Other Updates

 
4 Amerika Dan Negara-Negara Donor Dukung Papua
4 Konflik Berbasis Agama Mengancam Perwujudan Konsolidasi Demokrasi
4 KSAD: Mutlak, Kepatuhan Prajurit pada Hukum
4 Tanggapan ELS-HAM Biak Atas Pernyataan John Ibo
4 Polisi Masih Mencari (Pembunuh Theys)
4 Reformasi, Otonomi Daerah, dan Degradasi Hutan
4 Article; Indonesia's New Suva Base from Pacific Magazine with Islands Business. March 2002

 

    18-Mar-2002 04:44:46 PM

Konflik Berbasis Agama Mengancam Perwujudan Konsolidasi Demokrasi

Jakarta, Konflik berlandaskan agama akan menjadi tantangan yang potensial signifikan bagi konsolidasi demokrasi di Indonesia. Kemungkinan besar, dalam pemilu demokratis kedua sejak kejatuhan Orde Baru akan muncul isu agama, khususnya apakah Indonesia akan menjadi negara Islam atau tidak. Dan ini menjadi sumber pertengkaran dan dapat membelah masyarakat.

Kekerasan yang meluas mungkin pada gilirannya akan membelah dan memperdalam keyakinan di kalangan aktor-aktor politik, termasuk para pemimpin militer, bahwa masyarakat Indonesia belum siap untuk berdemokrasi. 

Demikian dikemukakan Indonesianis Prof R William Liddle dari Universitas Negeri Ohio Amerika Serikat dan seorang kandidat doktor asal Indonesia dari universitas tersebut, Saiful Mujani, dalam diskusi yang diselenggarakan Freedom Institute di Jakarta, Kamis (14/3) malam. 

Namun, menurut Liddle, kunci untuk menghindarkan ketakutan yang berlebihan terhadap Islam di Indonesia adalah demokrasi elektoral dengan menyelenggarakan pemilu yang bebas secara periodik lima tahun sekali. Dengan adanya sistem kepartaian dan pemilu yang rutin, setelah tiga kali pemilu mungkin tidak ada lagi harapan yang berlebihan dari masing-masing pihak. 

Agama, kata Lidlle, hanya merupakan salah satu dari tiga sumber utama konflik politik yang bisa mengancam konsolidasi demokrasi di Indonesia. Dua faktor lainnya adalah etnisitas dan kelas sosial. Di masa lalu ketiga faktor ini menjadi penyebab kegagalan demokrasi di Indonesia. 

Selama 40 tahun (1959-1999) Islam politik terhalang oleh dua rezim otoritarian Soekarno dan Soeharto. Akan tetapi, pada tahun 1990-an Soeharto menggeser dukungannya pada Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), sebuah organisasi baru yang sebagian besar dari kalangan modernis dan diorganisir dalam birokrasi negara yang dipimpin oleh BJ Habibie. Dukungan Soeharto pada ICMI, lanjut Liddle, pararel dengan makin tumbuhnya pengaruh para jenderal militer yang berlatar belakang modernis. 

Kemenangan Muslim moderat terhadap kaum militan, menurut Liddle, berhubungan dengan sistem kepartaian pasca-Soeharto dan distribusi suara Pemilu 1999. Empat partai pemenang Pemilu-Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Golkar, dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P)-menentang gagasan negara Islam. Perlawanan terhadap Presiden Abdurrahman Wahid memberikan kesempatan seluruh pemimpin partai politik untuk berinteraksi satu sama lain secara intensif. Kesempatan itu juga menciptakan suasana "politik normal". 

Menurut Liddle, konflik berbasis agama secara politis lebih menjadi faktor destabilitasi politik saat ini, akibat berkembangnya paranoia daripada keberadaan musuh yang sebenarnya. Akibatnya, mereka berkesimpulan bahwa pihak yang lain akan mengalahkan atau memarginalisasikan mereka, kalau tidak akan menghancurkan mereka sama sekali, baik secara politik maupun fisik. 

Ditambahkan, kecemasan itu pada dasarnya tidak beralasan karena hanya sedikit kaum Muslim yang ingin menerapkan negara Islam dan sebaliknya hanya sedikit kelompok non-Muslim yang ingin mendiskriminasikan kaum Muslim. Banyak anak-anak dari kaum abangan pada paruh abad ini, kata Liddle, menjadi santri, tetapi kecenderungan pemikiran sosial dan politiknya tidak ke arah militansi, melainkan moderasi. (wis-kcm)
http://www.infopapua.com/papua/0302/1802.html 

   

1999 | 2000 | 2001 | 2002 | 2003 | 2004