![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
Daftar
Isi dan Halaman Buku Satu: PAPUA MENGGUGAT: Praktek Politik Otonomisasi NKRI di Papua Barat Buku Dua: PAPUA MENGGUGAT: Teori Politik Otonomisasi NKRI di Papua Barat Buku
Tiga: PAPUA MENGGUGAT: Politik Otonomisasi NKRI di
Papua Barat MANIFESTO POLITIK SEBVERSI DALAM BUKU PAPUA MENGGUGAT OTONOMISASI NKRI DI PAPUA. AA. GN ARI DWIPAYANA, Pengamat Politik, Dosen FISIPOL UGM Yogyakarta. (dimasukan sesuai teks asli) Walaupun kalimat awal dalam pengantar buku ini, Sdr. Sem
Karoba dkk. Menyatakan diri bahwa Ia bukan politisi, namun
sudah sangat jelas bagi saya buku ini adalah sebuah manifesto
poiliti. Sebagai sebuah manifesto politik, hampir keseluruhan
isi buku ini memuat pernyataan-pernyataan politik, yang menggugat "proyek" otonomisasi
NKRI di Papua Barat. Bagi saya pembaca dan pengamat awam tentang Papua-pertanyaan
dan pernyataan Sdr. Sem Karoba dalam buku ini menjadi semacam "alat
provokasi" yang cukup berhasil karena melalui pernyataan
tajam yang dibuatnya bisa merangsang naluri keingintahuan
saya untuk terus mengikuti subtansi-informasi yang dipaparkan
dalam halaman demi halaman dalam buku ini. Salah satu kekuatan Sem Karoba - setidaknya memprovokasi saya adalah kemampuan saudara Sem Karoba - sebagai seorang penulis - untuk mengungkapkan pesan politik dengan cukup banyak perbendaharaan kata-kata yang cukup provokatif, seperti "Desentralisasi kejahatan" (hal : 78); "Persundalan" (hal : 151); "Mabukan dengan paha putih!" (hal : 309); " Devide et impera" (hal : 321 - 347) dan seterusnya. Kekuatan lain dari buku ini - yang buat saya harus tidak melewati baigan ini - adalah adanya studi komparasi (perbandingan) praktek penerapan konsep otonomi khusus diberbagai belahan dunia, baik di otonomi khusus untuk kalangan indigenous people saami di Skandinavia, otonomi untuk etnik inuit di Kanada, romas sampai dengan otsus untuk orang gaelic dan celtic di Irlandia (hal : 207 - 241) maupun format otonomisasi di Asia Fasifik, termasuk kasus otonomi khusus di Bouganfilea di Papua New Guniea (hal : 243 - 265). Studi Komparatif tentang penerapan otonomi khusus bagi etnik
minoritas ini sangat membantu untuk memberikan bingaki yang
lengkap mengenai sejarah marginalisasi dari etnik minoritas
serta pada saat kebersamaan kita juga akan diajak untuk mengeksplorasi
perjuangan dilakukan oleh bangsa-bangsa (Nations) yang termarginalisasi
dalam sebuah Nation - State untuk membangun sebuah format
demokrasi yang menghargai minoritas. Setidaknya hal ini menjadi
relevan ketika dihubungkan dengan kecenderungan baru dalam
kecakupan Kelemahan Kelemahan pertama, struktur buku yang menggunakan bab dan
pasal, agak mengganggu alur argument yang ingin dibangun.
Dengan struktur buku seperti ini, pembaca diajak "berkerut
kening" untuk membaca halaman demi halaman, karena tidak
tahu "ending" kisah yang dipaparkan. Ibaratnya,
pembaca di ajak " berkelana" kemana-mana tanpa
harus tahu "Ending-nya" sayangnya, Sem Karoba tidak
membantu dengan memberikan semacam pengantar tentang keseluruhan
alur isi bukunya. Kedua, Sdr. Sem Karoba agak "pelit" untuk
membagi informasi dasar pada pembaca. - tetapi menurut saya
justru sangat substantive - tentang apa isi (conten substansi)
dari UU No. 45 Tahun 1999 tentang pemekaran propinsi Irian
Jaya menjadi Irian Jaya Timur, Irian Jaya Tengah dan Irian
Jaya Barat; UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua.
Dan Inpres No. 1 Tahun 2003 TentangPercepatan Proposi Irian
Jaya. Padahal, bagi pembaca yang awam perlu mengetahui dulu
data-data dasar Selain conten, Sem Karoba juga tidak memaparkan konteks politik dan proses dari munculnya UU dan Inpres itu. Sehingga, membaca buku ini seperti ada "missing link". Ketiga, kelemahan lain dari buku ini adalah berkaitan dengan data kasus. Methode yang dipilih oleh Sem Karoba untuk mendapatkan kasus yang dimulai dengan argument-pernyataan (deduktif) baru didukung oleh kasus, membuat eksplorasi ketajaman dankedalaman kasus menjadi hilang. Lebih-lebih, Sem Karoba tidak begitu teliti untuk menggunakan sumber informasi dari data kasus itu; apakah diperoleh dari sumber lain (Misalnya: data ELSAM) atau diperoleh dari investigasi penulis. Padahal, kekuatan dari sebuah tulisan politik advokatif dengan prespektif korban adalah kedalaman, ketajaman dari kasus yang dipaparkan , baik bersumber dari testimony maupun investigasi. Kedalaman dan ketajaman fakta (iduktif) membuat karya "advokasi politik" bisa terhindar dari tuduhan sebagai karya yang spekulatif, penuh opini, dan terlaluideologis. Pemaparan sederetan fakta, kasus dan peristiwa, tanpa terjebak dengan gaya bertutur deduktif, akan membuat buku ini bercerita dengan sendirinya, tanpa harus berteorik. Keempat, Walaupun penuh dengan analisis kritis terhadap Otonomi Khusus, posisi akhir dari tawaran Sem Karoba tidak tergambarkan dengan jelas. Ketika membaca sampai dengan buku kedua, saya agag ragu untuk menyatakan - kalau tidak menggunakan kaliamat "tidak menemukan" tawaran yang ideal (das sollen) dibayangkan Sem Karoba tentang Papua; apakah sekedar sikap kritis-dekonstruksi seperti ungkapan Sem dalam pengantar "saya secara pribadi sebagai insane manusia ciptaan manusia yang kebetulan ada di Papua Barat dan kebetulan masih WNI merasa HARUS berterus terang tentang apa yang saya tahu perihal kesalahan-kesalahan yang diulangi NKRI dan elit Papua" ataukah sikap lain. Sem Karoba perlu menyatakan posisi berdirinya, sehingga kita mengetahui rekonstruksi pemikiran Sem Karoba ditengah dirkursus tentang Papua. Pada bagian ketiga ini saya ingin memasukan topic diskusi
yang diminta Panitia untuk saya Implementasi Otonomi Khusus
bagi Provinsi Papua. Secara subsantif-saya akan mengambil
posisi yang sama dengan Sem Karoba - bahwa desain, konsep
dan implementasi politik desentralisasi (otonomi) atas Papua
sangat tidak jelas-cacat substansi-kabur (atau sengaja dibuat
kabur). Kekaburan ini semakin jelas terlihat ketika Jakarta
menerapkan dua desain politik yang berpunggungan pada saat
bersamaan: pertama, desainpolitik pertama seperti yang dikandung
olehUndang-undang No. 45 Tahun 1999 tentang Pemekaran provinsi
Irian Jaya menjadi Irian Jaya Timur, Irian Jaya Tengah dan
Irian Jaya Barat, yang diikuti dan Kalau kita telusuri lebih jaun antara kedua produk politik
Jakarta atas Papua ini mempunyai konsep (desain-basis pijakan
teroritik dan alasan) yang berbeda; Undang-undang No. 45
tahun 1999 dan Inpres No. 1 Tahun 2003 lebih menekankan cara
pandang Desentralisasi Administratif, dimana landasan konseptual
pemekaran Provinsi Irian Jaya dilakukan untuk memenuhi alasan
administrasi pemerintahan; terutama tentang kendali pemerintahan
dan pelayanan public. Factor geografis yang terlalu luas
dipandang sebagai kendala dalam penyelenggara pembangunan.
Oleh karena itu, cara yang terbaik menurut pembuat Undang-undang
ini adalah perlakukan pemekaran provinsi maupun kabupaten.
Sebaliknya, desain politik yang dikandung UU No.
21 Tahun 2001 jelas lebih politis disbandingkan dengan UU
No. 45 tahun 1999. Karena dalam UU yang lahir sebagai konsep
UU Otonomi Khusus mendadopsi cara pandang desentralisasi politik yang dikenal
dengan Devolusi Kekuasaan. Apakah desentralisasi administrative atau desentralisasi
politik? Hal ini penting karena secara konseptual, menurut Cheema dan Rondinelli (1983: 18), setidaknya
ada beberapa pengertian konsep desentralisasi; Dekonsentrasi
(desentralisasi administrative dalam intra pemerintah);Delegasi
(Pelimpahan tanggung jawab fungsi-fungsi pemerintah kepada
organisasi-organisasi diluar struktur birokrasi pemerintah);Devolusi
(pembentukan dan pemberdayaan Kalau dibaca secara seksama maka UU 45/99 lebih menekankan cara pandang administratif, sedangkan UU 21/2001 lebih condong ke devolusi kekuasaan. Walaupuan konsep devolusi politik, tidak dijalankan "sepenuh hati" karena pasal-pasal yang ada dalam Otonomi khusus masih dimungkinkan intervensi Jakarta,misalnya pasal 25 dalam proses pemilihan Majelis Rakyat Papua. Dengan demikian, UU 21/2003 bukanlah devolusi politik melainkan "Quasi devolusi politik (devolusi kekuasaan setengah hati). Kedua, politik Jakarta atas Papua sangat jelas cacat proses karena tidak dilakukan secara partisipatif (nir partisipasi). Masyarakat Papua tidak dilibatkan secara aktif dalam perumusan desaing tentang "apa apa yang diinginkan oleh rakyat Papua". Kalaupun adapartisipasi itupun dilakukan secara semu & elitis, dengan lebih menekankan pada aspek mobilisasi dan sosialisasi (kalau tidak mau menyebut indoktrinasi). Undang-undang yang baik seharusnya melibatkan warga, baik dalam proses agenda setting (merumuskan) atau bahkan dalam memutuskan. Setidaknya ada mekanisme public hearing atau dibuka kemungkinan munculnya naskah tandingan (counter draft) terhadap RUU yang sedang dibahas. Ketiga, lahirnya UU yang cacat proses membuat kita bertanya-tanya "apa
konteks ekonomi-politik" yang melatarbelakangi kedua
UU tersebut dan juga impress 1/2003, sudah jelas konteks
ekonomi-politik ini adalahkonteks relasi antar aktor-aktor
politik Jakarta, global dan agency-nya
di Papua. Sudah jelas Papua mengandung sumberdaya ekonomi
politik-ekonomi yang berlimpah. Kepentingan
ekonomi dan politik inilah yang kemudian dibungkus dengan "nasionalisme
Negara integralistik (State-Nationalism) model NKRI" sehingga partisipasi politik warga dan keinginan untuk memperkuat
hak-hak dasar selalu dipandang sebagai potensi disintegrasi-separatisme.
Kepentingan ekonomi-politik yang dibungkus jorgan "Nasionalisme
NKRI" inilah membuat pintu-pintu dialog (komunikasi) Keempat, konsep otonomi khusus maupun pemekaran provinsi justru mengukuhkan bias elite dalam penangan soal Papua. Sesungguhnya siapa yang diuntungkan oleh otonomi khusus dan pemekaran provinsi Papua? Sudah dipastikan yang diuntungkan adalah elite-elitie politik-birokrasi local yang akan mendapatkan dan memperluas sumber daya ekonomi-politik yang dikuasai. Dengan demikian, otonomi akan terjadi dalam within buaraucraci
(intergovernmental decentralization) dibandingkan otonomi
berbasiskan masyarakat. Padahal, esensi dari desentralisasi/otonomi
disamping mencegah konsentrasi kekuasaan di Pusat, juga dimaksudkan
untuk membukan ruang demokrasi di tingkat lokal, dimana desentralisasi
memungkinkan adanya pendidikan politik bagi warga, latihan
kepemimpinan dan munculnya Terakhir belajar dari buku Papua Menggugat ini, kita perlu memikirkan kembali arah erkembangan proses demokrasi di Indosesia sekaligus format demokrasi yang kita ingin bangun, yang dalam bahasa Larry Diamond sangat bias procedural-elektoralisme. Padahal penekanan demokrasi elektoralisme pada sisi proceduralmembuahkan kritik; misalnya kritik dari Terry Karl tentang "kekliruan elektoralisme" dimana demokrasi Schumpeterian mengistimewakan pemilu di atas demensi-demensi yang lain, dan mengabaikan kemungkinan yang ditimbulkan oleh pemilu multi partai dalam menyisihkan hak sebagian masyarakat tertentu untuk bersaing dalam memperebut kekuasaan atau meningkatkan dan membela kepentingannya (seperti perlindungan pada kelompok-kelompok marginall dan minoritas). Kritik ini juga diarahkan pada munculnya quasi demokrasi (demokrasi semu). Dengan demikian problem Papua bukanlah hanya secara sempit kita sebut sebagai problem politik desentralisasi semata (otonomi) melainkan problem yang lebih luas; karena menyangkut pemahaman kita tentang demokrasi. Kritik ini menimbulakan konsep demokrasi procedural yang diperluas dengan menambahkan demensi jaminan kebebasan dan akses pada kelompok minoritas. Penekananpada demensi kebebasan dan jaminan pada minoritas nampak dari tulisan Diamond, yang menyebutkan sepuluh komponen khusus demokrasi; control terhadap Negara, keputusan dan alokasi sumber daya dilakukan oleh pejabat public yang terpilih; kekuasaan eksekutifdibatasi, secara konstitusional dan factual oleh kekuasaan otonomi institusi pemerintah yang lain; kebebasan untuk membentuk partai politik dan mengikuti pemilu: adanya kesempatan pada kelompok miniritas untuk mengungkapkan kepentingannya: kebebasan sebagai warga Negara untuk membentuk dan bergabung dengan berbagai perkumpulan dan gerakan independent: tersedia sumber informasi algternatif: Setiap individu memiliki kebebasan beragama, berpendapat, berdiskusi, berbicara, publikasi, berserikat, berdemonstrasi dan menyampaikan pendapat.: setiap warga Negara mempunyai kedaulatan yang setara dihadapan hukum; kebebasan individu dan kelompok dilindungi secara efektif oleh sebuah peradilan yang independent dan tidak diskriminatif dan Rule of law melindungi warga Negara dari penahanan yang tidak sahm pengucilan, terror, penyiksaan dan campur tangan yang tidak sepantasnya dalam kehidupan pribadi baik oleh warga Negara maupun kekuatan non organisasi non Negara dan anti Negara. Pemahaman demensi kebebasan ini sesuai juga dengan perkembangan
arah perlindungan hak-hak azasi manusia yang mengakui hak-hak
kaum minoritas. Artikel 1 menyatakan Masyarakat pribumi berhak
untuk menikmati sepenuhnya dan seluruh HAM dan kebebasan
dasar yang diakui piagam PBB, Deklarasi Umum HAM dan Hukum-hukum
Hak Internasional. Artikel 2. orang Pribumi sebagai individu
dan masyarakat bebas dan setara dengan masyarakat lainnya
dalam hak martabat, HAM dan berhak untuk bebas dari segala
macam deskriminasi khususnya dikarenakan asal-usul atau identitas
penduduk bumi dimaksud. Artikel 3. masyarakat pribumi berhak
atas penentuan nasib sendiri (self determination). Sesuai hak untuk secara bebas menentukan masa depan status politiknya
dan mengejar pengembangan ekonomi, social dan budaya. Artikel
4. Masyarakat pribumi berhak mempertahankan dan memperkuat
karakteristik politik, ekonomi, social dan budaya yang berbeda,
sekaligus system hukum mereka, semntara dalam hal kehidupan
politik, ekonomi, social dan budaya dalam sebuah Negara.
Artikel 5. Setiap orang pribumi berhak Dilaporkan sesuai dengan teks asli
Surat-surat Terbuka anak Koteka. NARASUMBER : Dosen Fisipol Universitas Gajah Mada Yogyakarta 2. ARI ARYANTO. 3. DEMIANUS TARI WANIMBO. MODERATOR : KUMA ENEGE, S. PAK. KRONOLOGIS ACARA Sambutan I Oleh Penerbit Galang Press. Sambutan intinya atas nama Pimpinan Percetakan Galang Press; Bapak Yulius manyatakan siap mendukung seluruh aspirasi yang selama ini tidak terungkap demi penegakan supremasi hukum dan HAM. Dalam kesempatan itupula atas nama percetakan Galang Press mendorong Mahasiswa dan para aktifis yang mau menulis tentang apa saja pihak percetakan siap mendukung. Dalam kesempatan tersebut disampaikan ucapan terima kasih pada Sem dkk. Atas kepercayaannya untuk kerjasama dengan watchPAPUA dalam menerbitkan buku. Buku yang pertama telah diterbitkan Papua Menggugat "Kematian Dortheys Hiyo Eluay. Jumlah cetak 1000 Exp. Dan kini telah diterbitkan buku yang baru yaitu PAPUA MENGGUGAT POLITIK OTONOMISASI NKRI DI PAPUA. Jumlah buku yang telah dicetak sebanyak 2000 Exp. Selamat mengikuti acara BUKU "PAPUA MENGGUGAT" Sambutan II Oleh Ketua Mahasiswa Papua di Yogyakarta. Inti pesan dari sambutan; Ketua IKMA Papua. Mengatakan bahwa. Menyambut dengan gembira atas kerja keras Sem Karoba dkk. Atas terbitnya Buku PAPUA ENGGUGAT yang dapat mengungkap
seluruh permasalahan Bangsa Papua yang selama ini masih
terisolasi dengan berbagai kepentingan. Efendi demikian panggilan
akrapnya
mengatakan bahwa; para Intelektual Muda Papuasudah saatnya
kita menggunakan seluruh ilmu yang sudah kita terima demi
Bangsa kita Papua Barat yang tercinta. Selamat berkarya
Tuhan Papua memberkati kita Sambutan III Oleh Ketua AMP Yogyakarta. Jimmy Erelak. Ketua Aliansi Mahasiswa Papua Koordinator Wilayah Yogyakarta merangkap Indonesia menyatakan bahwa: Semenjak perjuangan Rakyat Papua melawan para penjajah di tanah leluruh Papua Barat pada tahun 1962 hingga 1986 Rakyat Papua menggunakan senjata tradisional dalam mempertahankan harkat dan martabat, Namun sejak tahun 1986 hingga sekarang Rakyat Papua telah memilih menggunakan Jalan Damai seperti yang telah dikatakan oleh Almahrum Dortheys Hiyo Eluay "Kami Pilih Jalan Damai" dan Diplomasi. Buku PAPUA MENGGUGAT adalah kumpulan Surat-surat Terbuka Anak Koteka Edisi ke 14. seperti yang sekarang ini Sumbangan Lagu: JAKER "Tuntaskan Revolusi" SESI I |
![]() |
![]() |
![]() |
Book 06 | ![]() |