[Up]
| [Back] | [Next]
Menu
Halaman Ini
2.1 Apakah orang Papua mau “Merdeka” atau “Bebas” atau “Keduanya”,
atau…?
2.2 Risalah beberapa Contoh Perjuangan “Kemerdekaan” dan “Pembebasan”
2.3 Risalah Beberapa Tokoh Pejuang Kemerdekaan dan Pembebasan
2.4 Jenis-Jenis Manusia Papua dalam Konteks Papua “M”
Catatan Penutup bagian ini
II. KONSEP DASAR & BEBERAPA KONTEKS PERJUANGAN DI DUNIA
Di sini kita mau lihat “Apa sebenarnya yang menjadi sasaran perjuangan
mereka?” atau “Siapa yang mereka lihat sebagai musuh?” Atau “Siapa atau apa
sebenarnya yang mereka lawan?” Lalu kita akan cocokkan dengan beberapa
perjuangan di muka bumi dan melihat sasaran mereka dalam berjuang demi
kemerdekaan mereka.
2.1 Apakah orang Papua mau “Merdeka” atau “Bebas” atau “Keduanya”, atau…?
Kedua kata ini selalu disalahgunakan dan dikaburkan, ada yang disengaja dan
ada yang karena salah kaprah. Dalam kasus Papua, kedua kata ini telah
dikaburkan oleh PDP dan segala perangkatnya seperti LMA, Panel Papua, Satgas
Papua, dan semua perangkat lain yang ada dalam Dewan Papua. Yang terjadi
adalah dalam hati lain, tetapi dalam perbuatan menjurus ke arah lain, atau
dalam perbuatan lain tetapi tidak dicocokkan dan dikendalikan dengan apa
yang ada di dalam hati. Entah karena sengaja direkayasa atau karena memang
direkayasa oleh pihak kedua dan pihak ketiga di luar kekuasaan PDP, apa yang
diperjuangkan rakyat Papua sudah menjadi tidak jelas: “Kebebasan”,
“Kemerdekaan” atau “Keduanya” atau “hal lain”?
2.1.1 Apa yang saya maksud dengan ‘Kebebasan’?
Kebebasan dalam bahasa Inggris “Freedom”, dari akar kata “bebas” atau
“free”. Tetapi kita perlu bertanyasecara kritis: Bebas dari apa, atau siapa
dan bebas untuk apa? Kalau kita hanya sekedar ikut demo, ikut kongres dan
sebagainya tanpa mengetahui pertanyaan kunci ini kita akan tiba di tempat
yang kita tidak maksudkan, dan setelah tiba di situ kita sendiri tidak akan
menyesal, karena memang kita tidak tahu “Bebas dari apa, atau siapa dan
bebas untuk apa?”
Semuanya bebas-bebas aja, kita sedang reformasi total di INDONESIA. Anda
jawab sendiri: Apa yang Anda maksud dengan kebebasan dalam perjuangan Papua
Merdeka? Bebas naiikan Bintang Kejora? Bebas berteriak “Merdeka”? Bebas
bikin Kongres Papua II 2000? Bebas punya Satgas Papua dan Satgas Koteka?
Bebas melakukan demo melawan Pemerintah? Bebas bagi TPN/OPM keluar masuk dan
hadir dalam Kongres Papua II 2000? Bebas merubah nama Irian Jaya menjadi
Papua?
Apalagi yang belum bebas? Semuanya di-“bebaskan” oleh Bapak Abdurrahman
Wahid. Katanya:”Bendera Bintang Kejora bebas dikibarkan!” Bertindaklah “sebebas-bebasnya”!
kata Bapak Reformasi Indonesia, Gus Dur. Tetapi kembali lagi, “Bebas dari
apa, dari siapa dan untuk apa?”
· Bebas dari rasa takut?
· Bebas dari intimidasi?
· Bebas dari terror?
· Bebas dari ikatan TNI dan Polri?
· Bebas untuk bentuk Satgas?
· Bebas untuk bikin Kongres?
· Bebas untuk naikkan bendera?
· Bebas untuk rubah nama?
· Bebas untuk bangun Posko?
· Bebas bagi Willem Onde dan Bernardus Mawen bertemu Pimpinan MPR RI, DPR
RI, bahkan Wapres RI.
· APA YANG BELUM BEBAS? Semuanya diberikan kebebasan sebebas-bebasnya.
Barangkali kita semua perlu pergi kepada Gen. TPN PB Mathias Wenda, Gen. TPN
PB Kelly Kwalik bersama Titus Murib, Silas dan Yudas Kogoya dan tanya kepada
mereka: “Apa yang belum bebas jadi kamu tinggal menderita di hutan? Barang
sudah bebas sekali mo, masuk sudah! Nanti kamu bebas bikin negara di sini!”
Setelah semuanya serba bebas, lalu Anda tahu apa yang akan terjadi? Yang
akan terjadi sudah diterjemahkan dengan baik oleh Sekretariat Keadilan dan
Perdamaian, Keuskupan Jayapura sebagai “Politik Menebar Jala”, yaitu biarkan
ikan-ikan yang mau merdeka itu bergerak, berteriak dan masuk ke jala TNI dan
Polri, jangan digertak, jangan dimarahi, jangan diintimidasi, biarkan
semuanya bergerak bebas dan masuk ke dalam jala Polri/TNI. Setelah masuk
semua: TPN/OPM, PDP, Panel, Satgas, dll. baru jala itu DITARIK! Maka
tertangkaplah ikan-ikan “Papua” dari yang kecil sampai yang gode-gode sekali.
Setelah ditangkap semua, ingat, yang akan terjadi adalah: Ikan besar dimakan,
lalu ikan kecil-kecil dibuang kembali ke laut atau dibuang ke darat dan mati.
Jadi, orang Papua seperti Gubernur, Ketua DPRD, Bupati, Pimpinan PDP, bisa
juga sebagian dari TPN/OPM akan disantap oleh N.K.R.I. Rakyat kecil sudah
pandai membaca, dan sudah melihat ikan-ikan besar ini sudah nyata menghambat
Perjuangan “M” di Papua, bukan? Anda dan saya adalah ikan-ikan kecil itu.
Untung kalau kita dibuang ketika si penabur jala ada di pinggir laut, tetapi
sial kalau si penjala memilah ikan besar dan kecil setelah dibawa pulang ke
rumah, kita sudah jadi makanan empuk anjing, kucing, lalat dan semut alias
TNI dan Polri yang hanya kenyang kalau ada masalah di mana-mana dan kalau
keadaan aman, mereka kelaparan.
Jadi, kita harus ingat, walaupun kebebasan itu mengantar kita kepada
kemerdekaan, kebebasan itu sendiri bukanlah kemerdekaan. Kebebasan sering
membawa rakyat kepada kemerdekaan, tetapi kebebasan tidak pernah
memerdekakan orang. Yang harus ditaruh di otak semua rakyat Papua adalah:
“Bebas dari apa dan siapa, dan bebas untuk apa?”
2.1.2 Apa yang saya mengerti tentang kata ‘Kemerdekaan’?
Kemerdekaan dalam bahasa Inggris adalah “Independence,” lawan kata dari
“dependence,’ dari akar kata “depend.” Arti sederhananya adalah “tergantung
pada” atau dalam bahasa pasar kita sebut “ada di tangan.” Masalah ini ada di
tangan Ondofolo Eluway, nanti beliau yang akan putuskan, artinya tergantung
pada beliau. Conoth lain kita lihat masalah makan dan minum di Indonesia.
Indonesia terlihat sangat tergangung kepada International Monetary Fund (IMF),
Asian Development Bank (ADB) dan The World Bank. Karena itu, kalau IMF
berbuat sesuatu, pasti akan muncul di halaman Depan Kompas, Suara Pembaruan,
dan sumber pemberitaan utama lainnya. Karena itu Jakarta akan resah kalau
IMF membuat keputusan: “Tidak akan memberikan pinjaman lagi!” misalnya.
Karena perekonomian Indonesia “dependent” kepada atau tidak “independent”
dari IMF, secara politik Indonesia sudah merdeka sekitar 80%, tetapi secara
ekonomi Indonesia belum merdeka sama sekali, sama halnya dalam dalam bidang
hukum dan perundang-undangan.
Nah, sekarang apa yang orang Papua maksud dengan semboyan ‘“M” itu harga
mati!’ “M”? Menurut Lukas Karl Degey (anggota DPR/MPR PDIP), katanya
kemerdekaan batin-lah yang diutamakan, yaitu masyarakat rasa aman, tenang
dan hidup sebagaimana manusia harus hidup. Merdeka untuk berdemonstrasi,
merdeka untuk hidup tanpa intimidasi, merdeka untuk membangun sesuai selera
orang Papua, dan seterusnya. Apakah ini arti “merdeka” atau “bebas”. Ingat
kita harus selalu bertanya: Bebas atau Merdeka dari siapa, apa dan untuk apa?
Menurut Degey merdeka/bebas dari intimidasi, rasa takut UNTUK membangun.
Saya tidak tahu apakah ini yang dimaksud dengan Otonomi Khusus?
Kalau orang membelokkan aspirasi “M” ke arah yang lain, mereka tidak
bermaksud menghianati, tetapi mereka SALAH TAFSIR atau Keliru mengartikan
suara rakyat yang bulang untuk “M”.
Dari apa yang saya pahami, “independence” berarti “terlepas dari
ketergantungan” atau “pisah dari keterikatan,” dan bukan sekedar “bebas dari
ini dan itu.” Karena ada bangsa dan negara yang sudah merdeka, tetapi belum
bebas, dan ada negara dan bangsa yang sudah bebas, tetapi belum merdeka.
Jadi, dalam konteks Papua, terlepas dari ketergantungan secara politik,
ekonomi, dan sosial-budaya kepada Indonesia adalah “M” harga mati tadi.
Inilah yang kita sebut REVOLUSI di Papua Barat. Kalau terjadi REVOLUSI di
tanah Papua, kita akan hidup dalam nama negara bukan N.K.R.I. lagi, kita
tidak akan punya DPRD, Gubernur Papua dan Bupati-Bupatinya yang diangkat
dengan SK dari Jakarta lagi. Kita tidak akan melihat TNI dan Polri
berkeliaran cari mangsa dan sesuap nasi di Papua lagi. Kita akan punya
pabrik sendiri untuk pengelolaan sagu, petatas, keladi, dll, bukan untuk
menggiling padi. Kita akan punya Presiden atau Pemimpin Besar Suku-Suku
Papua seperti Theys dan Thom, yang ke Jakarta bukan sebagai wakil rakyat
Papua lagi, tetapi sebagai wakil bangsa Papua. Kita akan punya Kabinet
Rakyat Papua, dan Pemerintahan Kesukuan Papua.
Sedangkan terlepas dari rasa takut, terlepas dari kemiskinan, terlepas dari
koteka di tubuh, pindah dari honai ke rumah tembok dan semen yang panas,
terlepas dari buta huruf menjadi melek huruf, dan lain sebagainya tidak
merubah status ketergangungan secara politik, ekonomi dan sosial-budaya
dengan N.K.R.I. Ini yang kita namakan REFORMASI di Tanah Papua.
Jadi, apakah Kongres Papua II 2000 dan segala perangkat organisasi lainnya
dimaksud untuk “kebebasan” atau “kemerdekaan” Papua?
Kalau kita berpolitik, kita bisa makan gado-gado, tetapi kalau rakyat Papua
memperjuangkan kebenaran dan kasih di atas tanahnya, politik Papua haruslah
hitam dan putih, bukan abu-abu, atau gado-gado.
Go to Top
2.2 Risalah beberapa Contoh Perjuangan “Kemerdekaan” dan “Pembebasan”
2.2.1 Perjuangan Bangsa-Bangsa di Afrika
Kalau kita mau belajar dari perjuangan di benua Afrika, maka terbagi dua:
perjuangan untuk kebebasan dan perjuangan untuk kemerdekaan. Contoh
perjuangan legendaris Nelson Mandela adalah perjuangan untuk kebebasan.
Walaupun sebelumnya beliau berjuang untuk kemerdekaan dan bertindak sebagai
Panglima Angkatan Bersenjata SWAPO, beliau dipenjarakan dan akhirnya menjadi
seorang pejuang kebebasan, yaitu bebas dari politik apartheid, penjajahan
berdasarkan warna kulit dan jenis rambut.
Tetapi ada juga perjuangan lain seperti di Angola dan Congo, yang berjuang
untuk merdeka, bukan sekedar bebas.
Contoh kasus menarik lainnya adalah Presiden Robert Mugabe dari Zimbabwe,
yang sampai hari ini walaupun sudah merdeka secara politik, beliau masih
merasa kemerdekaan itu belum penuh dan mutlak. Yang dilihat beliau bukan
sekedar dia sudah menjadi Presiden dan bukan orang kulit putih. Yang dilihat
beliau bukan sekedar menteri-menterinya semua orang kulit hitam seperti yang
diperjuangkan Nelson Mandela.
Tetapi, ada pertanyaan saya: Mengapa Mugabe tidak diberi Piagam Penghargaan
Nobel Prize? Mengapa justeru Nelson Mandela yang memperolehnya? Ini kunci
yang harus dipegang orang Papua. Pertanyaan selanjutnya yang bisa menjawab
pertanyaan ini adalah: Siapa yang memberikan hadiah itu? Atas dasar apa
hadiah itu diberikan? Dengan kata lain, “Demi kepentingan siapakah Nobel
Prize itu dianugerahkan?” Apa isu yang diangkat oleh kedua orang Afrika ini?
Siapakah sasaran perjuangan mereka? Apakah yang mereka perjuangkan? Siapakah
yang rugi dan siapakah yang untuk kalau kedua perjuangan ini menang?
2.2.2 Perjuangan Bangsa Indian-American
Perjuangan bangsa yang diberi nama “American-Indian” sangat menyakitkan.
Nama mereka seperti Yanomami dan lainnya dihapus. Yang ada dalam buku-buku
sosiologi dan antropologi dunia adalah nama “American-Indian” yaitu nama
sama persis dengan nama Papua atau New Guinea. Orang Amerika asli itu mirip
orang India yang sudah dikenal orang kulit putih di Asia, sehingga waktu
mereka pergi ke benua Amerika, mereka melihat sama, maka dipanggillah mereka
itu: “orang India yang di Amerika” alias “American-Indian.” Orang yang sama
pula yang sempat ke tanah kita, dan melihat manusia di tanah kita seperti
orang di Guinea, Afrika, dan kita diberi nama bukan Lani, bukan Biak, atau
bukan Mee, tetapi New Guina, alias Guinea Baru. Jadi, pertama, orang
American-Indian sedang berjuang ratusan tahun lamanya untuk mengembalikan
nama mereka kepada nama yang sebenarnya. Orang Papua berhasil dalam waktu
tidak lebih dari setengah abad, tetapi sayangnya bukan dikembalikan ke nama
asli, melainkan ke nama panggilan yang diberi orang luar pula, yaitu Papua.
Setelah orang asli Amerika ini mengembalikan nama mereka kepada nama
sebanarnya, mereka juga sementara waktu berjuang untuk mengambil kembali
hak-hak atas tanah adat mereka.
Misi mereka bukan mendirikan negara Amerika baru, tetapi mengambil kembali
tanah-tanah mereka, sehingga negara itu boleh bernama Amerika Serikat,
tetapi tanah yang di atasnya negara itu didirikan adalah milik tuan tanah.
Dengan kata lain, orang yang tinggal di atas tanah itu hanya berhak pakai,
bukan berhak milik.
2.2.3 Perjuangan Bangsa Aborigine di Australia
Orang Aborigin senasib dengan orang asli Amerika. Mereka sudah tidak ada
peluang lagi untuk “M” seperti yang diperjuangkan orang Papua. Yang mereka
bisa buat adalah sekedar mengembalikan jatidiri mereka, dan memiliki kembali
tanah adat mereka. Sama dengan orang Amerika asli, orang putih asal Inggris
dan lainnya itu boleh memimpin negara dan menggunakan tanah Australia,
tetapi orang Aborigin punya tanah Australia itu.
Tetapi perjuangan ini bukan mudah seperti teorinya. Buktinya perjuangan di
Australia sudah berlangsung ratusan tahun, sama dengan di Amerika, tetapi
sampai hari ini hanya tidak lebih dari 2% tanah yang bisa dimiliki oleh
orang Aborigin.
Sebelum kita lanjut, perlu diketahui bahwa tiga contoh perjuangan di atas
adalah perjuangan rakyat Pribumi atas pendudukan dan penjajahan orang Barat,
bangsa kulit putih yang 99% asal Eropa. Sejarah membuktikan bangsa bangsa
Eropa telah menyebar ke seluruh dunia, termasuk Papua dan berhasil menguasai
hampir seluruh bumi. Paket kolonialisme mereka dapat dikatakan kandas di
tengah jalan karena muncul ide dekolonisasi, yaitu pemberian kemerdekaan
kepada daerah dan masyarakat yang terjajah. Dalam paket ini mereka telah
berhasil menguasai hampir seluruh bumi.
Prinsip mereka adalah seperti ini:
· Bumi diciptakan untuk kita semua, semua umat manusia, jadi tidak ada satu
suku-bangsa pun yang bisa mengkleimnya sebagai wilayahnya atau daerahnya.
Karena itu mereka bisa pergi ke mana saja dan menjadi warga tanah itu, tidak
menjadi persoalan sama sekali.
· Dalam wilayah baru yang dikuasai itu, bila ada hal-hal yang kurang di sana,
maka bangsa Pribumi itu disebut primitif, ada di jaman batu, ketinggalan
jaman, bahkan untuk Papua disebut kanibal dan kafir, sehingga mereka perlu
ditobatkan dan dimanusiakan atau dimajukan.
· Setelah itu, kalau Anda mau tinggal dan betah di sana, tidak ada
seorangpun yang bisa melarang Anda, toh ini dunia milik kita bersama.
· Karena itu, kalau ada orang Pribumi yang minta macam-macam, mereka perlu
diperlakukan sedemikian rupa sehingga mereka tidak mengusir kita pulang ke
Eropa, tetapi mereka menerima keberadaan kita dan sementara itu mereka boleh
memajukan jatidiri mereka. Tetapi harus dijaga agar mereka tidak menguasai
kita, seperti yang dibuat oleh Robet Mugabe atau tokoh revolusioner Fidel
Castro. Makanya Anda boleh merontak, memprotes, naik banding di pengadilan,
dan perang, tetapi ada satu hal yang harus diingat: MEREKA JANGAN MENGUASAI
KITA.
· Inilah prinsip yang sedang dipakai untuk Papua. Mereka tidak menganggap
suatu persoalan kalau Indonesia yang menguasai tanah itu. Yang mereka ribut
adalah cara atau pendekatan Indoneisa yang masih kuno, yaitu militeristik.
Mereka cuma mau Indonesia belajar dari mereka cara menguasai tanah Amerika,
Australia dan Afrika. Terlihat Gus Dur lebih maju dalam pandangannya tentang
dunia ini, karena itu beliau sedang menuju ke sana. Mengapa Gus Dur sering
ke luar negeri? Kalau bukan untuk mengatakan: “Kami sedang menyelesaikannya,
tenang aja, toh kita akan hidup rukun seperti kalian di Amerika, Australia
dan Afrika! Mengapa kalian risau, sedangkan kalian sendiri hidup rukun di
Amerika, Afrika dan Australia? Kami sedang berusaha seperti kalian, dengan
Demokrasi dan HAM. Tenang aja, tunggu 50 tahun lagi, Indonesia akan
menguasai Papua dan akan mengurangi tuntutan mereka untuk “M” menjadi
sekedar untuk “B” seperti kalian telah buat di ketiga benua tadi.” Dan ingat,
ini bukan hal yang aneh buat orang Barat, justeru inilah yang diinginkan
mereka. Buktinya karena mereka telah melakukannya, karena itu mengapa harus
melarang Indonesia mengikuti jejak mereka?
2.2.4 Perjuangan orang Hawai’i Amerika Serikat
Perjuangan orang asli Hawai’i sudah disinggung jelas dalam Buku 3
WestPaC-AMP: Papua Barat Yang Kami Tahu, yaitu buku pedoman Diplomasi
Kepentingan Rakyat Papua. Mereka dianeksasi oleh Amerika Serikat setelah
program transmigrasi berhasil. Setelah ratu Hawai’i dikalahkan oleh bangsa
A.S., banyak orang kulit putih Amerika Serikat yang ditransport ke Hawai’i,
lalu tiba saatnya Lalau rakyat Hawai’i berontak minta pengakuan kemerdekaan
dan minta agar pemerintahan yang dimusnahkan dipulihkan kembali.
Karena Amerika Serikat mau kelihatan “demokratis” orang yang hidup di
Hawai’i (penduduk asli dan orang kulit putih yang jumlahnya sudah melebihi
orang pribumi) disuruh melakukan Pemungutan Suara untuk menentukan apakah
Hawai’i mau terlepas dari A.S. atau tetapi bergabung dengan negeri Paman Sam
itu. Biar sebelum pemungutan suara-pun orang bodoh bagaimanapun bisa tahu
hasilnya, yaitu orang kulit putih pasti menang, dan pasti memilih tetapi
dengan Amerika Serikat. Tetapi demi “demokrasi” mereka tetap menjalankan
pemungutan suara itu. Dan hasilnya tidak perlu heran: kebanyakan orang yang
tinggal di Hawai’i masih mau tetapi bergabung dengan Amerika Serikat.
Tetapi perjuangan masyarakat pribumi Hawai’i tidak pernah berakhir. Sudah
lebih dari 100 tahun sekarang. Pada saat saya bertemu dan tanya mereka: “Apa
yang kamu cari, “M” atau “O”? Mereka jawab dengan tegas: “Jelas kami mau
Merdeka!, Mereke dari perbudakan orang Amerika Serikat!” Lalu saya tanya
lagi, “Kokh kami tidak pernah mendengar Anda sedang berjuang untuk
kemerdekaan Hawai’i?” Lalu dia katakan, “Kalau kita mau melawan negara
seperti Amerika Serikat, kita butuh waktu ratusan tahun, dan puluhan
gererasi, tidak semudah kalian di Papua.”
Lalu saya termenung dan pikir: Mengapa kita di Papua lebih mudah menurut
wanita Hawai’i ini? Atau mengapa mereka lebih sulit? Ternyata perjuangan
mereka disebut perjuangan “non-violent movement”, yaitu perjuangan tanpa
sayap militer. Perjuangan mereka adalah perjuangan diplomasi seutuhnya.
Mereka tidak punya kelompok TPN di sana, mereka juga tidak punya kelompok
OPM untuk Hawai’i yang setuju diplomasi sekligus setuju perjuangan
bersenjata. Yang mereka punya adalah kelompok PDP, yaitu mengutamakan dialog
dan diplomasi, yang menolak TPN dan mengabaikan keberadaan OPM. Akhirnya
kesimpulannya jelas, kalau kita hanya 100% bergauntung kepada PDP, maka
Papua “M” akan tercapai dalam jangka waktu ratusan tahun, dan beberapa puluh
generasi. Yang jelas tujuan pasti tercapai, cuma orang Papua harus sepakat
bahwa Papua akan “M” dalam jangka waktu lebih dari 100 tahun lagi, dan pada
generasi yang ke 5 sampai ke 10 dari kita yang hidup tahun 2001 sekarang.
Tetapi pada waktu itu, warna perjuangan tentu akan lain, organisasi
perjuangan pasti sudah lain, akhirnya wujud Papua “M” itu juga akan lain.
Kemungkinan besar akan sama dengan status Papua New Guinea di dalam
persemakmuran Inggris dan pengawasan Australia.
2.2.5 Perjuangan Mahatma Ghandi di India
Perjuangan Ghandi di India telah dicatat secara khusus oleh Dr. Benny Giay
dalam bukunya: Menuju Papua Baru, entah “Baru” dalam arti apa kita masih
perlu simak baik-baik. Beliau memberi contoh Marthin Luther King, Nelson
Mandela dan terutama Ghandi dan berkesimpulan bahwa revolusi di India pernah
terjadi dengan tanpa kekerasan. Itu inti pesannya.
Menurut saya, dalam sebuah perjuangan kita perlu melihat “apa” masalahnya,
“apa tujuannya” dan “siapa atau apa musuhnya.” Dengan kata lain, saya kutip
ungkapan Gen. TPN PB Mathias Wenda:
Anak, kalau ko mo potong kumis, ko pakai silet cukur,
Kalau mo potong sayur, gunakan pisau dapur,
Kalau mau gunting bunga, pake gunting atau parang kecil
Kalau mo babat rumput, pake parang,
Kalau mau tebang kayu, jangan pake silet, jangan pake parang, nanti satu
tahun pohon dia tidak jatuh, jadi harus pake apa? Kapak!
Jadi, kalau TPN melawan Inggris, kita akan pakai HAM,
Kalau TPN melawan Amerika Serikat, nanti kita pake Demokrasi,
Kalau kita mo lawan Indonesia, jangan pakai HAM atau Demokrasi
Itu salah, itu keliru besar, kasih tau itu orang-orang sekolah,
Supaya jangan mereka pake alat salah untuk tujuan mereka.
Supaya mereka jangan lupa siapa yang mereka sedang hadapi.
Jangan jadi orang bodoh yang berpendidikan!
Dengar orang tua, orang tua tau apa yang dia buat, mengapa dan bagaimana?
Jadi, waktu itu Ghandi sedang berhadapan dengan penjajah Inggris, dan
kebetulan Ghandi sendiri adalah seorang ahli hukum dan pengacara. Pendekatan
hukum dan HAM yang dipakainya jitu, dan buktinya India sudah merdeka.
Pertanyaan sekarang bagi bangsa Papua seperti ini:
· Apa masalah kita: Masalah tanah? Masalah harga diri dan jatidiri? Atau
masalah kebangsaan?
· Apa tujuan kita: Merdeka? Bebas?
· Siapa mush kita: Inggris? Amerika Serikat? Australia? Atau Indonesia?
· Kalau Indonesia, mana pendekatan yang paling tepat? Apakah kita harus
gunakan silet? Pisau dapur? Parang? Atau Kampak? Untuk menebang pohon
beringin yang rindang dan sarat dengan setan-setan dan dukun-dukunnya? Kalau
kemerdekaan yang kita perjuangkan melawan Indonesia, mana jalan yang kita
pilih?
2.2.6 Perjuangan Bangsa Timor Loro Sa’e
Kalau kita membandingkan perjuangan rakyat Timor Loro Sa’e untuk merdeka
dengan perjuangan bangsa lain di dunia, maka perjuangan ini unik dan
membanggakan. Pertama karena para tokohnya tidak sempat berhasil dijinakkan
oleh kaum penguasa neo-kolonial seperti yang terjadi pada diri Nelson
Mandela. Ada seorang bernama Mr. X menulis kepada Mr. X begini:
Kebanyakan perjuangan masyarakat tertindas selama ini tidak pernah mencapai
hasil seperti tujuan semula karena perjuangan itu kebanyakan dihyjacked
(dibajak) oleh kaum penguasa neo-kolonialisme. Mereka ini bernama para NGO
multinational, Perusahaan multinational, Gereja multinational, dlsb.
Akhirnya, perjuangan itu kebanyakan tiba di REFORMASI, bukan REVOLUSI. Ia
beri nama peristiwa ini sebagai “the Bolsevick syndrome,” yaitu sebuah
perjuangan rakyat di Russia yang berhasil dibelokkan oleh kaum penguasa
untuk kepentingan mereka.
Syndrome ini mulai nampak di Papua. Ada beberapa bukti yang sempat kita
lihat seperti:
· Pengangkatan pengurus PDP yang tidak mewakili rakyat yang terdiri dari 245
suku lebih, tetapi malahan dimanipulasi oleh elit politik Papua secara tidak
sehat. Menggunakan pola Pilar Pemuda, Pilar Wanita, dst, bukan cara
pergerakan rakyat, tetapi ini cara kekuasaan neo-kolonialis, yaitu
menghilangkan jatidiri suku-suku yang ada, dan menggunakan kelompok-kelompok
buatan yang nantinya akan punah karena tidak punya akar ke dalam masyarakat
dan karena tidak bisa menyatu. Kebanyakan waktu akan habis dengan persoalan
konsolidasi antar pemuda, antara kaum wanita, antar pelaku sejarah, dll. dan
akhirnya waktu habis untuk urus “M”. Ini pendekatan sangat typical dan ini
menuju ke Bolsevick syndrome tadi.
· Mengangkat HANYA SATU ORANG sebagai pimpinan pucuk PDP adalah pola
pyramidal, pola yang sudah gagal di Indonesia, sudah gagal di dunia lain,
pola yang tidak reflective dengan kenyataan obyektif Papua yang majemuk dan
unik. Karena itu orang Papua jangan marah percuma kalau Ketua PDP dan
anggotanya saja yang tandatangani kontrak-kontrak kerja untuk perusahaan
asing. Karena itu jangan kaget kalau nantinya orang Papua balik menindas
orang Papua. Ini gejala gawat menuju ke Bolsevick syndrome tadi.
· PDP mengkleim diri sebagai satu-satunya badan yang sah dan berhak penuh
memperjuangkan aspirasi rakyat Papua. Kleim ini sudah secara tidak sopan dan
secara arogan meremehkan perjuangan lama dari OPM dan TPN, dan Kelompok 14
yang sudah nyata ada di tanah Papua. Banyak nyawa telah melayang atas nama
badan-badan lain di Papua, PDP hanya berdiri setahun lalu. Mengapa kokh
senonoh begitu? Mengapa tidak sopan begitu? Mengapa arogan begitu? Yang
jelas ini bukan ciri orang Papua. Ini peristiwa menuju Bolsevick syndrome.
Kita tunggu waktu di mana PDP akan memberi komando untuk membasmi Kelompok
14, TPN, OPM dan kelompok lainnya di Papua.
Kedua, karena perjuangan rakyat Timor Loro Sa’e dimenangkan hanya dalam
kurun waktu 24 tahun (1974 - 2000). Walaupun orang Amerika asli dan
Australia asli tidak pernah berhasil dalam ratusan tahun, hanya untuk
mengembalikan jatidiri mereka dan hak atas tanah, bangsa Melanesia di Timor
Loro Sa’e lebih hebat dari kita semua. Bangsa Papua sudah mulai berjuang
sejak 1963. Kita mulai melakukan perlawanan 11 tahun lebih duluan.
Janganlah kita terlalu tolol untuk mengerti kunci-kunci keberhasilan rakyat
Timor Loro Sa’e. Atau rakyat Papua jangan membiarkan pimpinan PDP, TPN, OPM
dan Kelompok 14 bertindak lucu dan tidak berpatokan pada pengalaman orang
Timor Loro Sa’e.
Ketiga karena pihak Gereja di Timor Loro Sa’e tidak pernah diam. Dengan
Teologi Pembebasan, para tokoh gereja di sana terus berteriak dan minta
campur tangan dunia internasional. Misi gereja di Papua bukan untuk sekedar
menguasai dan menjajah dan membiarkan orang Papua dibantai. Ada seorang
Irlandia kelahiran Inggris bilang saya begini:
Gereja jangan berorientasi ke sorga melulu,
Hidup nanti dan hidup sekarang sama, keduanya hidup,
Hidup sekarang malahan lebih penting karena kita ada sekarang dan hidup
sekarang.
Penderitaan sekarang ini harus dijawab oleh gereja.
Gereja itu untuk ke surga, tetapi gereja ada karena kita ada di dunia ini,
tanpa dunia ini gereja tidak perlu ada.
Karena itu orientasi pelayanan gereja jangan terus melihat ke langit biru,
atas somewhere, somewhere, somehow.
Mereka jangan selalu berkhotbah tentang what will be sometime
Tetapi mereka harus lebih mengutamakan what should be now.
Sehubungan dengan ini ada seorang Pemuda Papua pernah menulis bahwa pihak
pertama yang harus bertanggungjawab atas penderitaan rakyat Papua adalah
pihak gereja. Mereka yang buka isolasi, buka lapangan terbang, lalu militer
Indonesia menyusul mereka, dengan pewawat misionaris, dan membantai orang
Papua. Lalu orang misionarisnya lari keluar, tak pernah melaporkan
penderitaan kita. Ia berkesimpulan bahwa kebanyakan misionaris sebenarnya
cari makan saja, bukan datang karena kasih seperti kasih yang dimiliki Tuhan
Yesus. Mereka tidak punya misi seperti Tuhan Yesus, tetapi sekedar cari
kerja di Papua, ladang yang kosong, penuh dengan orang kanibal, orang kafir,
orang perang suku dll. Kesimpulan ini barangkali menyakitkan bagi para
misionaris, tetapi ini kesan nyata yang perlu ditanggapi misionaris dan
gereja.
Keempat, karena rakyat yang mau merdeka betul-betul “all-out” artinya maju
tanpa mundur selangkahpun dan maju serentak dan seutuhnya. Kita sudah
bertemu anak sekolah dari Timor Loro Sa’e di Jawa dan luar negeri. Mereka
tidak pernah makan makanan yang enak-enak seperti orang Papua. Mereka jarang
masuk ke warung-warung. Mereka jarang berfoya-foya. Yang ada di otak mereka
adalah: “Kapan kita merdeka?” Status kemahasiswaan mereka tidak penting sama
sekali selama negara Timor Loro Sa’e belum merdeka. Mereka menjual apa yang
mereka punya seperti sepatu, baju sehelai, dan arloji tangan untuk pergi
berdemonstrasi di Jakarta. Dibandingkan dengan Pemuda Papua, mereka harus
menunggu biaya demo dari sponsor, mereka mabuk-mabukan di Jawa, tempat
makannya bukan masak sendiri di rumah kos, tetapi berlangganan di
warung-warung.
Sementara itu, mereka yang di luar negeri tidak pernah sekedar berbicara:
Hak Masyarakat Pribumi seperti di mulut orang Papua di pengasingan sekarang.
Pesan mereka jelas sekali: Orang Timor Loro Sa’e mau merdeka, merdeka secara
politik. Dan TITIK. Mereka mengikuti setiap langkap pemimpim politik dunia.
Mereka mengomentari setiap sikap dan pernyataan dunia internasional terhadap
perjuangan Timor Timur waktu itu.
Selanjutnya, pemimpin Fretelin di penjara, Xannana tidak pernah mundur
selangkahpun dengan tawaran apapun dari Indonesia. Beliau tidak pernah
datang ke Jakarta bertemu Ketua DPR RI atau MPR RI atau Wapres untuk
menyelesaikan masalah Timor Loro Sa’e. Beliau tidak pernah minta dialog.
Beliau tidak pernah berkolusi atau mengatur konspirasi dengan Jakarta.
Sikapnya jelas dan tegas: Orang Timor Loro Sa’e mau merdeka, bukan
basa-basi.
Rakyat Papua memang orang Papua, artinya tidak pernah serius dan tidak
pernah konsisten, mereka semuanya PANAS-PANAS TAHI AYAM. Saya sendiri ragu
kalau ada orang Papua yang sampai hari ini masih terus menangis dan
berteriak kepada Tuhan dalam Doa Syafaat mereka untuk Papua Merdeka. Saya
masih ragu kalau orang Papua yang dulu sudah sumpah mau mati itu sudah malas
dan batal sumpah mereka. Contoh kasusnya kita bisa lihat seperti berikut:
· Sementara ada orang di hutan yang minta “M” masih ada orang Papua di kota
yang minta “O”
· Sementara ada mahasiswa yang serious untuk “M” ada yang masih cari uang
kuliah dari uang “O”
· Ada Bupati di pedalaman yang sudah menandagatangi Kontrak untuk otonomi
Daerah.
· Ada pejabat yang sudah diberi fasilitas untuk memajukan konsep “O”
Berdasarkan kondisi orang Papua ini, maka kalau saya orang Indonesia,
jawaban “O” dan “F” dari Gus Dur adalah pas, tidak keliru sama sekali.
Selain perjuangan orang Timor sendiri, Portugal sebagai sebuah negara Eropa
terus mendukung perjuangan mereka. Saya menilai ini merupakan bumbu atas
tekad dan gerakan orang Melanesia di Timor Loro Sa’e sendiri yang
menyedapkan perjuangan itu sehingga dunia luar bisa menyantapnya dan
akhirnya jadi: Australia mempimpin pasukan PBB masuk ke Timor Timur.
2.2.7 Perjuangan Kaum Tertindas di Barat
Perjuangan kaum tertindas di dunia, khususnya di dunia Barat pada hakikatnya
persis sama dengan perjuangan orang Indonesia dan orang Papua. Yang
membedakan hanyalah tempat musuh itu berada, wujud musuh itu, dan namanya.
Memang ia hadir dalam bahasa yang berbeda tetapi bila diterjemahkan juga
namanya beda.
Corak perlawanan juga berbeda, berdasarkan tingkat peradaban
Go to Top
2.3 Risalah Beberapa Tokoh Pejuang Kemerdekaan dan Pembebasan
Secara singkat kita akan melihat beberapa tokoh pejuang kemerdekaan dan
kebebasan di dunia agar menolong kita melihat apakah Jend. TPN PB Mathias
Wenda, Jen. TPN PB Kelly Kwalik, Letjen TPN PB Bernardus Mawen, Kolonel
Willem Onde, Theys H. Eluway dan Thomas Beanal bersama seluruh aparat mereka
sebenarnya memperjuangkan kemerdekaan atau kebebasan.
Untuk membedakannya kita perlu ingat pertanyaan pokok: “Bebas dari siapa
atau apa? Dan Bebas untuk apa? Dan juga “Merdeka dari siapa atau siapa?”
2.3.1 Perjuangan Tuhan Yesus Kristus
Kalau kita mau belajar dari tokoh Revolusioner Terbesar dalam sejarah hidup
manusia ini, kita perlu melihat apa yang diajarkannya dan apa yang
diperbuatnya semasa pelayananannya. Kalau tak salah, fokus utama pelayanan
revolusioner Yesus Kristus adalah “pembebasan” dan “kemerdekaan.” Nah,
berhubung karena fokus pelayanannya adalah pada rohani manusia, makan Tuhan
Yesus selalu berkata: “Jikalau anak itu memerdekakan kamu, maka kamupun
benar-benar merdeka.” Lihat Yohanes 14:6 dan isi berita itu dimuat dalam
sebuah Paket Kasih untuk umat manusia.
Kita perlu melihat apa yang dimaksud dengan “kasih” dalam ajaran-Nya. Kasih
itu lemah-lembut, murah hati, dan seterusnya seperti diuraikan Paulus dalam
Galatia 5. Dalam bahasa politik, kita dapat katakan bahwa ajaran Tuhan Yesus
adalah “kasih” yang tidak konspiratif, kasih yang tidak memihak, yaitu kasih
yang “murni” atau “agape.”
Ajaran Tuhan Yesus perlu dilepaskan dari ajaran Gereja dan Agama Kristen,
apalagi ajaran aliran dan denominasi yang berusaha mempersempit ajaran Tuhan
Yesus dengan tafsiran mereka masing-masing, yang saya beri nama: “Alkitab
buatan Manusia.”
Inti ajaran Tuhan Yesus adalah manusia tidak boleh dikekang dengan aturan
dan ajaran yang dibuat manusia di dunia ini, yaitu termasuk lembaga agamawi
dan pemerintahan, yang tidak sesuai dengan hatinurani dan kemanusiaan, yang
tidak mengutamakan kepentingan rakyat semesta, alias korupsi, kolusi,
nepotisme dan konspirasi. Artinya dalam konteks Papua, orang Papua harus
hidup bebas dari segala bentuk kejahatan dan segala kekangan buatan manusia.
Inilah sebabnya kaum teolog sulit melihat aspirasi “M” di Papua sebagai
satu-satunya jalan untuk meloloskan orang Papua dari penderitaan dan
tekanan, karena apa yang diinginkan dalam konteks “Papua Merdeka” itu toh
masih sama, yaitu sebuah negara dengan segala perangkatnya yang potensial
untuk mengulang kembali kesalahan Suharto dan regimnya. Mereka melihat dalam
konteks Papua Merdeka nanti pasti ada negara, ada undang-undang, ada
tentara, ada polisi, ada penjahat, ada pencuri, ada hukum, ada
undang-undang. Singkatnya, mereka menganggap aspirasi Papua Merdeka bukan
jalan penyelesaian utama semua persoalan di Papua. Tapi mereka juga tidak
terlalu risau kalau terbentuk sebuah negara Papua Merdeka. Mereka tahu bahwa
toh dalam konteks Papua Merdeka, tugas mereka untuk membebaskan manusia dari
keterikatan dan belenggu Iblis masih tetap harus berjalan.
Itulah sebabnya orang Papua yang berlatar-belakang teologia punya pandangan
cenderung kepada “Otonomi” atau “Federasi” di mana rakyat Papua memperoleh
jatidiri dan kebebasan sebagaimana seharusnya bagi umat manusia.
Tadi pandangan teolog di barisan atas, tetapi ada para hamba Tuhan di
kampung-kampung yang sudah secara bulat mendukung “M” dan malahan melihat
teman-teman dari luar Papua sebagai musuh. Tentu saja di sini ada campuran
ke-Papua-an dan ke-Agama-an, tetapi yang jelas mereka adalah wakil Allah di
dalam masyarakat, yang paham betul penderitaan rakyat setiap detik. Tentu
saja, kebanyakan tidak membayangkan apa yang akan terjadi kelak setelah “M”,
yaitu hukum, negara dan undang-undang seperti tadi. Inti perhatian mereka
adalah ini: Kawanan domba mereka sedang dibantai setiap hari, karena itu
mereka sebagai gembala harus bertindak. Tindakan mereka menyelamatkan
kawanan umat Allah adalah dengan mendukung aspirasi “M”. Anda dapat
mencontoh banyak pastor dan pendeta putra daerah yang tinggal di
kampung-kampung yang secara penuh mendukung aspirasi “M”.
Kita perlu kembali kepada inti ajaran Yesus: Love dan Love itu harus
diwujudkan dalam dua arah: Kepada Tuhan dan kepada sesama manusia. Dan Love
itu bukan buta, ia punya nilai dan rasa. Atas dasar Love itu, kita dapat
saja katakan begini:
Bangsa Indonesia telah menolong bangsa Papua terlepas dari jajahan Belanda,
karena itu kita berterima kasih.
Tetapi bangsa Indonesia malahan selanjutnya tidak menolong rakyat Papua
hidup aman dan sejahtera sebagaiman pesan Injil.
Karena itu, jalan terbaik bagi bangsa ini adalah agar orang Papua diberi
kemerdekaan. Ini bukan atas dasar Indonesia rambut lurus dan beragama Islam,
karena ke-Kristen-an bukan hanya untuk orang Papua, dan bukan hanya untuk
kita yang sudah jadi Kristen, tetapi buat sekalian umat manusia semesta.
Bangsa Indonesia seharusnya dengan kasih memberikan kemerdekaan itu, tidak
menyiksa, tidak merampas, dan tidak memusnahkan orang Papua.
Selanjutnya bangsa Papua dan bangsa Indonesia dapat hidup bersama sebagai
sesama umat manusia dalam kerukunan dan persahabatan yang abadi, tidak
saling membenci dan tidak saling menyiksa atau membantai. Kehadiran
Indonesia di Papua tidak pernah berhasil dan kemungkinan besar tidak akan
mungkin menentramkan umat Tuhan di Papua, karena itu jalan terbaik adalah
mengembalikan kemerdekaan Papua.
Gereja-Gereja di Indonesia seharusnya mengedepankan dimensi kasih dan
pembebasan yang dibawa Tuhan Yesus, daripada berusaha membungkus teologi dan
ajaran gereja dalam “politik” dan “nasionalisme Indonesia” yang sudah
nyata-nyata tidak menolong citra Indonesia sebagai negara berdasarkan
Pancasila dan tidak menolong orang Papua bertingkah-laku sebagai umat
bergereja lagi.
Gereja-Gereja di Papua seharusnya tidak usah bersandiwara di atas mimbar
dengan khotbah-khotbah kasih yang tidak pernah mimbar itu sendiri
membuktikannya. Keterikatan gereja dalam politik perlu dilepas, dan secara
murni menyuarakan “Apa yang umat mau!”
Dengan singkat, pelayanan gereja bersifat multidimensional dan
multinasional, dan tidak berkompromi dengan aturan manapun juga yang pernah
ada di dunia ini. Gereja tidak perlu tunduk dan takut kepada siapapun juga,
selain kepada ajaran murni dan inti Tuhan Yesus: Kasih, yaitu kasih yang
membebaskan manusia, terutama umat percaya dari perbudakan Iblis dan
antek-anteknya.
2.3.2 Marthin Luther
Pada intinya Marthin Luther menilai bahwa ada aturan dalam gereja Katolik
Roma yang tidak manusiawi dan tidak menolong rakyat secara keseluruhan. Ia
menilai bahwa orang Kristen tidak perlu harus tunduk seluruhnya kepada
aturan gereja yang dibuat manusia. Ia memprotes gereja Katolik dan merintis
Gereja Protestan.
Ini perjuangan berdimensi rohami, tetapi berdampak luas kepada seluruh aspek
kehidupan masyarakat sedunia. Akhirnya orang berkesimpulan bahwa ada
aturan-aturan dalam gerejapun tidak perlu harus ditaati, tetapi perlu
dipertanyakan kalau-kalau memang berdasarkan bunyi pasal dan ayat Alkitab
atau hanya dibuat oleh kaum penguasa dalam gereja.
2.3.3 Marthin Luther King
Riwayat perjuangan Marthin Luther King berorientasi pada sikap dan tindakan
diskriminatif (rasis dan fasis) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara di Amerika Serikat.
Banyak tempat di mana orang hitam di Amerika Serikat tidak berpeluang untuk
menikmati hidup sebagai warga negara itu. Ada sekolah yang membatasi orang
hitam berambut keriting. Ada kantor yang melulu orang kulit putih. Ada
perusahaan yang tidak merekrut pegawai orang hitam ke posisi yang
selayaknya. Ada banyak posisi pemerintahan di A.S. yang tidak diduduki oleh
orang hitam di sana. Ini diperjuangkan oleh beliau dan hasilnya sekarang
sudah banyak dinikmati.
Hasil yang sangat nyata sekarang adalah bahwa Menlu A.S. sekarang Jenderal
Collin Powel adalah keturuan Afrika, yang mereka sebut Afro-America.
Demikain juga dengan Penasehat Dewan Keamanan A.S. adalah seorang wanita
Afro-America berusia 35 tahun. Jelaslah di sini bahwa hasil perjuangan M. L.
King sudah nyata dinikmati oleh generasi sekarang.
Perjuangan Marthin Luther King sama dengan apa yang diperjuangkan Nelson
Mandela di Afrika Selatan, yaitu menghilangkan perbedaan dalam perlakuan
dalam negara karena perbedaan latar belakang budaya dan ras.
2.3.4 Nelson Mandela
Nelson Mandela sebelumnya sama dengan Jend. TPN PB Mathias Wenda di Papua.
Beliau Panglima Tertinggi Tentara Pembebasan di Afrika Selatan (SWAPO). Lalu
ia mendirikan Partai Nasional Afrika (Africa National Congress) bersama-sama
dengan Mahatma Ghandi waktu Ghandi masih muda dan berada di Afrika. Akhirnya
Mandela ditangkap dan dipenjarakan selama 20 tahun.
Seorang Panglima Angkatan Bersenjata yang dipenjarakan tidak melepaskan
jabatannya begitu saja, ia terus berjuang dari dalam penjara juga. Apa yang
dia buat sama halnya terjadi dengan Xannana untuk Timor Loro Sa’e. Perbedaan
mereka berdua adalah bahwa Nelson Mandela berhasil dijinakkan oleh bangsa
Barat, sedangkan Xannana Gusmao tidak sama sekali. Yaitu bahwa Nelson
Mandela akhirnya hanya tiba pada reformasi di Afrika Selatan, dan Xannana
Gusmao tiba pada Revolusi di Timor Loro Sa’e: dua hal yang mirip tapi sama
sekali berbeda.
Sama halnya dengan rekan sebangsanya Marthin Luther King, Mandela
memperjuangkan kesamaan hak antara orang ketururan kulit putih dan orang
asli Afrika yang berkulit hitam dan berambut keriting itu. Hasilnya sekarang
sudah nyata. Presiden orang kulit hitam pertama di Afrika Selatan adalah
Nelson Mandela sendiri, dan sekarangpun masih orang kulit hitam yang menjadi
presiden negara itu.
Perjuangan Mandela dari berjuang untuk merdeka berakhir dengan hasil
kebebasan, bukan kemerdekaan bagi Afrika Selatan. Apakah ini nasib Theys H.
Eluway dan Thomas Beanal? Kami tunggu waktu menjawabnya.
2.3.5 Soekarno dan Hatta
Soekarno-Hatta adalah dua tokoh pejuang kemerdekaan Republik Indonesia.
Keduanya punya dedikasi tinggi bagi bangsa mereka. Keduanya percaya bahwa
Indonesia harus merdeka dan wilayah-wilayah lain yang masih dikuasai Belanda
harus dilepaskan dari cengkeraman kolonialisme Belanda. Terutama Soekarno
dilihat sebagai Bapak Revolusi Indonesia.
Dalam pidato-pidato mereka yang sempat direkam dan diterbitkan terbaca bahwa
mereka sangat membenci kapitalisme. Dalam berbagai pidato Soekarno dengan
terus-terang menunjukkan betapa jahatnya kapitalisme bagi manusia semesta.
Demikian juga dengan Bung Hatta.
Walaupun kedua tokoh ini memperjuangkan kemerdekaan politik bangsa
Indonesia, mereka dengan jelas memihak pada paham sosialisme dan
membelakangi kapiatalisme. Itulah sebabnya ada beberapa pasal dalam UUD 1945
yang berbau sosialis. Misalnya Pasal 33 di mana dikatakan bahwa semua
kekayaan alam dikuasai oleh negara dan diatur sepenuhnya untuk kepentingan
umum. Contoh lain adalah Pancasila itu sendiri. Ciri Ketuhanan Yang Maha Esa
dimasukkan, teatapi keadilan sosial, dan kemanusiaan yang adil dan beradan
serta kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dan permusyawaratan
adalah jelas ciri sosialisme. Ciri terselubung inilah yang kemudian Soekarno
melahirkan NASAKOM (Nasionalisme-Agama-Komunisme).
Sekarang barangkali kita bertanya: Apakah Nasionalisme bisa mengutamakan
ajaran agama? Kalau begitu mengapa orang Papua dibantai tiap hari demi
nasionalisme padahal agama melarangnya? Barangkali karena Nasionalisme yang
pertama dan agama menyusul. Kemudian “Apakah agama bisa mebiarkan komunisme,
atau berjalan bersama komunisme?” Jawabannya jelas bisa secara teori. Memang
komunisme bukan berarti tanpa agama. Kita tahu di Eropa ada Partai Kristen
Sosialis, yang alirannya adalah komunisme. Ada partai Komunis Kristen, dll.
Jadi memang agama dapat hidup dalam paham komunisme. Kalau ada yang menolak
komunisme karena mereka merasa sudah beragama, itu ajaran sempit dari
Amerika Serikat.
NASAKOM sudah semakin muncul di Indonesia. Ada buku baru terbitan Kreasi
Wacana, tahun July 2000 dengan judul: SOSIALISME RELIGIUS: Suatu Jalan
Ke-empat? Ini ujung-ujung yang jelas berpatokan pada NASAKOM. Buku ini lebih
banyak mengutip tulisan dan pidato Dr. Moh. Hatta, Wakil Presiden R.I.
pertama. Tetapi antara Hatta dan Soekarno sama saja dalam paham mereka.
Perbedaan hanya terletak pada batas-batas nasionalisme mereka. Soekarno
cenderung ambisius dan expansionist dan Hatta lebih demokratis dan faktual.
Salah satu contohnya Moh. Hatta menolak dengan keras invasi militer ke Papua
atas dasar karena wilayah Papua termasuk wilayah jajahan Hindia Belanda.
Beliau katakan orang Papua itu bangsa lain yang harus menentukan nasibnya
sendiri. Sedangkan Soekarno punya prinsip harus memasukkannya ke R.I.,
termasuk (Sarawak) Malaysia, Brunai, Timor Timur, dan bahkan Papua New
Guinea dan negara lainnya di Pasifik.
Lalu kita bertanya: Lalu kokh mengapa Indonesia bukan negara pro sosialis,
tetapi justru pro paham dan negara kapitalis? Apa yang salah? Karena
Soeharto terlau lama bertahta? Karena Soeharto seorang diktator? Jawabanya
“Ya!” dan “Tidak!” Kesalahan jatuh pada Soekarno dan Hatta terlebih dulu,
lalu imbasnya harus ditanggung Soeharto. (Kita akan melihat kesalahan mereka
dalam bagian lain)
Intinya di sini bahwa kedua tokoh R.I. ini adalah tokoh revolusi, bukan
tokoh reformasi. Gus Dur adalah Tokoh Reformasi, dan Soekarno-Hatta adalah
tokoh revolusi. Apakah orang Papua mau revolusi atau reformasi total?
2.3.6 Xannana Gusmao dan Jose Ramos-Horta
Seperti sudah disebutkan dalam menyinggung Nelson Mandela di atas, Xannana
punya sejarah yang luar biasa. Xannana memulai dengan target yang sama, dan
berakhir pada target yang sama: yaitu KEMERDEKAAN, sedangkan Nelson Mandela
mulai dengan target kemerdekaan, tetapi tiba pada hasil kebebasan.
Xannana juga bisa saya samakan dengan Soekarno, tokoh revolusi sebuah
bangsa. Perbdeaan utamanya adalah Soekarno lebih ambisius dan expansionist,
sedangkan Xannana tampil lebih sosialis. Waktu Xannana tidak mau dicalonkan
menjadi Presiden Pertama Timor Loro Sa’e sudah jelas dapat dibaca bahwa
beliau memang sosialis murni. Beliau tidak mencari kedudukan dan jabatan,
tetapi kemerdekaan rakyatnya. Memang kedudukan dan jabatan Xannana tidak
menjamin kemerdekaan bangsa itu terwujud seperti yang diinginkan sebelum
merdeka. Yang menentukan adalah bagaimana mengatur negara baru itu dalam
sistem yang cocok dengan orang Pribumi dan yang mengutamakan kepentingan
rakyat jelata, bukan Xannana jadi presiden atau tidak. Perbedaan berikut
adalah Soekarno itu seorang idealis dan Xannana seorang realis. Artinya,
Soekarno memperkenalkan banyak sekali istilah dan kosakata baru ke dalam
Bahasa Indonesia, termasuk NASAKOM tadi. Tetapi beliau tidak mencapainya.
Beliau lebih berfokus pada idealismenya daripada kenyataan mutlak bahwa
Amerika Serikat sudah melakukan operasi clandestine untuk menjatuhkannya.
Sistem pertahanan dan inteligen Indonesia waktu itu lemah, dan hancurkan
tahta Bung Karno sekaligus dengan idealismenya.
Jose Ramos-Horta adalah pejuang kemerdekaan yang gigih, tak kenal menyerah
dan punya misi yang pasti dengan keyakinan yang teguh. Ini beda sekali
dengan tokoh pejuang kemerdekaan Papua yang plin-plan dan mudah
diombang-ambingkan oleh angin globalisasi, konspirasi, otonomi, federasi
dsb. Ramos Horta punya pesan cukup jelas dalam berbagai moment: Orang Timor
Loro Sa’e mau Merdeka dan TITIK. Walaupun beliau sama dengan orang PDP di
Papua, beliau tidak pernah berkompromi dengan tawaran apapun dari Indonesia.
Rakyat Papua sangat dan sangat berharap Fransalberth Joku, Andy Adjamiseba,
dkk. di Pasifik dan Viktor Kaisiepo, dkk. di Eropa tidak salah langkah dalam
memperjuangkan mandat yang mereka pegang. Rakyat Papua berdoa agar Jacob
Prai tidak mudah ditawar dengan mudah oleh lawan kita. Singkatnya, kami mau
MUSUH-MUSH ORANG PAPUA TIDAK MENGALAHKAN MEREKA. Ramos-Horta dan Gusmao
sebagai sebangsa Melanesia sudah membuktikannya, mengapa orang Melanesia di
Papua tidak bisa?
2.3.7 Uskup Belo di Dili
Ketika saya mengingat Uskup Belo di Dili, saya tidak bisa lupa Paulo Freire
di Brasil karena keduanya sama saja. Uskup Belo adalah tokoh gereja yang
bukan berorientasi melulu kepada “Kapan orang Timor Loro Sa’e masuk surga?”
tetapi beliau lebih melihat “Mengapa orang sebangsanya menderita dan apa
yang harus dibuatnya untuk melepaskan bangsanya dari penderitaan itu?”
Berbeda sekali dengan Ketua Sinode GKI, GKII, Baptis, GIDI, dan Uskup-Uskup
yang banyak sekali jumlahnya di tanah Papua. Barangkali mereka baku harap,
barangkali juga mereka tidak sama dengan Uskup Belo.
Saya yakin Uskup Belo sudah tahu Teologi Pembebasan dan beliau
memperjuangkan atas dasar ini.
Kalau di Brasil, peristiwanya lebih dramatis. Banyak Uskup dan Pastor yang
menjadi anggota TPN ala Brasil, mereka angkat senjata dan ikut berperang
melawan musuh orang Brasil waktu itu. Mungkin Anda bisa katakan, “Ah itu
waktu itu, sekarang suasana sudah lain!” Ada banyak pastor yang ditangkap
dan dianiaya karena turut angkat senjata. Dibandingkan dengan gereja-gereja
di Papua, para pendeta dan pastor tidak mau tahu dengan urusan rakyat, yang6
mereka pentingkan adalah urusan akhirat, apa yang bakal terjadi kalau dunia
ini kiamat. Bahkan ada pendeta di Papua yang tidak mau bergaul atau duduk
makan dengan pejuang kemerdekaan Papua seperti Mathias Wenda dan anak
buahnya. Banyak notula sidang Raya Sinode, Klasis dan keputusan rapat Uskup
di Papua tidak menyatakan sikap yang jelas atas perjuangan rakyat, yang
adalah anggota gereja mereka. Dapat dikatakan bahwa gereja-gereja di Papua
sebenarnya tidak ada di Papua, mereka ada di dunia yang lain secara mental,
tetapi secara fisik berkeliaran dan berkhotbah di tanah Papua.
Uskup Belo berdiri di posisi yang sulit, tetapi ia telah memilih untuk
berdiri di situ. Beliau berteriak keras kalau ada kawanan jemaatnya yang
dibantai. Beliau hampir saja angkat senjata fisik. Tetapi senjata rohaninya
sangat jitu dan buktinya negaranya sudah merdeka.
Beliau mengenal benar persoalan bangsanya. Sebenarnya pastor dan pendeta di
Papua sudah tahu apa yang salah di Papua. Mereka sudah baca buku-buku karya
WestPaC-AMP tentang kesalahan-kesalahan dan atau manipulasi sejarah, hukum
dan politik oleh Amerika Serikat, Belanda, dan Indonesia. Atau barangkali
mereka belum puas dengan darah orang Papua yang sudah tumpah. Barangkali
kami yang masih hidup harus mati semua. Barangkali waktu mereka berdiri
berkhotbah di hadapan bangku-bangku kosong di gereja lalu mereka akan
menangis dan berteriak. Kita tunggu saja Belo-Papua, yang secara matematis
jumlahnya lebih banyak di tanah Papua, tetapi secara kualitatif kalah dengan
seorang Belo, orang Melanesia di tanah Loro Sa’e.
Kemudian Uskup Belo juga punya visi yang luarbiasa. Ia mulia dengan kegiatan
seperti mendirikan patung Tuhan Yesus di Dili. Ini mengundang perhatian
seluruh gereja Katolik sedunia, bahkan tahta Suci Vatikan-lah yang turun
meresmikan patung raksasa itu.Dari dekat mereka sudah melihat masalah di
sana. Dapat kita samakan Kongres Papua II 2000 dengan peresmian patung
raksasa ini. Tetapi kongres kita masih diwarnai dengan politik kotor yang
sulit dibersihkan.
Go to Top
2.4 Jenis-Jenis Manusia Papua dalam Konteks Papua “M”
Manusia Papua sebelum 1960 pasti berbeda dengan manusia Papua zaman Belanda,
zaman transisi, zaman pendudukan Indonesia, dan zaman kejayaan Indonesia di
Papua. Pertama, ada orang Papua jenis “Cari makan”, yaitu mereka yang hanya
pikir perut mereka. Mereka ini punya yayasan (LSM), mereka ini punya
perusahaan, mereka ini punya urusan dengan Indonesia dalam berbagai hal, dan
mereka mau urusan itu mendatangkan keuntungan bagi mereka. Mereka merasa
perut mereka belum besar, dan maunya diisi terus sampai kepenuhan. Orang
Papua “cari makan” inilah yang kebanyakan bicara “O”.
Selain itu kedua ada orang Papua yang “Malas Tahu” alias tidak punya beban
untuk Papua “M”. Kalau Papua merdeka mereka terima, kalau tidak, mereka juga
tidak permasalahkan. Kebanyakan mereka adalah orang yang mau tahu tentang
sekarang, saat ini, apa yang saya makan sekarang, dan bukan besok, atau
kapan-kapan setelah Papua “M”. Kalau kelompok “O” sempat mempengaruhi
mereka, mereka bisa ikut, kalau kelompok “M” yang mengajak mereka juga mau,
tetapi kemauan mereka tidak sepenuhnya. Hanya sekedar saja.
Ketiga, ada orang Papua yang ikut ramai. Mereka bersemangat, mereka
berteriak “M” atau “O”. Dan mereka seolah-olah orang nekad, muncul dengan
semangat yang membara. Malahan ada yang bersumpah mau mati demi Bintang
Kejora. Tetapi sebentar lagi lagu program “O” bergulir, mereka mulai ajukan
permohonan ini dan itu, kalau ada program sosialisasi, mereka ikut mendukung
dengan semangat yang sama pula. Inilah orang Papua :”Ikut ramai.” Mereka
juga menjadi orang Papua “Panas-Panas Tahi Ayam.” Herannya, kebanyakan orang
Papua jatuh ke golongan ini. Hal ini terjadi karena masih banyak orang Papua
yang kurang dalam pendidikan politik mereka.
Ada jenis berikutnya, yang luarbiasa, yaitu orang Papua “Nekad.” Mereka
tidak perduli dengan apapun yang terjadi di Papua, entah ada program “O”
besar-besaran, entah ada operasi militer luar biasa, entah orang Papua lain
sudah tidak berbicara lagi untuk “M”, mereka tetapi mau berjuang dan mati
untuk aspirasi “M.” Orang Papua ini sudah matang dengan ideologi Papua “M”,
tinggal tunggu kapan mereka dapat dipakai untuk merealisir ideologi
tersebut. Sayangnya, hanya kelompok orang Papua tertentu yang punya “nekad”
untuk “M” dan kebanyakan kelompok orang Papua tidak demikian. Kebanyakan
mereka yang dalam kelompok ini adalah mereka yang sudah kehilangan kekasih
mereka: ayah, ibu, anak, keponakan, tante, om, nenek, opa mereka. Juga
mereka yang sudah kehilangan gunung mereka dan hutan mereka. Singkatnya
mereka yang sudah “merasakan” betapa jahatnya pendudukan pemerintah dan
militer Indonesia. Mereka tidak perduli kalau setelah Papua “M” akan lebih
baik atau akan lebih buruk, yang penting bagi mereka adalah penjajah harus
diusir dari Bumi Cenderawasih.
Orang Papua “nekad” bisa menyumbangkan apa saja, uang, benda, dan lebih
utama lagi waktu, tenaga dan nyawa mereka sudah dipersembahkan untuk
perjuangan ini. Mereka ini kebanyakan anggota TPN dan OPM. Juga ada kelompok
suku dan masyarakat tertentu yang sungguh-sungguh menderita luar-biasa atas
pendudukan TNI, Poliri dan Pemerintah Indonesia.
Lalu kelima, ada orang Papua lain yang sedikit aneh, yaitu mereka yang
“lihat-lihat dulu.” Kebanyakan mereka ini orang-orang terpelajar,
orang-orang Papua yang sudah punya jabatan dalam pemerintahan Indonesia di
Papua. Mereka yang sudah kehilangan kekasih mereka, mereka yang tahu betapa
jahatnya Indonesia, mereka yang tahu bahwa setelah “M” Papua akan bagaimana.
Tetapi mereka juga tidak mau kehilangan jabatan dan kedudukan mereka hanya
karena berita-berita angin, dan semangat panas-panas tahi ayam orang Papua
yang mereka tahu adalah ciri orang Papua dalam sejarah perjuangan aspirasi
“M” selama ini. Tapi pada waktu kelompok “nekad” tadi sudah mulai berhasil
dan mulai menggoyahkan banyak pertahanan pemerintah Indonesia, mereka pasti
akan bergabung dengan kelompok “Nekad” tadi. Yang mereka tunggu adalah
kelompok orang Papua “nekad” tadi harus berjuang terus-menerus, menekan
terus-menerus, dan berbicara atas dasar kekuatan yang meyakinkan, artinya
kekuatan secara militer dan politik yang kuat. Juga mereka menunggu berapa
negara yang sudah menunjukkan perhatian untuk mendukung Papua “M.” Mereka
ini juga kebanyakan orang Papua yang sudah menjadi anggota TNI dan Polri.
Mereka lebih tahu bagaimana orang Papua diperlakukan tidak manusiawi,
malahan mereka juga terlibat dalam perlakuan-perlakuan itu. Mereka tahu
bagaimana orang Papua diinjak, diintimidasi, diperkosa, dirampas
kekayaannya. Mereka tidak menerima semuanya nasib malang yang dialami orang
Papua. Sementara itu mereka juga sering kecewa karena banyak orang Papua
lain yang tidak serius dan tidak kompak, dan tidak secara terus-menerus
bergerak untuk Papua “M.”Orang Papua “nekad tapi lihat-lihat dulu” ini mudah
menjadi kelompok “nekad” asalkan perjuangan “M” sudah mencapai tingkat yang
lebih mantap secara militer dan diplomasi. Mereka juga memiliki sedikit ciri
dari orang Papua “menunggu uluran tangan.”
Kelompok ini juga termasuk pihak gereja. Mereka bisa bertindak tegas, tetapi
barangkali mereka merasa masalah Papua belum begitu mendorong mereka untuk
bertindak demikian. Mereka masih merasionalkan apa yang sedang terjadi.
Mereka melihat belum saatnya untuk mereka terlibat. Belum saatnya karena
barangkali belum banyak orang Papua yang dibunuh, dan masih perlu
eksploitasi kandungan bumi Papua. Dengan kata lain, mereka belum merasa
masalah Papua sudah mencapai titik kritis yang butuh campur tangan mereka.
Tetapi akan tiba saatnya di mana rasio tidak bisa bekerja lagi, dan mereka
terpaksa harus angkat suara, bukan suara rasio tetapi suara hati mereka.
Juga ada kelompok yang kami anggap potensial dalam mendukung Papua “M”
adalah kelompok yang saya beri nama orang papua “membabi-buta”, yaitu mereka
yang tidak perduli dengan apapun juga. Yang mereka mau adalah Papua harus
merdeka dengan cara apa saja, dengan harga apa saja. Mereka cenderung
membenci orang Jawa, orang Islam dan orang Barat. Yang menjadi masalah
dengan kelompok ini adalah perjuangan “membabi-buta” sulit mendapat dukungan
internasional, karena mereka dapat melihat perjuangan ini bukan murni karena
mau “M” tetapi karena unsur lain seperti kebencian kepada kelompok agama dan
ras tertentu. Kelompok inilah yang diinginkan oleh Indonesia agar mengemuka
dan dengan demikian mereka bisa mengalahkan perjuangan Papua secara
diplomatis di hadapan masyarakat internasional.Di dalam benak mereka, mereka
mau melihat semakin banyak orang Papua “membabi-buta” yang muncul, karena
mereka tahu kalau semakin banyak kelompok ini, semakin tidak mungkin peluang
untuk Papua “M.”
Kelompok kedelapan, adalah orang Papua “menunggu uluran tangan.” Mereka ini
selalu mengajukan pernyataan seperti ini: Berapa negara yang sudah mendukung
kita? Berapa senjata yang Amerika mau bantu? Lapangan ini akan dipakai untuk
mendrop senjata dari Rusia, dll. Menunggu uluran tangan. Mereka tidak
percaya diri sendiri. Mereka
Kelompok terakhir ialah orang Papua “belum saatnya”, yaitu mereka yang
sekarang berteriak “O” tetapi alasannya bukan karena mereka senang dengan
pendudukan Indonesia di Papua, tapi karena mereka merasa belum saatnya untuk
Papua “M.” Mereka kebanyakan kelompok intelektual dan kelompok elit politik
Papua yang ada di perguruan tinggi dan di kantor-kantor Gubernur, Bupati
dll. Mereka akan mengeluarkan pernyataan seperti ini: Saat ini kita belum
membangun nasionalisme Papua, jadi harus dibangun dulu. Ada yang bilang,
sekarang kita jalankan program Papuanisasi dalam program “O” yang digulirkan
Indonesia. Mereka percaya bahwa Papua “M” hanya bisa terwujud kalau banyak
orang Papua sudah menduduki lebih dari 80% posisi pemerintahan dan militer
di Papua. Mereka banyak tahu tentang pengalaman perjuangan di belahan bumi
lain. Mereka selalu merasionalkan perjuangan ini, yaitu menghitung-hitung
kekuatan dan kelemahan secara matematis. Kebanyak mereka justru pesimistik
kalau saat ini Papua dapat “M.” Rakyat jelata Papua sering mencurigai mereka
sebagai penghianat karena mereka tidak terbuka bicara isi hati mereka. Saat
mereka ditemui, mereka sering mengelak tidak mau tahu, atau membelokkan
pembicaraan
Mari kita Berhitung:
Di Papua pernah muncul beberapa ide: “M”, “F” dan “O” sekarang saya tambah
lagi dengan istilah “B” (bebas) REF= Reformasi dan REV= Revolusi. Marilah
kita rumuskan secara matematis: Kalau kita berpatokan kepada dua kata di
atas B dan M), ditambah REFormasi dan REVolusi, maka dengan mudah kita dapat
rumuskan bahwa:
RUMUS A: “B” + “REF” = “O” atau “F” sedangkan
RUMUHS B: “B”. + “REV” = “M”
Jadi, modal “B” itu penting, tetapi “B” itu kita tambah dengan “REF” atau
“REV”? Inilah yang harus kita perhatikan.
Maka itu, orang Papua harus mencari bagaimana “B” ditambah dengan “REV” dan
bukan seperti yang terjadi sekarang, yaitu “B” ditambah “REF” yang menurut
seorang tokoh OPM: “Kalau begini kita akan tembus ke Jalan Cendana” bukan
“Jalan kemerdekaan!”
Ada pendapat dari Mr. A. Rumansara dan ini mewakili kaum intelektual dan
elit politik Papua bahwa apa yang harus terjadi di Papua adalah Pembangunan
Nasionalisme Papua, lalu rakyat Papua boleh bicara “M”. Kita perlu bertanya:
“Apa yang dia maksudkan?” Apakah rumus “A” atau rumus “B”? Sampai batas
mana, beliau dan rombongannya bisa mengatakan: “Nasionalisme Papua sudah
terbangun sekarang”? Atau apa ciri-ciri di Papua itu ada nasionalisme?
Apakah sekarang ini belum ada nasionalisme itu? Kalau belum mengapa rakyat
Papua sudah berteriak: “M”?
Barangkali juga yang dimaksud kelompok ini sepaham dengan paham dunia Barat,
yaitu orang Papua harus banyak yang berpendidikan, harus sudah banyak
menguasai ilmu dan teknologi yang penting untuk menjalankan sebuah negara,
harus memiliki sekian sarjana, sekian lulusan paskasarjana dan sekian
lulusan tingkat studi doktoral, dsb.
Go to Top
Catatan Penutup bagian ini
Kita sudah melihat apa yang diperjuangkan dan bagaimana caranya dalam
berbagai konteks oleh berbagai negara dan tokoh. Kita sekaligus melihat
perbandingan dan kontradiksi dengan perjuangan Papua “M’. Dengan kata lain,
kita sudah melihat musuh-musuh perjuangan mereka secara sekilas. Sebelum
kita pindah, kita kembali kepada pertanyaan inti buku ini: Orang Papua mau
bebas dari apa atau siapa dan mau bebas untuk apa? Dan Orang Papua mau
merdeka dari siapa, atau apa dan merdeka untuk apa? Dengan menjawab
pertanyaan ini, akan nampak siapa atau apa sebenarnya musuh orang Papua.
Sekaligus kita akan temukan titik-titik terang apakah perjuangan rakyat
Papua ini pada hakikatnya sebuah reformasi untuk kebebasan atau sebuah
revolusi demi kemerdekaan.
Go to Top
|