April 2002

2002 | 2001 | 2000 | 1999

Jan  |  FebMar  |  AprMay  |  June  |  July  |  Aug | Sept  | Oct  |  Nov  |  Dec

 

 

4 Kontras: TNI Takut Dikoreksi
4 Kapolda : Kita Akan Buru Mereka
4 Di Antara Dua Aspirasi M
4 BP Optimistis Akan Menangkan Tender
4 MORE SCARY NOW: THE RED-AND-WHITE MILITIA SECRET DOCUMENT REVEALED, The Next East Timor is now Apparent
4 KPN Telah Identifikasi Pelaku Pembunuhan Theys
4

World Council of Churches Office of Communication - Press Release [cf. WCC Press Release, PR-02-12, of 18 March 2002]: UN Commission on Human Rights:

4 Pangkostrad: Pihak Luar Inginkan Disintegrasi Indonesia
4 KPN Telah Identifikasi Pelaku Pembunuhan Theys
4 Papuans hold talks on Muslim paramilitaries
4 Annan Wants to Visit Jakarta: Report
4 BP Optimistis Akan Menangkan Tender

 

     
4/24/2002 3:14:10 PM 

Di Antara Dua Aspirasi M


Jayapura, Banyak orang yang tak percaya bahwa uang bisa membunuh seorang Theys Eluay. Dengar saja cerita Thaha Al Hamid, Sekretaris Jenderal Presidium Dewan Papua (PDP), kepada TEMPO di rumahnya. Pada 7 November tahun lalu, ia kedatangan tamu yang mengaku bernama Doni Hutabarat dari Kopassus Satgas X Tribuana, yang gayanya akrab bak kawan lama. Katanya, ia ingin mengundang Thaha menghadiri resepsi malam Hari Pahlawan di Hamadi—markas Kopassus, sekitar 3 kilometer dari Jayapura. 

Bersediakah Thaha? Ternyata istri Thaha bukan hanya tak mengizinkan Doni masuk, tapi malah mengusirnya pergi. Rupanya, Thaha sekeluarga sudah merasakan ketidaknyamanan karena selama dua minggu meyakini diintai anak buah Doni. Malah dua orang sempat memaksa masuk ke mobil Thaha. "Mereka menebar jaring," ungkap Sekjen PDP itu. Catat, undangan serupa dilayangkan ke sekretaris PDP, Willy Mandowen. Lalu, yang terbayang, target pembunuhan malam itu mungkin sekali bukan cuma Theys, tapi juga beberapa pengurus teras PDP. 

Ujung cerita sudah bisa ditebak: malam itu Theys datang sendiri, dan ditemukan terbunuh esoknya. Karena itulah Thaha mengaku sulit menerima ada motif di luar urusan politik dalam kasus itu. Apalagi ada pidato Presiden Megawati soal separatisme di Papua, serta pertemuan Presiden dengan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Hendropriyono dan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, yang dianggap Thaha sebagai rencana menghabisi gerakan Papua Merdeka. 

Apalagi bukan cuma Thaha yang berkesimpulan begitu. Beberapa aktivis Elsham (Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia) Papua malah ter-kesan ngotot menyebut politik satu-satunya alasan pembunuhan Theys. 

Isu soal uang dan keterlibatan para pensiunan jenderal, bagi Elsham, cuma akal-akalan mengalihkan perhatian. "Motif lain dipakai agar institusi negara tak terlibat," kata Sam Rumbrar dari Elsham. Di mata mereka, apa yang menimpa Theys dilakukan secara sistematis dengan melibatkan lembaga negara. Mereka menduga, kesalahan akan ditimpakan pada Letkol Hartomo dan anak buahnya—karena salah menerjemahkan perintah atasan—seperti diungkapkan Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal Endriartono Sutarto. Cuma, Elsham mengaku belum sampai menelisik soal uang di dekat Theys karena terbentur untuk memperoleh data yang lengkap. Tapi mereka setuju bahwa uang di tubuh PDP termasuk soal misterius. 

Yang paling gampang dilihat adalah mobil Toyota Kijang biru metalik—yang dipakai Theys—pemberian perusahaan penebangan kayu PT Djajanti. Para pengurus Presidium juga beberapa kali bepergian ke luar negeri, seperti Amerika Serikat dan Australia, dan mereka sering bolak-balik Jakarta-Papua. Rumor pun beredar, petinggi PDP sudah menerima uang dari perusahaan yang tak ingin kelangsungan bisnisnya di Papua terganggu. 

PDP memang punya dewan adat yang sekarang berhak ikut menentukan apakah sebuah proyek bisa berjalan atau tidak. Kontrak investasi memang ditandatangani dengan pemerintah pusat, tapi—seperti kata Thaha—suku-suku di lokasi proyek akan melawan jika perusahaan tak mau berkompromi dengan keinginan mereka. Dan setiap kepala wilayah adat berhak menandatangani sendiri persetujuannya dengan investor, plus berhak juga menerima kompensasi langsung—uang atau lainnya. 

BP Indonesia, misalnya, punya ladang gas di Teluk Bintuni, dekat Sorong. Di situ bermukim enam suku yang semuanya masuk PDP. Setiap kali muncul persoalan di daerah operasinya, BP men-datangi pengurus Presidium untuk menyelesaikannya. Apa imbalannya? Beberapa aktivis LSM di Papua menyebut BP sudah sepakat soal kompensasi dengan masyarakat adat di Bintuni, yang diamini Yorrys Raweyai dan Willy Mandowen—sebagai wakil lembaga adat. 

Namun, Thaha membantahnya karena, katanya, dewan adat itu otonom dan tidak ditentukan oleh Presidium. Cuma, ia tidak menafikan bahwa ada perusahaan yang memberikan kompensasi berupa uang kepada masyarakat. "Terserah perjanjiannya dengan investor," katanya. 

Satya Wirayudha, Wakil Presiden BP urusan hubungan masyarakat, kepada TEMPO menegaskan bahwa tidak ada pemberian uang kepada siapa pun di daerah operasinya. Yang ada, katanya, cuma kesepakatan bersama masyarakat mengenai program semacam air bersih dan listrik. Yang diakuinya, beberapa tokoh PDP sudah diajak melongok markas besar BP di London. 

BP boleh saja bilang begitu, tapi Thaha mengaku dia dan masyarakat tak pernah percaya dengan program pengembangan masyarakat yang dibuat oleh investor. "Kami menginginkan yang konkret," katanya. 

Kabar lain adalah adanya komitmen bantuan dari PT Freeport Indonesia sekitar Rp 60 miliar kepada perjuangan rakyat Papua. Gara-gara sengketa uang itulah, tulis portal berita Koridor.com, Theys menemui ajal. Hal ini dibenarkan juga oleh beberapa aktivis Elsham—bahwa ada kaitan antara komitmen pemberian dana itu dan kematian Theys. 

Ketua PDP itu memang beberapa kali datang ke Timika, kawasan operasi Freeport, dan beberapa hari sebelum pem-bunuhan itu ia menemui beberapa pejabat Papua di kota tadi. Tom Beanal, ketua PDP yang lain, juga menjadi komisaris di perusahaan tambang emas dan tembaga tersebut. Apa yang mereka bicarakan? Sebagian besar menduga soal rencana penggunaan dana itu. 

Sekarang dengar komentar Sidharta Moersjid. Manajer Senior Humas PT Freeport Indonesia itu menyatakan bahwa pihaknya adalah kontraktor pemerintah Indonesia. Artinya, Freeport mengikuti aturan pemerintah pusat, termasuk dalam hal pengeluaran dana untuk masyarakat. Apalagi perusahaan itu sudah menggelontorkan jutaan dolar lewat Yayasan Pembangunan Irian Jaya. "Saya kira tidak ada bantuan kepada PDP," ungkap Sidharta. 

Nah, kalau dulu cuma lisan, sekarang PDP melangkah maju. Pada 25-28 Februari lalu, mereka menggelar musyawarah besar masyarakat adat yang melahirkan manifesto hak-hak dasar rakyat Papua. Butir ke-6 manifesto itu jelas menyebut bahwa sumber daya alam di Papua harus dimanfaatkan untuk kepentingan aspirasi politik rakyat Papua. Artinya, semuanya harus mendukung aspirasi M—sebutan "Merdeka" untuk Papua. Dengan manifesto itu, dewan adat PDP memberikan hak kepada setiap lembaga adat di seluruh Papua untuk bernegosiasi langsung dengan investor baru ataupun lama soal kompensasi untuk masyarakat. 

Maka, dengan jumlah uang yang bakal berlimpah, sulit mengesampingkannya sebagai motif pembunuhan Theys. Karena itu, ada dua M besar yang sedang ramai di Papua: M untuk menyebut "Merdeka" dan M untuk money alias uang. Dan kita tahu, orang akan tega membunuh karena salah satu atau keduanya. 

Coba tengok pelesiran para pengurus PDP ke beberapa negara dan bolak-balik Papua-Jakarta. Tentunya semua itu membutuhkan uang yang tak sedikit. Belum lagi kongres dan rapat ini dan itu. Anehnya, PDP sendiri, seperti pengakuan Thaha, tak punya uang sepeser pun di kas organisasi tersebut. Lo, lantas dari mana semua biaya itu? 

Thaha mengatakan, semua itu dari teman-temannya dan para donatur, tanpa mau memerinci siapa mereka. Untuk acara resmi seperti Kongres Rakyat Papua, biayanya juga dimintakan dari sumber resmi seperti Presiden (kala itu) Abdurrahman Wahid, yang memberikan sekitar Rp 1 miliar. Begitu pula saat Theys sakit di Jakarta, Abdurrahman mengambilkannya dari pos bantuan presiden. Tapi, untuk kegiatan lain yang tak diekspos media massa, siapa yang mengongkosinya? 

Satu-satunya nama yang didapat TEMPO dan selalu muncul sebagai "donatur" tetap adalah Yorrys Raweyai—diangkat Theys sebagai Ketua Presidium Masyarakat Papua di Jakarta. Tak aneh, seperti cerita beberapa wartawan di Jayapura, setiap kali Theys usai bepergian dengan Yorrys, ia menjadi sinterklas yang membagi-bagikan uang dalam jumlah lumayan. Kepada TEMPO, Yorrys cuma mengaku membayari Theys makan-makan jika ia datang ke Jakarta. "Kalau ke luar negeri, saya mendapat uang dari mana?" katanya. Ia juga mengaku tidak tahu-menahu dari mana Theys dan pengurus lainnya mendapatkan ongkos perjalanan dan lain-lain. 

Ketua Komisi Penyelidik Nasional, Koesparmono Irsan, menyatakan bahwa semua indikasi, baik politik, ekonomi, maupun urusan perempuan, bisa menjadi motif pembunuhan itu. "Tapi soal uang masih sangat sumir," ujarnya. Koesparmono hanya mengatakan semua motif akan digelar dan akan dicari yang paling cocok. Soal tersangka pelakunya, hampir pasti serdadu Kopassus—seperti yang disebut Komandan Pusat Polisi Militer TNI, Mayjen Sulaiman Ahmad Bakri, kepada wartawan. 

Tapi rupanya soal motif sangat sensitif dan merepotkan. Bayangkan saja, kalau disebutkan motif politik, lantas siapa kira-kira pejabat dan lembaga yang akan dituding? Atau, kalau ini disimpulkan sebagai tindak kriminal biasa, orang akan mencibir tak percaya. 

Yang paling mungkin, ada pengusaha yang dikecewakan Theys, lalu meminta para serdadu itu membunuhnya. Motif ini pun bisa gawat karena pengusaha ter-sebut mestinya orang sipil yang punya pengaruh kuat pada para petinggi militer atau Kopassus di Jakarta. Atau dia sendiri pengusaha yang bekas anggota Kopassus. Motif lain adalah perebutan uang dan pengaruh dalam tubuh PDP, dan tangan Kopassus "dipinjam" untuk menghabisi Theys—tentu saja dengan persetujuan atasannya. Segalanya tetap mungkin. 

Sumber : I G.G. Maha Adi (Jayapura)-Tempo 

© Copyright 1999-2001. All rights reserved. Contact: TribalWEBMASTER   Presented by The Diary of OPM