April 2002

2002 | 2001 | 2000 | 1999

Jan  |  FebMar  |  AprMay  |  June  |  July  |  Aug | Sept  | Oct  |  Nov  |  Dec

 

 

4 SIARAN PERS - No: 11/SP-Kontras/IV/02 Tentang: Proses Pengungkapan Kasus Theys dan Upaya Pemutusan Pertanggungjawaban Negara
4 Komando Tersesat di Pusaran Konflik
4 Mengapa Kopassus 'Tersesat' 
4 Kasus Theys Mirip Penculikan Aktivis
4 Pembunuh Theys Lebih dari Satu Kesatuan
4

150 TENTARA AKAN DI KIRIM KE PAPUA, Situmorang: Dalam konteks rotasi, bukan penambahan

4 Budaya Konflik Kian Mengkhawatirkan
4 Motif konspiratorial, Motif pembunuhan Theys
4 Saksi Pembunuhan Theys Ketakutan
4 "Mereka Cuma Eksekutor"
4

BP Tak Bertanggung Jawab Atas Kematian 48 Bayi di Bintuni

4 Proses Amdal LNG Bintuni Sudah Libatkan Masyarakat
4 Peace on the net - A guide to resources for peace-makers, Jane McGrory
4 Gubernur Papua Optimis Pembunuh Theys Segera Terungkap
4 Tempo Magazine - April 16 - 22, 2002, Interview: Koesparmono Irsan: "Everything has been in the open"
4 Franciscans International and Dominicans for Justice and Peace demand an end to long-standing and ongoing human rights violations in Papua, Indonesia
4 Hasil KPN Kasus Theys Mau Diserahkan, Mega ke Luar Kota

 

     
Sunday, April 21, 2002 05:52:56 AM

OPINI TEMPO
Edisi No. 07/XXXI/15 - 21 April 2002 



Mengapa Kopassus 'Tersesat' 


SELASA ini Komando Pasukan Khusus memperingati hari jadinya yang ke-50. Lazimnya usia setengah abad dirayakan sebagai hari emas. Namun, bagi Kopassus, kabut keprihatinan masih menyelubunginya di umur istimewa ini. Apa boleh buat, keterlibatan institusi ini sebagai penyokong andalan pemerintahan Orde Baru menyebabkannya terbeban aib warisan masa lalu. 

Padahal tak semua masa lalu satuan elite ini buruk. Pada awal Orde Baru, kebanyakan orang merasa bangga mempunyai satuan militer bernama Resimen Para Komando Angkatan Darat, sebutan Kopassus saat itu. Nama RPKAD sempat diidentikkan sebagai resimen kumpulan prajurit paling terlatih di negeri ini, yang bersikap lebih baik pulang nama ketimbang gagal melakukan tugas. Sosok Sarwo Edhie, Komandan RPKAD ketika itu, bahkan menjadi idola banyak orang. Ia bukan hanya seorang patriot yang berani dan tegas bersikap, tapi juga menjalani pola hidup yang bangga dengan kesahajaan. Wajar jika cukup banyak yang melihatnya sebagai model satria sejati Indonesia. 

Sayangnya, keharuman itu, masa-masa ketika rakyat meng-elu-elukan kehadiran RPKAD dengan gegap-gempita, kini jauh panggang dari api. Nama Kopassus saat ini lebih diasosiasikan orang ramai sebagai satuan peneror saudara sebangsa dan setanah airnya. Sebagai institusi yang menculik mahasiswa aktivis, melanggar hak asasi rakyat di daerah bergolak seperti Aceh dan Papua, bahkan sebagian anggotanya dituding terlibat dalam berbagai aksi yang menggoyahkan rasa aman publik. 

Perubahan drastis ini tentu memprihatinkan. Karena itu, momen merayakan hari jadi separuh abad selayaknya digunakan untuk melakukan perenungan, untuk mencari jawaban mengapa Kopassus sampai "tersesat" hingga tergelincir dari posisi awal dicintai rakyat menjadi sasaran hujatan khalayak, terutama kalangan generasi muda. 

Jawabannya, setidaknya menurut majalah ini, ternyata jelas di ambang mata—hingga tak perlu lagi bertanya kepada rumput yang bergoyang. Kopassus tersesat ketika, secara sadar atau tidak, korps baret merah ini beralih fungsi dari alat negara menjadi alat kekuasaan. Akibatnya, kepiawaian satuan elite ini dalam menggunakan kekerasan tak lagi hanya ditujukan kepada musuh bangsa, tapi kepada semua lawan penguasa. Siapa pun yang tak sejalan dengan kebijakan Panglima Tertinggi adalah sasaran yang perlu dilibas. Mahasiswa kritis dan politisi yang punya ide berbeda dalam cara pengelolaan negara diculik. Tokoh masyarakat yang menuntut perbaikan keadilan untuk kaumnya diteror dan dipojokkan hingga merasa tak punya pilihan selain menjadi separatis atau anarkis. Kalangan yang ingin mengadakan protes damai diprovokasi hingga melakukan kegiatan melanggar hukum dan, karena itu, layak ditindak keras sebagai pelaku pidana. 

Dampak buruk itu tak hanya kepada pihak luar, tapi juga terhadap internal Kopassus, terutama pada jati diri korps. Sikap utama seorang kesatria, berani memikul tanggung jawab dan bangga hidup bersahaja—seperti yang ditunjukkan Sarwo Edhie dan para perwira RPKAD masa lalu—kini seperti menjadi barang langka. Nyaris tak ada lagi komandan yang berani maju dan mengambil alih tanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan anak buahnya seperti di masa silam. Bahkan sengitnya kompetisi merebut pangkat dan jabatan di antara sesama perwira terkadang terasa seperti tak mengacuhkan lagi kepentingan atau harkat dan nama baik negara dan bangsa. 

Patut dijelaskan bahwa berbagai gejala buruk itu tak hanya terjadi di Kopassus, tapi di hampir semua institusi republik ini, baik yang militer maupun sipil—termasuk juga media. Karena itu, tersesatnya Kopassus, seperti juga tersesatnya komponen negara yang lain, tak dapat semata-mata disampirkan di pundak para prajurit komando, tapi merupakan dampak kesalahan kolektif bangsa. Walhasil, pembenahannya juga tak dapat diharapkan hanya dari internal institusi masing-masing, termasuk Kopassus, tapi harus bersumber dari para pemimpin bangsa yang telah dipilih rakyat untuk mewakili aspirasinya. 

Sebab, pada dasarnya Kopassus, juga TNI, adalah alat negara. Karena itu, pemanfaatannya semata-mata bergantung pada para penyelenggara negara. Ibarat pisau komando yang tajam, Kopassus dapat dimanfaatkan sebagai alat bela diri yang andal tapi sekaligus juga dapat melukai diri jika pemakaiannya keliru. Walhasil, kendati ini mungkin tidak populer di kalangan tertentu, kita harus berani mengatakan bahwa menghujat Kopassus adalah pekerjaan bodoh yang cuma menghabiskan tenaga sia-sia, terlepas dari dosa apa yang telah dilakukan kesatuan ini di masa lalu. Ini seperti memaki-maki pisau yang menyayat tangan sendiri. Yang salah bukan sang pisau, melainkan yang memakainya. 

Maka, dengan sedikit memelesetkan judul buku Arswendo Atmowiloto yang populer itu, bolehlah dikatakan bahwa se-benarnya "membenahi militer itu gampang," termasuk yang dianggap paling jago seperti Kopassus. Yang diperlukan hanyalah kesepakatan rakyat—tentu melalui mekanisme politik yang ada—mengenai apa yang harus mereka lakukan. Setelah itu, penyelenggara negara tinggal memerintahkan agar para prajurit melaksanakannya. 

Percayalah, mereka pasti akan taat dan berteriak lantang, "Siaaaaap…." Error processing SSI file '/news/l-kom15042002.html'