|
|
Saturday, April 13, 2002 06:13:34 AM
|
HIV Narkotika Suntik Masih Mendominasi
JAKARTA --- Kasus baru HIV/AIDS selama tiga bulan terakhir (1 Januari sampai 30 Maret 2002) kemarin dilaporkan Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan. Terlihat ada 301 kasus baru selama rentang waktu tersebut dengan perincian 283 kasus infeksi HIV dan 18 kasus AIDS.
Menariknya, dalam laporan yang diterima Republika kemarin itu ditemukan fakta bahwa cara penularan HIV dengan IDU atau suntik narkotika terbanyak dibanding cara penularan lainnya. Hal ini sama dengan tiga bulan sebelumnya meskipun ketika itu 70,35 persen kasus tidak ditemukan penyebabnya.
Kasus baru infeksi HIV pada pengguna narkotika suntik saat ini sebesar 54,42 persen. Sementara cara penularan lewat heteroseksual sebanyak 28,26 persen dan tidak diketahui cara penularannya 17,31 persen.
Selanjutnya dari 283 pengidap baru infeksi HIV ini, 114 kasus (atau 50,88 persen) berasal dari DKI Jakarta. Disusul oleh Kalimantan Barat dengan 26 kasus (9,18 persen), Jawa Tengah 51 kasus (18,02 persen), Bali 61 kasus (21,55 persen), Jambi 10 kasus (3,53 persen), Lampung 16 kasus (5,65 persen), NTT 4 kasus (1,41 persen), dan Kalimantan Timur 1 kasus (0,35 persen). Kasus dari Jawa Tengah dan Kalimantan Barat merupakan hasil validasi data Januari 2002.
Selain kasus HIV, kasus AIDS ditemukan trend yang sedikit berbeda. Dari 18 kasus baru AIDS, yang ditemukan pada pengguna narkotik suntik hanya sebesar 11,11 persen. Sementara heteroseksual mendominasi 33,33 persen, homoseksual 27,77 persen dan sisanya 27,77 persen tidak diketahui risikonya.
Propinsi yang melaporkan kasus baru AIDS adalah Sumatera Utara dua kasus (11,11 persen), Riau 1 kasus (5,55 persen), Jambi 2 kasus (11,11 persen), DKI Jakarta 1 kasus (5,55 persen), Jawa Tengah tiga kasus (16,66 persen), Kalbar 5 kasus (27,77 persen), Irja 3 kasus (16,66 persen), dan Sulawesi Utara 1 kasus (5,55 persen).
Jumlah seluruh pengidap HIV dan kasus AIDS yang dilaporkan sejak tahun 1987 sampai 30 Maret 2002 adalah 2.876 kasus. Rinciannya 2.187 infeksi HIV dan 689 kasus AIDS. Dari 689 kasus AIDS tersebut, 366 kasus (atau 53,12 persen) ditularkan melalui heteroseksual, 97 kasus (atau 14,08 persen) homoseksual, 142 kasus (atau 20,60 persen) melalui penggunaan narkotika suntik, 9 kasus (1,30 persen) melalui perinatal, dan 3 kasus (0,43 persen) melalui transfusi darah yang didapatkan di luar negeri.
Secara kumulatif kasus AIDS tertinggi yang dilaporkan sampai akhir Maret 2002 terbanyak berasal dari propinsi DKI Jakarta, 265 kasus (38,46 persen). Disusul provinsi Irian Jaya 221 kasus (32,07 persen), Jawa Timur 63 kasus (9,14 persen), Jawa Barat 38 kasus (5,51 persen), Bali 30 kasus (4,35 persen) dan Riau 16 kasus (2,32 persen).
Bila dilihat secara kumulatif, kasus AIDS per 100.000 penduduk secara nasional sebesar 0,33. Rata-rata tertinggi terjadi di provinsi Irian Jaya sebesar 9,67 (29,3 kali angka nasional), diikuti DKI Jakarta sebesar 2,63 (7,98 kali angka nasional), Bali 0,99 (3 kali angka nasional), Riau 0,35, Jambi 0,07 dan Sulut 0,28.
Propinsi yang belum melaporkan adanya kasus HIV/AIDS sampai dengan akhir bulan Maret 2002 adalah Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Padahal dari kedua propinsi tersebut upaya penemuan kasus HIV/AIDS melalui sero survey telah dilakukan setiap tahun, namun sampai saat ini belum ditemukan kasus HIV. nri
============
Kamis, 11 April 2002
258 Warga Jabar Mengidap AIDS
BANDUNG -- Bahaya penyakit AIDS terus membayangi masyarakat Jabar. Kepala Biro Bina Program Propinsi Jabar H Enjay Sendjaya mengatakan, saat ini penderita HIV/AIDS di Jabar mencapai 258 orang tersebar di 21 kota/kabupaten.
''Padahal akhir tahun 2001, jumlahnya baru mencapai 232 penderita,'' ujarnya kepada Republika di sela-sela rapat penanggulangan AIDS di Bandung kemarin. Artinya, kata Enjay, dalam kurun waktu tiga bulan terakhir ini jumlah penderita HIV dan AIDS melonjak sebesar 11 persen.
Menurut Enjay, dari 258 kasus itu, 33 orang sudah mengidap AIDS dan sisanya terkena HIV positif. Mereka yang terkena HIV/AIDS umumnya berusia produktif antara 20-29 tahun.
Dari perkembangan data tersebut dia menilai masyarakat di Jabar sangat rentan tertular penyakit ganas tersebut. Pasalnya, lanjut Enjay, secara geografis, Jabar sangat dekat dengan Jakarta. Faktor lain yang kata Enjay juga meningkatkan kasus itu adalah selama ini Jabar merupakan daerah tujuan wisata.
Sekarang, menurutnya, penyakit HIV/AIDS itu tak cuma menyebar di kawasan pesisir. Jalur tengah di Jabar, katanya, juga mulai rawan dengan penularan HIV/AIDS. ''Pokoknya, hampir di setiap kota/kabupaten, HIV dan AIDS itu ada,'' tuturnya.
Kota Bandung, sambung Enjay, merupakan daerah yang paling berisiko bagi penularan HIV/AIDS. Bahkan, Kota Kembang kini sudah mulai masuki pada tingkat high concentrated efidemic. Berdasarkan data yang dihimpunnya, Enjay menjelaskan di Kota Bandung terdapat 63 penderita HIV/AIDS. ''Di Jabar Kota Bandung paling tinggi jumlah penderitanya,'' ungkap Enjay. Dari jumlah itu, 13 orang diantaranya menderita AIDS dan 49 lainnya terkena HIV positif.
Selain Kota Bandung, kata Enjay, Kota Bekasi dan Kabupaten Tasikmalaya juga merupakan daerah dengan jumlah penderita HIV dan AIDS tinggi. Di Tasikmalaya, jumlah penderita AIDS dan HIV mencapai 46 orang, seorang terkena AIDS dan sisanya terkena HIV postif. Sedangkan di Kota Bekasi, tujuh orang sudah terkena AIDS dan 33 orang lainnya terserang HIV positif.
Dalam kesempatan yang sama, Dr Djoko Suharno, asisten deputi Komisi AIDS Nasional mengungkapkan, persoalan jumlah penderita HIV/AIDS bukanlah masalah penting. Sebab, lanjut Djoko, data yang ada saat ini belum bisa menggambarkan jumlah penderita HIV dan AIDS sesungguhnya. ''Itukan baru terdata dari orang yang cek darah saja,'' imbuhnya.
Sebab, kata Djoko, jumlah penderita HIV/AIDS yang sesungguhnya yang terdapat di masyarakat itu bisa mencapai 200 kali lipat dari data yang ada. Itu artinya, bila di Jabar terdapat 258 penderita HIV/AIDS maka di masyarakat jumlahnya bisa mencapai 51.600 orang.
Sekali lagi Djoko menegaskan, yang paling penting bukan persoalan jumlah melainkan masyarakat harus meningkatkan kewaspadaan terhadap bahaya AIDS. Sebab, kata Djoko, masyarakat dan pemerintah akan terbuai jika hanya melihat data, bahwa di kota/kabupatennya penderita HIV dan AIDS hanya satu orang. Padahal, menurut Djoko, bahaya AIDS terus mengintai.
Saat ini, papar Djoko, pengidap HIV seringkali enggan untuk melapor dan memeriksa kondisinya ke rumah sakit. Hal tersebut, dipicu oleh faktor keluarga dan lingkungan di sekitar pengidap AIDS. Lingkungan masih potensial mengasingkan penderita HIV/AIDS. ''Kondisi seperti ini, jelas harus diubah,'' tandasnya.
Menurut Djoko, salah satu faktor yang menyebabkan jumlah penderita HIV/AIDS meningkat pesat adalah penggunaan obat terlarang dengan jarum suntik. Kata Djoko, sumbangan penyebaran HIV/AIDS dengan jarum suntik mencapai 40 persen dari seluruh jumlah penderita HIV/AIDS. Saat ini, tutur Djoko, penderita HIV/AIDS di Indonesia yang terdata berjumlah 80 ribu sampai 120 ribu orang.
Persoalan HIV/AIDS, lanjut Djoko, hanya dapat diselesaikan secara lintas sektoral. Sebab, AIDS tak cuma tanggung jawab instansi kesehatan. Lembaga pendidikan dan agama juga merupakan bagaian yang dinilainya paling penting untuk menghindarkan masyarakat dari HIV/AIDS. Selain itu, faktor, keluarga dan masyarakat juga sangat membantu untuk menekan laju penderita HIV/AIDS. hri
|