[Up] | [Back] | [Next]

Menu Halaman Ini

2.1 Apakah orang Papua mau “Merdeka” atau “Bebas” atau “Keduanya”, atau…?

2.2 Risalah beberapa Contoh Perjuangan “Kemerdekaan” dan “Pembebasan”

2.3 Risalah Beberapa Tokoh Pejuang Kemerdekaan dan Pembebasan

2.4 Jenis-Jenis Manusia Papua dalam Konteks Papua “M”

Catatan Penutup bagian ini


II. KONSEP DASAR & BEBERAPA KONTEKS PERJUANGAN DI DUNIA
Di sini kita mau lihat “Apa sebenarnya yang menjadi sasaran perjuangan mereka?” atau “Siapa yang mereka lihat sebagai musuh?” Atau “Siapa atau apa sebenarnya yang mereka lawan?” Lalu kita akan cocokkan dengan beberapa perjuangan di muka bumi dan melihat sasaran mereka dalam berjuang demi kemerdekaan mereka.
2.1 Apakah orang Papua mau “Merdeka” atau “Bebas” atau “Keduanya”, atau…?
Kedua kata ini selalu disalahgunakan dan dikaburkan, ada yang disengaja dan ada yang karena salah kaprah. Dalam kasus Papua, kedua kata ini telah dikaburkan oleh PDP dan segala perangkatnya seperti LMA, Panel Papua, Satgas Papua, dan semua perangkat lain yang ada dalam Dewan Papua. Yang terjadi adalah dalam hati lain, tetapi dalam perbuatan menjurus ke arah lain, atau dalam perbuatan lain tetapi tidak dicocokkan dan dikendalikan dengan apa yang ada di dalam hati. Entah karena sengaja direkayasa atau karena memang direkayasa oleh pihak kedua dan pihak ketiga di luar kekuasaan PDP, apa yang diperjuangkan rakyat Papua sudah menjadi tidak jelas: “Kebebasan”, “Kemerdekaan” atau “Keduanya” atau “hal lain”?
2.1.1 Apa yang saya maksud dengan ‘Kebebasan’?
Kebebasan dalam bahasa Inggris “Freedom”, dari akar kata “bebas” atau “free”. Tetapi kita perlu bertanyasecara kritis: Bebas dari apa, atau siapa dan bebas untuk apa? Kalau kita hanya sekedar ikut demo, ikut kongres dan sebagainya tanpa mengetahui pertanyaan kunci ini kita akan tiba di tempat yang kita tidak maksudkan, dan setelah tiba di situ kita sendiri tidak akan menyesal, karena memang kita tidak tahu “Bebas dari apa, atau siapa dan bebas untuk apa?”
Semuanya bebas-bebas aja, kita sedang reformasi total di INDONESIA. Anda jawab sendiri: Apa yang Anda maksud dengan kebebasan dalam perjuangan Papua Merdeka? Bebas naiikan Bintang Kejora? Bebas berteriak “Merdeka”? Bebas bikin Kongres Papua II 2000? Bebas punya Satgas Papua dan Satgas Koteka? Bebas melakukan demo melawan Pemerintah? Bebas bagi TPN/OPM keluar masuk dan hadir dalam Kongres Papua II 2000? Bebas merubah nama Irian Jaya menjadi Papua?
Apalagi yang belum bebas? Semuanya di-“bebaskan” oleh Bapak Abdurrahman Wahid. Katanya:”Bendera Bintang Kejora bebas dikibarkan!” Bertindaklah “sebebas-bebasnya”! kata Bapak Reformasi Indonesia, Gus Dur. Tetapi kembali lagi, “Bebas dari apa, dari siapa dan untuk apa?”
· Bebas dari rasa takut?
· Bebas dari intimidasi?
· Bebas dari terror?
· Bebas dari ikatan TNI dan Polri?
· Bebas untuk bentuk Satgas?
· Bebas untuk bikin Kongres?
· Bebas untuk naikkan bendera?
· Bebas untuk rubah nama?
· Bebas untuk bangun Posko?
· Bebas bagi Willem Onde dan Bernardus Mawen bertemu Pimpinan MPR RI, DPR RI, bahkan Wapres RI.
· APA YANG BELUM BEBAS? Semuanya diberikan kebebasan sebebas-bebasnya.
Barangkali kita semua perlu pergi kepada Gen. TPN PB Mathias Wenda, Gen. TPN PB Kelly Kwalik bersama Titus Murib, Silas dan Yudas Kogoya dan tanya kepada mereka: “Apa yang belum bebas jadi kamu tinggal menderita di hutan? Barang sudah bebas sekali mo, masuk sudah! Nanti kamu bebas bikin negara di sini!”
Setelah semuanya serba bebas, lalu Anda tahu apa yang akan terjadi? Yang akan terjadi sudah diterjemahkan dengan baik oleh Sekretariat Keadilan dan Perdamaian, Keuskupan Jayapura sebagai “Politik Menebar Jala”, yaitu biarkan ikan-ikan yang mau merdeka itu bergerak, berteriak dan masuk ke jala TNI dan Polri, jangan digertak, jangan dimarahi, jangan diintimidasi, biarkan semuanya bergerak bebas dan masuk ke dalam jala Polri/TNI. Setelah masuk semua: TPN/OPM, PDP, Panel, Satgas, dll. baru jala itu DITARIK! Maka tertangkaplah ikan-ikan “Papua” dari yang kecil sampai yang gode-gode sekali.
Setelah ditangkap semua, ingat, yang akan terjadi adalah: Ikan besar dimakan, lalu ikan kecil-kecil dibuang kembali ke laut atau dibuang ke darat dan mati. Jadi, orang Papua seperti Gubernur, Ketua DPRD, Bupati, Pimpinan PDP, bisa juga sebagian dari TPN/OPM akan disantap oleh N.K.R.I. Rakyat kecil sudah pandai membaca, dan sudah melihat ikan-ikan besar ini sudah nyata menghambat Perjuangan “M” di Papua, bukan? Anda dan saya adalah ikan-ikan kecil itu. Untung kalau kita dibuang ketika si penabur jala ada di pinggir laut, tetapi sial kalau si penjala memilah ikan besar dan kecil setelah dibawa pulang ke rumah, kita sudah jadi makanan empuk anjing, kucing, lalat dan semut alias TNI dan Polri yang hanya kenyang kalau ada masalah di mana-mana dan kalau keadaan aman, mereka kelaparan.
Jadi, kita harus ingat, walaupun kebebasan itu mengantar kita kepada kemerdekaan, kebebasan itu sendiri bukanlah kemerdekaan. Kebebasan sering membawa rakyat kepada kemerdekaan, tetapi kebebasan tidak pernah memerdekakan orang. Yang harus ditaruh di otak semua rakyat Papua adalah: “Bebas dari apa dan siapa, dan bebas untuk apa?”
2.1.2 Apa yang saya mengerti tentang kata ‘Kemerdekaan’?
Kemerdekaan dalam bahasa Inggris adalah “Independence,” lawan kata dari “dependence,’ dari akar kata “depend.” Arti sederhananya adalah “tergantung pada” atau dalam bahasa pasar kita sebut “ada di tangan.” Masalah ini ada di tangan Ondofolo Eluway, nanti beliau yang akan putuskan, artinya tergantung pada beliau. Conoth lain kita lihat masalah makan dan minum di Indonesia. Indonesia terlihat sangat tergangung kepada International Monetary Fund (IMF), Asian Development Bank (ADB) dan The World Bank. Karena itu, kalau IMF berbuat sesuatu, pasti akan muncul di halaman Depan Kompas, Suara Pembaruan, dan sumber pemberitaan utama lainnya. Karena itu Jakarta akan resah kalau IMF membuat keputusan: “Tidak akan memberikan pinjaman lagi!” misalnya. Karena perekonomian Indonesia “dependent” kepada atau tidak “independent” dari IMF, secara politik Indonesia sudah merdeka sekitar 80%, tetapi secara ekonomi Indonesia belum merdeka sama sekali, sama halnya dalam dalam bidang hukum dan perundang-undangan.
Nah, sekarang apa yang orang Papua maksud dengan semboyan ‘“M” itu harga mati!’ “M”? Menurut Lukas Karl Degey (anggota DPR/MPR PDIP), katanya kemerdekaan batin-lah yang diutamakan, yaitu masyarakat rasa aman, tenang dan hidup sebagaimana manusia harus hidup. Merdeka untuk berdemonstrasi, merdeka untuk hidup tanpa intimidasi, merdeka untuk membangun sesuai selera orang Papua, dan seterusnya. Apakah ini arti “merdeka” atau “bebas”. Ingat kita harus selalu bertanya: Bebas atau Merdeka dari siapa, apa dan untuk apa? Menurut Degey merdeka/bebas dari intimidasi, rasa takut UNTUK membangun. Saya tidak tahu apakah ini yang dimaksud dengan Otonomi Khusus?
Kalau orang membelokkan aspirasi “M” ke arah yang lain, mereka tidak bermaksud menghianati, tetapi mereka SALAH TAFSIR atau Keliru mengartikan suara rakyat yang bulang untuk “M”.
Dari apa yang saya pahami, “independence” berarti “terlepas dari ketergantungan” atau “pisah dari keterikatan,” dan bukan sekedar “bebas dari ini dan itu.” Karena ada bangsa dan negara yang sudah merdeka, tetapi belum bebas, dan ada negara dan bangsa yang sudah bebas, tetapi belum merdeka.
Jadi, dalam konteks Papua, terlepas dari ketergantungan secara politik, ekonomi, dan sosial-budaya kepada Indonesia adalah “M” harga mati tadi. Inilah yang kita sebut REVOLUSI di Papua Barat. Kalau terjadi REVOLUSI di tanah Papua, kita akan hidup dalam nama negara bukan N.K.R.I. lagi, kita tidak akan punya DPRD, Gubernur Papua dan Bupati-Bupatinya yang diangkat dengan SK dari Jakarta lagi. Kita tidak akan melihat TNI dan Polri berkeliaran cari mangsa dan sesuap nasi di Papua lagi. Kita akan punya pabrik sendiri untuk pengelolaan sagu, petatas, keladi, dll, bukan untuk menggiling padi. Kita akan punya Presiden atau Pemimpin Besar Suku-Suku Papua seperti Theys dan Thom, yang ke Jakarta bukan sebagai wakil rakyat Papua lagi, tetapi sebagai wakil bangsa Papua. Kita akan punya Kabinet Rakyat Papua, dan Pemerintahan Kesukuan Papua.
Sedangkan terlepas dari rasa takut, terlepas dari kemiskinan, terlepas dari koteka di tubuh, pindah dari honai ke rumah tembok dan semen yang panas, terlepas dari buta huruf menjadi melek huruf, dan lain sebagainya tidak merubah status ketergangungan secara politik, ekonomi dan sosial-budaya dengan N.K.R.I. Ini yang kita namakan REFORMASI di Tanah Papua.
Jadi, apakah Kongres Papua II 2000 dan segala perangkat organisasi lainnya dimaksud untuk “kebebasan” atau “kemerdekaan” Papua?
Kalau kita berpolitik, kita bisa makan gado-gado, tetapi kalau rakyat Papua memperjuangkan kebenaran dan kasih di atas tanahnya, politik Papua haruslah hitam dan putih, bukan abu-abu, atau gado-gado.
Go to Top
2.2 Risalah beberapa Contoh Perjuangan “Kemerdekaan” dan “Pembebasan”
2.2.1 Perjuangan Bangsa-Bangsa di Afrika
Kalau kita mau belajar dari perjuangan di benua Afrika, maka terbagi dua: perjuangan untuk kebebasan dan perjuangan untuk kemerdekaan. Contoh perjuangan legendaris Nelson Mandela adalah perjuangan untuk kebebasan. Walaupun sebelumnya beliau berjuang untuk kemerdekaan dan bertindak sebagai Panglima Angkatan Bersenjata SWAPO, beliau dipenjarakan dan akhirnya menjadi seorang pejuang kebebasan, yaitu bebas dari politik apartheid, penjajahan berdasarkan warna kulit dan jenis rambut.
Tetapi ada juga perjuangan lain seperti di Angola dan Congo, yang berjuang untuk merdeka, bukan sekedar bebas.
Contoh kasus menarik lainnya adalah Presiden Robert Mugabe dari Zimbabwe, yang sampai hari ini walaupun sudah merdeka secara politik, beliau masih merasa kemerdekaan itu belum penuh dan mutlak. Yang dilihat beliau bukan sekedar dia sudah menjadi Presiden dan bukan orang kulit putih. Yang dilihat beliau bukan sekedar menteri-menterinya semua orang kulit hitam seperti yang diperjuangkan Nelson Mandela.
Tetapi, ada pertanyaan saya: Mengapa Mugabe tidak diberi Piagam Penghargaan Nobel Prize? Mengapa justeru Nelson Mandela yang memperolehnya? Ini kunci yang harus dipegang orang Papua. Pertanyaan selanjutnya yang bisa menjawab pertanyaan ini adalah: Siapa yang memberikan hadiah itu? Atas dasar apa hadiah itu diberikan? Dengan kata lain, “Demi kepentingan siapakah Nobel Prize itu dianugerahkan?” Apa isu yang diangkat oleh kedua orang Afrika ini? Siapakah sasaran perjuangan mereka? Apakah yang mereka perjuangkan? Siapakah yang rugi dan siapakah yang untuk kalau kedua perjuangan ini menang?
2.2.2 Perjuangan Bangsa Indian-American
Perjuangan bangsa yang diberi nama “American-Indian” sangat menyakitkan. Nama mereka seperti Yanomami dan lainnya dihapus. Yang ada dalam buku-buku sosiologi dan antropologi dunia adalah nama “American-Indian” yaitu nama sama persis dengan nama Papua atau New Guinea. Orang Amerika asli itu mirip orang India yang sudah dikenal orang kulit putih di Asia, sehingga waktu mereka pergi ke benua Amerika, mereka melihat sama, maka dipanggillah mereka itu: “orang India yang di Amerika” alias “American-Indian.” Orang yang sama pula yang sempat ke tanah kita, dan melihat manusia di tanah kita seperti orang di Guinea, Afrika, dan kita diberi nama bukan Lani, bukan Biak, atau bukan Mee, tetapi New Guina, alias Guinea Baru. Jadi, pertama, orang American-Indian sedang berjuang ratusan tahun lamanya untuk mengembalikan nama mereka kepada nama yang sebenarnya. Orang Papua berhasil dalam waktu tidak lebih dari setengah abad, tetapi sayangnya bukan dikembalikan ke nama asli, melainkan ke nama panggilan yang diberi orang luar pula, yaitu Papua.
Setelah orang asli Amerika ini mengembalikan nama mereka kepada nama sebanarnya, mereka juga sementara waktu berjuang untuk mengambil kembali hak-hak atas tanah adat mereka.
Misi mereka bukan mendirikan negara Amerika baru, tetapi mengambil kembali tanah-tanah mereka, sehingga negara itu boleh bernama Amerika Serikat, tetapi tanah yang di atasnya negara itu didirikan adalah milik tuan tanah. Dengan kata lain, orang yang tinggal di atas tanah itu hanya berhak pakai, bukan berhak milik.
2.2.3 Perjuangan Bangsa Aborigine di Australia
Orang Aborigin senasib dengan orang asli Amerika. Mereka sudah tidak ada peluang lagi untuk “M” seperti yang diperjuangkan orang Papua. Yang mereka bisa buat adalah sekedar mengembalikan jatidiri mereka, dan memiliki kembali tanah adat mereka. Sama dengan orang Amerika asli, orang putih asal Inggris dan lainnya itu boleh memimpin negara dan menggunakan tanah Australia, tetapi orang Aborigin punya tanah Australia itu.
Tetapi perjuangan ini bukan mudah seperti teorinya. Buktinya perjuangan di Australia sudah berlangsung ratusan tahun, sama dengan di Amerika, tetapi sampai hari ini hanya tidak lebih dari 2% tanah yang bisa dimiliki oleh orang Aborigin.
Sebelum kita lanjut, perlu diketahui bahwa tiga contoh perjuangan di atas adalah perjuangan rakyat Pribumi atas pendudukan dan penjajahan orang Barat, bangsa kulit putih yang 99% asal Eropa. Sejarah membuktikan bangsa bangsa Eropa telah menyebar ke seluruh dunia, termasuk Papua dan berhasil menguasai hampir seluruh bumi. Paket kolonialisme mereka dapat dikatakan kandas di tengah jalan karena muncul ide dekolonisasi, yaitu pemberian kemerdekaan kepada daerah dan masyarakat yang terjajah. Dalam paket ini mereka telah berhasil menguasai hampir seluruh bumi.
Prinsip mereka adalah seperti ini:
· Bumi diciptakan untuk kita semua, semua umat manusia, jadi tidak ada satu suku-bangsa pun yang bisa mengkleimnya sebagai wilayahnya atau daerahnya. Karena itu mereka bisa pergi ke mana saja dan menjadi warga tanah itu, tidak menjadi persoalan sama sekali.
· Dalam wilayah baru yang dikuasai itu, bila ada hal-hal yang kurang di sana, maka bangsa Pribumi itu disebut primitif, ada di jaman batu, ketinggalan jaman, bahkan untuk Papua disebut kanibal dan kafir, sehingga mereka perlu ditobatkan dan dimanusiakan atau dimajukan.
· Setelah itu, kalau Anda mau tinggal dan betah di sana, tidak ada seorangpun yang bisa melarang Anda, toh ini dunia milik kita bersama.
· Karena itu, kalau ada orang Pribumi yang minta macam-macam, mereka perlu diperlakukan sedemikian rupa sehingga mereka tidak mengusir kita pulang ke Eropa, tetapi mereka menerima keberadaan kita dan sementara itu mereka boleh memajukan jatidiri mereka. Tetapi harus dijaga agar mereka tidak menguasai kita, seperti yang dibuat oleh Robet Mugabe atau tokoh revolusioner Fidel Castro. Makanya Anda boleh merontak, memprotes, naik banding di pengadilan, dan perang, tetapi ada satu hal yang harus diingat: MEREKA JANGAN MENGUASAI KITA.
· Inilah prinsip yang sedang dipakai untuk Papua. Mereka tidak menganggap suatu persoalan kalau Indonesia yang menguasai tanah itu. Yang mereka ribut adalah cara atau pendekatan Indoneisa yang masih kuno, yaitu militeristik. Mereka cuma mau Indonesia belajar dari mereka cara menguasai tanah Amerika, Australia dan Afrika. Terlihat Gus Dur lebih maju dalam pandangannya tentang dunia ini, karena itu beliau sedang menuju ke sana. Mengapa Gus Dur sering ke luar negeri? Kalau bukan untuk mengatakan: “Kami sedang menyelesaikannya, tenang aja, toh kita akan hidup rukun seperti kalian di Amerika, Australia dan Afrika! Mengapa kalian risau, sedangkan kalian sendiri hidup rukun di Amerika, Afrika dan Australia? Kami sedang berusaha seperti kalian, dengan Demokrasi dan HAM. Tenang aja, tunggu 50 tahun lagi, Indonesia akan menguasai Papua dan akan mengurangi tuntutan mereka untuk “M” menjadi sekedar untuk “B” seperti kalian telah buat di ketiga benua tadi.” Dan ingat, ini bukan hal yang aneh buat orang Barat, justeru inilah yang diinginkan mereka. Buktinya karena mereka telah melakukannya, karena itu mengapa harus melarang Indonesia mengikuti jejak mereka?
2.2.4 Perjuangan orang Hawai’i Amerika Serikat
Perjuangan orang asli Hawai’i sudah disinggung jelas dalam Buku 3 WestPaC-AMP: Papua Barat Yang Kami Tahu, yaitu buku pedoman Diplomasi Kepentingan Rakyat Papua. Mereka dianeksasi oleh Amerika Serikat setelah program transmigrasi berhasil. Setelah ratu Hawai’i dikalahkan oleh bangsa A.S., banyak orang kulit putih Amerika Serikat yang ditransport ke Hawai’i, lalu tiba saatnya Lalau rakyat Hawai’i berontak minta pengakuan kemerdekaan dan minta agar pemerintahan yang dimusnahkan dipulihkan kembali.
Karena Amerika Serikat mau kelihatan “demokratis” orang yang hidup di Hawai’i (penduduk asli dan orang kulit putih yang jumlahnya sudah melebihi orang pribumi) disuruh melakukan Pemungutan Suara untuk menentukan apakah Hawai’i mau terlepas dari A.S. atau tetapi bergabung dengan negeri Paman Sam itu. Biar sebelum pemungutan suara-pun orang bodoh bagaimanapun bisa tahu hasilnya, yaitu orang kulit putih pasti menang, dan pasti memilih tetapi dengan Amerika Serikat. Tetapi demi “demokrasi” mereka tetap menjalankan pemungutan suara itu. Dan hasilnya tidak perlu heran: kebanyakan orang yang tinggal di Hawai’i masih mau tetapi bergabung dengan Amerika Serikat.
Tetapi perjuangan masyarakat pribumi Hawai’i tidak pernah berakhir. Sudah lebih dari 100 tahun sekarang. Pada saat saya bertemu dan tanya mereka: “Apa yang kamu cari, “M” atau “O”? Mereka jawab dengan tegas: “Jelas kami mau Merdeka!, Mereke dari perbudakan orang Amerika Serikat!” Lalu saya tanya lagi, “Kokh kami tidak pernah mendengar Anda sedang berjuang untuk kemerdekaan Hawai’i?” Lalu dia katakan, “Kalau kita mau melawan negara seperti Amerika Serikat, kita butuh waktu ratusan tahun, dan puluhan gererasi, tidak semudah kalian di Papua.”
Lalu saya termenung dan pikir: Mengapa kita di Papua lebih mudah menurut wanita Hawai’i ini? Atau mengapa mereka lebih sulit? Ternyata perjuangan mereka disebut perjuangan “non-violent movement”, yaitu perjuangan tanpa sayap militer. Perjuangan mereka adalah perjuangan diplomasi seutuhnya. Mereka tidak punya kelompok TPN di sana, mereka juga tidak punya kelompok OPM untuk Hawai’i yang setuju diplomasi sekligus setuju perjuangan bersenjata. Yang mereka punya adalah kelompok PDP, yaitu mengutamakan dialog dan diplomasi, yang menolak TPN dan mengabaikan keberadaan OPM. Akhirnya kesimpulannya jelas, kalau kita hanya 100% bergauntung kepada PDP, maka Papua “M” akan tercapai dalam jangka waktu ratusan tahun, dan beberapa puluh generasi. Yang jelas tujuan pasti tercapai, cuma orang Papua harus sepakat bahwa Papua akan “M” dalam jangka waktu lebih dari 100 tahun lagi, dan pada generasi yang ke 5 sampai ke 10 dari kita yang hidup tahun 2001 sekarang.
Tetapi pada waktu itu, warna perjuangan tentu akan lain, organisasi perjuangan pasti sudah lain, akhirnya wujud Papua “M” itu juga akan lain. Kemungkinan besar akan sama dengan status Papua New Guinea di dalam persemakmuran Inggris dan pengawasan Australia.
2.2.5 Perjuangan Mahatma Ghandi di India
Perjuangan Ghandi di India telah dicatat secara khusus oleh Dr. Benny Giay dalam bukunya: Menuju Papua Baru, entah “Baru” dalam arti apa kita masih perlu simak baik-baik. Beliau memberi contoh Marthin Luther King, Nelson Mandela dan terutama Ghandi dan berkesimpulan bahwa revolusi di India pernah terjadi dengan tanpa kekerasan. Itu inti pesannya.
Menurut saya, dalam sebuah perjuangan kita perlu melihat “apa” masalahnya, “apa tujuannya” dan “siapa atau apa musuhnya.” Dengan kata lain, saya kutip ungkapan Gen. TPN PB Mathias Wenda:
Anak, kalau ko mo potong kumis, ko pakai silet cukur,
Kalau mo potong sayur, gunakan pisau dapur,
Kalau mau gunting bunga, pake gunting atau parang kecil
Kalau mo babat rumput, pake parang,
Kalau mau tebang kayu, jangan pake silet, jangan pake parang, nanti satu tahun pohon dia tidak jatuh, jadi harus pake apa? Kapak!
Jadi, kalau TPN melawan Inggris, kita akan pakai HAM,
Kalau TPN melawan Amerika Serikat, nanti kita pake Demokrasi,
Kalau kita mo lawan Indonesia, jangan pakai HAM atau Demokrasi
Itu salah, itu keliru besar, kasih tau itu orang-orang sekolah,
Supaya jangan mereka pake alat salah untuk tujuan mereka.
Supaya mereka jangan lupa siapa yang mereka sedang hadapi.
Jangan jadi orang bodoh yang berpendidikan!
Dengar orang tua, orang tua tau apa yang dia buat, mengapa dan bagaimana?

Jadi, waktu itu Ghandi sedang berhadapan dengan penjajah Inggris, dan kebetulan Ghandi sendiri adalah seorang ahli hukum dan pengacara. Pendekatan hukum dan HAM yang dipakainya jitu, dan buktinya India sudah merdeka.
Pertanyaan sekarang bagi bangsa Papua seperti ini:
· Apa masalah kita: Masalah tanah? Masalah harga diri dan jatidiri? Atau masalah kebangsaan?
· Apa tujuan kita: Merdeka? Bebas?
· Siapa mush kita: Inggris? Amerika Serikat? Australia? Atau Indonesia?
· Kalau Indonesia, mana pendekatan yang paling tepat? Apakah kita harus gunakan silet? Pisau dapur? Parang? Atau Kampak? Untuk menebang pohon beringin yang rindang dan sarat dengan setan-setan dan dukun-dukunnya? Kalau kemerdekaan yang kita perjuangkan melawan Indonesia, mana jalan yang kita pilih?
2.2.6 Perjuangan Bangsa Timor Loro Sa’e
Kalau kita membandingkan perjuangan rakyat Timor Loro Sa’e untuk merdeka dengan perjuangan bangsa lain di dunia, maka perjuangan ini unik dan membanggakan. Pertama karena para tokohnya tidak sempat berhasil dijinakkan oleh kaum penguasa neo-kolonial seperti yang terjadi pada diri Nelson Mandela. Ada seorang bernama Mr. X menulis kepada Mr. X begini:
Kebanyakan perjuangan masyarakat tertindas selama ini tidak pernah mencapai hasil seperti tujuan semula karena perjuangan itu kebanyakan dihyjacked (dibajak) oleh kaum penguasa neo-kolonialisme. Mereka ini bernama para NGO multinational, Perusahaan multinational, Gereja multinational, dlsb. Akhirnya, perjuangan itu kebanyakan tiba di REFORMASI, bukan REVOLUSI. Ia beri nama peristiwa ini sebagai “the Bolsevick syndrome,” yaitu sebuah perjuangan rakyat di Russia yang berhasil dibelokkan oleh kaum penguasa untuk kepentingan mereka.
Syndrome ini mulai nampak di Papua. Ada beberapa bukti yang sempat kita lihat seperti:
· Pengangkatan pengurus PDP yang tidak mewakili rakyat yang terdiri dari 245 suku lebih, tetapi malahan dimanipulasi oleh elit politik Papua secara tidak sehat. Menggunakan pola Pilar Pemuda, Pilar Wanita, dst, bukan cara pergerakan rakyat, tetapi ini cara kekuasaan neo-kolonialis, yaitu menghilangkan jatidiri suku-suku yang ada, dan menggunakan kelompok-kelompok buatan yang nantinya akan punah karena tidak punya akar ke dalam masyarakat dan karena tidak bisa menyatu. Kebanyakan waktu akan habis dengan persoalan konsolidasi antar pemuda, antara kaum wanita, antar pelaku sejarah, dll. dan akhirnya waktu habis untuk urus “M”. Ini pendekatan sangat typical dan ini menuju ke Bolsevick syndrome tadi.
· Mengangkat HANYA SATU ORANG sebagai pimpinan pucuk PDP adalah pola pyramidal, pola yang sudah gagal di Indonesia, sudah gagal di dunia lain, pola yang tidak reflective dengan kenyataan obyektif Papua yang majemuk dan unik. Karena itu orang Papua jangan marah percuma kalau Ketua PDP dan anggotanya saja yang tandatangani kontrak-kontrak kerja untuk perusahaan asing. Karena itu jangan kaget kalau nantinya orang Papua balik menindas orang Papua. Ini gejala gawat menuju ke Bolsevick syndrome tadi.
· PDP mengkleim diri sebagai satu-satunya badan yang sah dan berhak penuh memperjuangkan aspirasi rakyat Papua. Kleim ini sudah secara tidak sopan dan secara arogan meremehkan perjuangan lama dari OPM dan TPN, dan Kelompok 14 yang sudah nyata ada di tanah Papua. Banyak nyawa telah melayang atas nama badan-badan lain di Papua, PDP hanya berdiri setahun lalu. Mengapa kokh senonoh begitu? Mengapa tidak sopan begitu? Mengapa arogan begitu? Yang jelas ini bukan ciri orang Papua. Ini peristiwa menuju Bolsevick syndrome. Kita tunggu waktu di mana PDP akan memberi komando untuk membasmi Kelompok 14, TPN, OPM dan kelompok lainnya di Papua.
Kedua, karena perjuangan rakyat Timor Loro Sa’e dimenangkan hanya dalam kurun waktu 24 tahun (1974 - 2000). Walaupun orang Amerika asli dan Australia asli tidak pernah berhasil dalam ratusan tahun, hanya untuk mengembalikan jatidiri mereka dan hak atas tanah, bangsa Melanesia di Timor Loro Sa’e lebih hebat dari kita semua. Bangsa Papua sudah mulai berjuang sejak 1963. Kita mulai melakukan perlawanan 11 tahun lebih duluan.
Janganlah kita terlalu tolol untuk mengerti kunci-kunci keberhasilan rakyat Timor Loro Sa’e. Atau rakyat Papua jangan membiarkan pimpinan PDP, TPN, OPM dan Kelompok 14 bertindak lucu dan tidak berpatokan pada pengalaman orang Timor Loro Sa’e.
Ketiga karena pihak Gereja di Timor Loro Sa’e tidak pernah diam. Dengan Teologi Pembebasan, para tokoh gereja di sana terus berteriak dan minta campur tangan dunia internasional. Misi gereja di Papua bukan untuk sekedar menguasai dan menjajah dan membiarkan orang Papua dibantai. Ada seorang Irlandia kelahiran Inggris bilang saya begini:
Gereja jangan berorientasi ke sorga melulu,
Hidup nanti dan hidup sekarang sama, keduanya hidup,
Hidup sekarang malahan lebih penting karena kita ada sekarang dan hidup sekarang.
Penderitaan sekarang ini harus dijawab oleh gereja.
Gereja itu untuk ke surga, tetapi gereja ada karena kita ada di dunia ini, tanpa dunia ini gereja tidak perlu ada.
Karena itu orientasi pelayanan gereja jangan terus melihat ke langit biru, atas somewhere, somewhere, somehow.
Mereka jangan selalu berkhotbah tentang what will be sometime
Tetapi mereka harus lebih mengutamakan what should be now.
Sehubungan dengan ini ada seorang Pemuda Papua pernah menulis bahwa pihak pertama yang harus bertanggungjawab atas penderitaan rakyat Papua adalah pihak gereja. Mereka yang buka isolasi, buka lapangan terbang, lalu militer Indonesia menyusul mereka, dengan pewawat misionaris, dan membantai orang Papua. Lalu orang misionarisnya lari keluar, tak pernah melaporkan penderitaan kita. Ia berkesimpulan bahwa kebanyakan misionaris sebenarnya cari makan saja, bukan datang karena kasih seperti kasih yang dimiliki Tuhan Yesus. Mereka tidak punya misi seperti Tuhan Yesus, tetapi sekedar cari kerja di Papua, ladang yang kosong, penuh dengan orang kanibal, orang kafir, orang perang suku dll. Kesimpulan ini barangkali menyakitkan bagi para misionaris, tetapi ini kesan nyata yang perlu ditanggapi misionaris dan gereja.
Keempat, karena rakyat yang mau merdeka betul-betul “all-out” artinya maju tanpa mundur selangkahpun dan maju serentak dan seutuhnya. Kita sudah bertemu anak sekolah dari Timor Loro Sa’e di Jawa dan luar negeri. Mereka tidak pernah makan makanan yang enak-enak seperti orang Papua. Mereka jarang masuk ke warung-warung. Mereka jarang berfoya-foya. Yang ada di otak mereka adalah: “Kapan kita merdeka?” Status kemahasiswaan mereka tidak penting sama sekali selama negara Timor Loro Sa’e belum merdeka. Mereka menjual apa yang mereka punya seperti sepatu, baju sehelai, dan arloji tangan untuk pergi berdemonstrasi di Jakarta. Dibandingkan dengan Pemuda Papua, mereka harus menunggu biaya demo dari sponsor, mereka mabuk-mabukan di Jawa, tempat makannya bukan masak sendiri di rumah kos, tetapi berlangganan di warung-warung.
Sementara itu, mereka yang di luar negeri tidak pernah sekedar berbicara: Hak Masyarakat Pribumi seperti di mulut orang Papua di pengasingan sekarang. Pesan mereka jelas sekali: Orang Timor Loro Sa’e mau merdeka, merdeka secara politik. Dan TITIK. Mereka mengikuti setiap langkap pemimpim politik dunia. Mereka mengomentari setiap sikap dan pernyataan dunia internasional terhadap perjuangan Timor Timur waktu itu.
Selanjutnya, pemimpin Fretelin di penjara, Xannana tidak pernah mundur selangkahpun dengan tawaran apapun dari Indonesia. Beliau tidak pernah datang ke Jakarta bertemu Ketua DPR RI atau MPR RI atau Wapres untuk menyelesaikan masalah Timor Loro Sa’e. Beliau tidak pernah minta dialog. Beliau tidak pernah berkolusi atau mengatur konspirasi dengan Jakarta. Sikapnya jelas dan tegas: Orang Timor Loro Sa’e mau merdeka, bukan basa-basi.
Rakyat Papua memang orang Papua, artinya tidak pernah serius dan tidak pernah konsisten, mereka semuanya PANAS-PANAS TAHI AYAM. Saya sendiri ragu kalau ada orang Papua yang sampai hari ini masih terus menangis dan berteriak kepada Tuhan dalam Doa Syafaat mereka untuk Papua Merdeka. Saya masih ragu kalau orang Papua yang dulu sudah sumpah mau mati itu sudah malas dan batal sumpah mereka. Contoh kasusnya kita bisa lihat seperti berikut:
· Sementara ada orang di hutan yang minta “M” masih ada orang Papua di kota yang minta “O”
· Sementara ada mahasiswa yang serious untuk “M” ada yang masih cari uang kuliah dari uang “O”
· Ada Bupati di pedalaman yang sudah menandagatangi Kontrak untuk otonomi Daerah.
· Ada pejabat yang sudah diberi fasilitas untuk memajukan konsep “O”
Berdasarkan kondisi orang Papua ini, maka kalau saya orang Indonesia, jawaban “O” dan “F” dari Gus Dur adalah pas, tidak keliru sama sekali.
Selain perjuangan orang Timor sendiri, Portugal sebagai sebuah negara Eropa terus mendukung perjuangan mereka. Saya menilai ini merupakan bumbu atas tekad dan gerakan orang Melanesia di Timor Loro Sa’e sendiri yang menyedapkan perjuangan itu sehingga dunia luar bisa menyantapnya dan akhirnya jadi: Australia mempimpin pasukan PBB masuk ke Timor Timur.
2.2.7 Perjuangan Kaum Tertindas di Barat
Perjuangan kaum tertindas di dunia, khususnya di dunia Barat pada hakikatnya persis sama dengan perjuangan orang Indonesia dan orang Papua. Yang membedakan hanyalah tempat musuh itu berada, wujud musuh itu, dan namanya. Memang ia hadir dalam bahasa yang berbeda tetapi bila diterjemahkan juga namanya beda.
Corak perlawanan juga berbeda, berdasarkan tingkat peradaban
 Go to Top

2.3 Risalah Beberapa Tokoh Pejuang Kemerdekaan dan Pembebasan
Secara singkat kita akan melihat beberapa tokoh pejuang kemerdekaan dan kebebasan di dunia agar menolong kita melihat apakah Jend. TPN PB Mathias Wenda, Jen. TPN PB Kelly Kwalik, Letjen TPN PB Bernardus Mawen, Kolonel Willem Onde, Theys H. Eluway dan Thomas Beanal bersama seluruh aparat mereka sebenarnya memperjuangkan kemerdekaan atau kebebasan.
Untuk membedakannya kita perlu ingat pertanyaan pokok: “Bebas dari siapa atau apa? Dan Bebas untuk apa? Dan juga “Merdeka dari siapa atau siapa?”
2.3.1 Perjuangan Tuhan Yesus Kristus
Kalau kita mau belajar dari tokoh Revolusioner Terbesar dalam sejarah hidup manusia ini, kita perlu melihat apa yang diajarkannya dan apa yang diperbuatnya semasa pelayananannya. Kalau tak salah, fokus utama pelayanan revolusioner Yesus Kristus adalah “pembebasan” dan “kemerdekaan.” Nah, berhubung karena fokus pelayanannya adalah pada rohani manusia, makan Tuhan Yesus selalu berkata: “Jikalau anak itu memerdekakan kamu, maka kamupun benar-benar merdeka.” Lihat Yohanes 14:6 dan isi berita itu dimuat dalam sebuah Paket Kasih untuk umat manusia.
Kita perlu melihat apa yang dimaksud dengan “kasih” dalam ajaran-Nya. Kasih itu lemah-lembut, murah hati, dan seterusnya seperti diuraikan Paulus dalam Galatia 5. Dalam bahasa politik, kita dapat katakan bahwa ajaran Tuhan Yesus adalah “kasih” yang tidak konspiratif, kasih yang tidak memihak, yaitu kasih yang “murni” atau “agape.”
Ajaran Tuhan Yesus perlu dilepaskan dari ajaran Gereja dan Agama Kristen, apalagi ajaran aliran dan denominasi yang berusaha mempersempit ajaran Tuhan Yesus dengan tafsiran mereka masing-masing, yang saya beri nama: “Alkitab buatan Manusia.”
Inti ajaran Tuhan Yesus adalah manusia tidak boleh dikekang dengan aturan dan ajaran yang dibuat manusia di dunia ini, yaitu termasuk lembaga agamawi dan pemerintahan, yang tidak sesuai dengan hatinurani dan kemanusiaan, yang tidak mengutamakan kepentingan rakyat semesta, alias korupsi, kolusi, nepotisme dan konspirasi. Artinya dalam konteks Papua, orang Papua harus hidup bebas dari segala bentuk kejahatan dan segala kekangan buatan manusia.
Inilah sebabnya kaum teolog sulit melihat aspirasi “M” di Papua sebagai satu-satunya jalan untuk meloloskan orang Papua dari penderitaan dan tekanan, karena apa yang diinginkan dalam konteks “Papua Merdeka” itu toh masih sama, yaitu sebuah negara dengan segala perangkatnya yang potensial untuk mengulang kembali kesalahan Suharto dan regimnya. Mereka melihat dalam konteks Papua Merdeka nanti pasti ada negara, ada undang-undang, ada tentara, ada polisi, ada penjahat, ada pencuri, ada hukum, ada undang-undang. Singkatnya, mereka menganggap aspirasi Papua Merdeka bukan jalan penyelesaian utama semua persoalan di Papua. Tapi mereka juga tidak terlalu risau kalau terbentuk sebuah negara Papua Merdeka. Mereka tahu bahwa toh dalam konteks Papua Merdeka, tugas mereka untuk membebaskan manusia dari keterikatan dan belenggu Iblis masih tetap harus berjalan.
Itulah sebabnya orang Papua yang berlatar-belakang teologia punya pandangan cenderung kepada “Otonomi” atau “Federasi” di mana rakyat Papua memperoleh jatidiri dan kebebasan sebagaimana seharusnya bagi umat manusia.
Tadi pandangan teolog di barisan atas, tetapi ada para hamba Tuhan di kampung-kampung yang sudah secara bulat mendukung “M” dan malahan melihat teman-teman dari luar Papua sebagai musuh. Tentu saja di sini ada campuran ke-Papua-an dan ke-Agama-an, tetapi yang jelas mereka adalah wakil Allah di dalam masyarakat, yang paham betul penderitaan rakyat setiap detik. Tentu saja, kebanyakan tidak membayangkan apa yang akan terjadi kelak setelah “M”, yaitu hukum, negara dan undang-undang seperti tadi. Inti perhatian mereka adalah ini: Kawanan domba mereka sedang dibantai setiap hari, karena itu mereka sebagai gembala harus bertindak. Tindakan mereka menyelamatkan kawanan umat Allah adalah dengan mendukung aspirasi “M”. Anda dapat mencontoh banyak pastor dan pendeta putra daerah yang tinggal di kampung-kampung yang secara penuh mendukung aspirasi “M”.
Kita perlu kembali kepada inti ajaran Yesus: Love dan Love itu harus diwujudkan dalam dua arah: Kepada Tuhan dan kepada sesama manusia. Dan Love itu bukan buta, ia punya nilai dan rasa. Atas dasar Love itu, kita dapat saja katakan begini:
Bangsa Indonesia telah menolong bangsa Papua terlepas dari jajahan Belanda, karena itu kita berterima kasih.
Tetapi bangsa Indonesia malahan selanjutnya tidak menolong rakyat Papua hidup aman dan sejahtera sebagaiman pesan Injil.
Karena itu, jalan terbaik bagi bangsa ini adalah agar orang Papua diberi kemerdekaan. Ini bukan atas dasar Indonesia rambut lurus dan beragama Islam, karena ke-Kristen-an bukan hanya untuk orang Papua, dan bukan hanya untuk kita yang sudah jadi Kristen, tetapi buat sekalian umat manusia semesta. Bangsa Indonesia seharusnya dengan kasih memberikan kemerdekaan itu, tidak menyiksa, tidak merampas, dan tidak memusnahkan orang Papua.
Selanjutnya bangsa Papua dan bangsa Indonesia dapat hidup bersama sebagai sesama umat manusia dalam kerukunan dan persahabatan yang abadi, tidak saling membenci dan tidak saling menyiksa atau membantai. Kehadiran Indonesia di Papua tidak pernah berhasil dan kemungkinan besar tidak akan mungkin menentramkan umat Tuhan di Papua, karena itu jalan terbaik adalah mengembalikan kemerdekaan Papua.
Gereja-Gereja di Indonesia seharusnya mengedepankan dimensi kasih dan pembebasan yang dibawa Tuhan Yesus, daripada berusaha membungkus teologi dan ajaran gereja dalam “politik” dan “nasionalisme Indonesia” yang sudah nyata-nyata tidak menolong citra Indonesia sebagai negara berdasarkan Pancasila dan tidak menolong orang Papua bertingkah-laku sebagai umat bergereja lagi.
Gereja-Gereja di Papua seharusnya tidak usah bersandiwara di atas mimbar dengan khotbah-khotbah kasih yang tidak pernah mimbar itu sendiri membuktikannya. Keterikatan gereja dalam politik perlu dilepas, dan secara murni menyuarakan “Apa yang umat mau!”
Dengan singkat, pelayanan gereja bersifat multidimensional dan multinasional, dan tidak berkompromi dengan aturan manapun juga yang pernah ada di dunia ini. Gereja tidak perlu tunduk dan takut kepada siapapun juga, selain kepada ajaran murni dan inti Tuhan Yesus: Kasih, yaitu kasih yang membebaskan manusia, terutama umat percaya dari perbudakan Iblis dan antek-anteknya.
2.3.2 Marthin Luther
Pada intinya Marthin Luther menilai bahwa ada aturan dalam gereja Katolik Roma yang tidak manusiawi dan tidak menolong rakyat secara keseluruhan. Ia menilai bahwa orang Kristen tidak perlu harus tunduk seluruhnya kepada aturan gereja yang dibuat manusia. Ia memprotes gereja Katolik dan merintis Gereja Protestan.
Ini perjuangan berdimensi rohami, tetapi berdampak luas kepada seluruh aspek kehidupan masyarakat sedunia. Akhirnya orang berkesimpulan bahwa ada aturan-aturan dalam gerejapun tidak perlu harus ditaati, tetapi perlu dipertanyakan kalau-kalau memang berdasarkan bunyi pasal dan ayat Alkitab atau hanya dibuat oleh kaum penguasa dalam gereja.
2.3.3 Marthin Luther King
Riwayat perjuangan Marthin Luther King berorientasi pada sikap dan tindakan diskriminatif (rasis dan fasis) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Amerika Serikat.
Banyak tempat di mana orang hitam di Amerika Serikat tidak berpeluang untuk menikmati hidup sebagai warga negara itu. Ada sekolah yang membatasi orang hitam berambut keriting. Ada kantor yang melulu orang kulit putih. Ada perusahaan yang tidak merekrut pegawai orang hitam ke posisi yang selayaknya. Ada banyak posisi pemerintahan di A.S. yang tidak diduduki oleh orang hitam di sana. Ini diperjuangkan oleh beliau dan hasilnya sekarang sudah banyak dinikmati.
Hasil yang sangat nyata sekarang adalah bahwa Menlu A.S. sekarang Jenderal Collin Powel adalah keturuan Afrika, yang mereka sebut Afro-America. Demikain juga dengan Penasehat Dewan Keamanan A.S. adalah seorang wanita Afro-America berusia 35 tahun. Jelaslah di sini bahwa hasil perjuangan M. L. King sudah nyata dinikmati oleh generasi sekarang.
Perjuangan Marthin Luther King sama dengan apa yang diperjuangkan Nelson Mandela di Afrika Selatan, yaitu menghilangkan perbedaan dalam perlakuan dalam negara karena perbedaan latar belakang budaya dan ras.
2.3.4 Nelson Mandela
Nelson Mandela sebelumnya sama dengan Jend. TPN PB Mathias Wenda di Papua. Beliau Panglima Tertinggi Tentara Pembebasan di Afrika Selatan (SWAPO). Lalu ia mendirikan Partai Nasional Afrika (Africa National Congress) bersama-sama dengan Mahatma Ghandi waktu Ghandi masih muda dan berada di Afrika. Akhirnya Mandela ditangkap dan dipenjarakan selama 20 tahun.
Seorang Panglima Angkatan Bersenjata yang dipenjarakan tidak melepaskan jabatannya begitu saja, ia terus berjuang dari dalam penjara juga. Apa yang dia buat sama halnya terjadi dengan Xannana untuk Timor Loro Sa’e. Perbedaan mereka berdua adalah bahwa Nelson Mandela berhasil dijinakkan oleh bangsa Barat, sedangkan Xannana Gusmao tidak sama sekali. Yaitu bahwa Nelson Mandela akhirnya hanya tiba pada reformasi di Afrika Selatan, dan Xannana Gusmao tiba pada Revolusi di Timor Loro Sa’e: dua hal yang mirip tapi sama sekali berbeda.
Sama halnya dengan rekan sebangsanya Marthin Luther King, Mandela memperjuangkan kesamaan hak antara orang ketururan kulit putih dan orang asli Afrika yang berkulit hitam dan berambut keriting itu. Hasilnya sekarang sudah nyata. Presiden orang kulit hitam pertama di Afrika Selatan adalah Nelson Mandela sendiri, dan sekarangpun masih orang kulit hitam yang menjadi presiden negara itu.
Perjuangan Mandela dari berjuang untuk merdeka berakhir dengan hasil kebebasan, bukan kemerdekaan bagi Afrika Selatan. Apakah ini nasib Theys H. Eluway dan Thomas Beanal? Kami tunggu waktu menjawabnya.
2.3.5 Soekarno dan Hatta
Soekarno-Hatta adalah dua tokoh pejuang kemerdekaan Republik Indonesia. Keduanya punya dedikasi tinggi bagi bangsa mereka. Keduanya percaya bahwa Indonesia harus merdeka dan wilayah-wilayah lain yang masih dikuasai Belanda harus dilepaskan dari cengkeraman kolonialisme Belanda. Terutama Soekarno dilihat sebagai Bapak Revolusi Indonesia.
Dalam pidato-pidato mereka yang sempat direkam dan diterbitkan terbaca bahwa mereka sangat membenci kapitalisme. Dalam berbagai pidato Soekarno dengan terus-terang menunjukkan betapa jahatnya kapitalisme bagi manusia semesta. Demikian juga dengan Bung Hatta.
Walaupun kedua tokoh ini memperjuangkan kemerdekaan politik bangsa Indonesia, mereka dengan jelas memihak pada paham sosialisme dan membelakangi kapiatalisme. Itulah sebabnya ada beberapa pasal dalam UUD 1945 yang berbau sosialis. Misalnya Pasal 33 di mana dikatakan bahwa semua kekayaan alam dikuasai oleh negara dan diatur sepenuhnya untuk kepentingan umum. Contoh lain adalah Pancasila itu sendiri. Ciri Ketuhanan Yang Maha Esa dimasukkan, teatapi keadilan sosial, dan kemanusiaan yang adil dan beradan serta kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dan permusyawaratan adalah jelas ciri sosialisme. Ciri terselubung inilah yang kemudian Soekarno melahirkan NASAKOM (Nasionalisme-Agama-Komunisme).
Sekarang barangkali kita bertanya: Apakah Nasionalisme bisa mengutamakan ajaran agama? Kalau begitu mengapa orang Papua dibantai tiap hari demi nasionalisme padahal agama melarangnya? Barangkali karena Nasionalisme yang pertama dan agama menyusul. Kemudian “Apakah agama bisa mebiarkan komunisme, atau berjalan bersama komunisme?” Jawabannya jelas bisa secara teori. Memang komunisme bukan berarti tanpa agama. Kita tahu di Eropa ada Partai Kristen Sosialis, yang alirannya adalah komunisme. Ada partai Komunis Kristen, dll. Jadi memang agama dapat hidup dalam paham komunisme. Kalau ada yang menolak komunisme karena mereka merasa sudah beragama, itu ajaran sempit dari Amerika Serikat.
NASAKOM sudah semakin muncul di Indonesia. Ada buku baru terbitan Kreasi Wacana, tahun July 2000 dengan judul: SOSIALISME RELIGIUS: Suatu Jalan Ke-empat? Ini ujung-ujung yang jelas berpatokan pada NASAKOM. Buku ini lebih banyak mengutip tulisan dan pidato Dr. Moh. Hatta, Wakil Presiden R.I. pertama. Tetapi antara Hatta dan Soekarno sama saja dalam paham mereka. Perbedaan hanya terletak pada batas-batas nasionalisme mereka. Soekarno cenderung ambisius dan expansionist dan Hatta lebih demokratis dan faktual. Salah satu contohnya Moh. Hatta menolak dengan keras invasi militer ke Papua atas dasar karena wilayah Papua termasuk wilayah jajahan Hindia Belanda. Beliau katakan orang Papua itu bangsa lain yang harus menentukan nasibnya sendiri. Sedangkan Soekarno punya prinsip harus memasukkannya ke R.I., termasuk (Sarawak) Malaysia, Brunai, Timor Timur, dan bahkan Papua New Guinea dan negara lainnya di Pasifik.
Lalu kita bertanya: Lalu kokh mengapa Indonesia bukan negara pro sosialis, tetapi justru pro paham dan negara kapitalis? Apa yang salah? Karena Soeharto terlau lama bertahta? Karena Soeharto seorang diktator? Jawabanya “Ya!” dan “Tidak!” Kesalahan jatuh pada Soekarno dan Hatta terlebih dulu, lalu imbasnya harus ditanggung Soeharto. (Kita akan melihat kesalahan mereka dalam bagian lain)
Intinya di sini bahwa kedua tokoh R.I. ini adalah tokoh revolusi, bukan tokoh reformasi. Gus Dur adalah Tokoh Reformasi, dan Soekarno-Hatta adalah tokoh revolusi. Apakah orang Papua mau revolusi atau reformasi total?
2.3.6 Xannana Gusmao dan Jose Ramos-Horta
Seperti sudah disebutkan dalam menyinggung Nelson Mandela di atas, Xannana punya sejarah yang luar biasa. Xannana memulai dengan target yang sama, dan berakhir pada target yang sama: yaitu KEMERDEKAAN, sedangkan Nelson Mandela mulai dengan target kemerdekaan, tetapi tiba pada hasil kebebasan.
Xannana juga bisa saya samakan dengan Soekarno, tokoh revolusi sebuah bangsa. Perbdeaan utamanya adalah Soekarno lebih ambisius dan expansionist, sedangkan Xannana tampil lebih sosialis. Waktu Xannana tidak mau dicalonkan menjadi Presiden Pertama Timor Loro Sa’e sudah jelas dapat dibaca bahwa beliau memang sosialis murni. Beliau tidak mencari kedudukan dan jabatan, tetapi kemerdekaan rakyatnya. Memang kedudukan dan jabatan Xannana tidak menjamin kemerdekaan bangsa itu terwujud seperti yang diinginkan sebelum merdeka. Yang menentukan adalah bagaimana mengatur negara baru itu dalam sistem yang cocok dengan orang Pribumi dan yang mengutamakan kepentingan rakyat jelata, bukan Xannana jadi presiden atau tidak. Perbedaan berikut adalah Soekarno itu seorang idealis dan Xannana seorang realis. Artinya, Soekarno memperkenalkan banyak sekali istilah dan kosakata baru ke dalam Bahasa Indonesia, termasuk NASAKOM tadi. Tetapi beliau tidak mencapainya. Beliau lebih berfokus pada idealismenya daripada kenyataan mutlak bahwa Amerika Serikat sudah melakukan operasi clandestine untuk menjatuhkannya. Sistem pertahanan dan inteligen Indonesia waktu itu lemah, dan hancurkan tahta Bung Karno sekaligus dengan idealismenya.
Jose Ramos-Horta adalah pejuang kemerdekaan yang gigih, tak kenal menyerah dan punya misi yang pasti dengan keyakinan yang teguh. Ini beda sekali dengan tokoh pejuang kemerdekaan Papua yang plin-plan dan mudah diombang-ambingkan oleh angin globalisasi, konspirasi, otonomi, federasi dsb. Ramos Horta punya pesan cukup jelas dalam berbagai moment: Orang Timor Loro Sa’e mau Merdeka dan TITIK. Walaupun beliau sama dengan orang PDP di Papua, beliau tidak pernah berkompromi dengan tawaran apapun dari Indonesia. Rakyat Papua sangat dan sangat berharap Fransalberth Joku, Andy Adjamiseba, dkk. di Pasifik dan Viktor Kaisiepo, dkk. di Eropa tidak salah langkah dalam memperjuangkan mandat yang mereka pegang. Rakyat Papua berdoa agar Jacob Prai tidak mudah ditawar dengan mudah oleh lawan kita. Singkatnya, kami mau MUSUH-MUSH ORANG PAPUA TIDAK MENGALAHKAN MEREKA. Ramos-Horta dan Gusmao sebagai sebangsa Melanesia sudah membuktikannya, mengapa orang Melanesia di Papua tidak bisa?
2.3.7 Uskup Belo di Dili
Ketika saya mengingat Uskup Belo di Dili, saya tidak bisa lupa Paulo Freire di Brasil karena keduanya sama saja. Uskup Belo adalah tokoh gereja yang bukan berorientasi melulu kepada “Kapan orang Timor Loro Sa’e masuk surga?” tetapi beliau lebih melihat “Mengapa orang sebangsanya menderita dan apa yang harus dibuatnya untuk melepaskan bangsanya dari penderitaan itu?” Berbeda sekali dengan Ketua Sinode GKI, GKII, Baptis, GIDI, dan Uskup-Uskup yang banyak sekali jumlahnya di tanah Papua. Barangkali mereka baku harap, barangkali juga mereka tidak sama dengan Uskup Belo.
Saya yakin Uskup Belo sudah tahu Teologi Pembebasan dan beliau memperjuangkan atas dasar ini.
Kalau di Brasil, peristiwanya lebih dramatis. Banyak Uskup dan Pastor yang menjadi anggota TPN ala Brasil, mereka angkat senjata dan ikut berperang melawan musuh orang Brasil waktu itu. Mungkin Anda bisa katakan, “Ah itu waktu itu, sekarang suasana sudah lain!” Ada banyak pastor yang ditangkap dan dianiaya karena turut angkat senjata. Dibandingkan dengan gereja-gereja di Papua, para pendeta dan pastor tidak mau tahu dengan urusan rakyat, yang6 mereka pentingkan adalah urusan akhirat, apa yang bakal terjadi kalau dunia ini kiamat. Bahkan ada pendeta di Papua yang tidak mau bergaul atau duduk makan dengan pejuang kemerdekaan Papua seperti Mathias Wenda dan anak buahnya. Banyak notula sidang Raya Sinode, Klasis dan keputusan rapat Uskup di Papua tidak menyatakan sikap yang jelas atas perjuangan rakyat, yang adalah anggota gereja mereka. Dapat dikatakan bahwa gereja-gereja di Papua sebenarnya tidak ada di Papua, mereka ada di dunia yang lain secara mental, tetapi secara fisik berkeliaran dan berkhotbah di tanah Papua.
Uskup Belo berdiri di posisi yang sulit, tetapi ia telah memilih untuk berdiri di situ. Beliau berteriak keras kalau ada kawanan jemaatnya yang dibantai. Beliau hampir saja angkat senjata fisik. Tetapi senjata rohaninya sangat jitu dan buktinya negaranya sudah merdeka.
Beliau mengenal benar persoalan bangsanya. Sebenarnya pastor dan pendeta di Papua sudah tahu apa yang salah di Papua. Mereka sudah baca buku-buku karya WestPaC-AMP tentang kesalahan-kesalahan dan atau manipulasi sejarah, hukum dan politik oleh Amerika Serikat, Belanda, dan Indonesia. Atau barangkali mereka belum puas dengan darah orang Papua yang sudah tumpah. Barangkali kami yang masih hidup harus mati semua. Barangkali waktu mereka berdiri berkhotbah di hadapan bangku-bangku kosong di gereja lalu mereka akan menangis dan berteriak. Kita tunggu saja Belo-Papua, yang secara matematis jumlahnya lebih banyak di tanah Papua, tetapi secara kualitatif kalah dengan seorang Belo, orang Melanesia di tanah Loro Sa’e.
Kemudian Uskup Belo juga punya visi yang luarbiasa. Ia mulia dengan kegiatan seperti mendirikan patung Tuhan Yesus di Dili. Ini mengundang perhatian seluruh gereja Katolik sedunia, bahkan tahta Suci Vatikan-lah yang turun meresmikan patung raksasa itu.Dari dekat mereka sudah melihat masalah di sana. Dapat kita samakan Kongres Papua II 2000 dengan peresmian patung raksasa ini. Tetapi kongres kita masih diwarnai dengan politik kotor yang sulit dibersihkan.

Go to Top
2.4 Jenis-Jenis Manusia Papua dalam Konteks Papua “M”
Manusia Papua sebelum 1960 pasti berbeda dengan manusia Papua zaman Belanda, zaman transisi, zaman pendudukan Indonesia, dan zaman kejayaan Indonesia di Papua. Pertama, ada orang Papua jenis “Cari makan”, yaitu mereka yang hanya pikir perut mereka. Mereka ini punya yayasan (LSM), mereka ini punya perusahaan, mereka ini punya urusan dengan Indonesia dalam berbagai hal, dan mereka mau urusan itu mendatangkan keuntungan bagi mereka. Mereka merasa perut mereka belum besar, dan maunya diisi terus sampai kepenuhan. Orang Papua “cari makan” inilah yang kebanyakan bicara “O”.
Selain itu kedua ada orang Papua yang “Malas Tahu” alias tidak punya beban untuk Papua “M”. Kalau Papua merdeka mereka terima, kalau tidak, mereka juga tidak permasalahkan. Kebanyakan mereka adalah orang yang mau tahu tentang sekarang, saat ini, apa yang saya makan sekarang, dan bukan besok, atau kapan-kapan setelah Papua “M”. Kalau kelompok “O” sempat mempengaruhi mereka, mereka bisa ikut, kalau kelompok “M” yang mengajak mereka juga mau, tetapi kemauan mereka tidak sepenuhnya. Hanya sekedar saja.
Ketiga, ada orang Papua yang ikut ramai. Mereka bersemangat, mereka berteriak “M” atau “O”. Dan mereka seolah-olah orang nekad, muncul dengan semangat yang membara. Malahan ada yang bersumpah mau mati demi Bintang Kejora. Tetapi sebentar lagi lagu program “O” bergulir, mereka mulai ajukan permohonan ini dan itu, kalau ada program sosialisasi, mereka ikut mendukung dengan semangat yang sama pula. Inilah orang Papua :”Ikut ramai.” Mereka juga menjadi orang Papua “Panas-Panas Tahi Ayam.” Herannya, kebanyakan orang Papua jatuh ke golongan ini. Hal ini terjadi karena masih banyak orang Papua yang kurang dalam pendidikan politik mereka.
Ada jenis berikutnya, yang luarbiasa, yaitu orang Papua “Nekad.” Mereka tidak perduli dengan apapun yang terjadi di Papua, entah ada program “O” besar-besaran, entah ada operasi militer luar biasa, entah orang Papua lain sudah tidak berbicara lagi untuk “M”, mereka tetapi mau berjuang dan mati untuk aspirasi “M.” Orang Papua ini sudah matang dengan ideologi Papua “M”, tinggal tunggu kapan mereka dapat dipakai untuk merealisir ideologi tersebut. Sayangnya, hanya kelompok orang Papua tertentu yang punya “nekad” untuk “M” dan kebanyakan kelompok orang Papua tidak demikian. Kebanyakan mereka yang dalam kelompok ini adalah mereka yang sudah kehilangan kekasih mereka: ayah, ibu, anak, keponakan, tante, om, nenek, opa mereka. Juga mereka yang sudah kehilangan gunung mereka dan hutan mereka. Singkatnya mereka yang sudah “merasakan” betapa jahatnya pendudukan pemerintah dan militer Indonesia. Mereka tidak perduli kalau setelah Papua “M” akan lebih baik atau akan lebih buruk, yang penting bagi mereka adalah penjajah harus diusir dari Bumi Cenderawasih.
Orang Papua “nekad” bisa menyumbangkan apa saja, uang, benda, dan lebih utama lagi waktu, tenaga dan nyawa mereka sudah dipersembahkan untuk perjuangan ini. Mereka ini kebanyakan anggota TPN dan OPM. Juga ada kelompok suku dan masyarakat tertentu yang sungguh-sungguh menderita luar-biasa atas pendudukan TNI, Poliri dan Pemerintah Indonesia.
Lalu kelima, ada orang Papua lain yang sedikit aneh, yaitu mereka yang “lihat-lihat dulu.” Kebanyakan mereka ini orang-orang terpelajar, orang-orang Papua yang sudah punya jabatan dalam pemerintahan Indonesia di Papua. Mereka yang sudah kehilangan kekasih mereka, mereka yang tahu betapa jahatnya Indonesia, mereka yang tahu bahwa setelah “M” Papua akan bagaimana. Tetapi mereka juga tidak mau kehilangan jabatan dan kedudukan mereka hanya karena berita-berita angin, dan semangat panas-panas tahi ayam orang Papua yang mereka tahu adalah ciri orang Papua dalam sejarah perjuangan aspirasi “M” selama ini. Tapi pada waktu kelompok “nekad” tadi sudah mulai berhasil dan mulai menggoyahkan banyak pertahanan pemerintah Indonesia, mereka pasti akan bergabung dengan kelompok “Nekad” tadi. Yang mereka tunggu adalah kelompok orang Papua “nekad” tadi harus berjuang terus-menerus, menekan terus-menerus, dan berbicara atas dasar kekuatan yang meyakinkan, artinya kekuatan secara militer dan politik yang kuat. Juga mereka menunggu berapa negara yang sudah menunjukkan perhatian untuk mendukung Papua “M.” Mereka ini juga kebanyakan orang Papua yang sudah menjadi anggota TNI dan Polri. Mereka lebih tahu bagaimana orang Papua diperlakukan tidak manusiawi, malahan mereka juga terlibat dalam perlakuan-perlakuan itu. Mereka tahu bagaimana orang Papua diinjak, diintimidasi, diperkosa, dirampas kekayaannya. Mereka tidak menerima semuanya nasib malang yang dialami orang Papua. Sementara itu mereka juga sering kecewa karena banyak orang Papua lain yang tidak serius dan tidak kompak, dan tidak secara terus-menerus bergerak untuk Papua “M.”Orang Papua “nekad tapi lihat-lihat dulu” ini mudah menjadi kelompok “nekad” asalkan perjuangan “M” sudah mencapai tingkat yang lebih mantap secara militer dan diplomasi. Mereka juga memiliki sedikit ciri dari orang Papua “menunggu uluran tangan.”
Kelompok ini juga termasuk pihak gereja. Mereka bisa bertindak tegas, tetapi barangkali mereka merasa masalah Papua belum begitu mendorong mereka untuk bertindak demikian. Mereka masih merasionalkan apa yang sedang terjadi. Mereka melihat belum saatnya untuk mereka terlibat. Belum saatnya karena barangkali belum banyak orang Papua yang dibunuh, dan masih perlu eksploitasi kandungan bumi Papua. Dengan kata lain, mereka belum merasa masalah Papua sudah mencapai titik kritis yang butuh campur tangan mereka. Tetapi akan tiba saatnya di mana rasio tidak bisa bekerja lagi, dan mereka terpaksa harus angkat suara, bukan suara rasio tetapi suara hati mereka.
Juga ada kelompok yang kami anggap potensial dalam mendukung Papua “M” adalah kelompok yang saya beri nama orang papua “membabi-buta”, yaitu mereka yang tidak perduli dengan apapun juga. Yang mereka mau adalah Papua harus merdeka dengan cara apa saja, dengan harga apa saja. Mereka cenderung membenci orang Jawa, orang Islam dan orang Barat. Yang menjadi masalah dengan kelompok ini adalah perjuangan “membabi-buta” sulit mendapat dukungan internasional, karena mereka dapat melihat perjuangan ini bukan murni karena mau “M” tetapi karena unsur lain seperti kebencian kepada kelompok agama dan ras tertentu. Kelompok inilah yang diinginkan oleh Indonesia agar mengemuka dan dengan demikian mereka bisa mengalahkan perjuangan Papua secara diplomatis di hadapan masyarakat internasional.Di dalam benak mereka, mereka mau melihat semakin banyak orang Papua “membabi-buta” yang muncul, karena mereka tahu kalau semakin banyak kelompok ini, semakin tidak mungkin peluang untuk Papua “M.”
Kelompok kedelapan, adalah orang Papua “menunggu uluran tangan.” Mereka ini selalu mengajukan pernyataan seperti ini: Berapa negara yang sudah mendukung kita? Berapa senjata yang Amerika mau bantu? Lapangan ini akan dipakai untuk mendrop senjata dari Rusia, dll. Menunggu uluran tangan. Mereka tidak percaya diri sendiri. Mereka
Kelompok terakhir ialah orang Papua “belum saatnya”, yaitu mereka yang sekarang berteriak “O” tetapi alasannya bukan karena mereka senang dengan pendudukan Indonesia di Papua, tapi karena mereka merasa belum saatnya untuk Papua “M.” Mereka kebanyakan kelompok intelektual dan kelompok elit politik Papua yang ada di perguruan tinggi dan di kantor-kantor Gubernur, Bupati dll. Mereka akan mengeluarkan pernyataan seperti ini: Saat ini kita belum membangun nasionalisme Papua, jadi harus dibangun dulu. Ada yang bilang, sekarang kita jalankan program Papuanisasi dalam program “O” yang digulirkan Indonesia. Mereka percaya bahwa Papua “M” hanya bisa terwujud kalau banyak orang Papua sudah menduduki lebih dari 80% posisi pemerintahan dan militer di Papua. Mereka banyak tahu tentang pengalaman perjuangan di belahan bumi lain. Mereka selalu merasionalkan perjuangan ini, yaitu menghitung-hitung kekuatan dan kelemahan secara matematis. Kebanyak mereka justru pesimistik kalau saat ini Papua dapat “M.” Rakyat jelata Papua sering mencurigai mereka sebagai penghianat karena mereka tidak terbuka bicara isi hati mereka. Saat mereka ditemui, mereka sering mengelak tidak mau tahu, atau membelokkan pembicaraan
Mari kita Berhitung:
Di Papua pernah muncul beberapa ide: “M”, “F” dan “O” sekarang saya tambah lagi dengan istilah “B” (bebas) REF= Reformasi dan REV= Revolusi. Marilah kita rumuskan secara matematis: Kalau kita berpatokan kepada dua kata di atas B dan M), ditambah REFormasi dan REVolusi, maka dengan mudah kita dapat rumuskan bahwa:
RUMUS A: “B” + “REF” = “O” atau “F” sedangkan
RUMUHS B: “B”. + “REV” = “M”
Jadi, modal “B” itu penting, tetapi “B” itu kita tambah dengan “REF” atau “REV”? Inilah yang harus kita perhatikan.
Maka itu, orang Papua harus mencari bagaimana “B” ditambah dengan “REV” dan bukan seperti yang terjadi sekarang, yaitu “B” ditambah “REF” yang menurut seorang tokoh OPM: “Kalau begini kita akan tembus ke Jalan Cendana” bukan “Jalan kemerdekaan!”
Ada pendapat dari Mr. A. Rumansara dan ini mewakili kaum intelektual dan elit politik Papua bahwa apa yang harus terjadi di Papua adalah Pembangunan Nasionalisme Papua, lalu rakyat Papua boleh bicara “M”. Kita perlu bertanya: “Apa yang dia maksudkan?” Apakah rumus “A” atau rumus “B”? Sampai batas mana, beliau dan rombongannya bisa mengatakan: “Nasionalisme Papua sudah terbangun sekarang”? Atau apa ciri-ciri di Papua itu ada nasionalisme? Apakah sekarang ini belum ada nasionalisme itu? Kalau belum mengapa rakyat Papua sudah berteriak: “M”?
Barangkali juga yang dimaksud kelompok ini sepaham dengan paham dunia Barat, yaitu orang Papua harus banyak yang berpendidikan, harus sudah banyak menguasai ilmu dan teknologi yang penting untuk menjalankan sebuah negara, harus memiliki sekian sarjana, sekian lulusan paskasarjana dan sekian lulusan tingkat studi doktoral, dsb.

Go to Top
Catatan Penutup bagian ini
Kita sudah melihat apa yang diperjuangkan dan bagaimana caranya dalam berbagai konteks oleh berbagai negara dan tokoh. Kita sekaligus melihat perbandingan dan kontradiksi dengan perjuangan Papua “M’. Dengan kata lain, kita sudah melihat musuh-musuh perjuangan mereka secara sekilas. Sebelum kita pindah, kita kembali kepada pertanyaan inti buku ini: Orang Papua mau bebas dari apa atau siapa dan mau bebas untuk apa? Dan Orang Papua mau merdeka dari siapa, atau apa dan merdeka untuk apa? Dengan menjawab pertanyaan ini, akan nampak siapa atau apa sebenarnya musuh orang Papua. Sekaligus kita akan temukan titik-titik terang apakah perjuangan rakyat Papua ini pada hakikatnya sebuah reformasi untuk kebebasan atau sebuah revolusi demi kemerdekaan.
Go to Top