|
|
Sunday, April 21, 2002 05:52:24 AM
|
Komando Tersesat di Pusaran Konflik
Di usia emasnya, pamor Kopassus justru memudar. Mereka terjebak berpolitik dan berbisnis. Semuanya harus ditata kembali, kata Wakasad Letjen Kiki Syahnakri.
Kesunyian pesta ulang tahun itu seperti menunjukkan apa yang terjadi: Komando Pasukan Khusus tengah “muram” wajahnya. Tiada spanduk, tiada umbul-umbul warna-warni. Cuma ada kerja bakti membersihkan lingkungan sekitar dan hiburan rakyat. Semua serba seadanya. Padahal, Komando Pasukan Khusus (Kopassus) yang bermarkas besar di kawasan Cijantung, Jakarta Timur, Selasa pekan ini, 16 April, memasuki usia emas. Pasukan pilihan yang pernah membanggakan dengan sederet prestasi hebat ini seharusnya merayakan usia 50 tahun ini dengan gegap gempita. Tapi kali ini hanya ada upacara rutin, dipimpin Panglima TNI Laksamana Widodo A.S. sebagai inspektur upacara.
Kalau ada peragaan ketangkasan, itu cuma atraksi simpel yang biasa mereka lakukan sehari-hari. Sejumlah anggota baret merah akan memilih dan menembaki sasaran secara cepat. Mereka tak boleh salah menembaki orang sipil yang tak bersenjata. “Ini sebuah simulasi yang bagus untuk melatih kepekaan anggota baret merah agar tak salah menembak,” kata Kapten Farid Ma’ruf, Kepala Penerangan Kopassus. Pesannya juga jelas: untuk membekali kemampuan prajurit menghindari pelanggaran hak asasi.
Kata terakhir ini memang akrab ditempelkan ke tubuh Kopassus: pelanggaran hak asasi manusia. Pasukan yang bermoto “lebih baik pulang tanpa nama daripada gagal dalam tugas” ini sedang disorot dari segala penjuru. Orang belum lupa akan kasus penculikan para aktivis yang dilakukan anggota Kopassus pada awal 1998. Belum lagi sejumlah kasus tudingan pelanggaran hak asasi oleh mereka di Aceh, Timor Timur, dan Papua. Yang paling gres, sejumlah anggotanya disangka sebagai biang penculikan tokoh Papua Theys Hiyo Eluay pada November lalu. Kasus tewasnya Theys ini menjadi isu besar dan tengah ditangani oleh Komisi Penyelidik Nasional.
Apa pun motifnya—entah politik atau bisnis—jika dugaan itu terbukti, Kopassus bisa semakin babak-belur. Kegemilangan prestasi di masa silam bisa tinggal kenangan. Pamornya sebagai pasukan elite yang memasok banyak perwira di jajaran kunci TNI bisa semakin redup.
Dan itu sangat bertolak belakang dengan semangat 50 tahun silam, ketika pasukan khusus ini dibentuk untuk kebutuhan sesaat: menghadapi pemberontakan Republik Maluku Selatan. Pemimpin Operasi Kolonel Inf. A.E. Kawilarang dan Komandan Penyerbuan Kolonel Inf. Slamet Riyadi merasa kewalahan menghadapi pasukan pemberontak yang disokong oleh dua kompi bekas Korps Speciale Troepen, pasukan elite Belanda. Keduanya lalu merintis pasukan elite dibantu oleh Rokus Bernadus Visser alias Mochamad Idjon Janbi, seorang bekas tentara Belanda yang memilih bergabung ke Republik. Terbentuklah Kesatuan Komando Tentara dan Teritorium III (Kesko) yang beranggotakan 400 taruna, di bawah Panglima III/Siliwangi, pada 16 April 1952. Idjon yang menjadi komandan sekaligus pelatihnya.
Setahun kemudian, Kesko di bawah kendali langsung Kepala Staf Angkatan Darat. Namanya diubah menjadi Korps Komando Angkatan Darat (KKAD). Nama ini juga tak lama disandang. Pada 1955 diubah lagi menjadi Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD). Selanjutnya kesatuan ini berganti nama lagi pada 1959 menjadi Resimen Para Komando Angkatan Darat dengan singkatan sama. Lalu pada Mei 1985 pun RPKAD menyandang nama baru, Komando Pasukan Khusus.
Prestasinya lumayan hebat. Ketika masih bernama RPKAD, pasukan baret merah terlibat dalam berbagai upaya menumpas bermacam gejolak di pelbagai daerah. Mereka trengginas menggempur rencana pembentukan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Utara, pergolakan Permesta di Sulawesi, dan Paraku di Kalimantan.
Belakangan, mereka tak hanya bertempur, tapi juga tergiur berpolitik. Pada 1956, pasukan khusus ini ikut menentang Presiden Sukarno dan Kabinet Burhanuddin Harahap dalam soal pengangkatan Abdul Haris Nasution menjadi KSAD. Ujungnya, Mayor Djaelani, Komandan RPKAD saat itu, berupaya melengserkan Nasution dari posisinya. Seperti ditulis Julius Pour dalam buku Benny Moerdani: Profil Prajurit Pejuang (1993), Djaelani sempat mengirim pasukannya untuk menculik Nasution. Tapi rencana yang disiapkan dari markas RPKAD di Batujajar, Jawa Barat, ini gagal karena keburu bocor ke telinga Nasution. Akhirnya Djaelani dicopot dari jabatannya.
Pengalaman pahit itu langsung ditebus. Sebuah tindakan jitu dilakukan orang-orang RPKAD: mengganyang gerakan 30 September, dikenal dengan G30S/PKI, yang meletus pada 1965. Posisi politik ini terbilang tepat pada saat itu. Pasukan berseragam loreng darah mengalir ini pro pada kekuatan yang mendorong lahirnya Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto.
Pamor Kopassus akhirnya berkilap di era Orde Baru. Banyak sekali gerakan separatis yang dapat ditumpas. Operasi pembajakan pesawat Garuda “Woyla” di Bandara Don Muang Bangkok, Thailand, pada 1981, hanya satu dari keberhasilan pasukan komando ini. Sejak itu jalan mulus terbentang bagi perwira baret merah. Beberapa nama melesat ke posisi puncak sebagai panglima TNI. Jenderal Benny Moerdani, Edi Sudradjat, dan Feisal Tanjung (1993-1998) bisa meraih posisi penting itu.
Kejayaan Kopassus mencapai puncak pada akhir era Feisal Tanjung. Saat itu hampir semua posisi strategis di TNI mereka kuasai. Belakangan, Kopassus dimekarkan besar-besaran oleh Prabowo Subianto. Menantu Soeharto ini menjadi komandannya pada 1995-1998. Selain Grup I, Grup II, dan Grup III yang menggodok pasukan komando, dibentuk pula Grup IV yang mengkhususkan pada keahlian intelijen alias sandi yuda. Ada lagi Grup V yang menyiapkan pasukan antiteror. Jumlah personel mencapai 7.000 lebih. Pangkat sang komandan yang semula cuma brigadir jenderal akhirnya dinaikkan menjadi mayor jenderal—dengan sebutan komandan jenderal.
Pemekaran bukannya berlangsung mulus. Sejumlah petinggi TNI menentang karena dinilai tidak efektif. Pasukan khusus seharusnya kecil dan terbatas, dengan kemampuan super. Itu yang terjadi di mana-mana. Grup Gerak Khas Malaysia, misalnya, cuma terdiri dari tiga resimen mirip RPKAD dulu. “Kalau jumlahnya terlalu besar, namanya bukan pasukan khusus lagi,” ujar Mayjen Purn. Syamsudin, yang dulu pernah digembeleng di RPKAD. Ia juga tidak setuju Kopassus mempunyai skuadron helikopter dan tank seperti direncanakan Prabowo. Apalagi sampai harus berbisnis.
Kekhawatiran Syamsudin benar. Kopassus tergelincir justru di saat pasukan tengah mekar-mekarnya di tangan Prabowo. Tiba-tiba pada awal 1998, Pius Lustrilanang dan kawan-kawan, para aktivis LSM, yang diculik oleh Tim Mawar Kopassus, mulai “bernyanyi”. Mereka beberkan kisah penculikan itu kepada publik. Kasus ini akhirnya bermuara ke pengadilan militer (lihat Mereka Cuma Eksekutor). Sebelas anggota Tim Mawar divonis penjara 12 sampai 22 tahun. Tapi mengapa sebuah pasukan elite tempur sampai menculik warga sipil?
Jawabannya, pasukan ini rupanya “menari” dengan tetabuhan orang luar untuk tujuan yang jauh dari menyelamatkan negara. Kopassus dianggap tak bisa dikendalikan oleh Jenderal Wiranto, Panglima TNI saat itu. Praktis Letjen Prabowo bebas menggunakan kewenangannya untuk mengomando anak buahnya untuk menculik para aktivis yang tak suka pada Presiden (saat itu) Soeharto. “Belum lagi terjadi persaingan antara Prabowo dan Wiranto. Ini yang kemudian membuat Kopassus lepas kontrol,” kata Kusnanto Anggoro, pengamat pertahanan dari lembaga kajian CSIS.
Problem yang mirip juga terjadi pada kasus Theys Eluay. Anggota Kopassus yang dituduh terlibat dalam pembunuhan Ketua Dewan Presidium Papua itu memang di bawah kendali operasi Pangdam Trikora. Tapi bisa saja mereka masih merasa sebagai orang yang dikirim dan tunduk pada Jakarta. “Tapi ada kemungkinan lain, mereka memang desersi alias membangkang,” kata Kusnanto. Jadi, selain soal longgarnya komando, juga ada masalah disiplin anggota.
Mayjen pensiunan Syamsudin punya argumen lain. Ini menyangkut tindakan pelanggaran hak asasi yang dilakukan anggota Kopassus di daerah operasi seperti Aceh, Papua, dan juga Timor Timur dulu. Syamsudin melihatnya dari sisi kurikulum pendidikan di markas Kopassus. “Dulu kami memang tak membekali mereka dengan pengetahuan tentang hak asasi manusia,” ujar bekas Pangdam yang kini menjadi anggota Komnas HAM itu.
Citra baret merah jadi buram. Di tengah konflik di kalangan TNI yang cukup sengit menjelang dan sesudah Soeharto lengser, hal itu memberikan alasan buat menyingkirkan orang-orang Kopassus dari posisi strategis. Kini perwira tinggi baret merah yang menduduki posisi kunci bisa dihitung dengan jari. Bahkan dari catatan TEMPO, tidak ada jenderal berbintang tiga dari Kopassus yang memegang jabatan penting di TNI. Tapi gejala yang kasat mata ini ditampik oleh Wakil KSAD, Letjen Kiki Syahnakri. “Masih banyak perwira Kopassus yang berperan penting di TNI. Ya, sinergilah,” katanya.
Pembenahan telah dilakukan. Tahun lalu pasukan ini dirampingkan lagi menjadi empat grup. Grup V antiteror diciutkan menjadi sebuah detasemen. Jumlah pasukan dikurangi sehingga kini tinggal sekitar 6.000 personel. Pelbagai bisnis Kopassus akan ditata lagi. “Masa lalu harus kita tinggalkan. Saatnya kini menyongsong masa depan yang lebih baik,” ujar Letjen Kiki.
Benar. Namun membalikkan citra tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh waktu, juga bukti.
Gendur Sudarsono, Hendriko L. Wiremmer, Arief Kuswardono (tempo)
|