| | | 04 April, 2002 04:13:18 AM
Antara Jakarta dan PapuaPenculikan dan pembunuhan terhadap pemimpin Papua, Theys Eluay, pada November tahun lalu adalah satu "ritual" dalam "tradisi" hubungan Jakarta dan Papua. Diharapkan oleh sutradaranya, modus lama ini dapat membunuh aspirasi rakyat Papua. Sebelumnya, pada 1984, antropolog terkemuka Papua, Arnold Ap, juga dibunuh. Lalu, pada 1996, Thomas Wanggai dipenjarakan dan meninggal di sana. Belum lagi terhitung berbagai kekerasan politik di Timika, Tembagapura, Bella, Wasior, Abepura, dan Biak.
Kegiatan Komisi Penyelidik Nasional (KPN) juga merupakan ritual dalam tradisi politik Jakarta. Timnya dibentuk sendiri dengan aturan main sendiri tanpa mengindahkan legitimasi, prinsip-prinsip imparsialitas, independensi, dan keadilan. Tanda-tanda bahwa KPN mandul secara hukum dan politik semakin jelas. Tim ini mudah-mudahan saya salah, akan mengungkap sejumlah indikasi keterlibatan oknum TNI, tapi pada saat yang sama akan mengaburkannya dengan dalih tidak ada bukti. Lalu kasus Theys semakin kabur dan kita akan disibukkan oleh kekerasan politik baru lainnya.
Yang pasti, situasi di Papua pasca-Theys dibunuh semakin mencekam. Aktivis hak asasi manusia yang aktif melawan kejahatan terhadap kemanusiaan oleh unsur-unsur negara diteror hingga terpaksa diungsikan ke luar negeri. Kalangan gereja, terutama di Fakfak dan di Sorong, merasa terancam oleh peningkatan aktivitas milisi berbendera Islam dan nasionalis. Selebaran dan VCD tentang "perang suci" di Maluku dan seruan untuk menentang "separatisme Kristen" beredar. Bibit ketegangan antara pemeluk Islam dan Kristen tumbuh secara signifikan. Rakyat Papua tercekam sembari percaya bahwa semua ini diatur oleh Jakarta.
Secara substansial tidak ada yang berubah sejak Orde Baru. Hubungan Jakarta-Papua selalu memburuk dari waktu ke waktu. Tuntutan keadilan hukum, sosial, dan ekonomi dijawab dengan stigma separatisme. Tuntutan untuk merdeka diselesaikan dengan pelanggaran hak asasi. Solidaritas penduduk asli dan lembaga swadaya masyarakat untuk menuntut penegakan hak asasi manusia dijawab dengan mobilisasi penduduk pendatang dengan dalih agama dan nasionalisme. Sesungguhnya kita terjebak. Setiap masalah yang muncul diselesaikan dengan masalah baru.
Kalau kita amati, sejak integrasi Papua ke dalam RI, katakanlah sejak 1963 hingga sekarang, kita dihadapkan oleh semakin banyaknya implikasi strategi kebijakan Jakarta yang didominasi oleh faksi-faksi militer dan cara pandang yang militeristik. Sebagian besar masalah menonjol lebih merupakan ekses kegiatan militer daripada sebagai dinamika sosial yang tumbuh dari masyarakat. Apa yang dilakukan oleh rakyat Papua melalui Organisasi Papua Merdeka, LSM, Gereja, dan Presidium Dewan Papua sebagian besar merupakan reaksi terhadap aktivitas militer, baik secara formal maupun yang rahasia dan informal. Semakin lumpuh pranata politik sipil, semakin besar legitimasi dan ruang bagi militer untuk ambil bagian.
Ketegangan Jakarta-Papua juga merupakan cermin kebuntuan sistemis reformasi dan transisi demokrasi yang sedang kita jalani. Kita tidak mampu mengatasi berbagai kekuatan politik dominan yang lama, terutama faksi-faksi di dalam tubuh militer dan afiliasi sipilnya, baik di tingkat pusat maupun daerah. Mereka bersenjata, memiliki kelompok milisi, dan memiliki sumber ekonomi sangat besar. Mereka memiliki jaringan di partai-partai politik, birokrasi, parlemen, dan kabinet. Di daerah, mereka punya jaringan ormas, bisnis keamanan, pengelolaan hutan, dan sekaligus otoritas untuk menjustifikasi operasi-operasinya. Definisi stabilitas dan gangguan keamanan sepenuhnya berada dalam interpretasi tunggal mereka.
Jadi, masalahnya terletak pada per-tarungan di tingkat nasional. Jika pada satu sisi faksi-faksi militer dan afiliasi sipilnya tetap omnipresent di berbagai level pengambilan keputusan, dan pada sisi lain aliansi kekuatan sipil prodemokrasi secara nasional tidak kunjung tumbuh untuk mengatasi dominasi militer dan militerisme, kekerasan simbolik ataupun fisik tetap menjadi strategi dominan Jakarta dalam mengelola konflik Papua.
Di tingkat Papua, tampaknya, sejumlah LSM dan Presidium Dewan Papua dengan dukungan moral rakyat Papua belum mampu memaksa Jakarta melakukan penyelesaian politik secara dialogis yang tanpa kekerasan. Mereka bahkan akan tetap menjadi target korban politik kekerasan berikutnya. Tapi, pada sisi lain, mereka semakin memiliki alasan kuat untuk meminta bantuan kekuatan internasional. Kampanye dan kesaksian meluas. Foto-foto kekejian menyebar secara digital ke ruang-ruang kekuasaan internasional.
Selama ini gambaran tentang Papua di kancah internasional jauh lebih buruk daripada kenyataan terburuk yang bisa saya tulis. Kematian beberapa orang di Biak bisa dibiakkan hingga ratusan. Alhasil, citra Indonesia sebagai negara gagal dan sarang kejahatan kemanusiaan sangat kuat. Pihak Australia, sejumlah anggota Kongres Amerika Serikat, kelompok aktivis internasional di bidang hak asasi manusia, serta beberapa negara Pasifik makin terbuka mendukung Papua merdeka.
Dengan kebuntuan politik itu, kita sebenarnya secara tidak sadar sedang membuka pintu bagi intervensi internasional dan tragedi nasional yang lebih besar.
Muridan S. Widjojo (Peneliti LIPI, sedang belajar di Universitas Leiden, Belanda)
Sumber : Tempo |