4 |
Jangan Rusak Lingkungan Bintuni,
11 Maret 2002 |
4
|
Sarat dengan Tuntutan,
LNG Bintuni, 11 Maret 2002 |
|
LNG Tangguh, Salah Satu Masa Depan Papua, 11 Maret 2002 |
4 |
Gugatan Buat KPN Kasus Pembunuhan Theys Eluay |
4 |
20 Saksi Pembunuhan Theys Eluay Akan Diperiksa Ulang |
4 |
Danjen Kopassus Yakin Anak Buahnya tak Terlibat |
4 |
Reposisi Saksi Kasus Theys Dimulai Dari Markas Kopassus |
4 |
Tom Beanal Terpilih Sebagai Penganti Theys |
4 |
Declaration by the Presidency on behalf of the European Union
concerning kidnapping and subsequent murder of Mr. Theys Eluay,
Chairman of the Papuan Presidium Council, in Muara Tami on
November 11th |
4 |
[In response to
question by former Irish minister for foreign affairs,
David Andrews, TD. Both are in the Fianna Fail party] |
4 |
Kasus
Theys Tuntas 1 Mei, 27 Februari 2002 |
4 |
COURT AFFIRMS DISMISSAL OF LAWSUIT AGAINST FREEPORT-McMoRan COPPER
& GOLD INC. |
|
 |
|
http://www.infopapua.com/papua/0302/1102.html
Pagi, Kamis (31/1) pukul 07.30 waktu Indonesia timur (WIT). Tujuh wartawan yang diundang LNG Tangguh hendak melakukan perjalanan laut menuju lokasi pusat kilang LNG Tangguh di Kampung Tanah Merah sekitar 2,5 km dari Base Camp LNG Tangguh.
Tiba-tiba Isak Siwanna, Komandan Sekuriti di base camp, memanggil para wartawan untuk berkumpul. Sekitar 50 karyawan putra daerah dari 60 karyawan di Base Camp LNG Tangguh ingin bicara.
"Kami putra daerah mau bicara, menyampaikan berbagai perlakuan tidak adil dari perusahaan terhadap kami. Ini kesempatan baik agar Pemerintah Indonesia tahu, semua warga masyarakat tahu. Wartawan punya tugas menyampaikan semua persoalan yang terjadi di sini," kata Siwanna yang mengenakan helm kuning dan pakaian kuning khas pekerja tambang.
Para wartawan bingung sambil menatap wajah Humas LNG Erwin Maryoto. "Kehendak dan inisiatif dari siapa yang mengundang wartawan secara mendadak. Apakah dari Pak Erwin. Tetapi, semalam sudah diumumkan, pagi-pagi wartawan ke kampung Tanah Merah meninjau lokasi pusat kilang," tanya para wartawan.
Erwin didampingi Novitri Lilaksari, Humas LNG Tangguh yang akan mengantar rombongan wartawan ke lokasi Tanah Merah, agak grogi menyaksikan para wartawan digiring oleh karyawan lokal menuju tempat pertemuan. Saat itu para wartawan dan petugas LNG sudah siap di Dermaga Base Camp, berangkat ke Tanah Merah.
Semua karyawan lokal dikumpulkan di tempat pertemuan. Padahal, waktu sudah menunjukkan pukul 07.30 waktu setempat. Mereka sudah lengkap mengenakan atribut kerja seperti helm (topi) pengaman, pakaian pekerja dan seterusnya.
Isak Siwanna, putra daerah Tanah Merah, mulai angkat bicara. "Ayo sekarang kita bicara sama-sama. Semua putra lokal harus bicara di tempat ini, jangan bicara di luar-luar. Ini kesempatan kita untuk menyampaikan unek-unek," tegas Isak dengan nada tinggi.
Elias Siwanna, karyawan lainnya, mulai angkat bicara. "Kami putra lokal diperlakukan tidak adil oleh perusahaan. Kapal transportasi laut yang ada di perusahaan ini, yakni Si Bon dan Buma Tiga, tidak diberi hak karyawan lokal untuk ikut ke Sorong kecuali karyawan dari luar dan karyawan tingkat atas," kata putra Tanah Merah yang kampung asalnya dijadikan pusat kilang Gas Alam ini.
***
PARA karyawan lokal bila hendak ke Sorong harus ikut ketinting (kapal kecil dengan penumpang sekitar 10 orang) menuju ke Kelapa Dua, sekitar 25 km dari Base Camp Saengga. Dari Kelapa Dua mereka mencari transportasi sendiri untuk melanjutkan perjalanan ke Sorong. Tetapi, jumlah angkutan laut ke Sorong hanya dimiliki PT Djayanti Group dan sangat terbatas sehingga sering mereka tidak terangkut ke Sorong. Mereka terpaksa menginap di rumah penduduk di sekitar Kelapa Dua. Perjalanan ke Sorong satu hari satu malam dengan biaya tiket Rp 200.000 (pergi dan pulang).
Akan tetapi, para karyawan lokal tersebut umumnya (95 persen) adalah warga desa- desa di sekitar lokasi base camp. Karena itu perusahaan hanya mengantar mereka ke tempat kediaman.
Emilius Bossa menambahkan, perusahaan telah mengambil kebijakan yang diskriminatif terhadap mereka. Ketika kapal mewah yang dikontrak perusahaan berangkat ke Sorong, tidak bersedia memuat karyawan lokal yang hendak berbelanja di Sorong. Padahal kapal itu kosong. Alasan, perusahaan tidak mau ambil risiko kalau terjadi gangguan keselamatan di perjalanan. Karyawan lokal terpaksa mencari transportasi sendiri.
"Karena tidak ada transportasi kami datang ke base camp sering terlambat, kemudian kami diperingatkan dan ditegur. Bahkan ada karyawan yang dikeluarkan dari perusahaan ini. Siapa yang salah dalam hal ini. Masalah transportasi sudah lama dibicarakan tetapi perusahaan tidak pernah mencari solusi terbaik," kata Bossa.
Bossa kemudian mengancam menahan helikopter yang sedang beroperasi dan semua kapal yang berlabuh di depan base camp. Sarana transportasi yang dinilai mewah tersebut tidak pernah melayani karyawan lokal. Dengan nada penuh emosi sambil menunjukkan kepalan tangan, ia menuntut agar perusahaan segera memenuhi tuntutan para karyawan soal transportasi laut.
Selain itu selama bekerja belum ada pelatihan terhadap para karyawan di base camp. Perusahaan hanya memberi pendidikan kepada putra daerah, tetapi tidak ditempatkan di LNG Tangguh. Usai pendidikan, mereka yang diharapkan bekerja di daerah asal ternyata dikirim bekerja di luar Papua.
Soal pekerjaan, perusahaan belum menyiapkan sumber daya manusia putra daerah untuk proses produksi LNG Tangguh pada tahun 2006. Padahal, dalam masa proses produksi nanti LNG hanya butuh sekitar 300 tenaga kerja, berarti sekitar 4.700 orang yang harus kehilangan pekerjaan dari perusahaan ini. Lalu mereka yang di-PHK akan dikemanakan.
Sejumlah putra daerah dari Teluk Bintuni yang saat ini sedang duduk di bangku perguruan tinggi minta bantuan dana untuk wisuda dan yudicium tetapi tidak dipenuhi. Padahal, mereka sangat butuh dana untuk menyelesaikan pendidikan.
Stevanus Siwanna menambahkan, masyarakat dari Kampung Saengga dan sekitarnya mulai mengeluh soal tumpahan minyak di dalam Sungai Saengga. Akibatnya udang dan ikan di sungai itu tercemar.
Mengenai keamanan, Komandan Satpam Septon W mengatakan, tindakan perusahaan yang merugikan masyarakat pada akhirnya pihak petugas keamanan yang menjadi sasaran. Masyarakat datang ke lokasi base camp penuh emosi dan cenderung brutal. Mereka membawa berbagai tuntutan dan keluhan sehubungan dengan kegiatan di lokasi ini.
Mengapa masyarakat selalu datang ribut di tempat ini, harus menjadi kajian dan perhatian dari perusahaan. Putra lokal yang ditugaskan ke desa-desa untuk bicara mengenai masalah perusahaan dan seterusnya, selalu mendapat tantangan. Kami selalu dicaci maki, diancam, dan diusir.
"Karena itu, baik humas dan semua unsur pimpinan di perusahaan ini termasuk putra daerah yang ditugaskan sebagai humas di desa-desa hendaknya memiliki satu pandangan yang sama. Jangan sampai pendapat dan informasi berbeda-beda sehingga membuat masyarakat semakin tidak percaya, dan membuat keributan di tempat ini," kata Septon.
Mengapa HAM internasional dan Duta Besar Inggris yang tiba di Teluk Bintuni tidak pernah diberi kesempatan berdialog dengan masyarakat dan karyawan lokal. Mengapa mereka hanya diantar pergi ke Tanah Merah, lalu pulang tanpa dialog dengan masyarakat.
Septon mengusulkan agar aparat keamanan seperti Brimob dan TNI tidak boleh masuk menjaga keamanan di base camp. Untuk menghindari provokasi dari pihak ketiga yang ingin melibatkan diri dalam perusahaan ini, perusahaan harus merektrut satpam dari sembilan desa di Teluk Bintuni dan ditempatkan di lokasi itu.
Mereka sebagai satpam sekaligus humas dengan tugas menjaga keamanan mengadakan pendekatan antara perusahaan dengan masyarakat dan mengantisipasi masuknya provokator dari pihak ketiga.
Sebelum bekerja di perusahaan, dalam perjanjian awal pihak perusahaan mengatakan, tiga bulan kemudian karyawan akan dinaikkan golongan. Tetapi, sampai hari ini sudah lebih dari tiga bulan status karyawan tetap pada golongan A seperti semula.
Para karyawan lokal yang tinggal di tempat kediaman masing-masing seperti Saengga dan Tanah Merah menuntut agar tempat tidur karyawan disiapkan perusahaan. Alasannya, mereka tidur di tanah sehingga kurang mendukung kondisi fisik mereka selama bekerja.
Humas LNG Tangguh Erwin Maryoto yang dikenal sebagai pribadi yang mampu meredam berbagai emosi dan siap menghadapi caci maki penduduk lokal ini menjawab semua pertanyaan. Tentang lingkungan hidup, pencemaran Sungai Saengga, ia mengatakan, pernyataan itu tidak benar.
Pihak perusahaan selalu komit terhadap lingkungan hidup. LNG Tangguh setiap saat melakukan pengontrolan secara khusus dengan alat-alat modern untuk melihat kondisi air Sungai Saengga. Tidak pernah ada tumpahan minyak ditemukan di dalam sungai.
"Sampah-sampah di base camp ini pun kami tidak pernah buang ke dalam sungai. Sampah itu dikumpulkan dan dibuang ke tempat yang sudah disiapkan. Kecuali sisa makanan kami buang ke sungai karena untuk makanan ikan, udang, dan belut di dalam sungai," jelas Erwin. Kapal-kapal yang berlabuh di sungai pun akan diperingatkan agar tidak membuang hajat di dalam sungai.
Soal pelatihan terhadap penduduk lokal, pihak LNG setiap kali memantau SMU dan perguruan tinggi di Papua mencari putra dari sembilan desa di teluk ini. Ada beberapa yang sempat direkrut dan saat ini sedang mengikuti pelatihan di Jawa. Setiap tahun dan akhir tahun pelajaran kami terus memantau di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, putra daerah asal Teluk Bintuni untuk dilatih.
Proses rekrutmen putra lokal dilakukan seadil mungkin terhadap sembilan desa sehingga tidak melahirkan kecemburuan dari salah satu desa. Karena itu kalau ada desa yang memiliki lulusan SMU tetapi tidak direkrut, itu karena proses rekrutmen di desa itu sudah dilakukan terhadap beberapa orang, sedangkan desa lain belum mendapat bagian sama sekali.
Erwin mengakui pelatihan dan petunjuk kerja secara khusus untuk para karyawan yang telah bekerja di lokasi ini belum dilaksanakan. Misalnya, pelatihan bahasa Inggris. Pihaknya telah bicara dengan Universitas Papua di Manokwari agar mendatangkan dosen untuk memberi pelatihan di lokasi kerja.
"Semua proses pelatihan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia di wilayah ini kami jalankan secara adil dan bertahap. Kami tidak mau melakukan sesuatu secara tergesa-gesa yang pada akhirnya menimbulkan kericuhan antara desa di Teluk ini," kata Maryoto.
LNG Tangguh pun telah membentuk Divisi Malaria Kontrol untuk melakukan pengobatan massal di Teluk Bintuni. Program ini telah dijalankan di sembilan desa. Pengobatan ini sifatnya untuk mendukung program pemerintah. Perusahaan tidak mengambil alih fungsi dan peran pemerintah dalam hal ini Dinas Kesehatan Manokwari.
Mengenai transportasi, sesuai peraturan perusahaan, karyawan hanya diantar dan dijemput pihak perusahaan di mana dia tinggal (berasal). Perusahaan tidak menyiapkan transportasi bagi karyawan untuk pergi berbelanja di tempat jauh seperti di Sorong.
"Kami sudah mendorong masyarakat di Teluk ini untuk mengadakan satu kapal motor khusus untuk transportasi karyawan. LNG Tangguh mendukung dengan cara apa saja. Kapal itu dikuasai masyarakat sehingga bisa mengembangkan ekonomi masyarakat di teluk ini," kata Erwin.
Jawaban ini tidak memuaskan sehingga para karyawan tetap ngotot. Mereka mendesak agar segera diputuskan diadakan kapal khusus bagi karyawan yang berlibur, cuti ke Sorong.
Para karyawan mengusulkan agar kapal motor yang berlabuh di base camp mengantar mereka sampai di Kelapa Dua pada hari dan waktu yang pas dengan jadwal keberangkatan kapal milik PT Djayanti Group dari Kelapa Dua ke Sorong. (kor- kcm)
 |
|