4 Word Version
4 Cover & Preface
4 PENDAHULUAN  
4 A. HASIL PEPERA 1969 DALAM DOKUMEN PBB ANNEX I, A/7723.  
4 B.  HASIL PEPERA 1969 DITOLAK OLEH BEBERAPA NEGARA  ANGGOTA PBB
4 C. RESOLUSI PBB TENTANG HASIL PEPERA 1969
4 A. PENDAHULUANd (Tulisan John Saltford)
4 B.  SITUASI PADA TAHUN 1968  
4 C.    KEKUATAN POSISI INDONESIA
4 D.    KEDATANGAN ORTIZ SANZ DI PAPUA  
4 E.  PERNYATAAN- PERNYATAAN (PETISI) ORANG PAPUA
4 G. PROTES ORANG PAPUA DAN INDONESIA MELANJUTKAN PERSIAPAN
4 H.  SEMUANYA KEADAAN BAIK[54]
4 I.  PERLAWANAN
4 J.  TEKANAN PBB TERHADAP INDONESIA
4 K.    KERJASAMA PBB DAN ORANG INDONESIA  
4 L.  PELAKSANAAN PEPERA
4 M.  AKIBAT- AKIBATNYA  
4 N.    KESIMPULAN
4 SOLUSI YANG DIUSULKAN:
4 Endnotes
 

C. RESOLUSI PBB TENTANG HASIL PEPERA 1969

 

Perjanjian antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda tentang New Guinea Barat (Irian Barat).  

Draf Resolusi  PBB No. A./L.574 dari Belgium, Indonesia, Malaysia dan Thailand:

Sidang Umum:

Mengingat resolusi 1752 (XVII) 21 September 1962 menerima  perjanjian antara Republik Indonesia dan Belanda berhubungan New Gunea Barat (Irian Barat),  peran atas Sekretaris -General dalam perjanjian dengan menggunakan dan untuk melaksanakan tugas-tugas yang dipercayakan kepadanya,

Mengingat juga keputusan 6 Nopember 1963 menerima laporan Sekretaris-General penyelesaian UNTEA dI irian Barat,

Mengingat lebih lanjut, bahwa persiapan-persiapan untuk pelaksanaan pemilihan bebas adalah tanggung jawab Indonesia untuk menasihati, membantu dan partisipasi dari perwakilan khusus Sekretaris-General, sebagai mana ditentukan dalam Perjanjian,

Menerima laporan hasil-hasil pelaksanaan pemilihan bebas yang disiapkan oleh Sekretaris-General sesuai dengan pasal XXI, pragrap 1 menyetujui Perjanjian dan  hasil-hasilnya,

Mengingat, sesui dengan pasal Perjanjian XXI paragrap 2, dua negara mengakui

hasil-hasil ini.  

Menerima bahwa Pemerintah Indonesia, dalam melaksanakan rencana pembangunan nasional, memberikan perhatian khusus untuk pengambangan Irian Barat, mengingat keadaan penduduk, dan bahwa Pemerintah Belanda, bekerjasama dengan Pemerintah Indonesia, akan melanjutkan untuk memberikan bantuan keuangan untuk tujuan ini, khususnya melalui Bank pembangunan Asia  dan lembaga-lembaga PBB.  

  1. Menerima Laporan Sekretaris General menyatakan dengan penghargaan bahwa penyelesaian oleh Sekretaris General dan perwakilannya dari tugas-tugas yang dipercayakan kepada mereka dibawah perjanjian 1962 antara Indonesia dan Belanda;

  1. menghargai beberapa bantuan yang disediakan melalui Bank Pembangunan Asia, melalui lembaga-lembaga PBB atau melalui orang-orang lain kepada Pemerintah Indonesia dalam usaha untuk meningkatkan ekonomi dan sosial Irian Barat; (lihat: United Nations General Assembly: A/L.574, 12 November 1969, seventy-fourth session, Agenda item 98).    

  2. Dari Ghana mengamandemen draf Resolusi yang disampaikan oleh Belgium, Indonesia, Luxemburg, Malaysia, Belanda dan Thailand: (A/L.574).
  3. Menggantikan peranggap keempat pembukaan sebagai berikut:

  4. Menerima laporan pekerjaan terakhir Sekretrais-General perwakilannya di Indonesia sesuai Perjanjian.
  5. Menggantikan paragrap kelima pembukaan sebagai berikut:
  6. Mengingat kepentingan dan kesejahteraan rakyat Irian Barat seperti dinyatakan dalam pembukaan Perjanjian.
  7. Memasukan paragrap baru keenam pembukaan bacanya sebagai berikut:
  8. Lebih lanjut mengingat pasal XVIII Perjanjian dan sebaliknya, menyebutkan untuk pelaksanaan pemilihan bebas sesuai dengan praktek internasional,”
  9. Memasukan paragrap baru ketujuh pembukaan  bacanya sebagai berikut: “Menegaskan, melanjutkan perhatian PBB sesuai tujuan
  10. Pada akhir paragrap pembukaan, menghilangkan kata-kata “Bank Pembangunan Asia dan”
  11. Menggantikan paragrap 1 yang berlaku sebagai berikut:

  12. “1. Menerima laporan Sekretaris-General dan perwakilannya  dalam usaha-usaha untuk memenuhi tanggungjawab  mereka di 

  13. Memasukan paragrap 2 yang baru berlaku sebagai berikut:

  14. Memutuskan bahwa Rakyat Irian Barat hendaknya diberikan kesempatan lebih lanjut, akhir tahun 1975 untuk melaksanakan pemilihan bebas sesuai dengan Perjanjian;”
  15. Menempatkan kembali,  paragrap 2 sebagai berikut:

“Menghargai beberapa bantuan yang disediakan melalui lembaga-lembaga PBB untuk menambah usaha-usaha pemerintah Indonesia demi  meningkatkan pembangunan ekonomi dan sosial di Irian  barat” (Lihat: United Nations General Assembly: A/L.576, 19 November 1969, Twenty-fourth session, Agenda item, 98).  

Dalam kaitan dengan pengungkapan rekayasa PEPERA 1969 ini, Dr. John Saltford dalam penelitiannya di Markas Besar PBB di New York, dengan Judul “ UNITED NATIONS INVOLVEMENT WITH THE ACT OF SELF-DETERMINATION IN WEST IRIAN ( INDONESIAN WEST NEW GUINEA) 1968 TO 1969” mengungkapkan dokumen-dokumen signifikan tentang pelaksanaan PEPERA 1969 yang tidak demokratis di Papua.

LERHAMKOT sebagai salah satu lembaga yang memperjuangkan nilai-nilai demokrasi dan hak-hak asasi manusia di Papua merasa bertanggungjawab untuk menyampaikan secara jujur kepada Bapak Presiden Republik Indonesia sebagai bahan pertimbangan dalam menanggapi tuntutan rakyat West Papua untuk menentukan nasib sendiri (self-determination).   LERHAMKOT tidak  ada kepentingan dengan tuntutan Papua Merdeka, melainkan bertanggungjawab dalam hal pendidikan demokrasi dan hak-hak asasi manusia.

Oleh karena itu, Lembaga Rekonsiliasi Hak-Hak Asasi Masyarakat Koteka (LERHAMKOT) PAPUA BARAT menyampaikan hasil penelitian Dr. John Saltford sebagai berikut:


Go up

 

A. PENDAHULUAN

 

Tulisan ini, berdasarkan sebagian besar atas klasifikasi dokumen PBB, mau melihat untuk menguji kembali peristiwa-peristiwa sekitar pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang diadakan di New Guinea Barat pada bulan Juli dan Agustus 1969. Secara khusus, saya ingin melihat peranan PBB dan apakah mempertimbangkan atau tidak, dalam memenuhi tanggungjawab terhadap orang Papua.

Pada dasarnya keterlibatan PBB di New Guinea Barat dimulai sejak Indonesia menjadi anggota komisi PBB tahun 1949.   Ini diadakan pada “Koferensi Meja Bundar” di Den Haag  yang menghasilkan Perjanjian peralihan pemerintahan dari Belanda kepada Indonesia yang dipimpin oleh Presiden Sukarno.

Selama perundingan-perundingan, Belanda bersikap keras menguasai pemerintahan atas New Guinea Barat, kedudukan ini dituduh oleh Indonesia sebagai kelanjutan penjajahan Belanda. [1][1]  Di Den Haag diperdebatkan bahwa orang Papua sedikit atau tidak ada hubungan dengan orang Asia Indonesia.  Mereka juga menuntut bahwa mereka hanya mengurus New Guinea Barat dari Jawa sebab mereka tidak mempertimbangkan pemisahan administrasi atas wilayah dengan hanya sedikit orang Belanda yang ada.  Meskipun demikian, Jakarta menuntut bahwa New Guinea Barat adalah bagian yang tak terpisahkan dari Indonesia. Pembicaraan selanjutnya diadakan pada bulan Desember 1950, tetapi tidak mencapai kesepakatan.  

Pada tahun 1957, Indonesia gagal mangajukan empat resolusi atas tuntutan mereka dalam Sidang Umum PBB.  Mereka sekarang kembali pada apa yang digambarkan John Reinhardt sebagai langkah ketiga dan terakhir pertikaian Irian Barat, suatu ketrampilan diplomasi campuran dan tekanan kekuatan militer.[2]  Pada tahun 1961, kampanye ini telah menjadi hal kepedulian pada pemilihan presiden baru J.F. Kennedy. Walaupun, bermusuhan dengan Sukarno, dia lebih siap daripada pendahulunya untuk mencari suatu penyelesaian tentang pertikaian.  Pengambil kebijakan Washington lebih prihatin tentang peningkatan dukungan Soviet secara besar-besaran dalam pembelanjaan peralatan militer.

 Howard Jones, Duta Besar Amerika di Jakarta, kemudian menulis: “Sukarno telah mengerti taktik kenyataan politik. Dia seorang guru yang menggambarkan dirinya dalam seorang pendatang dan menunggu seseorang untuk menolong dia. Dalam situasi ini, dengan bantuan negara Rusia, dia menyatakan perang. Itu bukan suatu gertakan.”[3]

Akhirnya Washington memutuskan bahwa jalan untuk menghindari perang terbuka antara Belanda dan Indonesia nampaknya tidak sesuai upaya persuasif dengan Belanda untuk menerima kompromi terlibat dalam peralihan pemerintahan kepada Indonesia, dihubungkan pada beberapa bentuk penentuan nasib sendiri. 

Seorang Pejabat resmi Amerika menulis pada bulan Februari 1962: “Saya tidak menyalahkan Belanda atas keraguan bahwa sudah mempunyai beberapa maksud membiarkan plebisit murni lima tahun atau dari sekarang.  Tetapi, hal yang penting adalah bahwa beberapa orang Indo berjanji yang mendasar untuk menyelamatkan muka Belanda. Kami harus mendapat mereka dan membawa itu sebagai yang terbaik yang mereka harapkan”.[4]

Akhirnya, di Den Haag dengan persuasif untuk menerima suatu penyelesaian dan pada tanggal 15 Agustus 1962, mereka menandatangani Perjanjian New York dengan Jakarta.[5]

Dalam pandangan Belanda, daerah Papua tidak diserahkan secara langsung kepada Indonesia.  Contoh, di bawah Perjanjian, administrasi sementara PBB, (UNTEA), United Nations Temporary Executive Authority) selama 7 (tujuh) bulan. Tidak ada waktu maksimal yang terbatas, tetapi dalam kenyataannya PBB ditarik pada tanggal 1 Mei 1963 secepatnya masa minimum.  Tidak ada kesempatan dalam perundingan-perundingan atau proses pengambilan keputusan orang Papua Barat dilibatkan”.[6]

Di bawah syarat Perjanjian New York 1962, administrasi PBB sementara ini hanya bagian pertama dari suatu proses yang ditetapkan untuk mendidik orang Papua untuk menentukan nasib sendiri.  

 

Go up

 

B.  SITUASI PADA TAHUN 1968

 

Pada bulan Agustus 1968, tim PBB kembali ke Papua, sekarang dinamakan Irian Barat, dipimpin oleh diplomat Bolivia Fernando Ortiz Sanz, tanggungjawab itu berada di bawah Perjanjian New York untuk “ membantu, menasihati, dan kerjasama” dalam pelaksanaan penentuan nasib sendiri yang direncanakan tahun berikutnya. Pada waktu tim Ortiz Sanz tiba, di Papua beberapa tahun telah mengalami peraturan orang Indonesia dan menghadapi masalah ekonomi dan politik.  

Peter Hastings, seorang dari dua wartawan Australia yang diijinkan berkunjung sejak 1963, telah memberikan penilaian yang memberatkan, walaupun dia mendukung atas pengawasan Indonesia. “Fakta yang sederhana ialah sejak Belanda berangkat, pemerintah Indonesia telah melakukan sedikit atau tidak ada apa-apa sampai tahun ini untuk membangun negeri dan memberikan orang-orang Papua beberapa proyek pembangunan ekonomi yang mendasar atau beberapa tingkat kerjasama nyata dalam bidang politik. Orang Papua merasa berlari cepat.”[7]

Penerangan Kedutaan Inggris dari Jakarta melaporkan bahwa mereka telah diberikan penjelasan singkat oleh konsulat resmi Amerika Serikat, Reynders, yang juga berkunjung ke Papua pada tahun 1968. Setelah kembali ke Jakarta pada akhir Maret, Reynders melaporkan bahwa Indonesia tidak mempunyai sumber ekonomi untuk pembangunan yang wajar di Irian Barat. Banyaknya komentar pada permasalahan yang dia tulis, semacam hitungan yang diminta untuk pembangunan Papua yang  wajar, dan kemauan tinggal, sama sekali melebihi maksud-maksud Indonesia”.[8]

Dia juga percaya bahwa Indonesia tidak mempunyai sumber ekonomi atau militer  dengan ancaman keamanan yang disikapi oleh “Papua Merdeka” OPM (Organisasi Papua Merdeka) Free Papua Movement).  Orang Indonesia telah melakukan dengan segala macam cara dari bom mereka dengan B-26s, dengan geranat, martir orang Papua. Kebrutalan dilakukan dari waktu ke waktu sebagai usaha penekanan  tidak berhasil.[9]

Bahkan orang Indonesia mengakui sendiri bahwa situasi di Irian Barat adalah genting. Dalam bulan Mei 1968, utusan kementerian Indonesia dipimpin oleh Sultan Yogyakarta mengadakan kunjungan untuk menilai situasi.  Pada waktu mereka kembali ke Jakarta, utusan menjelaskan kepada mass media atas keberhasilan mereka dalam berbagai masalah yang mereka telah identifikasi di Papua.  Dalam kenyataannya, mereka terkejut pada apa yang mereka lihat.  

Seorang Kedutaan Inggris, telegram dalam bulan Juli menginformasikan ke London bahwa: “Kunjungan adalah penting terutama dalam menyediakan anggota-anggota dengan bukti-bukti laporan dari tangan pertama tentang luasnya permasalahan ekonomi dan demonstrasi ketidakpopuleran karena kepemimpinan penguasa sipil dan militer di Papua.”[10]    

 

Go up

 

C.    KEKUATAN POSISI INDONESIA  

Perjanjian New York adalah suatu kesepakatan untuk “melaksanakan penentuan nasib sendiri” dan musyawarah dengan “dewan-dewan perwakilan” dalam prosedur-prosedur dan metode-metode yang “memastikan untuk menyatakan kehendak bebas penduduk Papua.” Tidak ada pokok kata-kata kritis “referendum” atau “plebisit” disebutkan.”[11]

Walaupun, Pasal XVII (17) Perjanjian New York menyatakan bahwa semua orang dewasa dari Papua yang memenuhi syarat dapat berpartisipasi dalam penentuan nasib sendiri,” dilaksanakan sesuai dengan praktek internasional.” Walaupun tidak ada definisi apakah maksud ini diberikan, satu kata sentral yang penting ketika mempertimbangkan setuju atau tidak, dalam memenuhi syarat-syarat Perjanjian. 

Suharto dengan sengaja mengambil keuntungan dari ketidakjelasan istilah dalam Perjanjian New York. Dia juga menyadari bahwa, dengan memungkinkan kekecualian China.[12] tidak  ada kekuatan utama terbaik melawan posisi mereka di Irian Barat. Sejak penandatanganan Perjanjian New York 1962, Washington menunjukkan sedikit tertarik tentang persoalan ini. Tampaknya menolak saran-saran oleh kedua negara Belanda dan Australia bahwa mereka hendaknya “prihatin diri mereka daripada lebih dekat” dalam hal penentuan nasib sendiri.”[13]

Bukti-bukti lebih lanjut posisi Amerika Serikat ini disampaikan oleh Edward D. Masters, di Departemen Negara Amerika Serikat. Dalam percakapan dengan Diplomat Inggris pada bulan Juni 1969, dia berkomentar bahwa Washington melihat sedikit manfaat dalam melibatkan “hal yang menyenangkan dapat diketahui” kehilangan kehendak baik mereka terhadap Jakarta tidak ada keuntungan.  Dia kemudian menambahkan “Departemen Negara mereka dihadapi dengan beberapa kritik dari senat tetapi itu tidak mungkin bertambah jumlah yang sangat besar.”[14]

Walaupun penindasan kekerasan Suharto dari Komunis orang Indonesia, Uni Soviet sebagain besar tidak tertarik kritik Jakarta untuk urusan Papua, khususnya mereka telah menjadi sekutu Indonesia sebagai kunci kampanye tentang Irian Barat. Ada beberapa tuduhan di Soviet dipublikasikan, Suharto, “menipu orang-orang Papua untuk kemerdekaan sejati”.[15]

Tetapi seorang Pejabat resmi Inggris, David F.B. Le Breton, menyatakan: “… ada tanda bahwa negara Komunis ingin memperbaiki hubungan mereka dengan Jakarta dan karena itu alasan mereka lebih senang tidak membuat sesuatu yang memperburuk hubungan mereka dengan Indonesia pada saat itu.”[16]

Pejabat resmi Inggris yang lain, I.J.M. Sutherland, berkomentar pada bulan April 1968: “Kekuatan posisi Indonesia dalam kenyataan bahwa … mereka harus tahu bahwa, bahkan jika ada protes tentang cara mereka konsultasi, tidak ada kekuatan lain berkeinginan untuk menaruh perhatian untuk menekan. …Saya mengerti bahwa pengungsian boleh mendapat dukungan dalam media Australia. Tetapi, saya tidak menduga pemerintah Amerika Serikat, Jepang, Belanda Australia meletakkan resiko ekonomi mereka dan hubungan politik dengan Indonesia kalau hal keterlibatan prinsip hubungan dengan jumlah sedikit orang-orang yang sangat primitif”.[17]

Tiga bulan kemudian pernyataan menggema di kantor Penerangan Luar Negeri Inggris: “Kenyataan yang jelas bahwa tidak ada penyelesaian lain daripada selama Indonesia memegang Irian Barat; tidak ada orang berpikir dalam syarat-syarat yang berbeda; dan tidak ada pemerintah yang memungkinkan untuk menuntut secara tulus selamanya.”[18] Sangat berarti, sikap ini oleh pemerintah Australia, hanya kekuatan Barat dengan beberapa sisa tertarik langsung dalam hal ini (New Guinea Australia membagi perbatasan dengan Irian Barat). Dalam bulan Mei 1968, seorang Diplomat Inggris, Donald Murray, melaporkan bahwa dari titik pandang Australia, lebih tepat pelaksanaan penentuan nasib sendiri dilaksanakan tahun depan lebih baik”.[19]

Di bawah syarat-syarat Perjanjian New York, jumlah ahli PBB tinggal di Papua diikuti pengambialihan orang Indonesia untuk “menasihati dan membantu penguasa dalam persiapan umum untuk pelaksanaan penentuan nasib sendiri. Ahli-ahli ini, beberapa tahun berpengalaman di Papua, kedatangan Ortiz Sanz  aset yang tidak terhingga nilainya. Tetapi, sayang sekali, untuk dia, bagian Perjanjian New York  tidak pernah dipenuhi dan dia telah berkomentar dalam laporannya kepada Sidang Umum PBB bulan Novemner 1969.”[20]  

Alasan untuk ini Jakarta tidak memberikan jawaban kepada Sekretaris-Umum U. Thant atas proposal awal karena tugas mereka, dan dia melaporkan “tidak bermaksud untuk membuat terlalalu banyak.”[21]

Go up

D.    KEDATANGAN ORTIZ SANZ DI PAPUA  

 

Pada tanggal 23 Agustus 1968, Ortiz Sanz tiba di Irian Barat dan memulai perjalanannya 10 hari 3000 mil ke daerah melalui pesawat. Yang menemani dia seluruh tim 8 Pejabat resmi Indonesia yang dipimpin oleh Sudjarwo Tjondronegoro, Perwakilan Jakarta untuk Irian Barat. Setelah kembalinya, Ortiz Sanz menulis dalam suatu laporan untuk Sekretaris Umum, U,Thant yang dia memuji pekerjaan Indonesia: “Pemerintah harus diberikan kredit atas kemajuan dalam pendidikan dasar, proses pembauran melalui pemakaian bahasa umum (Indonesia), pembangunan sekolah dan menunjukkan usaha-usaha pergaulan yang bersahabat.”[22]  Dia juga menambahkan: 

“Kita mengetahui bahwa prinsip “satu orang satu suara” tidak dapat dilaksanakan di semua daerah Papua, karena kurangnya pengalaman luar dari penduduk. … Kita juga mengakui bahwa pemerintah Indonesia dimana memperlihatkan ketidakpastian tentang hasil-hasil musyawarah, akan mencoba, dengan semua maksud-maksud pembagian itu, mengurangi jumlah orang, perwakilan-perwakilan, dan lembaga-lembaga musyawarah.”[23]  

Untuk menjawab gerakan Indonesia ini, Ortiz Sanz berjanji bahwa dia berusaha untuk memperluas jumlah orang-orang Papua dilibatkan untuk mengambil keputusan, dalam kata-katanya, PBB hendak membuktikan bahwa mereka sungguh-sungguh mencoba “menyediakan demokrasi sebagai dasar yang memungkinkan untuk memastikan kehendak nyata orang Papua.”[24]  

 Walaupun Ortiz Sanz menghabiskan sangat sedikit waktu di Papua selama 1968, orang-orang Indonesia merasa tidak enak (merasa tidak aman) tentang kehadiran Ortiz Sanz di Papua.  Dalam bulan Desember, orang Indonesia menuntut atas kepemimpinannya di New York bahwa dia telah menjadi focus perhatian orang-orang Papua dan menyebabkan “kemenangan khusus” dan menghalangi.  Itu benar bahwa, walaupun secara tetap diikuti oleh Pejabat resmi Indonesia, Ortiz Sanz didekati oleh sedikitnya 26 orang Papua yang mengatur untuk menyampaikan pernyataan-pernyataan dan surat-surat, hampir semuanya menuduh Indonesia dan menyebutkan untuk referendum secara jujur di Papua.

Pentingnya, Jakarta juga menjadi tujuan PBB untuk mengutus 50 orang staf ke Irian Barat. Jumlah ini kemudian dikurangi 25 orang, tetapi akhirnya hanya 16 orang anggota PBB ditugaskan, dan ini termasuk staf administrasi. Itu memperlihatkan tindakan yang tidak masuk akal bahwa PBB menyetujui untuk membatasi jumlah Pejabat PBB menjadi kecil, sebagaimana yang digambarkan. Jikalau dibandingkan dengan Misi PBB untuk mengatur dan mengawasi referendum di Timor-Timur  Agustus 1999 berjumlah 1000 orang termasuk beberapa ratus Polisi dan ratusan pemilih resmi.  Sementara tanggungjawab  tim Ortiz Sanz lebih banyak dibatasi hanya “menasihati, membantu dan partisipasi” dalam pelaksanaan penentuan nasib sendiri, itu dilaksanakan di Papua lebih lama ukurannya daripada Timor-Timur. Kedua wilayah melaksanakan penentuan nasib sendiri, tetapi perbandingan demonstrasi besar sekali perbedaan antara usaha murni untuk mengawasi referendum secara demokrasi dan yang tidak jujur.   

Dalam diskusi awalnya tentang metode yang dipakai untuk pelaksanaan penentuan nasib sendiri, Ortiz Sanz menyatakan kepada orang-orang Indonesia bahwa secara resmi dia hanya menyarankan sistem yang diterima umum “ one man one vote,” dia menyediakan untuk disetujui suatu sistem “campuran”. Dengan ini dia bermaksud bahwa pemilihan di daerah-daerah kota diijinkan memilih secara langsung, sementara rakyat di daerah pedalaman diajarkan beberapa bentuk “musyawarah bersama”. Dalam hal ini dia mengumumkan, itu menjadi syarat minimum untuk memuaskan perhatian umum dunia”.[25]

Itu tidak mengejutkan bahwa Indonesia mengabaikan nasihatnya, sejak ada bukti orang Belanda Senior dan Pejabat resmi PBB telah menyetujui dengan Jakarta awal 1963 tentang metode untuk penentuan nasib sendiri, tentang tidak melibatkan pemilihan langsung oleh orang Papua. Dalam bulan Mei 1963, Kedutaan Amerika di Australia meneruskan informasi ke Canberra yang telah diterima dari orang-orang Amerika: “Orang-orang Belanda dan Indonesia rupanya telah menyatakan satu sama lain tentang bentuk pelaksanaan penentuan nasib sendiri. Belanda rupanya menyediakan untuk menyetujui pelaksanaan penentuan nasib sendiri dengan beberapa bentuk lain daripada plebisit. .. Narasimhan, Ketua Kabinet orang India menyatakan bahwa pelaksanaan penentuan nasib sendiri diambil dalam bentuk konsultasi dengan dewan-dewan lokal dan perwakilan-perwakilan kampung.”[26]

Satu tahun kemudian, Jose Rolz-Bennett, seorang Guatemala dibawah Sekretaris-Umum untuk urusan Politik luar negeri, membuat saran yang sama kepada orang-orang Indonesia selama kunjungan ke Irian Barat dan Indonesia.”[27]  Dalam hal ini kebebasan berpolitik, Indonesia secara khusus berkewajiban dibawah Pasal XX (20) Perjanjian New York, untuk “menjamin penuh hak-hak, termasuk hak bebas berbicara, kebebasan bergerak dan kebebasan berkumpul penduduk asli Papua.”  Mengomentari atas ini, Ortiz Sanz memperingatkan Jakarta bahwa tanpa hak-hak dan kebebasan ini, masyarakat internasional tidak puas bahwa, “keadilan demokrasi yang benar dan jujur telah dilakukan oleh orang-orang Papua”.[28]   Pada waktu yang sama, dia meyakinkan Sudjarwo bahwa Indonesia “mempunyai hak mutlak untuk mengambil semua langkah-langkah pertimbangan untuk mempertahankan aturan intern.”[29]

Dalam kenyataan, dibawah Perjanjian New York, Indonesia tidak mempunyai hak mutlak untuk melakukan pemilihan, jikalau, dengan tindakan itu, merugikan hak-hak dan kebebasan orang-orang Papua. Dalam menjawab, Sudjarwo berterima kasih kepada Ortiz Sanz atas tidak menyatakan tindakan-tindakan keamanan Indonesia, menambahkan bahwa hasutan-hasutan dan kesulitan-kesulitan ekonomi dan “banyak orang Papua berpikiran sederhana dengan mudah mendapat pengaruh dengan jenis propaganda dan hasutan-hasutan.”[30]

Apakah nasionalisme atau tidak adalah suatu syarat yang tidak benar untuk melengkapi aspirasi-aspirasi politik tunggal masyarakat asli tradisional seperti Irian Barat, laporan-laporan oleh berbagai pengunjung asing secara konsisten dalam kesimpulan mereka bahwa jumlah mayoritas orang-orang Papua tidak mau diatur oleh Jakarta. 

Bukti contoh pertama: “seorang wartawan Inggris, Garth Alexander, berkunjung ke Papua awal tahun 1968 dan penjelasan singkat resmi setelah kembalinya: Mungkin hampir semua gambaran laporannya Alexander lebih jauh mengkonfirmasikan apa yang kita katakan sebelumnya, bahwa mayoritas orang Irian Barat … sangat jauh dari keinginan untuk menjadi bagian dengan Republik Indonesia.  Semua orang yang dia berbicara dengan mereka, dan dia bertemu diantara 300 atau 400 orang, tak satupun setuju dalam menjelaskan ini. Kesan dia adalah bahwa orang-orang Papua benci orang-orang Indonesia, barangkali  sebagai akibat dimana orang-orang Indonesia memandang rendah dan meremehkan orang-orang Papua.”[31]

Bukti contoh kedua, bulan Juli 1969 dilaporkan oleh Jack W. Lydman, Duta Besar Amerika Serikat, yang menyatakan kepada anggota Tim PBB Ortiz Sanz secara tertutup mengakui bahwa 95% orang-orang Papua mendukung gerakan kemerdekaan Papua.”[32]

Pada akhir tahun 1968, Ortiz Sanz  dan anggota Timnya sibuk melakukan perjalanan kedua di Irian Barat selama 3 minggu.  Waktu kembalinya ke Jakarta, dia melaporkan kepada pimpinannya bahwa mereka diikuti kemana saja oleh pejabat resmi orang-orang Indonesia, dan sebagai akibatnya, dia kesulitan untuk kontak atau berkomunikasi secara bebas dengan penduduk lokal (asli). Walaupun ini, dia menyadari perasaan anti-Indonesia, tetapi laporannya menunjukkan bahwa dia ingin mengabaikan perlawanan orang-orang Papua kepada Indonesia.  Tentu saja, ketika kesempatan tiba, itu menjadi sangat sulit, sungguh-sungguh, memperkirakan kenyataan yang penting anti-Indonesia, seperti Anda sadari sangat baik, hanya sangat meremehkan presentase kemampuan penduduk atau ketertarikan dalam mengajak beberapa gerakan politik atau bahkan pikiran-pikiran orang-orang Papua.”[33]

Kesimpulan laporannya, dia menambahkan: “Perjalanan telah dikonfirmasikan  kesan awalnya … bahwa pelaksanaan ketentuan-ketentuan Perjanjian New York yang berhubungan penentuan nasib sendiri “sesuai praktek internasional” adalah sungguh-sungguh tidak memungkinkan.”[34]  Dalam menjawab, dibawah Sekretaris Umum, Rolz-Bennett menyetujui dan menulis bahwa “kurangnya kemajuan penduduk, semuanya menjadi jelas.”[35] Kemauan ini oleh Sekretariat PBB memperbanyak jaminan minimum yang berisi dalam Perjanjian New York  yang mengarah pada seluruh keterlibatan Irian Barat.

Pengaruh Washington diberikan kepada PBB adalah tugas janggal atas pengawasan peralihan Irian Barat dari satu kuasa asing ke kuasa asing yang lain. Sebagaimana Terrence Markin berkomentar:

“Orang-orang Amerika, yang mencoba berulang-ulang meyakinkan Belanda (sebelum penyelesaian) … bahwa mereka mau “berdiri pada prinsip-prinsip” dengan menuntut pada proses penentuan nasib sendiri bahwa “ suatu kenyataan dan bukan penghinaan” memulai segera sesudah menandatangi Perjanjian New York untuk memperdebatkan tanggungjawab untuk meyakinkan pelaksanaan yang sungguh-sungguh jujur dengan PBB dan Belanda. Sekitar waktu yang sama Belanda kehilangan banyak kehendak mereka untuk menekan masalah ini …. Dan dengan tak seorangpun Amerika Serikat maupun Belanda menekan masalah ini, PBB sedikit terdorong untuk melakukan banyak.”[36]

Pada awal 1969 diputuskan dengan penyerahan saudara-saudara Mandatjan, pemimpin-pemimpin pejuang dari negeri Timur jauh yang telah melawan orang-orang Indonesia selama 2 tahun. Pada pertengahan Januari, bagaimanapun, perlawanan di daerah meletus lagi sekitar penduduk Arfak bangkit dibawah pemimpin baru Frits Awom.  Dalam menanggapi ini, kekuatan Jakarta mengirim dua tambahan Batalion Infantri ke Arfak dari Sulawesi Selatan.[37]

Sementara itu, pada pertemuan kemudian di New York pada bulan Januari Sudjarwo melaporkan Sekretaris-Umum bahwa Jakarta telah menolak rencana Ortiz Sanz untuk mengangkat “sistem campuran” untuk pelaksanaan penentuan nasib sendiri.[38]  Tetapi, Sekretariat PBB menunjukkan prioritas persetujuan dengan Jakarta tahun 1963 untuk menyalurkan dengan beberapa petunjuk pemilihan langsung yang rencananya dengan sederhana sebagai suatu langkah umum yang mendemonstrasikan usaha-usaha PBB untuk meyakinkan keterlibataan demokrasi dalam pelaksanaan penentuan nasib sendiri. Suatu alternatif yang memungkinkan adalah bahwa Ortiz Sanz tidak sepenuhnya memperkenalkan partisipasi orang-orang Papua asli dapat diambil tanpa konsultasi dengan U. Thant. Fakta-fakta ini datang dari surat kabar Indonesia bulan Juli 1969 yang menyatakan bahwa Sudjarwo marah untuk menolak “metode campuran” adalah idenya Ortiz Sanz dan bukan asli dalam Perjanjian New York.[39]

Skenario ini mendukung posisi yang berargumen bahwa Ortiz Sanz lebih mengorbankan gerakan-gerakan di New York dan Jakarta, lebih baik daripada kerjasama ejekan. Sebagaimana Sir Patrick Shaw, Duta Besar Australia untuk PBB, berkomentar pada bulan April 1968 sesudah bertemu dengan dia, “ Ortiz Sanz adalah seorang yang berkehendak baik dan berintegritas, tetapi saya tidak yakin bahwa dia mempunyai banyak konsep semacam lingkungan dimana dia akan menemukan dirinya bekerja di Irian Barat.[40]

Dalam pertemuan yang diadakan antara Ortiz Sanz dan orang-orang Indonesia selama bulan Februari, Sudjarwo mengarisbawahi suatu metode telah diputuskan pilihan mereka untuk memperluas delapan dewan daerah, sudah ada di daerah, dan dibentuk Sidang Khusus yang kemudian tiap-tiap dewan mencapai satu keputusan bersama apakah tinggal dengan Indonesia atau tidak.[41]

Keberadaan dewan-dewan daerah ini telah diangkat oleh Jakarta tahun 1963, dan anggota mereka diangkat oleh penguasa. Ortiz Sanz dapat melakukan sedikit tetapi permintaan yang  diberikan  tentang semua keberadaan penasihat untuk menolong dia menentukan tingkat apakah mereka benar mewakili penduduk. Sudjarwo menyetujui, tetapi tidak ada apa-apanya yang ditangani.[42]  Segera sesudah itu, Sudjarwo memberikan Ortiz Sanz berita lebih lanjut proses pemilihan pengangkatan anggota-anggota sidang tambahan yang direncanakan satu kelompok dipilih oleh keberadaan politik, sosial dan budaya yang diakui. Kelompok kedua, keberadaan pemimpin adat yang dipilih oleh beradaan anggota-anggota dewan, dan kelompok ketiga dipilih oleh rakyat sendiri.[43]

Sebagai hasil ini,  diketahui bahwa   dalam pemilihan mengabaikan  kelompok ketiga. Dalam praktek, metode pemilihan anggota tambahan artinya bahwa  orang-orang penguasa Indonesia dan keberadaan orang-orang Indonesia mengangkat dewan-dewan mengawasi secara ketat seluruh proses pemilihan sampai akhir” sidang-sidang musyawarah”. Sebagaimana Ortiz Sanz menulis dalam laporan akhirnya, Sudjarwo telah menyampaikan kepadanya, “ Banyak orang Papua kemungkinan … tidak setuju bersatu dengan Republik Indonesia, keberadaannya … tidak diorganisir dalam keberadaan kelompok politik resmi atau partai-partai di Irian Barat.”[44]

Go up

   
© Copyright 1999-2001. All rights reserved. Contact: Tribal_WEBMASTER   by The Diary of OPM