Other Updates

 
4

Hukum dan Kriminal, KANTOR GUBERNUR MALUKU TERBAKAR HABIS

4

Mendesak, Pembentukan Tim Investigasi Independen

4Kasus Theys, Dua Jenderal Terlibat 
4Komando Siluman, Pasukan Siluman
4Jantung Theys dan Aristoteles
4Terjepit Bisnis Kayu
4Antara Jakarta dan Papua
4Berawal dari Rumor Drakula
4Kelambanan Pemulangan Pengungsi dan Situasi Politik Lokal
4KANTOR GUBERNUR MALUKU TERBAKAR HABIS

 

  

>Rabu, 3 April 2002

Kelambanan Pemulangan Pengungsi dan Situasi Politik Lokal 

TERNATE sudah hampir pulih, meski keramaian dan suasana di salah satu kesultanan di kawasan Maluku Utara ini belum seramai dibanding sebelum konflik bernuansa agama terjadi akhir Oktober 1999. Rumah rusak, reruntuhan bangunan, serta arang bekas kayu bangunan terlihat di ibu kota Provinsi Maluku Utara ini. Kecuali suasana kota yang mulai bergairah, masih banyak toko yang belum buka. Ini sudah lumayan. Dulu, hampir tidak ada orang berani lewat di depan hotel ini," ujar Sersan Wagimin, yang berjaga di depan Hotel Nirwana, Ternate.

Wagimin yang sudah hampir 20 tahun bertugas di Ternate, tidak pernah membayangkan peristiwa yang merenggut ratusan nyawa manusia itu akan terjadi. "Saya mendengar cerita, gereja (Gereja Batu-Red) yang sekarang menjadi tempat pengungsian itu, katanya dibangun atas permintaan istri Sultan Ternate. Itu kan menunjukkan betapa hubungan antar-agama di sini sangat baik," kata ayah dua putra asal Purworejo ini.

Konflik ternyata tidak lagi melihat apa yang pernah dicontohkan Sultan Ternate, bahkan konflik nyaris merontokkan seluruh sendi kehidupan masyarakatnya. Ternate yang dulunya pluralis, ketika pecah konflik, sebagian besar dihuni warga Muslim. Hampir semua rumah warga Katolik dan Kristen, rata dengan tanah. Sebagian dari mereka mengungsi ke Sulawesi Utara (Sulut). 

Kalaupun sekarang warga Kristen dan Katolik kembali ke Ternate, bukan berarti keadaan sudah aman betul. "Warga di sini masih hati-hati. Kalau yang datang berasal dari Manado, mereka lebih bisa menerima. Tetapi, kalau yang datang warga Kristen asal Ambon, rasanya, kok, masih sulit," ujar penjaga Hotel Nirwana.

Awalnya, kerusuhan massa pecah di Kecamatan Malifut (Kabupaten Maluku Utara) 24 Oktober 1999, lalu meluas ke Pulau Tidore (Kabupaten Halmahera Tengah) 3 November, Ternate 6 November, dan kemudian menyebar ke 23 dari 27 kecamatan di Provinsi Maluku Utara. Jumlah korban meninggal akibat kerusuhan diperkirakan mencapai lebih 2.000 orang. 

Terlepas dari konflik yang membuat ratusan ribu warga mengungsi itu, situasi politik lokal-langsung atau tidak-ikut memperparah keadaan. "Kami merasakan bahwa tidak lengkapnya aparat pemda, seperti Sekwilda, Asisten Sekwilda, membuat sistem pemerintahan di sini agak pincang," ujar Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Maluku Utara SH Sarundajang dalam laporannya kepada Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Sri Redjeki saat berkunjung ke Maluku Utara. 

Kepincangan itu terjadi karena penetapan Gubernur Provinsi Maluku Utara-yang resmi dibentuk 12 Oktober 1999-sampai sekarang belum juga beres. Abdul Gafur, mantan Menteri Negara Pemuda dan Olahraga, meraih 23 dari 43 suara DPRD Maluku Utara pada sidang pleno DPRD 5 Juli 2001. Namun, dugaan praktik politik uang membuat DPRD Maluku Utara membatalkan hasil pemilihan.

DPRD menggelar pemilihan ulang gubernur pada 7 Maret 2002. Sidang pleno DPRD untuk memilih kembali gubernur itu hanya dihadiri oleh 21 anggota DPRD. Tetapi, pemilihan tetap dilangsungkan, dan akhirnya pasangan Thaib Armain/Yamin Waisaleh-yang pada pemilihan pertama dikalahkan pasangan Abdul Gafur/ Yamin Tawari dengan selisih enam suara-akhirnya meraih kemenangan.

Meski telah berhasil memilih gubernur, toh Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno belum juga bersedia melantik Thaib Armain. Ketidaktegasan Departemen Dalam Negeri membuat suasana politik yang hangat di Maluku Utara belum juga reda. Keadaan ini membuat pemerintahan di Maluku Utara berjalan tidak normal. 

Seiring dengan kondisi keamanan yang berangsur-angsur mulai membaik, program pemulangan pengungsi mulai dilakukan tanpa ada upaya relokasi penduduk. Namun, situasi politik lokal yang belum kondusif ternyata menghambat laju pemulangan pengungsi yang sudah berlangsung sejak tahun 2001 dan mencakup 8.175 pengungsi.

"Kami siap memulangkan pengungsi sebanyak mungkin. Tetapi, kendalanya kesiapan pemerintah Maluku Utara. Kalau di sana tidak siap, tidak mungkin kami melepas mereka kembali ke daerah asalnya," ujar Jhoni Runtu, Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial Pemda Sulut. Para pengungsi yang tidak menempati penampungan, kata Runtu, sebenarnya telah siap pulang. "Kalau dulu kami yang mencari mereka untuk bisa dipulangkan, sekarang justru mereka yang mencari kami agar bisa segera pulang," katanya. 

Efek dari situasi politik lokal ini mengimbas kepada pengungsi yang sebenarnya tidak tahu-menahu. Para pemimpin lokal menjadikan pengungsi sebagai isu politik. Jika di suatu kecamatan di mana pengungsi berasal, dukungan kepada Gafur cukup besar, maka akan sulit mereka untuk bisa segera dipulangkan. "Kondisi ini sangat tidak sehat," ujar seorang staff Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA) di Ternate.

Pemerintah, tambah Runtu, menyediakan tempat tinggal sementara bagi para pengungsi yang pulang, namun belum punya tempat tinggal. Depsos telah mengirimkan 1.000 tikar dan 50 unit tenda peleton, yang tiap tenda mampu menampung 10 keluarga. "Tetapi, lagi-lagi jika pemda setempat belum siap, pemulangan pengungsi tidak bisa dipaksakan," katanya.

Runtu menambahkan, sebagian besar pengungsi di lima kabupaten dan Kodya di Sulut berasal dari Pulau Ternate. "Jadi, kalau situasi di sana kurang kondusif, kami tidak bisa memaksa mereka pulang. Ini (kondisi keamanan-Red), kan, masih sangat rentan," katanya. 

Di samping persoalan keamanan, upaya pemulangan juga dihadapkan pada besarnya perhatian aparat kecamatan atau bahkan kelurahan terhadap para pengungsi. Perbedaan perhatian ini bisa menyebabkan munculnya kecemburuan sosial, di tengah upaya keras pemerintah meredam semua gejolak yang mungkin kembali menjadi pemicu konflik. 

Stimulan dana perumahan sebesar Rp 5 juta per keluarga dari pemerintah di sebagian desa menghasilkan rumah layak huni, namun di sebagian desa lainnya hanya cukup membeli bahan saja. "Biasanya, yang hasilnya cukup bagus memang dikoordinir oleh aparat setempat," ujar M Idrus, Kepala Badan Kesatuan Kebangsaan Pemerintah Provinsi Maluku Utara.

Idrus menambahkan, adanya LSM yang langsung terjun ke bawah tanpa koordinasi dengan Pemprov, juga ikut andil bagi munculnya perbedaan itu. "Ya, saya harap mereka (LSM) bisa kerja sama dengan Pemprov sebelum turun ke lapangan langsung," katanya. 

Laporan OCHA menyebutkan, World Vision (WV), sebuah LSM dari AS, misalnya, membagikan perlengkapan nelayan ke 30 desa di Kecamatan Kao, Malifut, Tobelo, dan Galela. WV juga membantu rehabilitasi pembangunan rumah penduduk, termasuk mengumpulkan batu dan pasir. Bahkan, WV juga membantu perlengkapan perumahan di Desa Wangeotak (Kecamatan Kao) dan Takome serta Gamlamo (Kecamatan Malifut).

Dirjen Bansos Sri Sumarjati Aryoso menyatakan, pemerintah pusat mengharapkan pemulangan pengungsi tahun ini selesai. Oleh karena itu, pemerintah menghentikan bantuan makanan dan uang pada tahun anggaran ini. "Mereka akan menerima bantuan transpor, bantuan jaminan hidup, bantuan bekal hidup masing-masing Rp 250.000, dan bantuan stimulan perumahan Rp 5 juta," katanya.

Akan tetapi, Jhoni Runtu memperkirakan, upaya pemulangan pengungsi tidak akan selesai dalam tahun 2002. "Mengapa? Karena, dari hasil penelitian BPKP Pusat, ternyata jumlah pengungsi Maluku Utara di Sulut saja naik hampir dua kali lipat, dari sekitar 40.000 menjadi 75.000 pengungsi," katanya. (fr/mba) 

   

1999 | 2000 | 2001 | 2002 | 2003 | 2004