Daftar Isi Buku Kesatu


Daftar Isi dan Halaman

Daftar Isi

Buku Satu: PAPUA MENGGUGAT: Praktek Politik Otonomisasi NKRI di Papua Barat

Buku Dua: PAPUA MENGGUGAT: Teori Politik Otonomisasi NKRI di Papua Barat

Buku Tiga: PAPUA MENGGUGAT: Politik Otonomisasi NKRI di Papua Barat
Pengantar Penulis

Tanggapan Saat Bedah Buku 30 Agustus 2004
Intisari Buku

MANIFESTO POLITIK SEBVERSI DALAM BUKU PAPUA MENGGUGAT OTONOMISASI NKRI DI PAPUA. AA. GN ARI DWIPAYANA, Pengamat Politik, Dosen FISIPOL UGM Yogyakarta.

(dimasukan sesuai teks asli)

Walaupun kalimat awal dalam pengantar buku ini, Sdr. Sem Karoba dkk. Menyatakan diri bahwa Ia bukan politisi, namun sudah sangat jelas bagi saya buku ini adalah sebuah manifesto poiliti. Sebagai sebuah manifesto politik, hampir keseluruhan isi buku ini memuat pernyataan-pernyataan politik, yang menggugat "proyek" otonomisasi NKRI di Papua Barat.
Pernyataan-pernyataan politik oleh Sem Karoba dkk senantiasa didahului dengan paparan kasus untuk memperkuat pernyataan yang dikedepankan serta diakhiri dengan seretetan pernyataan-pernyataan tajam.

Bagi saya pembaca dan pengamat awam tentang Papua-pertanyaan dan pernyataan Sdr. Sem Karoba dalam buku ini menjadi semacam "alat provokasi" yang cukup berhasil karena melalui pernyataan tajam yang dibuatnya bisa merangsang naluri keingintahuan saya untuk terus mengikuti subtansi-informasi yang dipaparkan dalam halaman demi halaman dalam buku ini.

Kekuatan buku ini adalah paparannya tentang informasi subversi (alternative) ditengah hegemoni informasi yang sepihak tentang Papua. Banyak pembaca yang tidak "sekaya" Sem Karoba dalam memperoleh data-informasi tentang "apa yang sebenarnya terjadi di Papua" Papua seperti juga halnya daerah-daerah di luar Jakarta selalu menjadi "anak haram" dan menempati posisi pinggiran dalam lalulintas informasi yang mendunia. Iformasi selalu penuh fersi utama dan didominasi Jakarta.

Salah satu kekuatan Sem Karoba - setidaknya memprovokasi saya adalah kemampuan saudara Sem Karoba - sebagai seorang penulis - untuk mengungkapkan pesan politik dengan cukup banyak perbendaharaan kata-kata yang cukup provokatif, seperti "Desentralisasi kejahatan" (hal : 78); "Persundalan" (hal : 151); "Mabukan dengan paha putih!" (hal : 309); " Devide et impera" (hal : 321 - 347) dan seterusnya. Kekuatan lain dari buku ini - yang buat saya harus tidak melewati baigan ini - adalah adanya studi komparasi (perbandingan) praktek penerapan konsep otonomi khusus diberbagai belahan dunia, baik di otonomi khusus untuk kalangan indigenous people saami di Skandinavia, otonomi untuk etnik inuit di Kanada, romas sampai dengan otsus untuk orang gaelic dan celtic di Irlandia (hal : 207 - 241) maupun format otonomisasi di Asia Fasifik, termasuk kasus otonomi khusus di Bouganfilea di Papua New Guniea (hal : 243 - 265).

Studi Komparatif tentang penerapan otonomi khusus bagi etnik minoritas ini sangat membantu untuk memberikan bingaki yang lengkap mengenai sejarah marginalisasi dari etnik minoritas serta pada saat kebersamaan kita juga akan diajak untuk mengeksplorasi perjuangan dilakukan oleh bangsa-bangsa (Nations) yang termarginalisasi dalam sebuah Nation - State untuk membangun sebuah format demokrasi yang menghargai minoritas. Setidaknya hal ini menjadi relevan ketika dihubungkan dengan kecenderungan baru dalam kecakupan
nilai universal hak-hak asasi manusia (HAM), yang bergeser dari sekedar keharusan perlindungan hak-hak individu (hak sipil, ekonomi, social dan budaya) ke perlindungan hak masyarakat pribumi seperti tercantum dalam daftar deklarasi pencegahan diskriminasi dan perlindungan kaum minoritas pada tahun 1994 (hal : 159 - 177 bagian II : Papua berteori).

Kelemahan
Walupun buku ini bisa menjadi alternarif, surversi-inspirasi bagi siapa saja untuk mengetahui soal Papua, namun buku ini mengandung sejumlah kelemahan teknis dan methodologi.

Kelemahan pertama, struktur buku yang menggunakan bab dan pasal, agak mengganggu alur argument yang ingin dibangun. Dengan struktur buku seperti ini, pembaca diajak "berkerut kening" untuk membaca halaman demi halaman, karena tidak tahu "ending" kisah yang dipaparkan. Ibaratnya, pembaca di ajak " berkelana" kemana-mana tanpa harus tahu "Ending-nya" sayangnya, Sem Karoba tidak membantu dengan memberikan semacam pengantar tentang keseluruhan alur isi bukunya. Kedua, Sdr. Sem Karoba agak "pelit" untuk membagi informasi dasar pada pembaca. - tetapi menurut saya justru sangat substantive - tentang apa isi (conten substansi) dari UU No. 45 Tahun 1999 tentang pemekaran propinsi Irian Jaya menjadi Irian Jaya Timur, Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat; UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua. Dan Inpres No. 1 Tahun 2003 TentangPercepatan Proposi Irian Jaya. Padahal, bagi pembaca yang awam perlu mengetahui dulu data-data dasar
tentang apa isi pasal demi pasal UU dan Inpres itu.

Selain conten, Sem Karoba juga tidak memaparkan konteks politik dan proses dari munculnya UU dan Inpres itu. Sehingga, membaca buku ini seperti ada "missing link". Ketiga, kelemahan lain dari buku ini adalah berkaitan dengan data kasus. Methode yang dipilih oleh Sem Karoba untuk mendapatkan kasus yang dimulai dengan argument-pernyataan (deduktif) baru didukung oleh kasus, membuat eksplorasi ketajaman dankedalaman kasus menjadi hilang. Lebih-lebih, Sem Karoba tidak begitu teliti untuk menggunakan sumber informasi dari data kasus itu; apakah diperoleh dari sumber lain (Misalnya: data ELSAM) atau diperoleh dari investigasi penulis. Padahal, kekuatan dari sebuah tulisan politik advokatif dengan prespektif korban adalah kedalaman, ketajaman dari kasus yang dipaparkan , baik bersumber dari testimony maupun investigasi.

Kedalaman dan ketajaman fakta (iduktif) membuat karya "advokasi politik" bisa terhindar dari tuduhan sebagai karya yang spekulatif, penuh opini, dan terlaluideologis. Pemaparan sederetan fakta, kasus dan peristiwa, tanpa terjebak dengan gaya bertutur deduktif, akan membuat buku ini bercerita dengan sendirinya, tanpa harus berteorik. Keempat, Walaupun penuh dengan analisis kritis terhadap Otonomi Khusus, posisi akhir dari tawaran Sem Karoba tidak tergambarkan dengan jelas. Ketika membaca sampai dengan buku kedua, saya agag ragu untuk menyatakan - kalau tidak menggunakan kaliamat "tidak menemukan" tawaran yang ideal (das sollen) dibayangkan Sem Karoba tentang Papua; apakah sekedar sikap kritis-dekonstruksi seperti ungkapan Sem dalam pengantar "saya secara pribadi sebagai insane manusia ciptaan manusia yang kebetulan ada di Papua Barat dan kebetulan masih WNI merasa HARUS berterus terang tentang apa yang saya tahu perihal kesalahan-kesalahan yang diulangi NKRI dan elit Papua" ataukah sikap lain.

Sem Karoba perlu menyatakan posisi berdirinya, sehingga kita mengetahui rekonstruksi pemikiran Sem Karoba ditengah dirkursus tentang Papua.

Pada bagian ketiga ini saya ingin memasukan topic diskusi yang diminta Panitia untuk saya Implementasi Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Secara subsantif-saya akan mengambil posisi yang sama dengan Sem Karoba - bahwa desain, konsep dan implementasi politik desentralisasi (otonomi) atas Papua sangat tidak jelas-cacat substansi-kabur (atau sengaja dibuat kabur). Kekaburan ini semakin jelas terlihat ketika Jakarta menerapkan dua desain politik yang berpunggungan pada saat bersamaan: pertama, desainpolitik pertama seperti yang dikandung olehUndang-undang No. 45 Tahun 1999 tentang Pemekaran provinsi Irian Jaya menjadi Irian Jaya Timur, Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat, yang diikuti dan
diperkuat oleh Inpres No. 1 Tahun 2003 tentang Percepatan Pemekaran Provinsi Papua; serta desain politik kedua mengikuti logika yang dibangun oleh Undang-undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus.

Kalau kita telusuri lebih jaun antara kedua produk politik Jakarta atas Papua ini mempunyai konsep (desain-basis pijakan teroritik dan alasan) yang berbeda; Undang-undang No. 45 tahun 1999 dan Inpres No. 1 Tahun 2003 lebih menekankan cara pandang Desentralisasi Administratif, dimana landasan konseptual pemekaran Provinsi Irian Jaya dilakukan untuk memenuhi alasan administrasi pemerintahan; terutama tentang kendali pemerintahan dan pelayanan public. Factor geografis yang terlalu luas dipandang sebagai kendala dalam penyelenggara pembangunan. Oleh karena itu, cara yang terbaik menurut pembuat Undang-undang ini adalah perlakukan pemekaran provinsi maupun kabupaten. Sebaliknya, desain politik yang dikandung UU No. 21 Tahun 2001 jelas lebih politis disbandingkan dengan UU No. 45 tahun 1999. Karena dalam UU yang lahir sebagai konsep UU Otonomi Khusus mendadopsi cara pandang desentralisasi politik yang dikenal dengan Devolusi Kekuasaan.

Namun menurut saya, keberadaan dua produk politik Jakarta - terutama yang terakhir No. 1/2003- itu menambah komplikasi persoalan Papua. Pernyataan yang pertama dan terutama-seperti juga disampaikan oleh Sem Karoba - sesungguhnya apa konsep/desain politik desentralisasi yang ingin diterapkan oleh Jakarta?

Apakah desentralisasi administrative atau desentralisasi politik? Hal ini penting karena secara konseptual, menurut Cheema dan Rondinelli (1983: 18), setidaknya ada beberapa pengertian konsep desentralisasi; Dekonsentrasi (desentralisasi administrative dalam intra pemerintah);Delegasi (Pelimpahan tanggung jawab fungsi-fungsi pemerintah kepada organisasi-organisasi diluar struktur birokrasi pemerintah);Devolusi (pembentukan dan pemberdayaan
unit-unti pemerintah ditingkat local dengan control pusat seminimal mungkin). Dari keempat konsep diatas, Devolusi sebagai bentuk democratic decentralization karena berlangsung penyerahan kekuasaan/kewenangan kepada daerah untuk mengambil keputusan-keputusan politik.

Kalau dibaca secara seksama maka UU 45/99 lebih menekankan cara pandang administratif, sedangkan UU 21/2001 lebih condong ke devolusi kekuasaan. Walaupuan konsep devolusi politik, tidak dijalankan "sepenuh hati" karena pasal-pasal yang ada dalam Otonomi khusus masih dimungkinkan intervensi Jakarta,misalnya pasal 25 dalam proses pemilihan Majelis Rakyat Papua. Dengan demikian, UU 21/2003 bukanlah devolusi politik melainkan "Quasi devolusi politik (devolusi kekuasaan setengah hati).

Kedua, politik Jakarta atas Papua sangat jelas cacat proses karena tidak dilakukan secara partisipatif (nir partisipasi). Masyarakat Papua tidak dilibatkan secara aktif dalam perumusan desaing tentang "apa apa yang diinginkan oleh rakyat Papua". Kalaupun adapartisipasi itupun dilakukan secara semu & elitis, dengan lebih menekankan pada aspek mobilisasi dan sosialisasi (kalau tidak mau menyebut indoktrinasi). Undang-undang yang baik seharusnya melibatkan warga, baik dalam proses agenda setting (merumuskan) atau bahkan dalam memutuskan. Setidaknya ada mekanisme public hearing atau dibuka kemungkinan munculnya naskah tandingan (counter draft) terhadap RUU yang sedang dibahas.

Ketiga, lahirnya UU yang cacat proses membuat kita bertanya-tanya "apa konteks ekonomi-politik" yang melatarbelakangi kedua UU tersebut dan juga impress 1/2003, sudah jelas konteks ekonomi-politik ini adalahkonteks relasi antar aktor-aktor politik Jakarta, global dan agency-nya di Papua. Sudah jelas Papua mengandung sumberdaya ekonomi politik-ekonomi yang berlimpah. Kepentingan ekonomi dan politik inilah yang kemudian dibungkus dengan "nasionalisme Negara integralistik (State-Nationalism) model NKRI" sehingga partisipasi politik warga dan keinginan untuk memperkuat hak-hak dasar selalu dipandang sebagai potensi disintegrasi-separatisme. Kepentingan ekonomi-politik yang dibungkus jorgan "Nasionalisme NKRI" inilah membuat pintu-pintu dialog (komunikasi)
dan saluran demokrasi menjadi tertutup. Tidak aneh kemudian, nasionalisme Negara integralistik yang masih bertahan dielite-elite politik-birokrasi di Jakarta ini kongruen dengan kepentingan untuk tetap mempertahankan sentralisasi atau bahkan memperkuat upaya Resentralisasi. Hal ini semakin jelas terlihat dengan konsep Departemen dalam Negeri untuk melakukanrevisi UU No. 22/99 yang justru meneguhkan proyek Resentralisasi. Sudah jelas Desentralisasi politik akan banyak "merugikan" kepentingan ekonomi dan politik Jakarta karena kekuasaannya di kurangi.

Keempat, konsep otonomi khusus maupun pemekaran provinsi justru mengukuhkan bias elite dalam penangan soal Papua. Sesungguhnya siapa yang diuntungkan oleh otonomi khusus dan pemekaran provinsi Papua? Sudah dipastikan yang diuntungkan adalah elite-elitie politik-birokrasi local yang akan mendapatkan dan memperluas sumber daya ekonomi-politik yang dikuasai.

Dengan demikian, otonomi akan terjadi dalam within buaraucraci (intergovernmental decentralization) dibandingkan otonomi berbasiskan masyarakat. Padahal, esensi dari desentralisasi/otonomi disamping mencegah konsentrasi kekuasaan di Pusat, juga dimaksudkan untuk membukan ruang demokrasi di tingkat lokal, dimana desentralisasi memungkinkan adanya pendidikan politik bagi warga, latihan kepemimpinan dan munculnya
akuntabilitas pemerintahan. Sehingga dengan terbukannya ruang demokrasi maka seluruh suber daya yang ada bisa digunakan untuk kesejahteraan bersama, bukan untuk orang per orang ataupun elite politik local (raja-jara kecil)

Terakhir belajar dari buku Papua Menggugat ini, kita perlu memikirkan kembali arah erkembangan proses demokrasi di Indosesia sekaligus format demokrasi yang kita ingin bangun, yang dalam bahasa Larry Diamond sangat bias procedural-elektoralisme. Padahal penekanan demokrasi elektoralisme pada sisi proceduralmembuahkan kritik; misalnya kritik dari Terry Karl tentang "kekliruan elektoralisme" dimana demokrasi Schumpeterian mengistimewakan pemilu di atas demensi-demensi yang lain, dan mengabaikan kemungkinan yang ditimbulkan oleh pemilu multi partai dalam menyisihkan hak sebagian masyarakat tertentu untuk bersaing dalam memperebut kekuasaan atau meningkatkan dan membela kepentingannya (seperti perlindungan pada kelompok-kelompok marginall dan minoritas). Kritik ini juga diarahkan pada munculnya quasi demokrasi (demokrasi semu). Dengan demikian problem Papua bukanlah hanya secara sempit kita sebut sebagai problem politik desentralisasi semata (otonomi) melainkan problem yang lebih luas; karena menyangkut pemahaman kita tentang demokrasi.

Kritik ini menimbulakan konsep demokrasi procedural yang diperluas dengan menambahkan demensi jaminan kebebasan dan akses pada kelompok minoritas. Penekananpada demensi kebebasan dan jaminan pada minoritas nampak dari tulisan Diamond, yang menyebutkan sepuluh komponen khusus demokrasi; control terhadap Negara, keputusan dan alokasi sumber daya dilakukan oleh pejabat public yang terpilih; kekuasaan eksekutifdibatasi, secara konstitusional dan factual oleh kekuasaan otonomi institusi pemerintah yang lain; kebebasan untuk membentuk partai politik dan mengikuti pemilu: adanya kesempatan pada kelompok miniritas untuk mengungkapkan kepentingannya: kebebasan sebagai warga Negara untuk membentuk dan bergabung dengan berbagai perkumpulan dan gerakan independent: tersedia sumber informasi algternatif: Setiap individu memiliki kebebasan beragama, berpendapat, berdiskusi, berbicara, publikasi, berserikat, berdemonstrasi dan menyampaikan pendapat.: setiap warga Negara mempunyai kedaulatan yang setara dihadapan hukum; kebebasan individu dan kelompok dilindungi secara efektif oleh sebuah peradilan yang independent dan tidak diskriminatif dan Rule of law melindungi warga Negara dari penahanan yang tidak sahm pengucilan, terror, penyiksaan dan campur tangan yang tidak sepantasnya dalam kehidupan pribadi baik oleh warga Negara maupun kekuatan non organisasi non Negara dan anti Negara.

Pemahaman demensi kebebasan ini sesuai juga dengan perkembangan arah perlindungan hak-hak azasi manusia yang mengakui hak-hak kaum minoritas. Artikel 1 menyatakan Masyarakat pribumi berhak untuk menikmati sepenuhnya dan seluruh HAM dan kebebasan dasar yang diakui piagam PBB, Deklarasi Umum HAM dan Hukum-hukum Hak Internasional. Artikel 2. orang Pribumi sebagai individu dan masyarakat bebas dan setara dengan masyarakat lainnya dalam hak martabat, HAM dan berhak untuk bebas dari segala macam deskriminasi khususnya dikarenakan asal-usul atau identitas penduduk bumi dimaksud. Artikel 3. masyarakat pribumi berhak atas penentuan nasib sendiri (self determination). Sesuai hak untuk secara bebas menentukan masa depan status politiknya dan mengejar pengembangan ekonomi, social dan budaya. Artikel 4. Masyarakat pribumi berhak mempertahankan dan memperkuat karakteristik politik, ekonomi, social dan budaya yang berbeda, sekaligus system hukum mereka, semntara dalam hal kehidupan politik, ekonomi, social dan budaya dalam sebuah Negara. Artikel 5. Setiap orang pribumi berhak
memiliki kebangsaan. Apakah kita sudah terlindungi dan memperkuat hak-hak dasar itu? Sekian.

Dilaporkan sesuai dengan teks asli
Onny Bernie Pagawak.


Laporan Hasil BEDAH BUKU.
MANIFESTO POLITIK SUBVERSI
DALAM BEDAH BUKU "PAPUA MENGGUGAT"
Bagian I. PAPUA MECATAT. Bagian II. PAPUA BERTEORI.
Bagian III. PAPUA MENGGUGAT.

Surat-surat Terbuka anak Koteka.
Kepada Yth, Poros Jakarta - PAPINDO.
Sem Karoba dkk

NARASUMBER :
1. AA.GN ARI DWIPAYANA, S. Ip. Ms.i.

Dosen Fisipol Universitas Gajah Mada Yogyakarta
Topik : "IMPLEMENTASI OTONOMI KHUSUS DI PAPUA.

2. ARI ARYANTO.
Wakil Ketua I Komite Pimpinan Pusat (KPP-PRD)
Topik : "KEPENTINGAN EKONOMI IMPERIALIS - KAPITALIS GLOBAL TERHADAP OTONOMI KHUSUS DI PAPUA"

3. DEMIANUS TARI WANIMBO.
Ketua Umum Komite Pusat AMP. International.
Topik : "SEJARAH KEKERASAN POLITIK RAKYAT PAPUA"

MODERATOR : KUMA ENEGE, S. PAK.

KRONOLOGIS ACARA
PEMBUKAAN.
SAMBUTAN.

Sambutan I Oleh Penerbit Galang Press.

Sambutan intinya atas nama Pimpinan Percetakan Galang Press; Bapak Yulius manyatakan siap mendukung seluruh aspirasi yang selama ini tidak terungkap demi penegakan supremasi hukum dan HAM. Dalam kesempatan itupula atas nama percetakan Galang Press mendorong Mahasiswa dan para aktifis yang mau menulis tentang apa saja pihak percetakan siap mendukung. Dalam kesempatan tersebut disampaikan ucapan terima kasih pada Sem dkk. Atas kepercayaannya untuk kerjasama dengan watchPAPUA dalam menerbitkan buku. Buku yang pertama telah diterbitkan Papua Menggugat "Kematian Dortheys Hiyo Eluay. Jumlah cetak 1000 Exp. Dan kini telah diterbitkan buku yang baru yaitu PAPUA MENGGUGAT POLITIK OTONOMISASI NKRI DI PAPUA. Jumlah buku yang telah dicetak sebanyak 2000 Exp. Selamat mengikuti acara BUKU "PAPUA MENGGUGAT"

Sambutan II Oleh Ketua Mahasiswa Papua di Yogyakarta.
Effendi Payokwa.

Inti pesan dari sambutan; Ketua IKMA Papua. Mengatakan bahwa. Menyambut dengan gembira atas kerja keras Sem Karoba dkk. Atas terbitnya Buku PAPUA

ENGGUGAT yang dapat mengungkap seluruh permasalahan Bangsa Papua yang selama ini masih terisolasi dengan berbagai kepentingan. Efendi demikian panggilan akrapnya mengatakan bahwa; para Intelektual Muda Papuasudah saatnya kita menggunakan seluruh ilmu yang sudah kita terima demi Bangsa kita Papua Barat yang tercinta. Selamat berkarya Tuhan Papua memberkati kita
sekalian sampai pada bedah buku dengan judul yang lainnya lagi.

Sambutan III Oleh Ketua AMP Yogyakarta. Jimmy Erelak. Ketua Aliansi Mahasiswa Papua Koordinator Wilayah Yogyakarta merangkap Indonesia menyatakan bahwa: Semenjak perjuangan Rakyat Papua melawan para penjajah di tanah leluruh Papua Barat pada tahun 1962 hingga 1986 Rakyat Papua menggunakan senjata tradisional dalam mempertahankan harkat dan martabat, Namun sejak tahun 1986 hingga sekarang Rakyat Papua telah memilih menggunakan Jalan Damai seperti yang telah dikatakan oleh Almahrum Dortheys Hiyo Eluay "Kami Pilih Jalan Damai" dan Diplomasi. Buku PAPUA MENGGUGAT adalah kumpulan Surat-surat Terbuka Anak Koteka Edisi ke 14. seperti yang sekarang ini Sumbangan Lagu: JAKER "Tuntaskan Revolusi"

SESI I
NARASUMBER I
Tanya jawab:
1. Nugraha dari Acheh Nanggroh Darusasslam.
- Prinsip dasar dari Penulis adalah dengan mengemukakan Nilai Bebas. Dalam kaitannya dengan Otonomi adalah bukan Desentralisasi Politik bukan Desentralisasi Kekuasaan.
- Lahirnya krisis kepercayaan Rakyat Papua terhadap Pemerintah NKRI.
- Penulis tidak memberikan solusi dalam bukunya.
2. Nina.
- Rakyat Papua tidak pernah dilibatkan dalam seluruh kebijakan di tanah Papua apakah ada unsur kesengajaan dari Jakarta?


Book 06

Book 08