Other Updates

 
4

Djuanda: Buktikan, TNI dan Intelijen Terlibat Kasus Theys

4Mabes TNI Umumkan Temuan Kasus Theys pada 17 April
4Tabir Kematian Theys, Tersingkap?
4Kapuspen TNI Bantah Dua Jenderal Terlibat Pembunuhan Theys
4PERNYATAAN BERSAMA TENTANG TANGGUNG JAWAB NEGARA DALAM MENJAMIN KESELAMATAN DAN KEAMANAN WARGA PEJUANG HAK-HAK ASASI MANUSIA
4Wasior Kembali Memanas, Saling Tembak Di Desa Ambuni
4UN must not turn blind eye to atrocities, Amnesty insists 
49 Saksi Kasus Theys akan Dibawa ke Jakarta
4TNI members 'killing' Theys charged with insubordination
4WEST PAPUA: International campaign for review of West Papua 'vote' launched
4Tempo Magazine - April 2 - 8, 2002, Cover Story: Invisible Commander, Invisible Troops
  07 April, 2002 04:45:01 AM

Tabir Kematian Theys, Tersingkap?

Tanggal 10 November 2001, Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) Theys Hiyo Eluay diculik dan dibunuh seusai menghadiri acara peringatan Hari Pahlawan di Markas Satuan Tugas (Satgas) Tribuana Kopassus di Hamadi Jayapura. Selain meninggalkan duka, tragedi kematiannya juga mengundang syakwasangka dan kontroversi. Siapa dalangnya? Peristiwa kriminal biasakah itu, atau suatu pelanggaran HAM?
Berbagai dalih dilontarkan. Di antaranya tudingan dari sejumlah pejabat pemerintah dan TNI yang menyebutkan, Theys "dihabisi" kelompok pejuang Organisasi Papua Merdeka (OPM) garis keras. 

Dugaan itu diragukan kebenarannya oleh antropolog dari Universitas Nijmegen, Belanda, Jaap Timmer. "Mengherankan apabila penculikan dan pembunuhan atas Ketua PDP dilakukan orang Papua. Itu tidak benar! Harus dilakukan penyelidikan teliti," ujar Jaap. 

Silang pendapat kematian Theys kini berembus kembali - sebagaimana dilansir pers - ditengarai, kematiannya erat kaitannya dengan adanya perseteruan menyangkut hak pengelolaan hutan (HPH) yang melibatkan dua perwira tinggi TNI di Jakarta. 

Moderator PDP, Pendeta Herman Awom STh segera menepisnya. "Sejak awal penculikan dan pembunuhan Ketua PDP, rakyat Papua melalui PDP telah menyatakan itu kejahatan negara terhadap rakyat sipil," katanya. 

Awom melanjutkan, rakyat di Tanah Papua menduga, kematian Theys berkaitan erat dengan ditemukannya dokumen 9 Juni 2000 menyangkut adanya keinginan pemerintah untuk membungkam pergerakan rakyat Papua. 

Sementera itu, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDP, Thaha Al Hamid, mengemukakan kepada Pembaruan, Presiden Megawati Soekarnoputri harus melakukan investigasi yang jujur dan membuka misteri di balik kematian Theys. Yang penting adalah pemerintah bisa mengungkap pelaku dan motivasinya. Bukan mempermainkan berbagai isu tentang kematian itu. 

"Apa pun yang disampaikan, rakyat Papua sudah mengetahui kematian itu atas kehendak pemerintah Jakarta, bukan alasan pengelolaan HPH," ujar Hamid. 

Hamid menegaskan, sejak integrasi orang Papua mengalami banyak kasus pelanggaran HAM. Kesemuanya tidak tertuntaskan, selalu saja ada alasan "Jakarta". "Apakah kasus kematian Theys akan terus dinaifkan?" tanyanya. Dia mengharapkan adanya keberanian Presiden Megawati Soekarnoputri dan aparat penegak hukum untuk mengungkapkan hal itu. 

Sedangkan angggota DPR, SP Morin mengatakan, rakyat sudah tahu siapa pembunuh Theys. Itu sebabnya, tidak perlu terlalu banyak bersandiwara. "Katakan siapa pembunuh Theys sesuai hasil penyidikan dari Polda Irian Jaya," katanya. 



Membelokkan Isu 

Hal senada juga dikemukakan Sekjen Komnas HAM, Asmara Nababan, pada Rabu (3/4) malam. Menurut dia, wacana soal kematian Theys sebagai korban persaingan bisnis kayu di Papua adalah upaya untuk membelokkan isu. 

Artinya, kematian Theys dilihat hanya sebagai tindakan kriminal biasa. Bukan sebuah pelanggaran HAM, apalagi pelanggaran HAM berat. Karena itu, kalaupun kemudian terbukti ada personel TNI yang terlibat dalam pembunuhan tersebut, tindakan mereka tidak lebih dari sebuah tindakan kriminal. 

Kendati demikian, lanjutnya, untuk membuktikan hal tersebut, semua pihak harus menunggu hasil kerja Komisi Penyelidikan Nasional (KPN) yang diketuai Kusparmono Irsan. 

Inspektur Jenderal (Purn) Drs Kusparmono Irsan yang dihubungi Pembaruan belum mau bicara kepada pers sebelum hasil pekerjaannya selama dua bulan menyelidiki kasus itu diserahkan kepada Presiden Megawati. 

Baginya, tidak etis dan melanggar hukum bila berkomentar soal itu sebelum menyampaikan laporan kepada Presiden. Dia hanya berkata, "Kami sudah melakukan tugas itu dan sekarang tinggal menghimpunnya untuk disampaikan kepada Presiden." KPN terdiri dari 10 anggota tim. Selain Kusparmono, anggotanya antara lain mantan Kapuspom TNI, Komandan Korps Reserse Mabes Polri Inspektur Jenderal Pol Drs Engkesman R Hilep. 

Menyinggung soal pembentukan KPN, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia, Hendardi mengatakan, "Pembentukan KPN oleh pemerintah dalam kasus kematian Theys membingungkan. Seharusnya, kasus itu diselidiki oleh Komnas HAM. Kan, sudah ada undang-undang yang mengaturnya." 

Jika hasil temuan KPN diserahkan ke kejaksaan, proses pengadilannya akan berlangsung lama, ujarnya. Sebab, temuan-temuan KPN bisa saja ditolak karena lembaganya sendiri tak sesuai dengan undang-undang yang berlaku. "Pengusutan kasus Theys oleh tim yang ditunjuk pemerintah ini lebih bersifat politis dan sekadar untuk memuaskan masyarakat, baik lokal maupun internasional," ucap dia. 

Bentuk laporan KPN akan lebih bersifat rekomendasi ketimbang fakta-fakta hukum untuk diajukan ke pengadilan sehingga proses hukumnya ke depan akan mandul. 

Apakah kasus pembunuhan itu bisa dikatakan sebagai pelanggaran HAM? Kusparmono Irsan yang juga anggota Komnas HAM itu menjawab, "Itu belum bisa diutarakan. Sebab untuk mengatakan suatu peristiwa sebagai suatu pelanggaran HAM berat harus ada penyelidikan khusus. Dan hal ini belum dilakukan sehingga masih sulit untuk mengatakan demikian." 

Menurut mantan Direktur Reserse Mabes Polri itu, hasil penyelidikan yang dilakukan oleh KPN sebagian besar akan menjadi acuan untuk untuk menentukan kasus ini sebagai pelanggaran HAM berat atau tidak. 

Menyinggung sinyalemen yang menyebutkan, aktor intelektual pembunuhan adalah perwira tinggi militer, dia tak mau berkomentar. "Kami bekerja sesuai fakta di lapangan. Semua fakta yang ditemukan di lapangan sedang disusun untuk disampaikan kepada Presiden Megawati Soekarnoputri setelah kembali dari lawatan dari luar negeri," ujarnya. 

Hal sama juga ditegaskan Kapolri Jenderal Pol Drs Da'i Bachtiar. Jenderal berbintang empat ini balik bertanya, dari mana pers bisa membuat sinyalemen itu? Polda Irian Jaya sebagai penyidik kasus pembunuhan itu saja belum bisa menentukan siapa pelakunya. "Jangankan intelektual, pelakunya saja belum ditentukan," tandas Da'i. 

Sumber Pembaruan di Mabes Polri menyebutkan, sebenarnya kasus pembunuhan sudah bisa terungkap setelah Polisi iliter (POM) TNI mendapatkan empat tersangka yang kesemuanya oknum militer. Para tersangka masih diperiksa di Jayapura oleh POM TNI dengan dukungan dari Polda Irian Jaya. Diharapkan dalam waktu tidak lama nama keempat tersangka bisa diumumkan pada masyarakat. 



Indikasi Kuat 

Hendardi berpendapat, kasus kematian Theys menjurus ke pelanggaran HAM. Sebab, ada indikasi yang kuat bahwa pelaku pembunuhan itu adalah pejabat negara, dalam hal ini anggota TNI. 

Lantaran adanya indikasi kuat itulah penyelesaian kasus kematian Theys ini harus diungkap di pengadilan HAM. Itu sesuai dengan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. 

Pasal 1 Ayat 6 UU itu berbunyi, "Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak sengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku". Selanjutnya pasal 9 Ayat 1 berbunyi, "Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya". 

Kasus kematian Theys dapat diproses melalui pengadilan HAM yang telah dibentuk pemerintah dengan UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Karena kasus Theys terjadi setelah UU itu berlaku, pengadilan HAM yang bakal berlangsung tidak bersifat ad hoc. 

"Jadi, proses peradilan kasus Theys tidak lagi memerlukan keputusan politik dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pengadilan HAM yang dibentuk UU ini sudah bersifat permanen," katanya. 

Pendapat Hendardi itu diamini Humas Pengadilan HAM di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, HA Samsan Nganro. Kepada Pembaruan, Selasa (2/4), dia mengatakan, Pengadilan HAM untuk kasus-kasus yang terjadi setelah UU 26/2000 berlaku dapat disejajarkan dengan Pengadilan HAM ad hoc yang saat ini sedang berlangsung untuk kasus Timor Timur. 

Lembaga pengadilan untuk kasus pelanggaran HAM, baik yang bersifat ad hoc atau tidak, juga telah diatur dalam UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Pasal 45 UU itu mengatakan, pengadilan HAM dapat dibentuk di Jakarta Pusat, Surabaya, Medan dan Makassar. Butir c pasal itu mengatakan, pengadilan yang dibentuk di Makassar meliputi Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, dan Irian Jaya. 

Samsan mengatakan, sesuai dengan UU Pengadilan HAM, penyelidikan kasus pelanggaran HAM seharusnya dilakukan Komnas HAM. Kemudian hasil penyelidikannya diserahkan ke kejaksaan untuk diteruskan proses hukumnya. 

Kita memang berharap banyak pada KPN untuk mengungkap tabir pembunuhan Theys. Quo Vadis KPN? Sanggupkah menyingkap tabir hitam yang menyelimuti kasus itu? Atau, kembali dengan "kambing hitam" baru? (sp)

   

1999 | 2000 | 2001 | 2002 | 2003 | 2004