|
 |
|
>Senin, 11 Maret 2002
kompas/kornelis kewa ama
KAMPUNG Tanah Merah terletak
sekitar 2,5 km dari base camp sementara di Saengga. Kampung ini berpenduduk 127 kepala keluarga (KK). Tahun 1976 baru sebanyak 65 KK. Perkembangan begitu cepat ketika LNG Tangguh berencana membangun kilang gas alam cair raksasa di daerah itu.
Menurut Humas LNG Tangguh Erwin Maryoto, di Base Camp LNG Tangguh, base camp permanen dan pengolahan kilang LNG Tangguh akan dibangun di Kampung Tanah Merah. Karena itu penduduk sebanyak 127 keluarga di kampung itu akan dipindahkan ke lokasi 04 Tanah Merah Baru di wilayah Kampung Saengga.
"BP akan membangun perumahan di lokasi itu. Satu unit rumah nilainya Rp 100 juta dengan tipe 45. Mereka akan dipindahkan dalam waktu dekat. Setelah relokasi penduduk giliran Tanah Merah akan dibangun untuk kepentingan perusahaan," kata Erwin.
Daerah pantai Tanah Merah sangat indah. Terdapat hutan bakau, pantai pasir putih, pohon kelapa yang subur di tepi pantai. Anak-anak setiap saat bermain di tepi pantai. Mereka berenang, bermain pasir dan berlatih memancing.
Hasil pertanian masyarakat pun sangat subur. Di dalam kampung itu tampak buah rambutan, durian, pisang, mangga, dan nangka sangat lebat. Masyarakat benar-benar sangat bergantung pada hasil tanaman tersebut.
Akan tetapi, hasil-hasil pertanian masyarakat tidak dapat dipasarkan karena tidak ada transportasi ke kota kecamatan atau kabupaten. Ketika BP masuk ke lokasi ini, sebagian hasil tanaman dijual kepada BP. BP juga membeli hasil tangkapan masyarakat seperti udang dan ikan dengan harga jauh lebih tinggi daripada di pasaran. Udang, misalnya, Rp 25.000 per kilogram.
Sejak BP masuk, masyarakat ramai-ramai berusaha menangkap ikan untuk kebutuhan karyawan LNG Tangguh. Hampir setiap hari Base Camp Tangguh di Saengga membeli udang, ikan dan jenis makanan lain yang dibawa masyarakat setempat. Artinya, kini sudah terbuka pasar bagi produksi penduduk lokal. Ini satu kemajuan yang dilakukan BP dibanding PT Freeport pada awal berdirinya mendatangkan akomodasi dari luar negeri seperti Australia.
***
TANAH Merah menjadi pilihan utama pembangunan pusat pengolahan kilang LNG karena letaknya sangat strategis Tanah Merah dengan mudah dijangkau dari berbagai arah pengilangan gas.
Di kampung ini, Duta Besar Inggris dan anggota HAM Internasional telah menginjakkan kaki dua bulan lalu. Duta Besar Inggris yang fasih berbahasa Indonesia sempat berdialog dengan masyarakat Tanah Merah.
Ketika proses dialog berlangsung, terjadi angin ribut dan hujan deras secara mendadak, mengguyur tenda tempat pertemuan. Duta Besar pun lari tergesa-gesa mencari tempat perlindungan yang aman. Kejadian tersebut bagi masyarakat Tanah Merah memiliki arti tersendiri.
Masyarakat Tanah Merah, setelah diberi pengertian dan pemahaman, bersedia dipindahkan asal pihak BP-Pertamina memenuhi sejumlah kebutuhan mereka. Misalnya, pembangunan rumah penduduk, fasilitas umum seperti klinik desa, rumah ibadah, dan memberikan beasiswa kepada anak-anak Tanah Merah.
Masyarakat Tanah Merah memiliki tanaman yang sudah berproduksi seperti kelapa, pisang, mangga, nangka, rambutan, cempedak, durian, jeruk, dan seterusnya. Lokasi itu sangat subur.
Pejabat Kepala Kampung Tanah Merah Paulus Siwanna mengatakan, masyarakat Tanah Merah sudah siap pindah. Lokasi seluas 50 hektar di Tanah Merah sudah dibeli BP-Pertamina dengan harga Rp 15 per meter. Harga tersebut dinilai sangat rendah, tetapi masyarakat tidak mempersoalkan karena ada intervensi dari pemkab setempat.
Semestinya BP-Pertamina tidak membayar ganti rugi hak ulayat sebesar Rp 15, tetapi ada "permainan" dari pemkab setempat sehingga BP-Pertamina memberi ganti rugi begitu kecil. Tetapi, pihak BP-Pertamina telah mengadakan kesepakatan dengan masyarakat untuk membantu membangun semua sarana dan prasarana masyarakat, kesehatan, rumah ibadah, sumber daya manusia, dan sarana jalan di wilayah itu.
"Atas komitmen BP tersebut, kami tidak persoalkan harga Rp 15 per meter. Karena kesepakatan itu tidak ditentukan BP-Pertamina, tetapi pemda setempat. Kesalahan tidak terletak pada BP, tetapi pemerintah daerah," kata Siwanna.
Pihak BP menjamin, sebelum tanaman di lokasi 04 Tanah Merah Baru tumbuh dan menghasilkan, semua tanaman yang ada di lokasi Tanah Merah lama yang belum ditebang dapat diambil hasilnya oleh masyarakat. Demikian pula dusun sagu milik masyarakat tidak akan diganggu pihak BP karena aset itu merupakan makanan pokok masyarakat.
Siwanna berulang kali menegaskan, tidak perlu ada LSM yang masuk ke Tanah Merah dan menghasut masyarakat. Masyarakat sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik. LSM hadir hanya membingungkan masyarakat. Perusahaan BP- Pertamina telah mempunyai komitmen untuk membantu masyarakat.
Sementara itu Ketua Komite Relokasi Penduduk Tanah Merah Philip Kamisopa mengatakan, masyarakat Tanah Merah justru mendesak agar proses relokasi segera dijalankan. Masyarakat menunggu terlalu lama. Selama belum pindah, mereka serba bingung melakukan pembangunan dan kegiatan di Tanah Merah.
Tugas komite ini yakni bersama BP-Pertamina dan Universitas Papua (Unipa) mendampingi warga, memberi pengertian dan pemahaman serta menjawab berbagai persoalan di dalam masyarakat. Anggota Komite Relokasi penduduk sebagian besar dari tokoh masyarakat Tanah Merah.
Akan tetapi, persoalan paling mendasar adalah bagaimana memindahkan kuburan dari lokasi Tanah Merah Lama ke Tanah Merah Baru. Adat setempat tidak mengizinkan pemindahan kuburan itu.
"Kalau yang lain-lain kami bisa tangani. Tetapi, mengenai kuburan, saya tidak bisa bicara. Ini sangat rumit. Siapa saja di kampung ini tidak berani melakukan pemindahan. Satu tulang sekecil apa pun tidak boleh patah, retak apalagi tertinggal saat pemindahan. Hukuman adat sangat besar terhadap orang yang melakukannya," tegas Kamisopa yang mengaku kedua orangtuanya pun dikuburkan di dalam kampung itu.
***
MENGAPA masyarakat bersedia pindah. BP-Pertamina telah mengatakan kesediaan memberi jaminan berupa pelatihan untuk para petani, nelayan, guru, wiraswasta, tenaga kesehatan, dan seterusnya.
Tidak hanya itu, setelah perusahaan ini beroperasi, BP-Pertamina mempertimbangkan akan memberi saham kepada masyarakat yang dinilai benar-benar pemilik tanah adat ini. Ini sesuai kesepakatan 20 Mei 1999 antara masyarakat dengan BP-Pertamina.
Proses pemindahan penduduk itu tidak ada unsur paksaan dari pihak mana saja. Masyarakat sendiri sadar betapa pentingnya pembangunan di daerah ini sehingga merelakan harta benda, tanah ulayat dan tanaman pertanian digusur untuk pembangunan proyek raksasa tersebut.
Desa itu merupakan satu-satunya desa di pesisir pantai yang telah berlistrik. Listrik PLTD tersebut milik marga Agopa yang disewakan kepada penduduk Tanah Merah dengan harga Rp 15.000/bulan.
Saat ini sejumlah putra Tanah Merah telah dipekerjakan di Base Camp LNG Tangguh sementara di Saengga. Mereka bekerja sebagai satpam, koordinator pekerjaan, operator, tukang kayu, las, dan listrik.
Pejabat Kepala SD Saengga ZF Opokoupea mengatakan, masyarakat Kampung Saengga sekitar 1,5 km dari Tanah Merah, mendapat bagian berupa renovasi rumah penduduk sebanyak 56 rumah untuk 65 KK. Selain itu BP juga berjanji membangun gedung sekolah dasar, rumah ibadah, dan balai desa.
"Di sekolah ini, setiap tanggal 14 bulan itu, BP memberi bantuan tambahan makanan bagi 196 siswa SD berupa susu, kacang ijo, dan gula pasir. Selain itu BP juga membantu membayar dua guru honor dari sekolah ini masing-masing Rp 250.000 per bulan. Dengan demikian ada empat orang guru di sekolah kami," kata Opokoupea.
Baik masyarakat Tanah Merah maupun Saengga menolak kehadiran orang dari luar ke wilayah-wilayah di sekitar pengolahan dan pengilangan BP. Masyarakat menolak kehadiran tempat hiburan seperti bar, diskotek, dan lokalisasi di tempat itu hanya karena mau melayani kebutuhan karyawan BP-Pertamina.
Opokoupea mengancam mengusir sejumlah pedagang dari luar yang saat ini sudah berada di Saengga. Mereka tidak hanya menjual barang-barang dagangan, tetapi juga membawa sejumlah kaset VCD porno. Malam hari mereka mengumpulkan bapa-bapa dan anak muda di dalam kampung untuk menyaksikan VCD secara bersama-sama.
"Gara-gara VCD porno yang dipertunjukkan pedagang dari luar membuat suami-istri di dalam desa ini sering bertengkar. Para pedagang ini juga berencana membawa perempuan untuk bapa-bapa di dalam desa ini. Kami telah melapor kepada kepala desa. Kami juga akan melapor kepada pimpinan gereja di tempat ini. Yang jelas pendatang-pendatang itu akan kami usir," tegas Opokoupea.
Para pendatang ini sering tidak tahu ada aturan di desa. Dengan kekuatan modal yang dimiliki, mereka mampu membeli tanah, membangun rumah, memberi pinjam modal kepada penduduk miskin kemudian digadai dengan tanah. Lama kelamaan mereka menguasai semua sistem perekonomian di daerah itu. (Kor)
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0203/11/DAERAH/gant26.htm
 |
|