| | | 23 March, 2002 04:25:04 AM
Bintang Kejora dan Hai Tanahku Papua Banyak tafsiran terhadap kekhususan-kekhususan yang dimiliki Provinsi Papua. Soal bendera dan lambang yang dimiliki provinsi terujung Indonesia itu, misalnya, sejak awal menjadi perdebatan selain masalah pembagian keuangan pusat dan daerah.
(1) Provinsi Papua sebagai bagian NKRI menggunakan sang merah putih sebagai bendera negara dan Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan. (2) Provinsi Papua dapat memiliki lambang daerah sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan.
Demikian dua ayat dalam pasal 2 yang tercantum dalam RUU Otonomi Khusus Papua yang disahkan DPR, Senin (22/10) malam lalu. Dua ayat itu merupakan hasil kesepakatan dari rancangan sebelumnya yang berbunyi "Selain bendera Merah Putih sebagai bendera nasional, lagu Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan, dan Burung Garuda sebagai lambang negara, Provinsi Papua juga memiliki bendera, lambang, dan lagu yang diatur dalam peraturan daerah."
Pasal itu sejak awal memancing kontroversi. Banyak pihak mengaitkan realisasi pasal ini dengan bendera Bintang Kejora, lambang Burung Mabruk, dan lagu Hai Tanahku Papua . Padahal jelas pasal ini sama sekali tak menyebutkan tiga identitas Papua tersebut.
Lalu bagaimana sebenarnya masyarakat mamaknai pasal itu? Maria Magdalena, 38 tahun, warga Kelurahan Numbai di Jayapura menafsirkan pasal itu adalah Bintang Kejora, Burung Mambruk, dan Hai Tanahku Papua. Alasannya, bendera dan semua identitas itu sudah ada sejak lama. "Kitorang (kita) orang Papua sudah setuju saja. Itu su (sudah) sesuai dengan tuntutan selama ini," ujarnya dengan dialek khas Papua.
Malah Markus Hanock, 32 tahun, sopir angkot di Terminal Entrop, Jayapura, sebetulnya setuju sekali kalau UU Otsus Papua memuat bendera, lambang, dan lagu meskipun tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). "Tapi mesti semuanya jelas, tak hanya sebatas umbul-umbul. Kapan bendera dinaikkan dan lagu dinyanyikan, terus pada saat yang bagaimana dan porsinya seperti apa," terangnya.
Sedangkan Philipus, 29 tahun, pegawai swasta di Jayapura, mengaku bisa saja memaknai tiga identitas Papua itu sebagai lambang budaya. Hanya saja nantinya, masyarakat akan melihat masalah ini sebagai tanda bahwa Papua akan lepas dari Indonesia. "Makanya, saya tak setuju kalau dalam kondisi seperti saat ini, pemerintah melihat bendera sebagai simbol budaya," katanya. Gara-gara ini, dia khawatir akan muncul sumber konflik baru. Sebab, nantinya akan terjadi perbedaan persepsi antara masyarakat dan pemerintah.
Bendera, lagu, lalu lambang itu memang merupakan salah satu kekhususan yang bisa dimiliki masyarakat Papua -meski ini sebetulnya juga dimiliki daerah lain karena tidak ditempatkan sejajar dengan bendera, lagu, dan lambang negara RI. Karena itu Decky Alexander Rumaropen, Direktur Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa (YPMD) Papua mengingatkan bahwa aspek kekhususan dalam UU itu sebenarnya adalah bagaimana menjamin hak-hak dasar orang Papua . "Kalau hanya secara sistematis seperti bentuk birokrasi yang lama, hasilnya akan sama saja seperti yang dulu," katanya.
Menurutnya, lambang, lagu dan lainnya di dalam RUU Otsus Papua hanya mewakili para pembuatnya --tidak 100 persen keinginan rakyat Papua yang masuk ke dalam undang-undang itu. "Dan inilah yang sebenarnya belum diselesaikan. Apalagi terkesan kalau undang-undang ini belum tersosialisasikan secara baik," terangnya.
Frans Koromat Anggota Komisi A DPRD Provinsi Papua dan Sekertaris Fraksi PDI Perjuangan Papua mengatakan, RUU Otonomi Khusus itu bisa dikatakan merupakan keinginanan masyarakat. Meski diakui realitas pada masyarakat di Papua memiliki dua persepsi yaitu merdeka dan menjadi negara sendiri dan tetap bergabung di NKRI.
"Jika otonomi khusus ini hanya merupakan gula-gula dari pemerintah, saya yakin Tuhan akan memberikan jalan yang lain dan benar terhadap tanah ini," katanya. Nah. (cunding levi)
http://www.infopapua.com/papua/0302/2102.html |