|
|
|
16-Mar-2002 12:51:15 PM
Reformasi, Otonomi Daerah, dan Degradasi Hutan
Pengantar Redaksi
MASIH adakah Departemen Kehutanan (Dephut)? Begitulah pertanyaan sindiran yang sering dilontarkan ke departemen ini sehubungan dengan carut-marutnya pengelolaan hutan terutama pascareformasi. Dalam rangka Hari Bhakti ke-19 Dephut yang jatuh hari ini, Sabtu 16 Maret 2002, Wartawan Kompas Dedi Muhtadi mencoba memaparkan persoalan hutan itu di halaman ini, dan 26, ditambah satu tulisan Surya Makmur Nasution di halaman 27.
Kompas/alfridel jinu
KISRUHNYA pengelolaan sumber daya hutan sampai Departemen Kehutanan Indonesia berusia 19 tahun, 16 Maret 2002 ini, belum memperlihatkan tanda-tanda berakhir. Keterpurukan dipercaya berawal dari sistem pengelolaan yang sentralistik, monopolistik, dan menegasikan keberadaan komunitas-komunitas lokal yang sebenarnya memiliki ikatan emosional sangat kuat dengan hutan.
Orientasi pemanfaatan hutan yang mengejar fresh money bagi keperluan pembangunan menyebabkan pengelolaan hutan indentik dengan eksploitasi. Hasil dari pengelolaan yang demikian itu adalah menurunnya kualitas lingkungan secara drastis dan meningkatnya degradasi hutan.
Kerusakan hutan semakin menjadi-jadi setelah bergulirnya era reformasi yang ternyata juga kebablasan. Sejak era itu banyak pihak mulai pejabat pusat-daerah, anggota parlemen, aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), kalangan akademisi, orang yang mengaku pakar termasuk beberapa pengusaha hutan menganggap hutan di negeri ini sudah rusak berat, carut-marut, dan amburadul.
Mereka ramai-ramai menghujat kerusakan hutan dengan menyodorkan data laju kerusakannya macam-macam. Ada yang menyebut 1,8 juta hektar dan lebih dari dua juta hektar per tahun. Atau dalam setiap detik hutan Indonesia hilang seluas lapangan sepak bola.
Tudingan itu tidak sampai di situ. Hutan tropis Indonesia dieksploitasi secara serampangan. Pengusaha merampok dan menguras hutan semena-mena. Usaha kehutanan tak bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungannya. Dan sederetan tudingan lain yang intinya mempromosikan kejelekan hutan di negeri ini.
Lepas dari benar dan tidaknya tudingan itu promosi ini berdampak luar biasa terhadap kelanjutan kehutanan dan kelestarian hutan itu sendiri. Karena pengelolaan hutan Indonesia masih berpijak pada timber management alias mengeksploitasi kayu maka promosi ini juga berdampak besar terhadap harga jual kayu, terutama di pasar internasional.
Sekadar contoh, 15 tahun lalu harga jual kayu bulat pertukangan yang berasal dari hutan alam di pasar internasional mencapai 150-200 persen lebih mahal dibandingkan kayu yang berasal dari hutan tanaman. Misalnya, kayu pinus Finlandia saat itu harganya sekitar 30-50 dollar AS per meter kubik dan meranti Indonesia harganya sekitar 120 dollar AS.
Saat ini keadaannya sangat memprihatinkan. Harga kayu bulat pertukangan dari hutan tanaman lebih mahal. Harga kayu pinus Finlandia harganya kira-kira 80 dollar AS, sedangkan kayu alam dari hutan tropis Indonesia sekitar 50 dollar AS per meter kubik.
Mengapa? Konsumen internasional beranggapan kayu yang diproduksi dari hutan alam di negeri ini diproduksi secara serampangan dan murah sehingga mereka tidak perlu membeli dengan harga mahal. "Hutan Indonesia dibabat secara biadab. Mengapa kita harus menghargai kayu itu dengan harga tinggi, sementara orang Indonesia sendiri tidak menghargai hutannya," ujar seorang pengusaha kehutanan mengutip konsumen di beberapa negara Eropa.
Bagaimana dampaknya terhadap kayu dalam negeri? Akibat dibeli dengan harga murah maka produsen kayu berusaha memproduksi sebanyak-banyaknya dengan tidak mempertimbangkan asas kelestarian hutan. Mereka mengejar target penghasilan melalui volume bukan melalui harga yang tinggi.
Contoh yang paling ekstrem adalah harga kayu lapis Indonesia telah jatuh dari 550 dollar AS per meter kubik menjadi 220 dollar AS akibat berbagai sebab. Untuk mempertahankan usahanya saja, mereka tentunya harus meningkatkan volume produksi kayu yang tentunya lebih banyak membutuhkan bahan baku kayu (log).
Kisruhnya kehutanan Indonesia juga dipicu oleh laporan timpangnya antara kebutuhan kayu bulat untuk pasokan industri dibanding kemampuan produksi hutan itu sendiri. Ketimpangan ini dituduh sebagai biang keladi maraknya illegal logging. Namun, angka-angka yang disodorkan pihak berkompeten membingungkan karena sangat beragam.
Ini disebabkan sikap ketertutupan dalam pemberian data oleh pihak-pihak berkompeten, mulai penguasa dan pengusaha, dengan berbagai kepentingan. Kebutuhan kayu ada yang menyebutkan 46 juta meter meter kubik, 58 juta meter kubik, bahkan 85 juta meter kubik per tahun. Sementara kemampuan hutan untuk memproduksi kayu sesuai rencana kerja tahunan (RKT) hak pengusahaan hutan (HPH) hanya 22 juta meter kubik per tahun.
Akibatnya data kerusakan hutan pun beragam. Ada yang bilang 12 juta hektar per tahun, 24 juta hektar bahkan 30 juta hektar per tahun. Ketika data itu saja tak mendukung, ada beberapa pihak yang secara emosional mengusulkan moratorium usaha kehutanan. "Terhadap usulan tersebut kami menghargai apabila yang bersangkutan dapat mencarikan jalan keluar terlebih dahulu terhadap jutaan pekerja yang bergulat dalam bidang ini. Yang jelas perut mereka dan keluarganya belum bisa dimoratorium," ujar Yohanes Hardian, praktisi kehutanan.
***
SUMBER daya hutan kini sedang berada di dalam puncak perlakuan sikap ambivalensi pemerintah maupun masyarakat yang sangat merugikan. Situasi ini menjadi-jadi terutama setelah bergulirnya era reformasi disambung dengan otonomi daerah.
Di satu sisi retorika yang selalu dilontarkan pihak-pihak terkait adalah sikap konsernitas mereka yang menggebu-gebu terhadap pelestarian hutan dan lingkungan. Akan tetapi, di sisi yang berbeda tindakan yang mereka lakukan langsung ataupun tidak langsung justru mendukung perusakan hutan.
Secara transparan kecenderungan tindakan yang mengarah pada deplesi hutan dapat dikenali dengan semakin maraknya pemanfaatan (penebangan) hutan melalui berbagai perizinan resmi yang diterbitkan oleh pemerintah kabupaten/aparat kehutanan.
Selain itu adanya upaya perubahan fungsi Hutan Lindung (HL) dan Cagar Alam (CA) menjadi Hutan Produksi (HP), bahkan perubahan status kawasan hutan menjadi Areal Penggunaan Lain (APL) yang sedang marak dilakukan oleh pemerintah (daerah) agar lebih mudah diusahakan alias ditebang kayunya dengan dalih menggenjot pendapatan asli daerah (PAD).
Tanpa peduli terhadap kelestarian ekosistem yang berpijak pada daerah aliran sungai (DAS) para penentu kebijakan daerah itu berlindung secara keliru dalam payung otonomi daerah. Buktinya, ratusan atau bahkan ribuan izin hak pemungutan hasil hutan (HPHH) atau lebih dikenal dengan sebutan HPH skala kecil disebarkan pemerintah kabupaten terutama di Kalimantan.
Tidak terkecuali sampai akhir tahun 2001 telah terdata di Badan Planologi Kehutanan sebanyak 56 kasus usaha pertambangan yang menghendaki dimanfaatkannya sebagian Taman Hutan Raya maupun Hutan Lindung untuk areal pengusahaan tambangnya, yang didukung sepenuhnya oleh departemen teknis terkait.
Lebih memprihatinkan lagi retorika pelestarian hutan diiringi oleh adanya keluarga pimpinan di daerah provinsi ataupun kabupaten, bahkan anggota legislatif yang berbisnis kayu liar. Aparat kehutanan dan keamanan pun telah menjadi rahasia umum menikmati hasil kegiatan perusakan hutan, antara lain secara tidak langsung membantu upaya pengurasan kayu.
Sudah menjadi rahasia umum pula mereka dengan sengaja sering meloloskan masuknya kayu liar yang diduga mencapai 60 persen peredaran kayu bulat ke industri pengolahan kayu ataupun tujuan konsumen lainnya, termasuk penyelundupan ke luar negeri.
Dipicu oleh eforia reformasi yang keblablasan, masyarakat sekitar hutan sendiri ramai-ramai menebang kayu hutan tanpa izin sebagai mata pencaharian pokok. Di beberapa kasus bahkan berani bertindak anarkis terhadap pihak pemerintah sekalipun.
Di hilir, pengamat ekonomi kehutanan Transtoto Handadhari melihat, secara paralel masyarakat kota dengan alasan rendahnya daya beli (purchasing power) hanya mau membeli kayu gergajian yang murah eks penebangan kayu liar yang jelas diketahui tidak membayar ongkos-ongkos kewajiban pengusahaan hutan kepada pemerintah.
Tidak jarang pula menjamur tumbuhnya lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang menjadikan kegiatan pengusahaan hutan sebagai ajang memperoleh penghidupan. Maraknya bisnis kayu liar (illegal logging) ini juga telah menarik minat berbagai pihak yang ingin memperoleh untung dengan jalan enteng.
Sementara kontrol sosial termasuk oleh media massa sering tak dipedulikan? Malahan di beberapa tempat telah umum dikenal wartawan "bodrek" yang jumlahnya tak terhitung dan tidak jelas proyeksi beritanya.
Oknum-oknum itu lalu-lalang di kamp-kamp kehutanan ataupun Kantor Dinas Kehutanan untuk "mengkonfirmasi" data pelanggaran kehutanan yang tujuan akhirnya bukan lagi masalah kontroling pengelolaan hutan, tetapi untuk ikut menikmati penghasilan yang jelas diketahui haram dari hutan. Lalu, adakah yang masih percaya bahwa dengan kondisi semacam tersebut di atas pelestarian hutan dapat dilakukan?
***
TRANSTOTO mengamati, otonomi daerah yang diterapkan pelaksanaannya secara tergesa-gesa tampaknya ikut memberikan andil penciptaan kesulitan pengendalian pengelolaan hutan yang mengakibatkan kerusakan hutan sangat parah saat ini.
Andil atas kerusakan ekosistem lingkungan yang amat mahal nilainya itu juga harus dibebankan pada pakar politik yang telah mendorong pelaksanaan otonomi daerah, termasuk khususnya di bidang pengelolaan hutan, mulai Januari 2001 meskipun jelas diketahui kekurangan kesiapannya.
Pelaksanaan otonomi daerah memang dapat saja dipercepat untuk hal-hal fisik yang perlakuannya dapat dilaksanakan secara parsial dalam batas-batas administrasi kabupaten. Tetapi, tidak dalam hal pengelolaan lingkungan di mana kesatuan ekosistem harus dalam satu kesatuan perencanaan dan pengendalian.
Terlebih lagi (one man, one river, one management) sumber daya hutan adalah inti lingkungan hidup yang secara spesifik tidak dapat dipecah-pecah pengelolaannya dalam kebijakan yang berbeda-beda antardaerah apalagi bila tanpa kesatuan kebijakan pusat-daerah.
Rantai pengelolaan hutan antara pusat-provinsi-kabupaten seharusnya pun tetap terjalin dengan kebijakan pengelolaan hutan mengacu pada tujuan makro. Baik dalam hal idiil, penatagunaan ruang, programasi maupun pemanfaatannya. Untuk itulah kebijakan mikro pengelolaan hutan di daerah, khususnya kabupaten, tidak boleh melepaskan diri dari kepentingan makro yang lebih luas, baik provinsi, pulau maupun nasional.
Termasuk di sini kebijakan pemanfaatan sumber daya manusia (SDM) rimbawan yang di banyak daerah (umumnya di kabupaten) sedang tercabik-cabik oleh kepentingan primordial. Mereka juga tak jarang nepotis yang tidak mengindahkan tujuan utama pengelolaan hutan.
Hutan Indonesia kini mengalami degradasi yang semakin tak terkendali. Data adanya 6 juta meter kubik kayu bulat yang telantar di Kalimantan Tim (Kompas, 23/12/2001) menambah ilustrasi betapa kekayaan kayu hutan terus dikuras tanpa terencana pemanfaatannya yang memperparah kerusakan hutan.
Bahkan ketika harga kayu sangat rendah penebangan tanpa izin justru semakin meningkat untuk mengejar perolehan pendapatan yang banyak. Pertengahan November 2001, misalnya, di saat harga log jenis meranti mencapai titik terendah sekitar 35-40 dollar AS per meter kubik, bahkan terdapat sekitar 150.000 meter kubik kayu "sitaan" yang sedang siap diproses lelang di suatu sentra kayu Kalimantan Tengah.
Proses lelang kayu liar itu sendiri seharusnya dengan mudah dikenali sebagai salah satu modus operandi "pemutihan" kayu liar. Secara tidak masuk akal kayu meranti merah (Shorea leprosula) ukuran mekanis dan fresh cut hanya terjual sekitar Rp 25.000 per meter kubik plus "ongkos pelelangan" yang kurang lebih sama. Benar-benar menyedihkan.
Kecilnya harga lelang kayu merupakan bentuk kolusi terbuka. Sebab, pengusaha pemenang lelang telah diketahui merupakan cukong pemilik kayu "sitaan" itu sendiri. "Calon pemenang"-nya telah mengeluarkan dana pembelian kayu kepada cukong atau penebang liar. Aparat dan masyarakat setempat pun telah tahu permainan kayu ini, tahu persis siapa-siapa yang ikut bermain "lokal" (istilah untuk permainan kayu liar di Muara Teweh, Kalimantan Tengah).
Akan tetapi, mereka tidak menganggap perlu bertindak apa-apa karena secara langsung atau tidak langsung telah terbiasa ikut menikmati peredaran uang bisnis kayu liar yang relatif banyak tersebut. "Proses lelang kayu liar merupakan salah satu refleksi contoh sikap ambivalensi semua pihak atas perusakan hutan yang seharusnya dapat dicegah bersama," tambah Transtoto.
Sikap ambivalensi terhadap pelestarian sumber daya hutan diyakini dilakukan dengan sadar oleh para pihak terkait yang berperan. Entah itu pemerintah, pengusaha hutan, masyarakat, dan bahkan lembaga kontrol.
Sebelum terlambat, tak ada pilihan lain untuk segera mengubah pola tindak dengan lebih mengutamakan kepentingan dan keselamatan lingkungan dan kehidupan melalui pelestarian sumber daya hutan secara sungguh-sungguh. Tanpa retorika sekalipun. *
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0203/16/DAERAH/refo25.htm
|