara, karena prakteknya memang PNG adalah sebuah wilayah Otorita di bawah Australia dan Inggris.

Papua Barat mau dibawa kemana? Atau SKP Keuskupan Jayapura katakan: Papua Barat, Ko Mo Kemana?

Australia, Inggris dan Amerika Serikat mau agar Papua Barat menjadi sama dengan Papua Timur, berstatus wilayah otorita di dalam Indonesia. Ini sangat mungkin, karena mereka melihat kedua wilayah sebagai satu pulau, sebagai satu bangsa dan sebagai satu etnis, dan karena itu apa yang mereka telah buktikan berhasil di PNG patut diterapkan di Papua Barat. Neo-kolonialisme Indonesia saat ini merupakan warisan perilaku kolonialisme Barat. Dan bentuk penjajahan seperti yang terjadi di PNG sangat mungkin dipaksakan terwujud di Papua Barat karena kedua wilayah berada pada posisi yang sama secara geografis, geopolitis, ekonomis dan kepentingan militer dunia Barat. Menerapkan sistem yang berbeda akan merumitkan para penguasa wilayah itu untuk mengatasi berbagai gejolak dan permasalahan di kemudian hari. Barangkali ini sudah ada konspirasi “Australia-AS-Inggris-Indonesia”, barangkali juga belum, who knows? Anything might happen anytime, anyhow.

Apa yang diinginkan rakyat Papua Barat? Sama dengan PNG atau dengan N.K.R.I.? Nama negara apa yang patut kita berikan? Republik Papua Barat: sama dengan Republik Indonesia, Republik Uni Sovyet, Persemakmuran PNG? Jangan sampai perjuangan masyarakat kecil (grassroots) di Papua diambil alih oleh para pembunuh manusia dan pembunuh bumi semesta dan selanjutnya setelah Papua Merdeka pun perilaku Indonesia masih sama saja berjalan di Papua Merdeka.

4.3 Belajar dari Cuba

Cuba adalah satu-satunya negara di benua Amerika dan satu-satunya negara di muka bumi yang “menyimpan anggur barunya” di dalam “tempayan yang baru pula.” Atau bisa juga Anda katakan, “menyimpan anggur lamanya” di dalam “tempayan yang lama.” Artinya, Fidel Castro menjalankan pemerintahannya sama persis dengan pahamnya dan sama persis dengan kondisi obyektif masyarakat, alias tidak ada rekayasa negara yang berbatasan dengan dia, Amerika Serikat. Yang aneh, mengapa A.S. tidak mampun menaklukkan Cuba, tetapi lebih pusing kalau Indonesia tidak dikuasainya? Ini bukan karena politik, tetapi karena perut A.S. ada di sini. Dia lebih pusing dengan kebunnya daripada dengan pekarangan rumahnya yang tidak memberi dia makan. Sebenarny Soekarno dan Hatta merasa waktu itu mereka sedang menyusun UUD 1945 dan Pancasila menurut paham mereka, tetapi bukan. Yang terjadi adalah ada agen luar negeri yang sudah masuk dan bermain di balik layar tanpa mereka sadari.

Walaupun Cuba masih dianggap negara totaliter dan Fidel Castro sebagai diktatornya, negara itu dapat dikatakan “MERDEKA” secara politik, ekonomi, dan sosial-budaya, tidak seperti Indonesia yang belum merdeka penuh secara politik, apalagi ekonomi, sosial-budaya dan hukum.

Rakyat Papua harus bertanya dan mencari tahu, apa yang menyebabkan Cuba memiliki TOTAL INDEPENDENCE tadi? Mungkin benderanya bercorak warna dasar putih dengan strep biru sama dengan Bintang Kejora itu dapat menjadi panutan bagi Rakyat Papua.

4.4 Belajar dari Switzerland

Selama ratusan tahun rakyat Switzerland angkat senjata dan baku hantam, tidak pernah ada perdamaian di sana. Pertikaian di sana begitu rumit turun-temurun, dan sulit sekali diselesaikan. Tetapi kokh, negara itu yang PALING AMAN selama abad 20 dan sekarang abad 21?

Dan juga sampai hari ini Switzerland bukan anggota PBB, dan jarang sekali mau terlibat dalam usaha-usaha pembentukan Uni Eropa. Negara ini mau jalan menurut jalannya sendiri, tidak ikut-ikutan ramai. Tetapi kita bisa heran, “Mengapa ada Kantor PBB ada di sana?” “Mengapa negara ini paling aman di seluruh dunia?” Jangan katakan Amerika Serikat itu aman karena banyak anak sekolah bunuh teman kelasnya, dan A.S. tidak mampu mengatasinya. Banyak rakyat berdemonstrasi melawan kebijakan pemerintah dan A.S. belum berhasil mengatasinya. Banyak kelompok anti pemerintah di sana. Apalagi rakyat Pribumi A.S., mereka sedang bersiap mengambil tanah mereka kembali dari bangsa imigran Eropa di sana. Singkatnya, A.S. sarat dengan masalahnya, sebagaiman ia sarat dengan nama baiknya.

Switzerland adalah negara yang pertama kali mensponsori The League of Nations dan United Nations Organisations. Tetapi mengapa ia tidak mau menjadi anggota The United Nations?

Sampai hari ini Kantor Palang Merah Internasional dan Badan PBB Untuk Urusan Pengungsi (U.N.H.C.R.) berkantor pusat di sana, tetapi selama ini Swiss tidak pernah menjadi anggota PBB dan tidak akan pernah mau.
Ada beberapa alasan menurut analisis kasar dan pantauan jarak-jauh:
- PBB bukan proyek murni untuk kemanusiaan dan perdamaian, tetapi semata-mata sebagai jalan bagi Dunia Barat untuk melanjutkan kekuasaan kolonialisme mereka dengan nama neo-kolonialisme. Swiss tidak mengenal dan menentang kolonialisme dalam bentuk apapun juga. Karena itu Swiss aktif dalam urusan kemanusiaan seperti Palang Merah dan U.N.H.C.R. tetapi bukan dalam urusan Dewan Keamanan, Bank Dunia, dll.
- PBB adalah badan yang bertujuan untuk pada akhirnya mewujudkan sebuah dunia dengan Satu Pemerintahan, Satu Pemimpin, Satu Bank, Satu Bahasa, dan Satu Bangsa. Swiss adalah negara yang memiliki tiga bangsa dan bahasa, sehingga sulit bersatu dengan PBB.
- Swiss mengakui hak untuk hidup sederajad bagi suku-bangsa yang ada di dalam negaranya. Itulah sebabnya di negara itu ada bahasa nasional satu-satunya, tidak ada pusat kebijakan satu-satunya, tidak ada Perturuan Tinggi Nasional, tidak ada yang menasionalkan Swiss. Semuanya diatur dalam confederasi Swiss. Jadi kalau Anda ke Geneva, Anda akan baca nama jalan, berita Televisi dan Radio atau koran, percakapan orang-orang di jalan dan di pasar, semuanya menggunakan Bahasa Perancis. Kalau Anda ke Zurich, semuanya tidak berbahasa Perancis tetapi Bahasa Jerman. Sekolah-sekolah tidak menggunakan Bahasa Perancis di Zurich tetapi Bahasa Jerman.

Negara Swiss punya latar belakang kebudayaan sama dengan Belanda, Inggris, punya tahta kerajaan. Pada saat kami mengunjugi istana kerajaan itu, tempat itu sudah tidak ada rajanya, karena rajanya sudah dibasmikan. Hal yang sama terjadi di Jerman, Perancis, Spanyol dan Austria. Ini sebuah langkah yang patut kita jadikan titik penting untuk kita lacak. Ini membuat kita mengajukan pertanyaan selanjutnya: “Mengapa Inggris dan Belanda masih memiliki tahta kerajaan?”

Kalau kita melihat secara kasar, negara-negara yang punya kerajaan itulah yang justeru banyak menjajah dan banyak menjarah di seluruh muka bumi, sedangkan negara yang membenci kerajaan cenderung tidak demikian. Kita lihat Jerman dan Perancis sudah banyak kali tidak sejalan dengan kebijakan PBB, bahkan mereka lebih cenderung mensponsori Uni Eropa daripada PBB. Jermanlah terutama mensponsori kebijakan dekolonisasi, dan sebelum proses dekolonisasi berjalan, Jerman sudah melepas wilayah jajahannya. Salah satunya di wilaya Papua Timor. Jangan heran kalau melihat nama Gunung Hagen atau Mount Hagen adalah dalam Bahasa Jerman. Tetapi ia melepas wilayah itu sebelum draft dekolonisasi final dan karena itu diambil alih Inggris dan di over ke Australia sampai hari ini.

Pada pokoknya Demokrasi Kesukuan mengambil banyak sekali hikmah dari keberadaan hidup di negara Swiss, yang setara, aman, berada, beradab, damai, dan bermartabat. Kalau Anda mau bicara tentang HAM dan Demokrasi secara teori dan praktek, tidak usah ke Amerika Serikat atau ke Inggris, karena yang ada di situ “rekayasa” dan “manipulasi”; tetapi kalau ke Swiss, Anda akan melihatnya dan sekaligus merasakannya. 

4.6 Belajar dari Beberapa Negara Lain

Beberapa negara lain perlu kita sebutkan sebagai bahan perbandingan. Negara-negara ini disebutkan dalam sorotan berbagai topik aktual saat ini, seperti HAM, Demokrasi dan Globalisasi.

4.6.1 Belanda dan Inggris

Belanda terkenal dengan hukum-hukumnya, karena itu patut dihargai dengan kantor Pengandilan Internasional di sana. Tetapi hukum yang mana dan yang bagaimana? Kasus skandal terbesar dalam status Papua Barat, yang merupakan wilayah jajahannya waktu itu tidak pernah Belanda mencoba untuk menyebut sedikitpun. Sekali waktu, tanggal 19 Desember 1999, Menlu Belanda pernah mengatakan di depan demonstran orang Papua di Den Haag, bahwa masalah Papua Barat adalah án unfinished business!” atau sebuah bisnis yang belum tuntas. Ini diucapkan oleh seorang pejabat setelah 30 tahun lebih memilih untuk diam dan tidak perlu angkat suara dengan persoalan skandal hukum di mukanya sendiri.
Kalau berbicara masalah demokrasi, sebenarnya kondisi demokrasi di Belanda sama saja dengan apa yang ada di Inggris.

Inggris dilihat panutan dalam dunia penegakkan HAM sehingga banyak negara berusaha belajar menghargai HAM seperti yang terjadi di Inggris. Tetapi banyak pelanggaran HAM yang dilakukan Inggris di negara-negara seperti Papua Barat melalui perusahaan raksasanya Rio Tinto dan di Nigeria melalui perusahaan Inggris-Belanda Shell Oil Company. Mereka bicara HAM di sini, orang-orang mereka melanggar HAM di sana; lain perkataan, lain perbuatan. Yang perlu kita tanyakan adalah: “Mengapa demikian?” Manusianya atau sistem pemerintahannya?

4.6.2 Jerman, Perancis, Austria dan Spanyol

Jerman, Perancis, Austria dan Spanyol adalah empat negara yang saya pikir patut disebutkan sebagai guru terbaik untuk orang Papua, khususnya dalam merancang konsep Demokrasi Kesukuan.
Keempat negara ini saya sudah lihat sekila sendiri. Hal utama yang menonjol adalah bahwa sebagai berikut:

Istana raja-raja di keempat negara ini ada yang tinggal puing-puing dan ada yang yang dijadikan tempat wisata saja.

Raja-raja di keempat negara ini sudah tidak nongol lagi di sana. Ketika saya tanya, ada yang bilang: “Oh, rajanya sudah lari ke Denmark, ke Inggris, ke Belanda, ke Belgia, dll.” Jadi para pangeran, ratu dan raja yang punya tahta di keempat negara ini sudah tidak ada lagi. Ada yang sudah digantung hidup-hidup oleh rakyatnya. Para pemegang tahta yang masih hidup lari berserakan ke negara lain minta perlindungan untuk hidup.

Sistem pemerintahan mereka adalah sistem sosialis, tepat seperti yang pernah diperjuangkan oleh Soekarno-Hatta.

Kebanyakan negara-negara ini dikucilkan dari perpolitikan dunia, lantaran Amerika Serikat sebagai musuh utama sosialisme berperan agresif dan tidak mengenal kompromi dengan kamanusiaan dan hak asasi manusia.

Keempat negara hidup serba sejahtera. Jarang sekali saya melihat para penganggur mengemis. Anda bisa melihat di Belanda dan Inggris terutama punya pengemis dalam jumlah yang besar, keadaannya sama saja dengan Jakarta. Kokh ada negara makmur yang punya pengemis? Memang negara kapitalis itu SANGAT PERLU DAN HARUS ADA KELAS-KELAS MANUSIA. Tidak bisa sebuah negara kapitalis hidup tanpa kelas-kelas manusia. (Lihat selanjutnya dalam masalah Perjuangan Bangsa Tertindas di Barat dalam Buku: MENGENAL MUSUH-MUSUH ORANG PAPUA, ohel WestPaC-AMP, 2000). Jadi, tanpa pengemis di jalan, Jakarta tidak akan dapat disebut Jakarta. Demikian halnya dengan London dan Amsterdam.

Artinya, keempat negara memang sudah merdeka secara mutlak, yaitu merdeka secara politik, ekonomi, sosial-budaya, dan hukum. Apa yang sedang diperjuangkan oleh rakyat Papua atau kemerdekaan apa yang orang Papua mau? Demokrasi Kesukuan menjamin realisasi kemerdekaan mutlak tersebut agar tidak mengulangi kesalahan Soekarno-Hatta untuk Indonesia.

4.6.3 Amerika Serikat

Amerika Serikat dilihat panutan dalam dunia demokrasi sehingga banyak negara berusaha belajar berdemokrasi ala Amerika Serikat, lebih-lebih oleh Indonesia. Tetapi apa esensi dari kehidupan berdemokrasi di Amerika Serikat? Apakah orang Amerika Serikat sudah banyak yang professor bidang demokrasi? Ataukah rakyat Amerika lebih mengerti berdemokrasi? Atau sistem pemerintahannya yang menjamin demokrasi berjalan lancar?

4.6.4 Chille

Chille adalah sebuah negara dengan sistem pemerintahan yang mirip dengan Inodnesia, tetapi lebih merakyat, lebih obyektif dengan kondisi sosio-budaya rakyatnya. Ada satu hal yang menonjol dalam negara itu, yaitu bukan kediktatoran Jenderal Pinochet, tetapi perihal hak atas tanah. Tanah di seluruh negara Chille tidak dimiliki oleh siapapun, termasuk negara tidak berhak. Tanah dijadikan sebagai hak pakai bagi semua orang Chille, dan dimiliki bersama oleh rakyat Chille. Tidak ada Badan Pertanahan Negara di sana yang mengeluarkan Sertifikat Tanah.
Nilai dasar pertimbangan mereka begini. Manusia itu berasal dari tanah, hidup di atas tanah, hidup oleh hasil tanah, dan matipun akan menjadi tanah. Tanah adalah hakiki dari hidup dan kehidupan manusia, karena itu tidak ada manusia manapun yang punya hak memiliki apalagi punya hak menjualnya. Apakah rakyat Papua mau ikut kebiasaan buruk Indonesia dan Belanda yang menjual tanah dan makan hasil jualan tanah? Menurut cerita penjual tanah, uang tanah itu panas dan jarang sekali hasil jualan tanah menjadikan orang menjadi berada atau kaya.
 
4.6.5 Zimbabwe

Zimbabwe adalah sebuah negara di Afrika yang sudah merdeka secara politik, punya status secara hukum sebagai negara merdeka, tetapi seperti kata Soekarno, “Belum terjadi Revolusi total dan multidimensional” seperti yang diinginkan terutama oleh Presiden sekarang, Roberth Mugabe.

Walaupun Presiden Mugabe orang asli tanah Zimbabwe, hampir 100% tanah negara itu dimiliki orang lain. Jadi orang kulit putih yang punya sertifikat hak milik hampir semua tanah di negara itu. Kalau mereka ini tinggal di Inggris, maka predikat mereka adalah “Lords” atau “Tuan Tanah.”

Kalau tanah sudah ada di tangan orang bukan asli Zimbabwe yang sudah banyak mati untuk kemerdekaan Zimbabwe, apa artinya sebuah negara yang “merdeka” di Zimbabwe? Kalau hasil kemerdekaan itu tidak dinikmati oleh orang yang sudah menderita banyak waktu perang revolusi, buat apa negara itu ada?

Untuk Indonesia, kalau orang Indonesia asli yang sudah berjuang sampai banyak mati tidak sampai bisa menikmat 20% saja dari kekayaan di Indonesia, untuk apa negara ini diperjuangkan dengan darah dan nyawa penduduk asli Indonesia? Kalau orang keturunan dan orang asing yang menikmati hasil kemerdekaan Indonesia, apa yang sebenarnya dicari orang Indonesia asli alias Jawa dari hasil kemerdekaan mereka? Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia? Kemanusiaan yang adil dan beradab? Persatuan Indonesia? Ketuhanan Yang Maha Esa? Kerakyatan yang Dimpimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan? Konon semuanya tidak bisa dilihat dalam perpolitikan dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia.

Itulah sebabnya Robeth Mugabe terus berjuang mati-matian agar orang asli tanah itu bisa mencapai cita-cita kemerdekaan mereka, kehidupan yang adil dan makmur, bukan seperti di Inggris atau Amerika Serikat tetapi seperti di Jerman dan Perancis. Itulah sebabnya bukan dia yang mendapatkan Hadiah Nobel, tetapi justeru Nelson Mandela. Karena Mandela tidak mau tahu dengan siapa yang memiliki tanah di Afrika Selatan, yang dia mau tahu adalah siapa yang memimpin negara itu. Tetapi Mugabe tidak perduli dengan siapa yang memimpin negara itu, tetapi siapa yang memiliki dan menikmati kemerdekaan dalam negara Zimbabwe. Dan perjuangan Mugabe lebih berbobot mati daripada kadar pengaruh perjuangan Mandela. Pekerjaan Mugabe bisa merubah peta politik dunia daripada sekedar perjuangan atas ketidakadilan di Afrika Selatan.
Demokrasi Kesukuan menjamin Papua dari segala bentuk ketidak-adilan dalam masyarakat sehingga rakyat tidak menderita dalam kemerdekaan, rakyat tidak diperbudak oleh negara, seperti yang terjadi di Indonesia paska kemerdekaan saat ini

4.6.6 Australia

Hemat saya, Australia adalah negara yang menarik. Pertama karena orang sulit tahu secara sepintas kalau sebenarnya negara itu belum merdeka secara hukum. Australia bukan sebuah negara secara teori, tetapi hanyalah sebuah persemakmuran yang dikepalai oleh seorang Gubernur (Jenderal) yang bertanggngjawab langsung kepada Tahta Kerajaan Inggris.
Sama dengan Inggris, negeri Kangguru ini punya Perdana Menteri, tetapi hanya sebagai Kepala Pemerintahan yang menjalan kegiatan pemerintahan seharian, sedangkan Kepala Negara adalah Ratu Inggris. Ini termasuk PNG, tetapi PNG dijajah lapis oleh Inggris dan Australia, double-colonies ada di orang-orang sebelah Timur Papua. Belum lama ini diadakan sebuah Pemilu khusus untuk menentukan masa depan Australia, apakah mau menjadi negara merdeka atau masih mau tinggal di bawah jajahan Inggris. Dan lucunya, kebanyakan penduduk yang konon mayoritas orang asal dari Inggris itu lebih memilih tinggal di bawah jajahan Tahta Inggris. Tidak terlalu mengherankan karena Australia merupakan Extended-Village dari Inggris dalam pengertian orang Papua. Yaitu hanya sebuah kampung orang Inggris yang baruan ditempati.

Kalau Otonomi Khusus yang diluncurkan Jakarta berlanjut, bisa saja Papua jatuh ke nasib seperti Australia, kelihatan merdeka, tetapi pada hakekatnya tidak. Itulah yang secara jelas digambarkan Bas Suebu, mantan Gubernur Irian Jaya dan kini Dubes RI untuk Mexico bahwa muatan “O” dan “M” sebenarnya sama, searah dan sejalan. Dengan kata lain, “O” dapat membawa Papua kepada “M.” Itulah pemahaman Mr. Rumansara, dkk. yang dilansir salah satu media di Jakarta bahwa beliau lebih menerima “O” daripada “M” karena Nasionalisme Papua belum dibangun. Itulah sebabnya ada program Papuanisasi oleh Gubernur Jaap Solossa saat ini.
Pertanyaan sekarang, mengapa Australia yang sudah lebih maju dari Indonesia, yang punya otonomi bukan seperti yang diberikan Indonesia saat ini tapi lebih jauh dari itu, toh belum juga merdeka? Ataukah memang Australia dapat digolongkan sebagai negara merdeka? (Jawaban atas pertanyaan seperti ini dibahas dalam buku selanjutnya: MENGENAL MUSUH-MUSUH ORANG DAN ALAM PAPUA, AMP-WestPaC, 2001) Apakah Papua mau menuju ke jalan yang sudah dirintis Australia dan Papua New Guinea? Tergantung rakyat Papua sendiri.

Demokrasi Kesukuan tidak melihat permasalahan apakah Papua dalam status sama dengan Australia atau tidak. Yang ditekankan di sini adalah apa yang harus terjadi dengan orang asli Papua dan tanah Papua: Apakah kemerdekaan itu dipergunakan untuk terutama kepentingan orang Papua atau hanya sebagai sandiwara untuk mengenyangkan Dunia Barat. Demokrasi Kesukuan menjawab pergumulan orang Aborigin dan orang Papua New Guinea yang sudah lama dijajah tetapi belum pernah sadar dan bangkit dari penjajahan. 

Catatan Penutup Bagian ini

Kita kembali kepada Pengantar Paper ini, yaitu bahwa Demokrasi Kesukuan dirancang agar “anggur baru” atau Papua yang Merdeka itu tidak kita salin ke dalam “tempayan yang lama” atau bentuk dan sistem pemerintahan yang justru merugikan orang Papua yang sudah berkorban banyak untuk mencapainya.

Pengalaman adalah guru terbaik, dan pengalaman itu berkata begini:
Bukan kemerdekaan politik sendiri menjamin kesejahteraan rakyat. Atau kalau Papua mau “M” dan menolak “O”, maka sebenarnya “M” yang dimaksud itu masih potensial untuk tidak mensejahterakan orang Papua seperti yang diimpikan.

Kemerdekaan itu harus mencakup ekonomi, sosio-budaya, politik, dan hukum. Dengan kata lain Papua harus merdeka secara mutlak. Meminjam istilah Bung Karno, harus terjadi revolusi total di Papua yang simultan dan multidimensional.

Kesalahan kebanyakan negara dalam mencapai impian kemerdekaan mereka, terutama Indonesia, adalah karena para pendiri negara tidak merancang sebuah sistem pemerintahan yang bisa mewujudkan cita-cita kemerdekaan yang sesungguhnya. Karena sayangnya kebanyakan perjuangan yang sudah pernah kita tahu, yang merupakan perjuangan rakyat jelata, dibajak oleh arus globalisasi dan imperialisme serta kuasa neo-kolonialisme abad ini.

Di Papua sudah mulai nampak perjuangan rakyat semesta itu diambil alih oleh tangan-tangan jahil pihak kedua dan ketiga. Lebih-lebih dengan kehadiran Presidium Dewan Papua, kita sudah terjebak ke dalam “lubang buaya Papua”, di mana para nasionalis dan tokoh revolusi Papua akan dimasukkan semua agar mampus dan akan bangkit Soeharto-Papua dengan tangan besi dan akan membasmi saudara sebangsanya sendiri.
Demokrasi Kesukuan dirancang melihat fenomena perpolitikan dunia dalam konteks global dan lebih kusus Papua dalam konteks N.K.R.I. Demokrasi Kesukuan menghindarkan Papua dari kerugian yang dialami bangsa yang sudah merdeka seperti Indonesia.

Pengalaman adalah “guru terbaik”, “Apakah orang Papua mau belajar dari pengalaman?” Ataukah “Masa bodoh?”
Orang Papua mau merdeka dan menjadi sama dengan negara mana? Indoensia? Uni Soviet? Jerman? Perancis? Inggris? Switzerland? Australia?