|
|
ANALISA KOMITE MAHASISWA PAPUA ATAS ISI MAJELIS RAKYAT PAPUA
A. ANALISA ATAS ISI MRP
Pada bagian ini kami Komite Mahasiswa Papua dengan menghadirkan
semua komponen mahasiswa dan unsur masyarakat dan secara bersama
berusaha menganalisa isi draf PP MRP yang sidahkan oleh Presiden RI
tertanggal 23 Desember 2004 di Jakarta dan dibawah datang di Papua
pada tanggal 24 Desember 2004 sebagai KADO NATAL. Kami melalui bedah
buku PP MRP serta dalam diskusi panel yang di selenggarakan selama 2
(dua) hari (tanggal 5/1, 9-1-2005) di Aula Serba Guna STFT “Fajar
Timur” berhasil menemukan kekuatan dan kelemahan. Berikut ini akan
kami bagikan hasilnya kepada saudara/i untuk diketahui bersama.
KEKUATAN MRP
Setelah kami mahasiswa melihat kekuatan serta kelemahan yang
tersirat maupun yang tersirat dalam MRP yang disahkan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono tertanggal 23 Desember tersebut. Kami tidak
menemukan satu kekuatan pun di dalamnyha. Apa yang termuat di dalam
MRP, pemerintah seolah-olah memahami bahwa persoalan yang dihadapi
oleh masyarakat adalah ketertinggalan dalam pembangunan, sehingga
hanya mengatur bagaimana pembangunan itu dirasahkan oleh masyarakat
Papua. Dalam hal ini pemerintah tidak pernah memikirkan dan mengatur
sekalipun dalam PP MRP ini mengenai peraturan khusus untuk
menyelesaikan akar permasalahan di Papua, yakni masalah HAM dan
POLITIK. Siapakah dan dengan peraturan apakah yang bisa mengatur
serta menyelesaikan secara khusus akar permasalahan di Papua
tersebut ?
Bagi kami mahasiswa merasa bahwa untuk masalah pembangunan adalah
kewajiban pemerintah untuk diatur serta dijalankan. Sedangkan
masyarakat punya hak untuk menuntutnya. Ironisnya bahwa dalam draf
MRP peraturan tentang pengaturan dan
penyelesaian terhadap masalah-masalah mendasar yang selama ini
dituntut tidak satupun diungkapkan didalamnya. Bahkan draf MRP yang
disusun oleh masyarakat justru tidak diberikan dan satupun tidak
dimuat didalamnya. Dari sebab itu kami segenap mahasiswa menilai
bahwa draf MRP yang disahkan itu merupakan draf yang tidak aspiratif
dan representatif cultural masyarakat Papua. Namun sebaliknya bahwa
PP MRP hanyalah merupakan sarana propaganda politik penguasa
Indonesia.
Oleh karena itu, pada bagian berikut ini kami mahasiswa kiranya
dapat menunjukkan beberapa kelemahan yang terdapat dalam draf PP MRP
yang perlu kita ketahui bersama.
KELEMAHAN MRP
Pada bagian ini kami akan berusaha mengkaji dan mengemukakan
beberapa pasal yang terdapat dalam peraturan Pemerintah Majelis
Rakyat Papua (MRP). Apa yang akan kami kemukakan berikut ini
merupakan beberapa kelemahan yang dapat membahayakan eksistensi
orang Papua dan sekaligus juga menghambat pembangunan manusia Papua
yang hakiki ke depan. Pasal-pasal yang menurut alias kami sama
sekali dapat membahayakan dan merugikan yang terdapat dalam seluruh
isi MRP adalah sebagai berikut :
a. Pasal 1 ayat 9, pasal 3, pasal 4 huruf o, pasal 10 ayat 1, PP No.
54 Tentang MRP
ü Pasal 1, ayat 9 : yang mengatakan bahwa orang asli Papua adalah
orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari
suku-suku asli di Provinsi Papua dan / orang yang diterima dan
diakui sebagai orang asli Papua.
Pasal 3 ayat 1 tentang Tanggapan KMP: Kami menilai bahwa dalam pasal
ini tidak menunjukkan dan menyampaikan secara tepat orang asli Papua
yang sebenarnya. Hal ini sangat membingunkan masyarakat Papua.
Karena dewasa ini ada rupa-rupa orang yang menyebut diri orang Papua
hanya karena kepentingan pribadinya semata. Dengan demikian, kami
menunjukkan bahwa cirri-ciri orang asli Papua adalah orang yang
berambut keriting, berkulit hitam yang tergolong dalam suku-suku
pribumi Papua.
ü Keanggotaan MRP : 1). Anggota MRP terdiri dari orang-orang asli
Papua yang berasal dari wakil-wakil adat, agama, dan perempuan di
Provinsi. 2). Anggota MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
jumlahnya tidak lebih dari (tiga per empat) jumlah anggota DPRP.
Tanggapan : Kami kelompok mahasiswa menilai bahwa ketiga kelompok
ini tidak merepresentasikan dan mengakomodir semua suku-suku pribumi
Papua. Kurang lebih 250 suku yang ada di Papua tidak dapat diwakili
oleh 45 orang anggota MRP. Berdasarkan
pengalaman bangsa Papua selama bergabung dengan bangsa Indonesia
secara de fakto telah terjadi penjajahan internal, dimana dari
dahulu hingga pada saat ini suku-suku Papua tertentu (kelompok
minoritas) terus mengeksploitasi suku-suku Papua yang lain (kelompok
mayoritas) dengan bantuan pemerintah Indonesia. MRP bertujuan untuk
mempertahankan kondisi yang tidak manusiawi ini.
ü Tanggapan Pasal 4 huruf O : Berpendidikan serendah-rendahnya
Sekolah Dasar atau sederajat untuk wakil adat, sekolah lanjutan
tingkat pertama (SLTP) atau sederajat untuk wakil agama dan
perempuan.
Poin ini kami menilai bahwa jelas-jelas ini merupakan suatu proses
pembodohan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap masyarakat adat
Papua. Karena dengan pengetahuan yang minim mudah dikendalikan oleh
pemerintah Indonesia untuk mengiyahkan dan memenuhi kepentingan
penguasa.
ü Pasal 10 ayat 1: Pemilih terdiri atas anggota masyarakat adat,
masyarakat agama, masyarakat perempuan, dan penduduk yang telah
berdomisili sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan.
Tanggapan : Kami menilai bahwa pasal ini sangat merugikan orang asli
Papua. Karena pasal ini akan membuka peluang bagi orang non Papua.
Hal ini karena jumlah penduduk non Papua setiap bulan semakin
meningkat secara terprogram, bahkan tanpa melalui prosedur yang ada
(imigran gelap). Maka pasal ini akan berdampak pada pemilihan
anggota MRP. Dimana perbandingan jumlah pemilih orang non Papua
lebih dominan dibandingkan orang asli Papua.
Pasal 16 ayat 1, Pasal 17 ayat 1-6, PP MRP NO. 54 Tentang MRP
ü Pasal XVI : 1) Calon anggota wakil agama dari setiap agama
diajukan oleh masyarakat agama masing-masing.
Tanggapan : Ayat ini memiliki implikasi yang buruk terhadap
eksistensi suku-suku asli di Papua. Misalnya: komponen agama
memiliki jatah 15 kursi dan ini dapat diperebutkan oleh masyarakat
agama ( Katolik, Protestan, Islam, Hindu dan Budha). Karena agama
bersifat universal, maka hal ini dapat membuka peluang bagi
masyarakat agama non Papua untuk menduduki kursi MRP (unsur agama).
Dan apabila hal ini terjadi, maka kemungkinan akan terjadi
kecemburuan social dalam tubuh agama, sehingga konflik dalam tubuh
agama dapat dengan mudah terjadi.
ü Pasal 17 ayat 1-6 tentang pengesahan dan pelantikan.
Tanggapan : Semua ayat yang terdapat didalam pasal ini sangat
merugikan rakyat Papua. Karena hak pilih rakyat harus mendapat
persetujuan lagi dari menteri dalam negeri, sedangkan pemilihan
anggota MRP tidak sama dengan pemilihan bupati dan wali kota
yang harus mendapat persetujuan dari menteri dalam negeri. Adanya
intervensi pemerintah pusat seperti demikian, maka MRP nyata-nyata
adalah alat untuk memenuhi kepentinggan penguasa Indonesia.
Pasal 32, PP. No. 54 Tentang MRP
ü Pasal 32 tentang tugas kelompok kerja MRP sebagaimana dimaksud
dalam pasl 31 :
a) Kelompok kerja adat mempunyai tugas memberikan saran dan
pertimbangan dalam rangka perlindungan adat dan budaya asli;
Tanggapan : Kami menilai bahwa kelompok kerja adat hanya memiliki
fungsi pertimbangan tetapi tidak memiliki kebebasan penuh untuk
menetapkan dan memutuskan segala sesuatu yang berkaitan dengan
perlindungan adat dan budaya asli Papua. Dengan demikian
proses penghancuran suku-suku pribumi Papua (Adu Domba, Genoside,
dll) dan penghancuran budaya Papua yang sekarang sedang berlangsung
akan terus berlanjut.
b) Pada poin ini mengatakan bahwa : kelompok kerja perempuan
mempunyai tugas melindungi dan memberdayakan perempuan dalam rangka
keadilan dan kesetaraan gender.
Tanggapan : Kami melihat bahwa point ini amat tidak jelas
penjabarannya. Perempuan dapat melindungi kesetaraan gender dengan
kekuatan apa ? Kepada perempuan siapa yang harus diberdayakan ?
Perempuan Papua atau non Papua ? karena pengalaman membuktikan bahwa
selama ini pemerintah lebih cenderung hanya memberdayakan perempuan
non Papua. Dari pengalaman yang dialami oleh perempuan Papua ini,
bila dipikirkan lebih jauh perempuan Papua akan semakin tersingkir
kebelakang oleh karena tidak ada
penegasan secara khusus bagi perempuan asli Papua.
c) Pada huruf ini berbunyi: kelompok kerja keagamaan mempunyai tugas
memantapkan kerukunan hidup antar umat beragama.
Tanggapan : Kami menilai bahwa tidak ada penjelasan untuk
mempertajam tugas memantapkan kerukunan umat beragama. Karena di
Papua ada dedominasi gereja dan beberapa agama. Agama Papua
mayoritas Kristen sehingga seharusnya ada prioritas untuk agama
Kristen. Pasal ini sengaja membuka pintu untuk menyebarluaskan dan
menguasai agama yang mayoritas di Indonesia tersebut di Tanah Papua.
Pada ayat kedua dikatakan : Tugas kelompok kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam peraturan tata
tertib MRP.
Tanggapan : Kami mahasiswa menilai bahwa tugas dan wewenang kelompok
kerja sangat berkurang, karena hanya sebatas memberi saran,
pertimbangan, dan persetujuan. Jadi tidak mempunyai legitimasi hukum
untuk menjamin hak-hak orang Papua dan tidak punya wewenang untuk
menolak andaikata tidak sesuai dengan hak-hak orang Papua. Dengan
demikian pemeritah dapat bertidak secara sewenang-wenang terhadap
hak-hak dasar orang Papua. Ini berarti pengaturan tata tertib ini
hanya boleh dilihat sebagai jembatan bagi penguasa untuk merampas
dan menguasai hak-hak dasar orang Papua dan mereka hanya sebatas
pertimbangan dan persetujuan.
Pada pasal 71 ayat 1 bahwa : rencana pemekaran provinsi disampaikan
oleh pemerintah Provinsi bersama DPRD kepada MRP untuk mendapat
pertimbangan.
Tanggapan : Kami mahasiswa menilai bahwa pemekaran Provinsi akan
menimbulkan konflik horizontal. Juga akan mempermudah proses
eksplorasi Sumber Daya Alam Papua. Juga dengan adanya ini justru
akan memperluas militerisme (pemekaran badan ekstra territorial TNI
di Papua Barat) di Tanah Papua, sehingga masyarakat akan tetap
berada dibawah tekanan dan penguasaan militer.
d) Pasal 41 ayat 1, Pasal 55 ayat 2 &3, Pasal 71. PP. No. 54 Tentang
MRP :
ü Pasal 41 ayat 1 yang berbunyi: Kebijakan daerah yang dibuat oleh
pemerintah kabupaten / kota mengenai hal-hal yang terkait dengan
perlindungan hak-hak orang asli Papua, disampaikan kepada MRP untuk
mendapat pertimbangan.
Tanggapan : kami menilai bahwa selama bangsa Papua bergabung dengan
NKRI sejarah membuktikan bahwa kebijakan pemeritah Indonesia tidak
pernah berpihak kepada kehendak rakyat Papua. Dari sebab itu,
perlindungan terhadap hak-hak dasar orang Papua tidak akan pernah
memuaskan. Apalagi kewenangan MRPdibatasi pada hanya untuk
memberikan pertimbangan atas kebijakan.
ü Pasal 55 ayat 2 dan 3 yang berbunyi : 2) Sekertaris MRP diangkat
dari PNS yang memenuhi syarat oleh Gubernur.
Tanggapan : Kami mahasiswa menilai bahwa sekertaris MRP dikendalikan
oleh eksekutif. Kalau memang MRP mau diberlakukan di Papua, mengapa
ada intervasi dari pihak eksekutif, pada hal seharusnya ia mempunyai
lembaga yang mempunyai kewenangan penu dan dapat berdiri sendiri.
Oleh karena itu, keberpihakan kepada kehendak asasi rakyat sulit
direalisasikan sesuai dengan fungsi dan peranannya
B. PROYEKSI KEDEPAN
Bertitik tolak dari beberapa bahaya-bahaya yang terapat dalam
Peraturan Pemerintah MRP yang telah kai kemukakan diatas ini, maka
kami mahasiswa Papua berusaha memandang ke depan bagaimana
eksistensi manusia Papua kelak di bawah bingkai NKRI. Dari sebab itu
kami mahasiswa berusaha menganalisa proyeksi kami ini dalam berbagai
aspek kehidupan. Aspek-aspek yang kami angkat disini adalah sebagai
berikut:
1. Aspek Politik
Pada awalnya kami mahasiswa mengangap bahwa MRP yang disahkan
oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tertanggal 23 Desember 2004
di Jakarta ini merupakan MRP yang asli, yang keluar dari hati nurani
rakyat Papua. Setelah kami melihat dan menganalisa isinya secara
ilmiah atas MRP tersebut, ternyata bukanlah yang asli melainkan
produk pemerintah pusat yang secara paksa diturunkan dan mau
menerapkan dalam kehidupan masyarakat Papua untuk mempertahankan
status penjajahan ditanah Papua yang terjadi dari dahulu hingga kini.
Kami juga menilai bahwa MRP sidahkan karena kepentingan politik
pemerintah Indonesia. Mengapa kami katakan kepentingan politik ?
Karena penguasa bangsa Indonesia mau mengelabui atau meredam
aspirasi rakyat Papua, yaitu: aspirasi Papua Merdeka, “aspirasi M”.
Dengan demikian dari aspek ini kami melihat bahwa MRP akan berperan
sebaga alat propaganda politik NKRI semata-mata ditanah Papua.
Masyarakat Papuapun akan tetap mengalami ketidak puasan dengan
penerapan MRP ini.
Bila MRP diterapkan akan menjadi bahaya besar bagi masyarakat Papua,
yakni selain berperan sebagai alat propaganda politik pemerintah.
Pemerintah juga akan berusaha untuk mempertahankan Status Quo para
penduduk non Papua, sehingga manusia Papua
semakin minoritas dan terpinggirkan diatas tanahnya dan kekayaannya
sendiri.
2. Aspek HAM
Bila pemerintah memiliki hati nurani yang murni dan berkehendak
bebas pasti meluangkan waktu dan tempat untuk bernegosiasi dengan
rakyat Papua atas pengesahan dan pembahasan MRP tersebut. Tiga tahun
terakhir ini masyarakat Papua tidak menginginkan pengesahan MRP
produk pemerintah Indonesia, yang mana tidak tahu menahu isi dan
bentuknya itu. Tetapi mereka meminta penyelesaian pelanggaran HAM
yang terjadi selama ini, secara khusus kasus Assue dan Puncak Jaya.
Pada perayaan Natal mayoritas umat kristiani ditanah Papua
dikagetkan dengan “perayaan” Politik dimana terjadi pengumuman
pengesahan MRP. Dan hal itu diistilahkan dengan Kado Natal. Pada
kenyataannya bahwa pengumuman dan pengesahan jelas-jelas terjadi
secara paksa dan dipaksakan untuk menerimanya, padahal itu bukan
aspirasi masyarakat Papua yang dituntutu sebelumnya. Oleh karena itu,
pemberian MRP oleh pemerintah RI terhadap rakyat Papua dengan cara
yang demikian jelas merupakan suatu pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Bila dilihat dari kaca mata HAM, kami menilai bahwa kalau PP MRP
yang mengandung problematic ini diterapkan, maka manusia Papua pasti
akan mengalami proses depolitisasi dan dehumanisasi.
3. Aspek Sosial Ekonomi
Kesejahteraan dan ketenangan diatas tanahnya sendiri adalah
dambaan seluruh orang Papua. Pemerintah merasa impian ini akan
menjadi nyata kalau-kalau otonomi khusus diberikan. Walaupun OTSUS
diberikan harapan tersebut tidak kunjung datang ketika triliun
rupiah berhamburan hanya dikalangan pejabat pemerintahan. Sementara
ribuan duka dan kesengsaraan rakyat Papua terus bertambah. Ditengah
kemelut yang demikian ada harapan baru yang diberikan oleh
pemerintah Indonesia bersatu, yakni MRP yang disebut-sebut sebagai
pilar utama penyelesaian segala masalah di Papua. Apakah dengan
adanya MRP harapan ini akan terwujud ? benarkah ?
Sejarah membuktikan bahwa Sumber Daya Alam Papua yang diolah oleh
pemodal melalui pemerintah Indonesia tidak pernah menjamin
kesejahteraan dan kedamaian manusia Papua. Setelah mempelajari dan
menganalisa isi MRP, maka kami menilai bahwa MRP hanya sebagai bahan
komoditi politik penguasa Indonesia untuk mengeksploitasi sumber
daya alam di Papua oleh para pemodal, baik dari investor asing
maupun Indonesia. Dengan demikian MRP akan menjadi jalan
satu-satunya untuk menguasai segala aspek pembangunan yang pada
akhirnya mengasingkan orang Papua diatas tanah dan kekayaannya
sendiri.
4. Aspek Sosial Budaya
Menurut pemahaman masyarakat Papua bahwa karakter orang Papua
amat jauh berbeda dengan karakter orang Indonesia. Oleh karena itu,
bila mau menyelesaikan masalah di Papua pemerintah harus menemukan
metode yang sesuai dengan karakter orang dan budaya Papua. Metode
penyelesaian masalah menurut karakter orang Papua yang dimaksud
disini adalah metode duduk bersama-sama (berdialog antara kedua
belah pihak) untuk mencari dan menemukan suatu kesepahaman budaya
bersama (consensus). Menurut manusia Papua, bila hal consensus tidak
terlaksana dalam kehidupan bersama, maka konflik tidak kunjung padam.
Dalam hidup berkomunitas dan membangun pemahaman bersama, manusia
selalu menghargai dan menghormati hak-hak dasar orang lain. Tetapi
kami, mahasiswa/I Papua merasa hal ini tidak akan pernah terlaksana
diarena hidup MRP. Mengapa ? karena dengan dalil masyarakat adat,
memberikan kebebasan kepada para plustrokrasi untuk menguasai
hak-hak dasar orang asli Papua. Sehingga kami menilai akan kehidupan
manusia kedepan bahwa MRP hadir sebagai pencipta konflik ras
internal antara manusia Papua, karena MRP tidak akan
merepresentasikan seluruh suku pribumi Papua.
Isi MRP yang tidak menyingung tentang pembatasan transmigrasi dan
imigrasi gelap yang semakin hari semakin meningkat dibumi persada
Papua. Hal ini ke depan akan mengakhibatkan pencampur gen dan budaya
di Papua. Oleh karena itu, manusia Papua akan mengalami kehilangan
identitas dan jati diri sebagai orang Papua, dan juga akan terjadi
kegoncangan budaya yang sangat hebat.
5. Aspek Religi
Manusia sebagai makluk ciptaan Tuhan yang lengkap dengan rasio
yang murni serta hati yang bersih, mestinya tahu dan bisa membedakan:
“mana agama dan mana politik”. Tetapi kebodohan dan kedurhakaan
membuat manusia lupa segalanya. Dimensi agama selalu mewartakan
kasih Alllah kepada manusia yang lemah, miskin dan papah agar mereka
bahagia dan damai dalam hidupnya. Benarkah hal ini terlaksana di
Papua pada masa kini ? Belakang ini, orang memakai podium agama
sebagai podium sandiwara politik semata. Lihatlah dan ikutlah memory
23, 26 Desember 2004 yang gemanya membius sampai kini dimanfaatkan
sebagai alat untuk memenuhi kepentingan orang tertentu, seperti KKR
yang bernuansa politik, dan lain-lain. Sama halnya dengan natal kali
ini, yaitu: pengesahan dan penyerahan MRP oleh pemerintah Indonesia
kepada rakyat Papua. Masyarakat Papua yang mayoritas beragama
Kristen dikagetkan dengan perayaan Natal menjadi perayaan politik di
gedung berbintang delapan (8) (huruf delapan menyimbolkan a ngka
kemalangan), yakni digedung olahraga cenderawasih (GOR). Padahal,
isinya tidak bersangkut-paut dengan norma-norma dan nilai-nilai
agama. Jadi, setelah dikaji dan dianalisa secara ilmiah, lagi-lagi
terjadi penipuan dan
pembodohan terhadap bangsa Papua oleh bangsa Indonesia.
Kegiatan agama kadang dipolitisir. Hal seperti ini, tentu saja akan
terjadi pula kedepan. Ini lebih didorong pula dengan dkurang adanya
pengaturan yang tegas. Bila peraturan MRP itu dijalankan ada bahaya
yang dapat kami lihat bahwa mayoritas orang Papua yang beragama
Kristen kemungkinan akan melemah dan suatu saat bisa saja terjadi
Islamisasi ditanah Papua.
6. Aspek Psikologi
Kebijakan yang diambil pemeritah seharusnya kebijakan yang
kiranya dapat menguntungkan manusia Papua. Namun pada kenyataannya
kebijakan yang selalu diambil oleh penguasa pusat di dalamnya selalu
mengandung kepentingan politik yang ujung-ujungnya akan memunculkan
masalah. Misalnya saja dapat kita melihat kebijakan tentang operasi
koteka yang telah pernah dijalankan oleh pemerintah Indonesia pada
masa Soeharto dan operasi-operasi lainnya. Dualisme kebijakan
tentang OTSUS dan Pemekaran yang telah melahirkan kematian nyawa
manusia, pengesahan MRP yang diistilahkan dengan “Kado Natal” yang
nota benenya bermuatan politik. Dengan melihat pengalaman masa lalu
seperti ini kami dalam pembahasan MRP mengetengahkan bahwa dengan
adanya barang ini kebijakan yang tidak memihak kepada aspirasi
rakyat Papua akan terus terjadi. Orang Papua kedepan pun mungkin
saja tidak akan pernah menghirup “udara segar”. Sehingga tekanan
batin, ingatan penderitaan, kegelisahan, frustasi, trauma dan
lain-lain akibat keterpurukan kebajikan ada konflik yang dialami
masyarakat Papua selama tiga decade lebih ini akan tetap terbawa dan
tidak akan pernah terobati. Justeru dengan adanya MRP kami melihat
ada kelonggaran besar untuk terjadi pembunuhan terhadap karakter
orang Papua. Juga tidak ada pengaturan yang tegas untuk mengatur
suatu kebangkitan baru bagi identitas orang Papua.
Jadi dengan melihat semuanya ini kami dapat mengambil suatu
kesimpulan bersama bahwa periode demi periode ditanah Papua akan
mengalami penghabisan etnis akibat proses genoside yang sudah,
sedang ada akan berlanjut ini melalui berbagai cara yang dilakukan
oleh oknum penguasa yang tidak manusiawi.
C. REKOMENDASI / PERNYATAAN SIKAP
Dengan menyimak berbagai keterpurukan yang termuat dalam
peraturan pemerintah Majelis Rakyat Papua tersebut diatas, maka kami
segenap mahasiswa-mahasiswi se – Papua yang tergabung dalam komite
ini, dengan hormat menyampaikan tuntutan dan pernyataan sikap kami
kepada Bapak Presiden RI bersama segenap kabinet Indonesia bersatu,
serta MUSPIDA Provinsi Papua bahwa
:
1. Kami segenap mahasiswa – mahasiswi Papua setelah mengkaji dan
menganalisa secara seksama isi MRP yang disahkan, maka MRP
jelas-jelas merupakan aspirasi penguasa Bangsa Indonesia untuk
mempertahankan status penjajahan di Tanah Papua. Oleh karena itu
kami segenap mahasiswa kembali pada aspirasi rakyat Papua, dan kami
menolak dengan tegas pengesahan MRP. Karena MRP bukan satu-satunya
solusi untuk menyelesaikan segala masalah kemanusiaan yang terjadi
di tanah Papua. Maka kami mendesak Presiden RI segera mencabut
kembali pengesahan MRP demi keselamatan manusia Papua.
2. Tahun demi tahun penjajahan terhadap manusia Papua diatas
tanahnya sendiri tidak pernah terhapuskan. Masalah pembangunan bukan
solusi satu-satunya penyelesaian terhadap masalah kemanusiaan di
Papua. Pembangunan di Papua adalah kewajiban pemeritah Indonesia dan
hak rakyat Papua. Namun, untuk menyelesaikan masalah kemanusiaan di
Papua secara menyeluruh dengan cara yang bermartabat, adil, damai
dan dialogis, maka kami mendesak kepada Presiden dan seluruh
jajarannya segera mengagendakan penyelesaian masalah HAM dan Politik
dengan membuka dialog Nasional dan Internasional dalam waktu yang
dekat.
3. Kami mendesak kepada Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
serta kabinet Indonesia bersatu dan seluruh jajaran pemerintah di
pusat, KAPOLDA dan PANDAM di Provinsi segera menyelesaikan kasus di
Puncak Jaya dan Asue yang diciptakan secara sadar dan terprogram
oleh TNI dan POLRI yang dijalankan secara rahasia dan maraton
sehingga masyarakat Papua sedang menujuh kepunahan.
4. Presiden segera mengeluarkan instruksi penarikan kembali pasukan
non-organik yang sedang beroperasi ditanah Papua umumnya dan Puncak
Jaya serta Assue pada khususnya dan anggota TNI / POLRI yang
terlibat dalam kasus tersebut harus bertindak tegas dan diproses
secara hukum dan HAM yang berlaku secara Internasional
Demikian pernyataan sikap ini guna ditanggapi serta direalisasi oleh
presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Yusuf Kalla serta
instansi-instansi terkait dipusat, provinsi maupun di tingkat
kabupaten.
“ Kami menanti hasilnya untuk menghapus Darah dan Cucuran Air Mata
Anak Negeri Papua,
Ibarat Seorang Anak Yatim Piatu Yang Selalu Menanti Kasih Sayang
Ayah dan Ibunya “
Port Numbay, 24 Desember 2004
Komponen yang mendukung dan mengesahkan pernyataan sikap ini terdiri
dari berbagai organisasi besar kemahasiswaan di Papua,
yakni:
1. Asosiasi Mahasiswa se-Papua.
2. Ikatan Mahasiswa Theologi Kristen se-jayapura.
3. Forum KomunikasiMahasiswa/I Digoel Maro Assuwets - FKM-DIMAS Se-
Jayapura.
4. KKRS sema STFT – Fajar Timur.
5. Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah se-Indonesia.
6. Forum Komunikasi Mahasiswa Kabupaten Paniai.
7. Komunikasi Mahasiswa Pelajar Kabupaten Puncak Jaya.
8. Perhimpunan Mahasiswa Pelajar Kabupaten Nabire.
9. Himpunan Mahasiswa Pelajar Pegunungan Bintang.
10. Ikatan Mahasiswa Kabupaten Sorong.
11. Ikatan Pelajar Mahasiswa Mee.
12. Ikatan Mahasiswa Pegunungan Tengah.
D. PENUTUP
emikian hasil analisa kami, Komite Mahasiswa / I Papua terhadap
peraturan pemerintah No. 54. Tentang Majelis Rakyat Papua. Kiranya
hasil ini dapat dikonsumsi oleh siapapun demi pertimbangan situasi
Papua ke depan.
***********************************************************************
PASTOR JOHN KANDAM, PR, KAKI TANGAN KAUM KATOLIK NON PAPUA UNTUK
MAJELIS RAKYAT PAPUA
Ia Sedang Dipersiapkan Oleh Kaum Katolik Non Papua Di Lingkungan
Gereja Katolik Keuskupan Agung Maroke Karena Beliau Adalah Budak
Mereka Yang Paling Setia
Maroke – (PaPost) – WALAUPUN PP NO. 45 Tentang Majelis Rakyat Papua
belum disosialisasikan secara merata di Tanah Papua, mereka yang
berkepentingan dengan Majelis bentukan penjajah tersebut sedang
sibuk membagi-bagi sekitar 45 kursi yang menjadi jatah MRP.
Di Maroke, kaum katolik Non Papua yang berbasis di Keuskupan Agung
Maroke sedang mempersiapkan Pastor John Kandam, Pr, (Nomor HP :
08124861512) sebagai anggota MRP dari unsur agama.
Dukungan kaum Katolik Non Papua kepada Pastor John Kandam, Pr, mulai
kelihatan ketika ia diutus untuk mengikuti Pesta Natal Bersama
antara Presiden Kolonial Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, dengan
para pejabat Provinsi Papua dan mayoritas umat Kristen pendatang di
Port Numbay tanggal 26 Desember 2004 lalu.
Rencana penunjukan Pastor John Kandam, Pr, ternyata telah
dikoordinasikan dengan para anggota DPRD Provinsi Papua, khususnya
mereka yang berasal dari kawasan Papua Selatan dan beragama Katolik.
Sumber PaPost di Port Numbay mengatakan bahwa beberapa anggota DPRD
Provinsi Papua asal Papua Selatan sedang melakukan manuver-manuver
tersendiri untuk meloloskan Pastor John Kandam, Pr, ke kursi MRP.
Pastor asli suku Muyu ini adalah Pastor Papua yang selama ini selalu
menjadi antek kaum Katolik Non Papua di Lingkungan Keuskupan Agung
Maroke. Pastor John Kandam, Pr, adalah pelayan setia Mgr. Nicolaus
Adisaputra MSC, seorang Uskup Agung yang
paling dibenci oleh Kaum Katolik Papua Maroke karena jabatan Uskup
Agung yang dipegangnya saat ini adalah hasil permainan kotor Gereja
Katolik yang didukung penuh oleh TNI/POLRI.
Sekedar diketahui, Pastor John Kandam, Pr, adalah pastor Papua yang
paling tidak disukai oleh Kaum Katolik Papua Maroke karena selain
posisinya sebagai antek orang pendatang yang paling setia, ia juga
mempunyai reputasi moral yang sangat jelek dalam kehidupan social.
Pastor John Kandam, Pr, adalah kakek dari 4 (empat) orang cucu, Ayah
dari seorang Anak laki-laki yang bernama Eko Mop atau Eko Disco dan
suami lepas (laki talapas) dari 2 (dua) orang wanita. Isterinya yang
pertama adalah Ibu kandung Eko Mop, sedangkan Isterinya yang kedua
adalah seorang Ibu Guru SMP bernama Yofita Warip.
Saudara/I dan teman-teman dekat Ibu Yofita Warip memberi informasi
kepada penduduk Maroke bahwa Anak Pastor John Kandam, Pr, dan Ibu
Yofita Warip sebenarnya ada 15 (Lima Belas) orang, kalau seandainya
tidak dibunuh oleh mereka berdua dengan cara ABORSI.
“Sekalipun kerjanya hanya bikin rusak nama baik Gereja Katolik
sebagai Pahlawan Moral, tapi Uskup Duivenvoorde (mantan Uskup Agung
Maroke – Red) tidak pecat dia karena mereka baku tahu kartu.” Ungkap
seorang Tokoh katolik Papua Maroke kepada PaPost Maro.
Yang jelas, Gereja Katolik Keuskupan Agung Maroke sedang
mempersiapkan seorang Tokoh Agama yang nota bene adalah Perusak
Perempuan Papua untuk bekerjasama dengan wakil Perempuan Papua dalam
MRP.
Akhirnya, fungsi MRP sebagai alat Penjajah sudah mulai kelihatan
dengan sendirinya. MRP ADALAH SENJATA MIGRAN PENDATANG UNTUK
MENAKLUKAN BANGSA PAPUA. (mol@ks)
********************************************************
|