|
|
Pada
17 Juli 1969, Diplomat Inggris dengan misi United Kingdom
untuk PBB di New York menyimpulkan opini internasional. Dia
mengakui bahwa beberapa negara Afrika tidak senang dengan
pelaksanaan penentuan nasib sendiri, tetapi disimpulkan: Kesan kita
yang kuat adalah bahwa mayoritas besar anggota PBB ingin melihat
pertanyaan ini dijelaskan dengan menanggapi pertengkaran secepat
mungkin …negara-negara Arab dan Islam yang lain dengan pasti
mendukung Indonesia dengan kuat. Walaupun, ada pengakuan umum,
bahkan sesuai pengakuan Belanda, bagian dari moralitas orang-orang
Skandinavia, bahwa tidak ada alternatif peranan Indonesia. Akhirnya
pengaruh sekretariat menjadi penting, menunjukan kekuatiran
juga tentang persoalan.“[86]
Tiga
bulan kemudian, bulan November 1969, Ortiz Sanz menyampaikan laporan
akhir kepada Sidang Umum PBB. Dalam kesimpulan-kesimpulannya, dia
menyatakan keprihatinan bahwa jaminan kebebasan politik dalam
pelaksanaan penentuan nasib sendiri tidak dipenuhi. Dia juga
mengakui bahwa “dengan pasti unsur-unsur penduduk setuju merdeka.
Namun demikian dia mengumumkan bahwa dengan adanya keterbatasan,
ditentukan dengan keadaan geografis, dan situasi umum di Papua,
pelaksanaan pemilihan bebas di daerah di Irian Barat sesuai dengan
praktek Indonesia, yang mana perwakilan-perwakilan penduduk
menyatakan keinginan mereka tinggal dengan Indonesia.”[87]
Secara
teknis pernyataan ini tepat, jika dengan “praktek Indonesia” dia
bermaksud pelaksanaan secara total tanpa isi demokrasi yang jujur.
Tetapi, New York Agreement mengisyaratkan bahwa penentuan nasib
sendiri orang-orang Papua diadakan sesuai dengan. “praktek
internasional”.Ghana, dan beberapa negara Afrika lain pada
pertemuan bulan November, menuduh pelaksanaan pasti tidak
demokratis. Mereka juga menyebutkan untuk pelaksanaan patut diadakan
di Papua tahun 1975, berdasarkan Perjanjian New York yang tidak
dilaksanakan secara wajar. Walaupun amandemen ini menjadi pokok
resolusi tentang Irian Barat, dikalahkan oleh 60 suara banding 15,
dengan 39 negara tidak memberikan suara. Akhirnya, penentuan suara
84 suara dengan 30 negara tidak memberikan suara, dengan
“menerima” laporan sekretaris umum dan laporan-laporan Ortiz
Sanz.“[88]
Go up
Orang-orang
Papua mempunyai hak untuk merdeka adalah dengan
argumentasi-argumentasi dan perlawanan. Sebagaimana Henderson
menulis tahun 1973, banyak negara-negara merdeka berpenduduk
minoritas yang mengaspirasikan untuk kemerdekaan sendiri. Tetapi
jikalau seperti separatis didorong: … Pembubaran negara-negara
secara etnik tidak terhitung, yang pokoknya menuntut untuk mendapat
mandat dari sekutu kolonial. Sebagai akibat-akibat ini untuk
keamanan sistim internasional tidak terhitung.“[89]
Dipihak lain, Mullerson berkomentar: “Ketika kelompok minoritas
dilawan dengan tindakan diskriminasi dan identitas mereka ditindas
oleh kebijakan mayoritas kelompok minoritas tidak bekerja
bersama-sama dengan penduduk dan kelompok minoritas memilih
penentuan nasip sendiri. Berarti bahwa kelompok minoritas menyatakan
hak untuk penentuan nasib sendiri bukan dalam masyarakat seluruhnya,
bersama dengan penduduk, tetapi hanya memisahkan diri. “[90].
Akhirnya dalam tanggapan penyelidikan oleh U. Thant pada aspek-aspek
hukum hak penentuan nasib sendiri orang-orang Papua, penasihat hukum
PBB menjawab dalam bulan Januari 1962:
“…….sejak
Presiden Wilson menyatakan prinsip penentuan nasib sendiri pada
tahun 1918, timbulnya anggapan kuat dalam menyetujui penentuan nasib
sendiri dalam keadaan seperti New Guinea Barat berdasarkan keinginan
rakyat Papua, tidak menghargai kedudukan hukum kepentingan negara
lain untuk bertanya. Sementara fakta-fakta lain juga diambil,
dengan memperlihatkan suatu pengakuan pertumbuhan kesadaran praktis
yang berkeinginan penduduk lokal patut menjadi yang tertinggi.“[91]
Tujuan
tulisan ini, walaupun, tidak mendiskusikan untuk …..penentuan
nasib sendiri orang-orang Papua sebab hal ini dengan jelas
diakui oleh Belanda dan Indonesia ketika mereka menandatangani
Perjanjian New York 1962, sekretaris PBB mengambil tanggung jawab
untuk menjamin bahwa Perjanjian New York akan dipenuhi secara wajar
contohnya, perhatiannya untuk menentukan: pertama, apakah seluruh
Perjanjian New York dilaksanakan secara wajar, dan kedua, untuk
menyampaikan peranan PBB dalam pelaksanaan Perjanjian New York.
Saya
berpendapat bahwa bagian pertama ini tidak wajib mempelajari secara
mendalam untuk mencapai pada kesimpulan yang tepat. Pelaksanaan
laporan resmi secara singkat bulan November 1969 semua itu
dibutuhkan suatu kesimpulan bahwa Perjanjian New York tidak
dilaksanakan. Di bawah syarat-syarat ini, Belanda, Indonesia dan PBB
berkewajiban untuk melindungi hak-hak politik dan kebebasan
orang-orang Papua, dan menjamin bahwa pelaksanaan penentuan nasib
sendiri, sesuai dengan praktek internasional. Pada kedua pokok ini,
tiga partai gagal, mereka dengan sengaja sejak dalam penandatanganan
Perjanjian New York tidak pernah melibatkan orang-orang Papua untuk
menentukan nasib sendiri secara jujur.
PBB
dalam melaksanakan Perjanjian, itu jelas bahwa seluruh prioritas
Sekretaris menjamin bahwa New Guinea Barat diakui menjadi
bagian Indonesia dengan lawan dan gangguan minimum. Peran ini
diorganisir oleh orang-orang Amerika tahun 1962, dan U. Thant
melihat tidak ada alasan untuk tidak tunduk. Itu adalah politik
perang dingin, dan hak-hak orang Papua dihitung tidak ada
apa-apanya. Itu benar-benar menjadi luar biasa jikalau keluar dari
kebijakan lain.
Untuk
memenuhi tugas ini, Sekretaris PBB membiarkan gangguan dan
tekanan-tekanan orang-orang Indonesia terhadap orang-orang Papua
selama pelaksanaan administrasi sementara PBB di Papua. Tak lama
sesudah itu, kerjasama Belanda dan orang-orang Indonesia dalam
menyetujui secara rahasia untuk bebas menggunakan beberapa sistem
pemilihan langsung untuk penentuan nasib sendiri orang-orang Papua.
Bertepatan dengan tahun pelaksanaan penentuan pendapat, tujuan
Sekretaris untuk mengurangi potensi kritik internasional dengan
jaminan memperlihatkan tingkat yang memuaskan partisipasi
orang-orang Papua, sementara menerima hasil yang diinginkan. Untuk
mencapai ini mereka telah membuat sejumlah nasihat kepada Jakarta.
“Metode campuran” yang diusulkan Ortiz Sanz adalah salah satu
contoh (seperti yang disebutkan dahulu, tidak ada kepastian seperti
rencana asli; itu boleh atau tidak asli yang direncanakan Ortiz
Sanz). Yang lain mereka berusaha untuk meyakinkan bahwa
beberapa orang Papua dilibatkan dalam proses pemilihan akhir untuk
penambahan perwakilan dewan-dewan. Keduanya, U,Thant dan Ortiz Sanz,
menekankan baik secara terturtup maupun di depan umum, mereka peduli
bahwa ada beberapa demensi demokrasi untuk pemilihan ini. Laporan
akhir Sekretaris Umum, banyak dibuat atas persetujuan Jakarta untuk
mencapai pemilihan-pemilihan sehat di beberapa daerah yang tidak
dihadiri oleh pejabat resmi PBB.
Dalam
kenyataannya, walaupun, ini tidak ada apa-apanya lebih daripada
bukti isyarat, dan dapat menyimpulkan bahwa tidak ada kerjasama yang
jujur oleh rakyat dalam proses pemilihan ini. Pada akhir keputusan
oleh 1.022 untuk tinggal dengan Indonesia sebagai suatu penghinaan
usaha-usaha PBB, walaupun menunjukkan usaha akhir oleh Rolz-Bennett,
sesuai dengan Markin, secara rahasia mendesak Jakarta untuk
melaporkan beberapa pemungutan suara yang negatif, “untuk
memberikan hasil terlihat resmi.”[92]
Bahwa kurangnya perhatian internasional dalam pelaksanaan
mereka gagal sebagian besar menimpang pada waktu itu.
Dengan
menyatakan bahwa orang-orang Indonesia, mengabaikan
rekomendasi-rekomendasi mereka dalam hal ini, PBB memilih untuk
berkerjasama dengan Jakarta dalam usaha-usaha untuk melumpuhkan
beberapa kritik internasional tentang cara referendum yang diadakan
di Irian Barat. Dalam usaha ini mereka dibantu oleh negara-negara
termasuk Belanda, Australia, United Kingdom. Negara-negara ini telah
mengadakan lobby secara rahasia dengan negara-negara lain ,
khususnya dalam melihat kemungkinan untuk menyalahkan atau menolak
hasil. Lebih lanjut, Ortiz Sanz menyatakan dalam laporannya
kepada Sidang Umum PBB bahwa mayoritas pernyataan dia menerima
dari orang-orang Papua pro-Indonesia; dia telah membuat pernyataan
tegas ini walaupun kenyataannya bahwa dia telah mengetahui itu
bohong (tidak benar).
Pada
akhirnya, seseorang dapat menyatakan bahwa tugas-tugas Ortiz Sanz
tidak dihargai, sejak dia dituduh oleh media Indonesia sebagai
seorang simpatisan (pengagum) orang-orang Papua, dan dikritik oleh
anggota-anggota diplomat Barat atas sifat ketidakberaniannya dalam
melindungi orang-orang Papua. Sampai hari ini bagaimanapun, dia
mempertahankan bahwa dilaksanakan dengan demokratis
mungkin dan itu hasil akhir “bijaksana dan pantas.”[93]
Kesimpulan,
partisipasi aktif PBB dalam system di bawah ketentuan Perjanjian New
York, tetapi tindakan-tindakan itu atas inisiatif dan didukung oleh
Washington, Jakarta, dan Den Haag. Dalam melaksanakannya, U.
Thant dan Sekretariatan PBB membiarkan PBB untuk melibatkan diri
dalam proses yang tidak jujur dengan sengaja menipu hak-hak asasi
dan hak-hak politik orang Papua.
Pada
bulan 10 Desember 1999, Menteri Luar Negeri Belanda, Mr. Jozias Van
Aartsen mengumumkan bahwa meninjau kembali keadaan sejarah seputar
pelaksanaan penentuan pendapat rakyat Papua. Van Middelkoop, the MP
yang dalam proposalnya menjawab” … akhirnya kita dapat melihat
orang-orang Papua langsung dengan mata.”[94]
Itu tinggal untuk melihat apakah PBB akan setuju untuk bergabung
dengan Belanda untuk kembali lagi khusus episode masa lalu ini.
Go up
SOLUSI
YANG DIUSULKAN:
Untuk
menyelesaikan persoalan rakyat Papua, solusi yang paling
relevan adalah win-win solution (penyelesaian menang-menang).
Win-win solution adalah penyelesaian yang sangat bermarbat,
berbobot, terhormat dan simpatik dalam menunjung tinggi semangat dan
nilai demokrasi dan hak-hak asasi sesama manusia.
-
Mengingat perkembangan era keterbukaan dewasa ini, tidak ada sesuatu
yang akan tersembunyi;
- Yang terpenting adalah demi mengaja kredibitas dan integritas bangsa
Indonesia di mata masyarakat internasional.
Karena dokumen-dokumen tentang kesalahan sejarah PEPERA 1969 telah
beredar di seluruh belahan bumi;
- Oleh karena itu, LERHAMKOT mengusulkan tiga langkah efektif untuk
menyelamatkan reputasi bangsa Indonesia dimata masyarakat
internasional adalah sebagai berikut:
a. Dialog Nasional;
b. Dialog Internasional; dan
c.
Review hasil PEPERA 1969.
Papua,
27 Juni 2001
Tim Kerja
Socratez Sofyan Yoman (Direktur)
Ismael Roby Silak, SH (Wakil Direktur)
Gerad Pagabol (Sekretaris Eksekutif)
Go up
[1]
Lihat: Memo of a conversation in Washington between William Lacy
(Assistant Chief of Staff Southeast Asian Affairs), Jacob Beam
(American Consul General designate at Batavia), and Soedjatmoko
(representative of the Indonesian Republic), September 14, 1949,
in US Foreign Relations 1949, vol. VII, Indonesia (Washington, DO
Departement of State Printing Office).
[2]
Lihat: John Reinhardt, Foreign Policy and National Integration:
The Case of Indonesia. Monograph Series no.17, (New Haven: Yale
University South East Asian Studies, 1971), p. 67.
[3]
Lihat: Howard P. Jones, Indonesia the Possible Dream (New
York: Harcourt Brace Jovanovich, 1971), p. 202.
[4]
Lihat: Robert Komer, National Security Council Staff to C. Kaysen,
presidential assistant for National Security Affairs, February 2,
1962, in US Foreign Relations 1961-1963, ed. Ed. Keefer, vol.
XXIII, Southeast Asia (Washington, DC: Dept. of State Printing
Office, 1994), p. 512.
[5]
Lihat: Terrence Markin, The West New Guinea Dispute. How the
Kennedy Administration Resolved that ‘Other’ Southeast Asian
Conflict” (PhD dissertation, Johns Hopkins University, 1966).
[6]
Lihat: John Saltford, “Subjects of the Secretary-General West
New Guinea 1962 to 1963,” Pacific Islands Monthly (Fiji,
January 2000: 48-49.
[7]
Lihat: Peter Hastings, “West Irian. A Ticking Time Bomb,” in
Australian, August 5, 1968.
[8]
Lihat: Report of a conversation between Reynders, US Embassy,
Jakarta, and Ian Morgan, British Embassy, Jakarta, April 9, 1968.
Public Record Office (hereafter PRO) UK. FCO 15/162. DH1/7.
[10]
Lihat : J.M. Sutherland, British Embassy, Jakarta, to Donald
Murray, Foreign Office Southeast Asian Departement (SEAD), July 2,
1968. PRO: FCO 15/189 DH1/7
[11]
Lihat : New York Agreement, August 15, 1962. Article XVIII.
[12]
Lihat : US Jakarta consular official Reynders believed that the
Free Papua Movement (OPM) could probably get arms from Communist
China if necessary. Quoted in Morgan, April 1968. PRO: FCO 24/448
(FWD1/4).
[13]
Lihat: Information given by La Porta, First Secretary US Embassy,
Jakarta, to Alan Mason, British Embassy, Jakarta. Contained in a
letter from mason to David F.B. Le Breton, South West Pacific
Department (SWPD) of the British Foreign Office, June 10, 1969.
PRO:FCO 24/448 (FWD 1/4).
[14]
Lihat: P.R. Spendlove, British Embassy, Washington, to K.
Hamylon-Jones, SEAT Foreign Office, June 10, 1969. PRO: FCO,
24/448.
[15]
Lihat: V. Kremenyuk, “Referendum in West Irian,” International
Affairs (Moscow, January 1969): 93. Quoted in Van der Kroef,
“Indonesia and West New Guinea,” Orbis (Quarterly Journal of
World Affairs. Foreign Policy Research Institute, University of
Fennsylvania, Philadelphia, PA) XIV, 2 Summer 1970): 386.
[16]
Lihat: D.F.B. Le Breton to Richard Neilson, British High
Commission, Canberra, July 17, 1969. PRO. FCO 24/448: Sir Patrick
Shaw, Australian Ambassador to the UN, New York, to Department of
External Relations, Canberra, September 4, 1969. National Archives
of Australia, Canberra (hereafter NAA). Extracts of early
release documents kindly given to author by Anthony Balmain, SBS
Television, Australia.
[17]
Lihat: J.M. Sutherland to D. Murray, “Foreign Office Southeast
Asian Departement, April 30, 1968. PRO: FCO 15/162 DH1/7.
[18]
Lihat: D. Murray, Foreign Office Southeast Asian Department, July
26, 1968. PRO: FCO N/162 DH1/7.
[19]
Lihat: D.J. Wyatt, British High Commission, Canberra, to D.
Murray, Foreign Office Southeast Asian Department, May 25, 1968.
PRO: FCO 15/162 DH1/7.
[20]
Lihat: United Nations General Assembly Official Records. Agenda
Item 98, Annexes, 24 Session: “Agreement between the Republic of
Indonesia and the Kingdom of the Netherlands concerning West New
Guinea (West Irian)”: Report by the Secretary-General regarding
the Act of Self-Determination in West Irian. Document 7723
(November 6, 1969), Annex I, report by the Representative of the
Secretary-General in West Irian, Paragraph 11.
[21]
Lihat: Memo from D. Hay, Australian Mission to the UN, to
Department Extenal Affairs, June 18, 1964. NAA: A1 838/280,
3036/6/1pt.83.
[22]
Lihat : Ortiz Sanz to U. Thant, September 7, 1968. UN Archives,
New York (hereafter UN), Series 100, Box 1, File 3.
[25]
Lihat: Ortiz Sanz to Indonesian Ambassador Sudjarwo
Tjondronegoro, November 21, 1968. UN: Series 100, Box 1, File 5.
[26]
Lihat: Australian Embassy, Washington, to Departemen of External
Affairs, May 21, 1963. NAA: A1838/280, 3036/6/1 pt.83.
[27]
Lihat: Australian Embassy, Jakarta, to Departement of External
Affairs, June12, 1964; Memo from Australian Mission to the UN to
Department of External Affairs, June 16, 1964. NAA: A1838/280,
3036/6/1 pt. 83.
[28]
Lihat: United Nations General Assembly Official Records. Agenda
Item 98, Annexes, 24 Session: “Agreement Between the Republic of
Indonesia and the Kingdom of the Netherlands concerning West New
Guinea (West Irian)”: Report by the Secretary-General regarding
the Act of Self-Determination in West Irian. Document A/7723
(November 6, 1969) Annex I report by the Representative of the
Secretary-General in West Irian, paragraph 57.
[29]
Lihat: Ortiz Sanz to Indonesian Ambassador Sudjarwo Tjondronegoro,
November 21, 1968. UN: Series 100, Box 1, File 5.
[30]
Lihat: Indonesian Abassador Sudjarwo Tjondronegoro to Ortiz Sanz,
November 21, 1968. UN: Series 100, Box 1, File 4.
[31]
Lihat: Mason to D.F.P. Le Breton, April 3, 1969. PRO: FCO 24/447.
[32]
Lihat: Summery of Jack W. Lydman’s report, July 18, 1969 in NAA.
Extracts given to author by Anthony Bamain.
[33]
Lihat: Ortiz Sanz to Rolz-Bennett, December 18, 1968. UN: Series
100, Box 1, File 3.
[35]
Lihat: Rolz-Bennett, December 18, 1968. UN: Series 100, Box 1,
File 3.
[36]
Lihat: Terrece Markin, The West New Guinea Dispute, pp. 479-480.
[37]
Lihat: Brian May, The Indonesian Tragedy (Boston: Routledge, and
London: Keegan Paul Henry, 1978) p. 171; J. Van der Kroef,
“Indonesia and West New Guinea: The New Dimentions of Conflict,
“ Orbis XIV, 2 (Summer 1970): 387.
[38]
Lihat: Rolz-Bennett to Ortiz Sanz, January 30, 1969. UN: Series
100, B0x 1, File 3.
[39]
Lihat: Quoted in letter from I.J.M. Sutherland, British Embassy,
Jakarta, to D. Aiers, SWPD Foreign Office. PRO: FCO 24/449 (FWD
1/4).
[40]
Lihat: Sir Partick Shaw to Department of External Affairs, April
8, 1968. NAA: A452 T29, 68/2581.
[41]
Lihat: Decree of the Minister of Home Affairs, Chairman of the
West Irian sector No. 31, 1969, on the establishment of the
Consultative Assembly for the “Act of Free Choice”: Regency
Merauke. UN: Series 100, Box 1, File 4.
[42]
Lihat: Ortiz Sanz to Rolz-Bennett, Februari 14, 1969. UN: Series
100, Box 1, File 4; Interview with Ortiz Sanz by Dutch
Journalist Stephane Alonso Casale, December 15, 1969. Extracts
kindly given to author by Casale. See also articles by Casale in
NRC Handelsblad (Ducth national newspaper), March 4, 2000).
[43]
Lihat: Sudjarwo to Ortiz Sanz, February 18, 1969. UN: Series
100, Box 1, File 5.
[44]
Lihat: UNGA Official Records MM ex 1, para. 126.
[45]
Lihat: Ibid. Annex 2, para. 24.
[46]
Lihat: Rolz-Bennett-Note for the recordof the meeting between
himself, U.Thant, Sudjarwo, and Indonesian Ambassador Abdulgani in
Ne York, January 23, 1969. UN DAG 1/223:9.
[47]
Lihat: UNGA Official Records, Annex 1, para.141.
[48]
Ibid., paragraphs 142 and 145.
[49]
Lihat: Six lists of summaries of political communications from
unidentified Papuans to Ortiz Sanz, August 1968 to April 1969 UN:
Series 100, Box 1, File 5.
[50]
Lihat: Ortiz Sanz to Rolz-Bennett, February 14, 1969, UN: Series
100, Box 1, File 4.
[51]
Lihat: Rolz-Bennett to Ortiz Sanz (cable No. UNRI SKU-22), 2 March
29, 1969. UN: Series 100, Box 1.
[52]
Lihat: Ortiz Sanz to Rolz-Bennett (cable No. UNRWI SKU-24), April
12, 1969. UN: DAG 2.2.3:9.
[53]
Lihat: Draft of UN press release, March 18, 1969. UN: DAG
2.2.3:9.
[54]
Lihat : Ortiz Sanz to Rolz-Bennett (Cable No. UNRWI SKU-24), April
12, 1969. UN: DAG 2.2.3:9.
[55]
Lihat: Ortiz Sanz to Rolz-Bennett, June 14, 1969. UN: Series 100,
Box 1, File 4.
[56]
Lihat: Rolz-Bennett to Ortiz-Sanz, April 17, 1969.UN: Series 100,
Box 1, File 2.
[57]
Lihat: Robin Osborne, Indonesia’s Secret War (Sydney, Australia:
Allen & Unwin, 1985), p. 42.
[58]
Lihat: Brian May, The Indonesian Tragedy, p. 173; Carmel Budiardjo
and Liem Soei Liong, West Papua: The Obliteration of a People
(London: Tapol, 1985), p 21. May specifically states that a
Captain Harsono flying a B-26 Bomber (No. B267) had strafed the
town of Enarotali.
[59]
Lihat: Ortiz Sanz to Rolz-Bennett (cable No. UNRWI JKT-51), May 8,
1969. UN: DAG 1/2.23:9.
[60]
Lihat: Rolz-Bennett to Ortiz Sanz (cable No. 244), May 7, 1969.
PIZ-DAG 1/ 2.2.3:9.
[61]
Lihat: UNGA Official Records, Annex 1, para. 157.
[62]
Lihat: Ortiz Sanz to Rolz-Bennett (cable NO. UNRWI JKT-55), May
12, 1969. UN: Series 100, Box 1, File 1.
[64]
Lihat: Rolz-Bennett to Ortiz Sanz (cable No. 250), May 16, 1969.
UN: DAG 1/ 2.2.3:9.
[65]
Lihat: Rolz-Bennett to Ortiz Sanz (cable No. 250), May 9, 1969.
UN: DAG 1.2.2.3:9.
[66]
Lihat : Ortiz Sanz to Sudjarwo, May 27, 1969. UN: Series 100, Box
1, File 5.
[67]
Lihat : Sudjarwo to Ortiz Sanz, June 14, 1969. UN: Series 100, Box
1, File 5.
[68]
Lihat: Hugh Lunn, Australian, August 21, 1999.
[69]
Lihat: Ortiz San to Rolz-Bennett, June 14, 1969. UN: Series 100,
Box 1, File 4.
[70]
Lihat: Rolz-Bennett to Ortiz Sanz (cable No. 337), June 21,
1969. UN: Series 100, Box 1
[71]
Lihat: UNGA Official Records, Annex 1, paragraph 182.
[72]
Lihat: Ibid., Annex 1, paragraphs 189-200.
[73]
Lihat: Reverend Origenes Hokujoku quoted in Algemeen Dagblad
(Netherlands), December 12, 1988.
[74]
Lihat: UNGA Official Records, Annex 1, paragraphs 189-200.
[75]
Lihat: Australian Jurnal of Politics and History, vol. XVI (July
to December 1969): 9.
[76]
Lihat: Sydney Morning Herald, editorial, July 14, 1969.
[77]
Lihat: UNGA Official Records, Annex 1, paragraphs 208-213.
[78]
Lihat: Brian May, The Indonesian Tragedy, p. 193.
[79]
Lihat: Hugh Lunn, Australian, August 21, 1999.
[80]
Lihat: UNGA Official Records, Annex 1, paragraphs 208-213.
[81]
Lihat: Brian May, The Indonesian Tragedy, p. 192.
[82]
Lihat: Hugh Lunn, Australian, August 21, 1999.
[83]
Lihat: UNGA Official Records, Annex 1, paragraph 214-238.
[84]
Lihat: Ibid., paragraphs 329-344.
[85]
Lihat: Brian May, The Indonesian Tragedy, p. 193.
[86]
Lihat: D. Parson, UK Mission to the UN, to D.F.B. Le Breton, July
17, 1969. PRO: FCO 24/449, (FWD 1/4).
[87]
Lihat: UNGA Official Records, Annex 1, para. 253.
[88]
Lihat: United Nations Official Records: 1812th Plenary Meeting of
the UN General Asembly, agenda item 98. A/L.576. November 19,
1969.
[89]
Lihat: William Handerson, West New Guinea, the Dispute and its
Settlement (South Orange, NJ: Seton Hall University Press, 1973),
p. 252.
[90]
Lihat: Rein Mullerson, International Law, Rights and Politics
(London. Routledge, 1994), pp. 77-78.
[91]
Lihat: C. Stavropoulos, UN Lagal Adviser, to U. Thant, June 29,
1962. Attached to back of memo from Stavropoulos to Rolz-Bennett,
July 17, 1969. UN: Series 100, Box 2, File 7.
[92]
Lihat : Interview by Terrence Markin with Johan B. P. Maramis,
Indonesia Mission to UN in 1969, December 3, 1990. Quoted in
Markin, The West New Guinea Dispute,” p. 480.
[93]
Lihat : Interview by Casale with Ortiz Sanz, December 15, 1999.
[94]
Lihat : Algemeen Dagblad (Netherlands), December 10, 1999.
Go up
|