|
|
Surat Kabar Timika Pos 10 April 2002
|
Kasus HAM Abepura Diduga Sengaja Diulur
Jakarta, Kejaksaan Agung (Kejagung) diduga sengaja mengulur-ulur waktu penyidikan kasus pelanggaran hak asasi manusia di Abepura, Jayapura, Papua, sebab, tidak masuk akal bila hanya untuk menentukan sebuah berkas penyelidikan dinyatakan lengkap memerlukan waktu selama tujuh bulan. Demikian Sekertaris Jenderal Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Jhonson Panjaitan usai acara pernyataan sikap Komunitas Mahasiswa se-jawa-Bali di Kantor PBHI Jakarta,Senin(8/4). Seperti di beritakan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah menyerahkan berkas penyelidikan kasus Abepura pada 5 Mei 2000. Pertengahan Juli 2000 Kejagung menyatakan berkas tersebut kurang lengkap dan meminta Komnas HAM melengkapinya.Secara terpisah, Sekjen Komnas HAM Asrama Nababan menyatakan, pada 15 Agustus 2002 dia sudah menyerahkan kembali berkas penyelidikan Komnas yang sudah dilengkapi itu kepada Kejagung. Namun setelah waktu berlalu sekian lama, tidak ada kabar berita tentang kemajuan penyelidikan atas berkas itu.
Keterangan ini diperkuat oleh Koordinator Kontras Papua, Petrus Ell. Menurut Ell, 26 anggota tim Kejaksaan Agung telah selesai bekerja meminta keterangan dari 74 saksi, di antaranya 63 saksi korban. Namun, sampai sejauh ini, Kejagung belum menemukan siapa tersangka dalam kasus pelanggaran berat HAM di Abepura itu. Hasil penyidikan yang diperoleh dari keterangan 74 orang saksi di lapangan, menurut pihak Kejagung, masih akan dianalisa, dievaluasi dan dikaji, kemudian baru ditetapkan siapa sesungguhnya pelaku pembunuhan itu.
Menurut Ell, tim Kejagung telah menemukan bukti-bukti permulaaan yang cukup tentang adanya pelanggaran HAM berat. Dan, dalam penyidikan di lapangan, tim Kejagung menemukan adanya bukti-bukti memperkuat bukti awal tersebut, sesuai UU No 26 Tahun 2002.
Dalam peristiwa 7 Desember 2002, tercatat tiga Mahasiswa tewas, dua korban meninggal akibat di aniaya dan satu ditembak oleh anggota Polres Jayapura. Sementara itu, korban luka berat sebanyak 63 orang, 15 diantaranya mengalami cacat tubuh dan mental akibat penganiyaan. Kejadian itu merupakan buntut dari penyerangan Polsek Abepura, 6 Desember 2000,oleh kelompok sipil bersenjata. Penyerangan itu menyebabkan dua anggota Brimob dan satu anggota Satpam tewas.
Panjaitan mengatakan, ‘kebohonhan’ yang paling tampak adalah ketika Jaksa Agung mengatakan Jaksa tersebut dinyatakan lengkap pada akhir Maret 2001. Itupun setelah beberapa media mempertanyakan nasib perkara peradilan HAM pertama setelah Undang-Undang (UU) No 26 Tahun 2000 diberlakukan. Peristiwa Abepura tanggal 7 Desember 2000 sangat menarik karena baru pertama kali itulah negara ini resmi mengakui kejahatan HAM yang dilakukan aparatnya.
Tentang alasan Jaksa bahwa penyidikan kasus Abepura disebabkan tidak tersedianya dana, menurut Alexander Aur dan Charles AM Imbir selaku Wakil Mahasiswa Papua, hal itu sungguh tidak tepat. “Bukankah Negara sudah menyediakan dana untuk itu. Lagipula, kalau alasan tidak ada dana buat penyidikan kasus pelanggaran HAM Papua, dibenarkan, berati persoalan HAM hanya dianggap sepele oleh Negara ini,”kata Alexander.(kcm)
|