4 Word Version
4 Cover & Preface
4 PENDAHULUAN  
4 A. HASIL PEPERA 1969 DALAM DOKUMEN PBB ANNEX I, A/7723.  
4 B.  HASIL PEPERA 1969 DITOLAK OLEH BEBERAPA NEGARA  ANGGOTA PBB
4 C. RESOLUSI PBB TENTANG HASIL PEPERA 1969
4 A. PENDAHULUANd (Tulisan John Saltford)
4 B.  SITUASI PADA TAHUN 1968  
4 C.    KEKUATAN POSISI INDONESIA
4 D.    KEDATANGAN ORTIZ SANZ DI PAPUA  
4 E.  PERNYATAAN- PERNYATAAN (PETISI) ORANG PAPUA
4 G. PROTES ORANG PAPUA DAN INDONESIA MELANJUTKAN PERSIAPAN
4 H.  SEMUANYA KEADAAN BAIK[54]
4 I.  PERLAWANAN
4 J.  TEKANAN PBB TERHADAP INDONESIA
4 K.    KERJASAMA PBB DAN ORANG INDONESIA  
4 L.  PELAKSANAAN PEPERA
4 M.  AKIBAT- AKIBATNYA  
4 N.    KESIMPULAN
4 SOLUSI YANG DIUSULKAN:
4 Endnotes
 

 

M.  AKIBAT-AKIBATNYA

 

Pada 17 Juli 1969, Diplomat Inggris dengan misi United Kingdom  untuk  PBB di New York menyimpulkan opini internasional. Dia mengakui bahwa beberapa negara Afrika tidak senang dengan pelaksanaan penentuan nasib sendiri, tetapi disimpulkan: Kesan kita yang kuat adalah bahwa mayoritas besar anggota PBB ingin melihat pertanyaan ini dijelaskan dengan menanggapi pertengkaran secepat mungkin …negara-negara Arab dan Islam yang lain dengan pasti mendukung Indonesia dengan kuat. Walaupun, ada pengakuan umum, bahkan sesuai pengakuan Belanda, bagian dari moralitas orang-orang Skandinavia, bahwa tidak ada alternatif peranan Indonesia. Akhirnya pengaruh sekretariat  menjadi penting, menunjukan kekuatiran juga tentang persoalan.“[86]  

Tiga bulan kemudian, bulan November 1969, Ortiz Sanz menyampaikan laporan akhir kepada Sidang Umum PBB. Dalam kesimpulan-kesimpulannya, dia menyatakan keprihatinan bahwa jaminan kebebasan politik dalam pelaksanaan penentuan nasib sendiri tidak dipenuhi. Dia juga mengakui bahwa “dengan pasti unsur-unsur penduduk setuju merdeka. Namun demikian dia mengumumkan bahwa dengan adanya keterbatasan, ditentukan dengan keadaan geografis, dan situasi umum di Papua, pelaksanaan pemilihan bebas di daerah di Irian Barat sesuai dengan praktek Indonesia, yang mana perwakilan-perwakilan penduduk menyatakan keinginan mereka tinggal dengan Indonesia.”[87]

Secara teknis pernyataan ini tepat, jika dengan “praktek Indonesia” dia bermaksud pelaksanaan secara total tanpa isi demokrasi yang jujur. Tetapi, New York Agreement mengisyaratkan bahwa penentuan nasib sendiri orang-orang Papua diadakan sesuai dengan. “praktek internasional”.Ghana, dan beberapa negara Afrika lain pada pertemuan bulan November, menuduh pelaksanaan pasti tidak demokratis. Mereka juga menyebutkan untuk pelaksanaan patut diadakan di Papua tahun 1975, berdasarkan Perjanjian New York yang tidak dilaksanakan secara wajar. Walaupun amandemen ini menjadi pokok resolusi tentang Irian Barat, dikalahkan oleh 60 suara banding 15, dengan 39 negara tidak memberikan suara. Akhirnya, penentuan suara 84 suara dengan 30 negara tidak memberikan suara, dengan  “menerima” laporan sekretaris umum dan laporan-laporan Ortiz Sanz.“[88]

 

Go up

 

N.    KESIMPULAN

 

Orang-orang Papua mempunyai hak untuk merdeka adalah  dengan argumentasi-argumentasi dan perlawanan. Sebagaimana Henderson  menulis tahun 1973, banyak negara-negara  merdeka berpenduduk minoritas yang mengaspirasikan untuk kemerdekaan sendiri. Tetapi jikalau seperti separatis didorong: … Pembubaran negara-negara secara etnik tidak terhitung, yang pokoknya menuntut untuk mendapat mandat dari sekutu kolonial. Sebagai akibat-akibat ini untuk keamanan sistim internasional tidak terhitung.“[89]

Dipihak lain, Mullerson berkomentar: “Ketika kelompok minoritas dilawan dengan tindakan diskriminasi dan identitas mereka ditindas oleh kebijakan mayoritas kelompok minoritas tidak bekerja bersama-sama dengan penduduk dan kelompok minoritas memilih penentuan nasip sendiri. Berarti bahwa kelompok minoritas menyatakan hak untuk penentuan nasib sendiri bukan dalam masyarakat seluruhnya, bersama dengan penduduk, tetapi hanya memisahkan diri. “[90].

Akhirnya dalam tanggapan penyelidikan oleh U. Thant pada aspek-aspek hukum hak penentuan nasib sendiri orang-orang Papua, penasihat hukum  PBB menjawab dalam bulan Januari 1962:

 “…….sejak Presiden Wilson menyatakan prinsip penentuan nasib sendiri pada tahun 1918, timbulnya anggapan kuat dalam menyetujui penentuan nasib sendiri dalam keadaan seperti New Guinea Barat berdasarkan keinginan rakyat Papua, tidak menghargai kedudukan hukum kepentingan negara lain untuk bertanya. Sementara fakta-fakta lain juga diambil,  dengan memperlihatkan suatu pengakuan pertumbuhan kesadaran praktis  yang berkeinginan penduduk lokal patut menjadi yang tertinggi.“[91]  

 Tujuan tulisan ini, walaupun, tidak mendiskusikan untuk …..penentuan nasib sendiri orang-orang Papua sebab hal ini  dengan jelas diakui oleh Belanda dan Indonesia ketika mereka menandatangani Perjanjian New York 1962, sekretaris PBB mengambil tanggung jawab untuk menjamin bahwa Perjanjian New York akan dipenuhi secara wajar contohnya, perhatiannya untuk menentukan: pertama, apakah seluruh Perjanjian New York dilaksanakan secara wajar, dan kedua, untuk menyampaikan peranan PBB dalam pelaksanaan Perjanjian New York.  

Saya berpendapat bahwa bagian pertama ini tidak wajib mempelajari secara mendalam untuk mencapai pada kesimpulan yang tepat. Pelaksanaan laporan resmi secara singkat bulan November 1969 semua itu dibutuhkan suatu kesimpulan bahwa Perjanjian New York tidak dilaksanakan. Di bawah syarat-syarat ini, Belanda, Indonesia dan PBB berkewajiban untuk melindungi hak-hak politik dan kebebasan orang-orang Papua, dan menjamin bahwa pelaksanaan penentuan nasib sendiri, sesuai dengan praktek internasional. Pada kedua pokok ini, tiga partai gagal, mereka dengan sengaja sejak dalam penandatanganan Perjanjian New York tidak pernah melibatkan orang-orang Papua untuk menentukan nasib sendiri  secara jujur.  

PBB dalam melaksanakan Perjanjian, itu jelas bahwa seluruh prioritas Sekretaris  menjamin bahwa New Guinea Barat diakui menjadi bagian Indonesia dengan lawan dan gangguan minimum. Peran ini diorganisir oleh orang-orang Amerika tahun 1962, dan U. Thant melihat tidak ada alasan untuk tidak tunduk. Itu adalah politik perang dingin, dan hak-hak orang Papua dihitung tidak ada apa-apanya. Itu benar-benar menjadi luar biasa jikalau keluar dari kebijakan lain.  

Untuk memenuhi tugas ini, Sekretaris PBB membiarkan gangguan dan tekanan-tekanan orang-orang Indonesia terhadap orang-orang Papua selama pelaksanaan administrasi sementara PBB di Papua. Tak lama sesudah itu, kerjasama Belanda dan orang-orang Indonesia dalam menyetujui secara rahasia untuk bebas menggunakan beberapa sistem pemilihan langsung untuk penentuan nasib sendiri orang-orang Papua. Bertepatan dengan tahun pelaksanaan penentuan pendapat, tujuan Sekretaris untuk mengurangi potensi kritik internasional dengan  jaminan memperlihatkan tingkat yang memuaskan partisipasi orang-orang Papua, sementara menerima hasil yang diinginkan. Untuk mencapai ini mereka telah membuat sejumlah nasihat kepada Jakarta. “Metode campuran” yang diusulkan Ortiz Sanz adalah salah satu contoh (seperti yang disebutkan dahulu, tidak ada kepastian seperti rencana asli; itu boleh atau tidak asli yang direncanakan Ortiz Sanz). Yang lain mereka berusaha untuk meyakinkan bahwa  beberapa orang Papua dilibatkan dalam proses pemilihan akhir untuk penambahan perwakilan dewan-dewan. Keduanya, U,Thant dan Ortiz Sanz, menekankan baik secara terturtup maupun di depan umum, mereka peduli bahwa ada beberapa demensi demokrasi untuk pemilihan ini. Laporan akhir Sekretaris Umum, banyak dibuat atas persetujuan Jakarta untuk mencapai pemilihan-pemilihan sehat di beberapa daerah yang tidak dihadiri oleh pejabat resmi PBB.  

Dalam kenyataannya, walaupun, ini tidak ada apa-apanya lebih daripada bukti isyarat, dan dapat menyimpulkan bahwa tidak ada kerjasama yang jujur oleh rakyat dalam proses pemilihan ini. Pada akhir keputusan oleh 1.022 untuk tinggal dengan Indonesia sebagai suatu penghinaan usaha-usaha PBB, walaupun menunjukkan usaha akhir oleh Rolz-Bennett, sesuai dengan Markin, secara rahasia mendesak Jakarta untuk melaporkan beberapa pemungutan suara yang negatif, “untuk memberikan hasil terlihat resmi.”[92] Bahwa kurangnya perhatian internasional dalam pelaksanaan  mereka gagal sebagian besar menimpang pada waktu itu.  

Dengan menyatakan bahwa orang-orang Indonesia, mengabaikan rekomendasi-rekomendasi mereka dalam hal ini, PBB memilih untuk berkerjasama dengan Jakarta dalam usaha-usaha untuk melumpuhkan beberapa kritik internasional tentang cara referendum yang diadakan di Irian Barat. Dalam usaha ini mereka dibantu oleh negara-negara termasuk Belanda, Australia, United Kingdom. Negara-negara ini telah mengadakan lobby secara rahasia dengan negara-negara lain , khususnya dalam melihat kemungkinan untuk menyalahkan atau menolak hasil.  Lebih lanjut, Ortiz Sanz menyatakan dalam laporannya kepada Sidang Umum PBB bahwa mayoritas  pernyataan dia menerima dari orang-orang Papua pro-Indonesia; dia telah membuat pernyataan tegas ini walaupun kenyataannya bahwa dia telah mengetahui itu bohong (tidak benar).   

Pada akhirnya, seseorang dapat menyatakan bahwa tugas-tugas Ortiz Sanz tidak dihargai, sejak dia dituduh oleh media Indonesia sebagai seorang simpatisan (pengagum) orang-orang Papua, dan dikritik oleh anggota-anggota diplomat Barat atas sifat ketidakberaniannya dalam melindungi orang-orang Papua. Sampai hari ini bagaimanapun, dia mempertahankan bahwa  dilaksanakan  dengan demokratis mungkin dan itu hasil akhir “bijaksana dan pantas.”[93]  

Kesimpulan, partisipasi aktif PBB dalam system di bawah ketentuan Perjanjian New York, tetapi tindakan-tindakan itu atas inisiatif dan didukung oleh Washington, Jakarta, dan Den Haag.  Dalam melaksanakannya, U. Thant dan Sekretariatan PBB membiarkan PBB untuk melibatkan diri dalam proses yang tidak jujur dengan sengaja menipu hak-hak asasi dan hak-hak politik orang Papua.  

 Pada bulan 10 Desember 1999, Menteri Luar Negeri Belanda, Mr. Jozias Van Aartsen mengumumkan bahwa meninjau kembali keadaan sejarah seputar pelaksanaan penentuan pendapat rakyat Papua. Van Middelkoop, the MP yang dalam proposalnya menjawab” … akhirnya kita dapat melihat orang-orang Papua langsung dengan mata.”[94]  Itu tinggal untuk melihat apakah PBB akan setuju untuk bergabung dengan Belanda untuk kembali lagi khusus episode masa lalu ini.  

Go up

 

SOLUSI YANG DIUSULKAN:

 

Untuk menyelesaikan persoalan rakyat Papua,  solusi yang paling relevan adalah win-win solution (penyelesaian menang-menang).  Win-win solution adalah penyelesaian yang sangat bermarbat, berbobot, terhormat dan simpatik dalam menunjung tinggi semangat dan nilai demokrasi dan hak-hak asasi sesama manusia. 

  1. Mengingat perkembangan era keterbukaan dewasa ini, tidak ada sesuatu yang akan tersembunyi;

  2. Yang terpenting adalah demi mengaja kredibitas dan integritas bangsa Indonesia di mata masyarakat internasional. 

    Karena dokumen-dokumen tentang kesalahan sejarah PEPERA 1969 telah  beredar di seluruh belahan bumi;
  3. Oleh karena itu, LERHAMKOT mengusulkan tiga langkah efektif untuk menyelamatkan reputasi bangsa Indonesia dimata masyarakat internasional adalah sebagai berikut:

a.  Dialog Nasional;

b.  Dialog Internasional; dan

c.   Review hasil PEPERA 1969.


 

Papua, 27 Juni 2001

Tim Kerja
Socratez Sofyan Yoman (Direktur)

Ismael Roby Silak, SH (Wakil Direktur)

Gerad Pagabol (Sekretaris Eksekutif)

Go up

 

Endnotes


[1] Lihat: Memo of a conversation in Washington between William Lacy (Assistant Chief of Staff Southeast Asian Affairs), Jacob Beam (American Consul General designate at Batavia), and Soedjatmoko (representative of the Indonesian Republic), September 14, 1949, in US Foreign Relations 1949, vol. VII, Indonesia (Washington, DO Departement of State Printing Office).

[2] Lihat: John Reinhardt, Foreign Policy and National Integration: The Case of Indonesia. Monograph Series no.17, (New Haven: Yale University South East Asian Studies, 1971), p. 67.

[3] Lihat:  Howard P. Jones, Indonesia the Possible Dream (New York: Harcourt Brace Jovanovich, 1971), p. 202.

[4] Lihat: Robert Komer, National Security Council Staff to C. Kaysen, presidential assistant for National Security Affairs, February 2, 1962, in US Foreign Relations 1961-1963, ed. Ed. Keefer, vol. XXIII, Southeast Asia (Washington, DC: Dept. of State Printing Office, 1994), p. 512.

[5] Lihat: Terrence Markin, The West New Guinea Dispute. How the Kennedy Administration Resolved that ‘Other’ Southeast Asian Conflict” (PhD dissertation, Johns Hopkins University, 1966).

[6] Lihat: John Saltford, “Subjects of the Secretary-General West New Guinea 1962 to 1963,”  Pacific Islands Monthly (Fiji, January 2000: 48-49.

[7] Lihat: Peter Hastings, “West Irian. A Ticking Time Bomb,” in Australian, August 5, 1968.

[8] Lihat: Report of a conversation between Reynders, US Embassy, Jakarta, and Ian Morgan, British Embassy, Jakarta, April 9, 1968. Public Record Office (hereafter PRO) UK. FCO 15/162. DH1/7.

[9] Lihat: ibid

[10] Lihat : J.M. Sutherland, British Embassy, Jakarta, to Donald Murray, Foreign Office Southeast Asian Departement (SEAD), July 2, 1968. PRO: FCO 15/189 DH1/7

[11]  Lihat : New York Agreement, August 15, 1962. Article XVIII.

[12] Lihat : US Jakarta consular official Reynders believed that the Free Papua Movement (OPM) could probably get arms from Communist China if necessary. Quoted in Morgan, April 1968. PRO: FCO 24/448 (FWD1/4).

[13]  Lihat: Information given by La Porta, First Secretary US Embassy, Jakarta, to Alan Mason, British Embassy, Jakarta. Contained in a letter from mason to David F.B. Le Breton, South West Pacific Department (SWPD) of the British Foreign Office, June 10, 1969. PRO:FCO 24/448 (FWD 1/4). 

[14]  Lihat: P.R. Spendlove, British Embassy, Washington, to K. Hamylon-Jones, SEAT Foreign Office, June 10, 1969. PRO: FCO, 24/448.

[15]  Lihat: V. Kremenyuk, “Referendum in West Irian,” International Affairs (Moscow, January 1969): 93. Quoted in Van der Kroef, “Indonesia and West New Guinea,” Orbis (Quarterly Journal of World Affairs. Foreign Policy Research Institute, University of Fennsylvania, Philadelphia, PA) XIV, 2 Summer 1970): 386.

[16] Lihat: D.F.B. Le Breton to Richard Neilson, British High Commission, Canberra, July 17, 1969. PRO. FCO 24/448: Sir Patrick Shaw, Australian Ambassador to the UN, New York, to Department of External Relations, Canberra, September 4, 1969. National Archives of Australia, Canberra (hereafter NAA).  Extracts of early release documents kindly given to author by Anthony Balmain, SBS Television, Australia.

[17]  Lihat: J.M. Sutherland to D. Murray, “Foreign Office Southeast Asian Departement, April 30, 1968. PRO: FCO 15/162 DH1/7.

[18] Lihat: D. Murray, Foreign Office Southeast Asian Department, July 26, 1968. PRO: FCO N/162 DH1/7.

[19] Lihat: D.J. Wyatt, British High Commission, Canberra, to D. Murray, Foreign Office Southeast Asian Department, May 25, 1968. PRO: FCO 15/162 DH1/7.

[20]  Lihat: United Nations General Assembly Official Records. Agenda Item 98, Annexes, 24 Session: “Agreement between the Republic of Indonesia and the Kingdom of the Netherlands concerning West New Guinea (West Irian)”: Report by the Secretary-General regarding the Act of  Self-Determination in West Irian. Document 7723 (November 6, 1969), Annex I, report by the Representative of the Secretary-General in West Irian, Paragraph 11.

[21] Lihat: Memo from D. Hay, Australian Mission to the UN, to Department Extenal Affairs, June 18, 1964. NAA: A1 838/280, 3036/6/1pt.83.

[22]  Lihat : Ortiz Sanz to U. Thant, September 7, 1968. UN Archives, New York (hereafter UN), Series 100, Box 1, File 3.

[23] ibid

[24] ibid

[25]  Lihat:  Ortiz Sanz to Indonesian Ambassador Sudjarwo Tjondronegoro, November 21, 1968. UN: Series 100, Box 1, File 5.

[26] Lihat: Australian Embassy, Washington, to Departemen of External Affairs, May 21, 1963. NAA: A1838/280, 3036/6/1 pt.83.

[27] Lihat: Australian Embassy, Jakarta, to Departement of External Affairs, June12, 1964; Memo from Australian Mission to the UN to Department of External Affairs, June 16, 1964. NAA: A1838/280, 3036/6/1 pt. 83.

[28] Lihat: United Nations General Assembly Official Records. Agenda Item 98, Annexes, 24 Session: “Agreement Between the Republic of Indonesia and the Kingdom of the Netherlands concerning West New Guinea (West Irian)”: Report by the Secretary-General regarding the Act of Self-Determination in West Irian.  Document A/7723 (November 6, 1969) Annex I report by the Representative of the Secretary-General in West Irian, paragraph 57.

[29] Lihat: Ortiz Sanz to Indonesian Ambassador Sudjarwo Tjondronegoro, November 21, 1968.  UN: Series 100, Box 1, File 5.

[30] Lihat: Indonesian Abassador Sudjarwo Tjondronegoro to Ortiz Sanz, November 21, 1968. UN: Series 100, Box 1, File 4.

[31] Lihat: Mason to D.F.P. Le Breton, April 3, 1969. PRO: FCO 24/447.

[32] Lihat: Summery of Jack W. Lydman’s report, July 18, 1969 in NAA. Extracts given to author by Anthony Bamain.

[33]  Lihat: Ortiz Sanz to Rolz-Bennett, December 18, 1968. UN: Series 100, Box 1, File 3.

[34]  Ibid.

[35] Lihat: Rolz-Bennett, December 18, 1968. UN: Series 100, Box 1, File 3.

[36] Lihat: Terrece Markin, The West New Guinea Dispute, pp. 479-480.

[37] Lihat: Brian May, The Indonesian Tragedy (Boston: Routledge, and London: Keegan Paul Henry, 1978) p. 171; J. Van der Kroef, “Indonesia and West New Guinea: The New Dimentions of Conflict, “ Orbis XIV, 2 (Summer 1970): 387.

[38] Lihat: Rolz-Bennett to Ortiz Sanz, January 30, 1969. UN: Series 100, B0x 1, File 3.

[39]  Lihat: Quoted in letter from I.J.M. Sutherland, British Embassy, Jakarta, to D. Aiers, SWPD Foreign Office. PRO: FCO 24/449 (FWD 1/4).

[40] Lihat: Sir Partick Shaw to Department of External Affairs, April 8, 1968. NAA: A452 T29, 68/2581.

[41] Lihat: Decree of the Minister of Home Affairs, Chairman of the West Irian sector No. 31, 1969, on the establishment of the Consultative Assembly for the “Act of Free Choice”: Regency Merauke. UN: Series 100, Box 1, File 4.

[42] Lihat: Ortiz Sanz to Rolz-Bennett, Februari 14, 1969. UN: Series 100, Box 1, File 4;  Interview with Ortiz Sanz by Dutch Journalist Stephane Alonso Casale, December 15, 1969. Extracts kindly given to author by Casale. See also articles by Casale in NRC Handelsblad (Ducth national newspaper), March 4, 2000).

[43] Lihat:  Sudjarwo to Ortiz Sanz, February 18, 1969. UN: Series 100, Box 1, File 5.

[44] Lihat: UNGA Official Records MM ex 1, para. 126.

[45] Lihat: Ibid. Annex 2, para. 24.

[46] Lihat: Rolz-Bennett-Note for the recordof the meeting between himself, U.Thant, Sudjarwo, and Indonesian Ambassador Abdulgani in Ne York, January 23, 1969. UN DAG 1/223:9.

[47] Lihat: UNGA Official Records, Annex 1, para.141.

[48] Ibid., paragraphs 142 and 145.

[49] Lihat: Six lists of summaries of political communications from unidentified Papuans to Ortiz Sanz, August 1968 to April 1969 UN: Series 100, Box 1, File 5.

[50] Lihat: Ortiz Sanz to Rolz-Bennett, February 14, 1969, UN: Series 100, Box 1, File 4.

[51] Lihat: Rolz-Bennett to Ortiz Sanz (cable No. UNRI SKU-22), 2 March 29, 1969. UN: Series 100, Box 1.

[52] Lihat: Ortiz Sanz to Rolz-Bennett (cable No. UNRWI SKU-24), April 12, 1969. UN: DAG 2.2.3:9.

[53]  Lihat:  Draft of UN press release, March 18, 1969. UN: DAG 2.2.3:9.

[54] Lihat : Ortiz Sanz to Rolz-Bennett (Cable No. UNRWI SKU-24), April 12, 1969. UN: DAG 2.2.3:9.

[55] Lihat: Ortiz Sanz to Rolz-Bennett, June 14, 1969. UN: Series 100, Box 1, File 4.

[56] Lihat: Rolz-Bennett to Ortiz-Sanz, April 17, 1969.UN: Series 100, Box 1, File 2.

[57]  Lihat: Robin Osborne, Indonesia’s Secret War (Sydney, Australia: Allen & Unwin, 1985), p. 42.

[58] Lihat: Brian May, The Indonesian Tragedy, p. 173; Carmel Budiardjo and Liem Soei Liong, West Papua: The Obliteration of a People (London: Tapol, 1985), p 21. May specifically states that a Captain Harsono flying a B-26 Bomber (No. B267) had strafed the town of Enarotali.

[59]  Lihat: Ortiz Sanz to Rolz-Bennett (cable No. UNRWI JKT-51), May 8, 1969. UN: DAG 1/2.23:9.

[60] Lihat: Rolz-Bennett to Ortiz Sanz (cable No. 244), May 7, 1969. PIZ-DAG 1/ 2.2.3:9.

[61]  Lihat: UNGA Official Records, Annex 1, para. 157.

[62]  Lihat: Ortiz Sanz to Rolz-Bennett (cable NO. UNRWI JKT-55), May 12, 1969. UN: Series 100, Box 1, File 1.

[63]  Lihat: ibid.

[64] Lihat: Rolz-Bennett to Ortiz Sanz (cable No. 250), May 16, 1969. UN: DAG 1/ 2.2.3:9.

[65] Lihat: Rolz-Bennett to Ortiz Sanz (cable No. 250), May 9, 1969. UN: DAG 1.2.2.3:9.

[66] Lihat : Ortiz Sanz to Sudjarwo, May 27, 1969. UN: Series 100, Box 1, File 5.

[67] Lihat : Sudjarwo to Ortiz Sanz, June 14, 1969. UN: Series 100, Box 1, File 5.

[68] Lihat: Hugh Lunn, Australian, August 21, 1999.

[69] Lihat: Ortiz San to Rolz-Bennett, June 14, 1969. UN: Series 100, Box 1, File 4.

[70] Lihat:  Rolz-Bennett to Ortiz Sanz (cable No. 337), June 21, 1969. UN: Series 100, Box 1

[71] Lihat:  UNGA Official Records, Annex 1, paragraph 182.

[72] Lihat:  Ibid., Annex 1, paragraphs 189-200.

[73] Lihat: Reverend Origenes Hokujoku quoted in Algemeen Dagblad (Netherlands), December 12, 1988.

[74] Lihat: UNGA Official Records, Annex 1, paragraphs 189-200.

[75] Lihat: Australian Jurnal of Politics and History, vol. XVI (July to December 1969): 9.

[76] Lihat: Sydney Morning Herald, editorial, July 14, 1969.

[77] Lihat: UNGA Official Records, Annex 1, paragraphs 208-213.

[78] Lihat: Brian May, The Indonesian Tragedy, p. 193.

[79] Lihat: Hugh Lunn, Australian, August 21, 1999.

[80] Lihat: UNGA Official Records, Annex 1, paragraphs 208-213.

[81] Lihat: Brian May, The Indonesian Tragedy, p. 192.

[82] Lihat: Hugh Lunn, Australian, August 21, 1999.

[83] Lihat: UNGA Official Records, Annex 1, paragraph 214-238.

[84] Lihat: Ibid., paragraphs 329-344.

[85] Lihat: Brian May, The Indonesian Tragedy, p. 193.

[86] Lihat: D. Parson, UK Mission to the UN, to D.F.B. Le Breton, July 17, 1969. PRO: FCO 24/449, (FWD 1/4).

[87] Lihat: UNGA Official Records, Annex 1, para. 253.

[88] Lihat: United Nations Official Records: 1812th Plenary Meeting of the UN General Asembly, agenda item 98. A/L.576. November 19, 1969.

[89] Lihat: William Handerson, West New Guinea, the Dispute and its Settlement (South Orange, NJ: Seton Hall University Press, 1973), p. 252.

[90] Lihat: Rein Mullerson, International Law, Rights and Politics (London. Routledge, 1994), pp. 77-78.

[91] Lihat: C. Stavropoulos, UN Lagal Adviser, to U. Thant, June 29, 1962. Attached to back of memo from Stavropoulos to Rolz-Bennett, July 17, 1969. UN: Series 100, Box 2, File 7.

[92] Lihat : Interview by Terrence Markin with Johan B. P. Maramis, Indonesia Mission to UN in 1969, December 3, 1990. Quoted in Markin, The West New Guinea Dispute,” p. 480.

[93] Lihat : Interview by Casale with Ortiz Sanz, December 15, 1999.

[94] Lihat : Algemeen Dagblad (Netherlands), December 10, 1999.

 

Go up

   
© Copyright 1999-2001. All rights reserved. Contact: Tribal_WEBMASTER   by The Diary of OPM