| | | 04 April, 2002 04:02:20 AM
Kasus Theys, Dua Jenderal Terlibat Membunuh dengan darah dingin dan berencana, lalu bersembunyi dan menghilangkan jejak, tidak tergolong perbuatan kesatria. Medali penghargaan dan gelar pahlawan tidak bisa diberikan untuk itu kalau tentara yang melakukannya. Apalagi bila warga sipil negaranya sendiri yang dijadikan korban, bisa dikatakan itu termasuk perbuatan keji dan pengecut.
Tentara diadakan dan dibiayai negara bukan untuk jadi alat kekejaman, melainkan untuk membela negara menghadapi ancaman dari luar. Karena itu, ia diberi monopoli menjadi kekuatan bersenjata yang boleh menggunakan kekerasan untuk bisa mengalahkan musuh negara pada setiap saat. Jadi, hanya ada satu tentara di setiap negara, yang diajari dan dipersiapkan untuk hanya punya satu pilihan, yaitu menang. Maka, bagi tentara, menang adalah benar, dan hanya salah kalau kalah. Itulah ukuran praktis yang dipakainya.
Nilai menjaga kesatuan dan ajaran tidak-boleh-kalah itu selain bermanfaat juga bisa mengandung masalah dalam pen-jabarannya. Bila kalah adalah salah dan kalah itu dipantangkan, tentara tidak pernah mau bersalah atau disalahkan. Karena tentara adalah kesatuan yang padu—di bawah satu komando—kalau ada kesalahan sebagian anggotanya haruslah ditutupi. Sebab, bila diakui, itu akan berarti jadi kesalahan keseluruhan yang menyatu itu.
Efek samping dari doktrin tentara yang harus menang dan tidak mau menanggung salah itu terasa dalam kasus kematian Theys Hiyo Eluay, Ketua Presidium Dewan Papua, pada 11 November 2001 yang lalu. Baru sekarang diakui adanya keterlibatan tentara dalam pembunuhan tokoh Papua itu. Sebelumnya, hal itu selalu dibantah dengan berbagai cara dan alasan, sekalipun sejak semula sudah tampak banyak kejanggalan mencolok dalam peristiwa itu.
Sekarang bisa mulai dinilai apakah keterangan dan bantahan yang diberikan dulu itu termasuk usaha menyelimuti tindakan kejahatan tersebut dengan sengaja, atau memang karena sungguh tidak mengetahui duduk perkaranya. Kalau sengaja menyembunyikan atau mengalihkan perhatian, apakah karena yang berkomentar waktu itu ikut terlibat—dari sekadar mengetahui sampai ikut merencanakan dan memerintahkan—atau cuma karena refleks melindungi korps tentara dari tuduhan telah melakukan kesalahan? Maklumlah, seperti dibahas tadi, mengaku salah sama artinya dengan kalah.
Tidak pada tempatnya untuk langsung menuding adanya keterlibatan, sedangkan yang dinyatakan tersangkut pun masih dalam taraf penyidikan. Tapi kelak, di ujung proses, harus bisa diungkapkan mengapa pada mulanya kematian itu dipastikan bukan sebagai akibat pembunuhan melainkan karena sebab-sebab yang wajar. Ada yang menimpakan pada kecelakaan dan ada yang—seperti Pangdam Trikora Mayjen Mahidin Simbolon—dengan spontan menyatakan dari Jakarta bahwa kematian disebabkan oleh penyakit jantung yang diidap Theys Eluay. Padahal laporan dokter Jayapura yang dikutipnya mengatakan "kekurangan oksigen" sebagai penyebabnya, yang jelas hubungannya lebih dengan hambatan saluran pernapasan ketimbang merupakan persoalan jantung. Lalu, untuk sementara perhatian dialihkan pada perlunya autopsi jantung jenazah Theys.
Yang mengakui adanya kemungkinan pembunuhan, seperti Letkol. Hartomo, Komandan Kopassus Satgas Tribuana X, mengarahkan sangkaan pada salah satu faksi garis keras Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebagai pelakunya. Sekarang kita bisa mengatakan bahwa ini juga sejenis pengalihan perhatian karena pada saat yang sama Hartomo menyangkal kemungkinan keterlibatan anak buahnya.
Namun, yang terlebih dahulu perlu diungkap ialah motif pembunuhan itu sendiri. Tidak sembarang orang bisa menggerakkan pasukan komando untuk jadi alat menjalankan operasi klandestin, yang tujuan dan cara melakukannya tidak saja berbahaya tetapi juga jauh melenceng di luar hukum. Ini memerlukan kedudukan tinggi dalam garis komando militer, atau imbalan uang yang luar biasa banyaknya, apabila ada segelintir pasukan itu yang bersedia—di luar akal sehat, tapi bukan mustahil—jadi pembunuh sewaan. Motifnya bisa politik, dan bisa kriminal biasa.
Sepintas, mengingat sikap dan kedudukan Theys, alasan politiklah yang terpikir lebih dekat sebagai dorongan untuk membunuhnya. Sekarang, ketika kerudung penutup mulai tersingkap, samar-samar tampak kemungkinan motif kepentingan ekonomi yang jadi penyebab, dengan dua perwira berbintang dengan sebutan jenderal di latar belakangnya. Semua serba mungkin, dan juga masih bisa meleset.
Dalam hal operasi tertutup, bukan tidak mungkin perhatian sengaja disesatkan pada motif yang lain dari sebenarnya. Misalnya, sumber pertikaian adalah soal rezeki tapi dibungkus sedemikian sehingga lebih mirip pembunuhan politik dengan memanfaatkan posisi Theys Eluay yang kontroversial sebagai pemimpin gerakan Papua untuk merdeka. Sebaliknya juga bisa, yaitu membunuh demi penyelesaian politik tapi yang dimunculkan alasan pertikaian uang yang berbau urusan preman.
Apa pun motifnya, salah satu dari kemungkinan tersebut atau gabungan kepentingan yang saling mendompleng, yang pasti ialah kita tak bisa membenarkan metode yang digunakan. Pembunuhan berencana dengan menggunakan alat negara, yang terlatih khusus pula, harus dikutuk. Implikasi serius dari pasukan khusus yang disiapkan untuk tugas menghancurkan dan melenyapkan ialah: kemampuan itu hanya boleh ditujukan untuk musuh dalam perang, bukan untuk politik dalam negeri, dan penggunaannya tidak diputuskan sendiri secara otonom.
Dalam membongkar skandal pembunuhan Theys, soal salah atau benar harus bisa ditegakkan, bukan atas dasar kalah atau menang saja. (tempo) |